Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (5-habis)

Menuju Bengkalis
Kami bangun pagi-pagi karena harus mengejar kapal pukul 7. Abang becak semalam sudah menunggu. Kami di antar ke loket di seberang jalan. Beli tiket. Ternyata ada shuttle busnya dari loket, tapi sudahlah, rejeki si Abang Becak.

Udara pagi tak terlalu segar di Dumai. Mungkin karena banyak pabrik di sini. Ada Wilmar di dekat pelabuhan, asapnya hitam dan menguarkan aroma busuk. Entah seperti apa kadar pencemaran udara dan air di tempat ini.

Kami sampai di pelabuhan, bergegas. Ternyata ada dua kapal, pukul 7 dan 7.15. Kami milih yang paling cepat. Kali ini ada nomor kursinya. Ferinya juga lebih besar dan bersih serta ac-nya bekerja dengan baik. Saya bahkan agak kedinginan sepanjang perjalanan.

Perjalanan Dumai-Bengkalis memakan waktu 2 jam saja. Sampai di Bengkalis, pelabuhannya cukup besar tapi sangat lengang. Kami keluar, cari becak motor. Tujuan pertama kami adalah kantor BPS. Ongkosnya Rp. 15.000.

Sampai di BPS, kami disambut dengan cukup hangat oleh pegawainya dan langsung di bawa ke pihak yang bersangkutan. Pegawai lelaki muda yang cukup welcome. Tanpa banyak tanya, dia langsung ngasih saja apa yang kami butuhkan. Dari obrolan basabasi, kami ketahui kalau ternyata kampung halamannya berdekatan dengan tempat tinggal saya di Bantul sono.

Usai dari BPS kami mencari makan di warung makan khas Melayu. Menunya masih segar dan rasanya juga lumayan sehingga kami makan dengan lahap.

Kami kemudian singgah ke Kantor Dinas Sosial, hendak menemui Kasi KAT-nya tapi ternyata sedang tak ada di tempat. Sama pegawainya kami suruh nelpon sendiri, tapi ternyata si Kasi tak akan kembali ke kantor padahal hari belum lagi tengah hari. Alasannya, karena waktu itu menjelang long weekend. Nah, lho apa hubungannya? Menyebalkan sekali. Padahal katanya semua data sama dia. Ini persoalan klise kalau mengunjungi kantor pemerintahan. Rasanya jengkel sekali karena orang-orang itu dibayar oleh pajak masyarakat dan seharusnya memberi pelayanan yang maksimal bukannya sok elit begitu.



Tujuan Berikut: Pulau Padang
Kami kemudian naik becak motor ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Pulau Padang. Udara Bengkalis terasa begitu menyengat kulit. Tapi orang-orang di pulau itu, mungkin karena sudah terbiasa, tampak santai saja.

Kami sampai di dermaga. Dermaganya kecil saja dan terkesan apa adanya. Kami membayar 50 ribu untuk menyeberang. Kami naik ke atas boat. Satu per satu penumpang lain berdatangan. Orang-orang pulau yang mungkin berbelanja ke Bengkalis ini.

Agak lama baru boat berangkat. Melewati perairan selat yang agak bergelombang. Sebentar saja sudah menyusuri pingiran pulau. Dermaga-dermaga kecil yang lengang yang masih dilingkupi semak belukar. Sepertinya pulau ini jauh lebih ‘terbelakang’ di banding pulau-pulau yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Ironis juga karena pulau ini justru letaknya lebih dekat dengan pulau besar Sumatra. Pulau-pulau yang lebih dekat dengan negara tetangga sepertinya justru lebih ramai dan maju. Pantas saja kalau orang-orang pulau ini nasionalismenya kurang.

Pemberhentian kami di dermaga Bendol. Nama yang aneh. Dermaganya agak lebih ramai dari dermaga-dermaga sebelumnya yang kami lewati. Seorang bapak menwari kami ojek, tapi karena tujuan kami belum terlalu jelas, kami memutuskan istirahat dulu di warung sembari mencari-cari informasi.

Setelah kapal pergi, dermaga benar-benar sepi. Barisan ruko di depan dermaga terlihat tutup. Hanya ada satu dua warung-warung reot yang menjual makanan alakadarnya. Kami singgah di warung penjual miso dan es campur. Kami mulai ngobrol-ngobrol. Suku Asli konon banyak tinggal di Selat Akar, bagian belakang pulau ini. Lalu beberapa lelaki datang, ikut nimbrung cerita tentang Suku Asli. Ada juga seorang lelaki berkulit gelap yang mengaku keturunan Suku Asli. Dia berceloteh panjang pendek tentang Suku Asli yang tinggal di pulau seberang, Pulau Rangsang. Konon, di pulau itu adat istiadat mereka masih kuat. Tapi setelah dikorek-korek, sepertinya mereka sudah cukup maju juga.

Suku Asli di Selat Akar
Setelah beberapa saat, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Selat Akar. Cuaca mendung seolah mau hujan. Kami menelusuri jalan coran seperti di Penyalai meski kondisinya jauh lebih bagus. Kanan kiri jalan juga mirip di Penyalai, semak dan berawa. Agak lama juga baru sampai Selat Akar.

Kami berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan tulisan "balai gendong,". Belakangan, kami tahu bahwa itu semacam sanggar untuk belajar tari gendong, tari tradisional Suku Asli. Nuansa tradisionalnya cukup kental di sini. Tapi seperti di pulau lain, mereka sudah terasimilasi ke budaya Tionghoa yang tampak dari tempelan-tempelan di depan pintu rumah mereka.

Pak Batin sedang pergi, jadi kami diketemukan dengan adiknya, lelaki tua berkulit gelap dengan wajah yang cukup khas. Kami diajak ke rumahnya, rumah panggung sederhana dengan berbagai tempelan tionghoa tentunya. Anak-anak bermain di halaman rumah itu, sepertinya cukup heran dengan kehadiran kami. Saya memperhatikan mereka, wajah mereka tak terlalu khas. Sama halnya dengan anak-anak keturunan Melayu pada umumnya.

Kami mengobrol sekilas dan karena si Bapak sepertinya kurang memahami pertanyaan kami, kami kemudian ke rumah Pak D, perangkat kampung  yang berada di seberang jalan. Rumah Pak D ini kuat sekali kesan Tionghoa-nya dan anak-anak yang ada di depan rumah itu juga berwajah keturunan. Lalu Pak D muncul. Seorang lelaki kurus kecil dengan gigi ranggas, seperti banyak orang yang kami temui di pulau ini. Pastilah karena buruknya air bersih di pulau ini.

Mitos 3 Dunia ala Pak D
Pak D sangat cerewet meski isinya tak jelas. Saya bertanya tentang asal-usul orang asli, dia antusias menjawab. Tadinya saya pikir dia sungguh-sungguh dan bagi saya ini menarik karena sejauh ini belum ada yang bisa cerita soal itu dengan gamblang.
    "Jadi begini," Pak D mulai cerita. "Ada 3 dunia. Dunia pertama, ada kakak adik, sumbang. Kemudian dunia dileburkan. Lalu ada dua beruang, kakak adik, kalau siang mereka mencari rotan... Sumbang, dileburkan..." Lantas apa hubungannya? Pak D mengulang ceritanya tentang dunia pertama dileburkan. Lalu bagaimana dengan dunia kedua dan dunia ketiga? Tapi sepertinya dia tak bisa melanjutkan ceritanya seperti yang saya harapkan. Dan saya mulai pusing mendengarnya. Sepertinya dia hanya membual saja. Sialan, padahal saya  sudah serius mencatat.

Di tengah obrolan, datang lelaki muda bertubuh agak tambun dengan kulit gelap, cenderung legam. Dia cukup komunikatif dan bahasanya juga mudah dicerna. Namanya Pak A. Dia mengaku sebagai Suku Asli, meski ibunya keturuan Tionghoa. Hal yang membuat saya agak tak percaya. Apakah matahari pulau ini sudah membakar pigmennya? Dia juga cerita kalau ayahnya itu dari Rupat. Suku Akit. Tapi dia sendiri sepertinya enggan menyebut Suku Akit. Dia ngotot dengan sebutan Suku Asli. Menurutnya, Suku Asli lebih jelas asal-usulnya, sementara Suku Akit tidak.

Dia juga cerita kalau baru mengadakan pertemuan Suku Asli di Bengkalis dan akan mengadakan semacam festival Suku Asli. Ada bantuan pemerintah terkait pengembangan kesenian ini Suku Asli meski konon jumlahnya sangat sedikit.  Cuma 2.5 juta pertahun kalau tak salah.

Anehnya, pemerintah sendiri sepertinya lebih mementingkan tetek bengek kecil seperti itu daripada memperhatikan kesejahteraan hidup Suku Asli ini. Mereka mengaku bermasalah secara ekonomi. Pak D berapi-api bicara soal lahan mereka sedikit, ada yang tak punya lahan malah. Seperti seperti kebanyakan suku-suku kecil di Sumatera ini, di masa lalu mereka agaknya menjalankan pola hidup semi nomaden sebagai pengambil hasil hutan saja tanpa ada semacam hak ulayat. Ketika sekeliling mereka sudah terbuka seperti sekarang ini, banyak orang luar berdatangan dan memiliki kebebasan mengolah lahan kosong di mana saja, siap mengambil setiap jengkal tanah di pulau ini. Padahal para pendatang ini umumnya lebih ulet dan agresif. Bisa dipahami kemudian jika Suku Asli akhirnya justru tak memiliki apa-apa di tanah sendiri. Idealnya sih pemerintah lebih memperhatikan hal-hal yang lebih penting seperti ini, memberi perlindungan hak-hak hidup Suku Aslim misalnya, daripada sekadar mengurusi soal menghidupkan kesenian Suku Asli. Tapi yah... seperti biasa, selalu tak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah negeri ini.

Dari obrolan dengan Pak D dan Pak A sendiri, tak ada kesan bahwa karena mereka sebagai Suku Asli lantas mereka berhak mendapat lebih atau memperjuangkan hak mereka. Bagus juga sih karena mereka ‘cinta damai’, begitu terbuka terhadap pendatang, tapi kasihan juga karena pada akhirnya mereka menjadi minoritas marjinal yang tergusur di tanah sendiri.

Setelah ngobrol panjang lebar, kami pamit. Minta tukang ojek untuk membawa kami mengitari desa sebentar. Kami melintasi tempat yang ditunjuk sebagai tempat tinggal Suku Asli yang masih suka pindah-pindah, membangun pondok-pondok kayu sederhana. Kalau dipikir-pikir, agak unik juga karena pulau ini kecil saja sehingga pindahnya ya di situ-situ saja. Jalan-jalannya sendiri sudah cukup bagus dan suasana  perkampungan di sekitar tampak semarak. Ada panglong--tempat pembakaran arang yang umumnya dikelola para Keturunan Tionghoa, rumpun sagu, jajaran pohon bakau, pemukiman tepi pantai yang diisi orang-orang Melayu, tampak lengas dan kumuh... Saya tak terlalu bisa menikmati perjalanan karena tersiksa menahan buang air kecil.

Kami kembali ke warung semula. Saya buru-buru minta ijin numpang ke kamar mandi. Kamar mandinya adalah ruang kecil terpisah di bagian belakang rumah. WC-nya sangat praktis, lantai kayu yang dilobangi dan langsung bisa melihat air laut di bawah sana. Jika buang air, otomatis akan langsung nyemplung ke laut. Agak geli karena rumah panggung ini cukup tinggi sehingga ketika saya buang air kecil, suaranya cukup berisik ketika jatuh ke dasar. Tak terbayangkan jika buang air besar. Hihi.

Lanjut ke Sungai Dua
Setelah beristirahat sebentar, kami memutuskan untuk ke pulau seberang, Sungai Dua, yang konon selain dihuni Suku Asli, juga ada Suku Hutannya. Kami pergi ke dermaga di sisi lain pulau, untuk menyeberang ke Sungai Dua. Kami menyeberang dengan perahu mesin, sekitar 15 menit saja.

Dermaga Sungai Dua adahal hamparan kayu yang cukup luas dan bersih. Menyenangkan rasanya membayangkan berbaring-baring di sana menikmati udara laut sore hari. Tapi tentu saja, kami harus bergegas. Di kanan kiri dermaga adalah rumah-rumah kayu dengan tiang-tiang tinggi yang tampak agak kumuh. Kami sempat mendapat cerita tadi, kalau di Sungai Dua ini konon banyak kriminalnya. Dan mungkin karena cerita itu, saya jadi merasa agak was-was. Tapi suasana sekitar dermaga sendiri tampak biasa saja. Beberapa anak-anak dengan rambut kemerahan dan kulit gelap tampak asyik bermain. Kami bertanya pada kerumunan lelaki yang sedang membuat kapal di dekat dermaga tentang Pak N, orang yang konon tahu banyak tentang Suku Asli. Meski wajah mereka terkesan keras, tapi mereka cukup ramah. Salah satu bahkan mau mengantar. Yah, soal kriminalitas itu hanya stigma dari orang di seberang saja.

Kami melintasi jalan tanah yang lonyot di sana sini, di sisi kanan kiri adalah semak belukar pinggiran pantai dan genangan air gambut yang kecoklatan dan muram.

Kami sampai di rumah Pak N. Rumah beton sederhana dengan warung kecil di depan rumahnya. Ada anak-anak kecil berkumpul di sana. Mereka cukup ramah pada kami, selayaknya anak2 pada umumnya. Agak lama kami menunggu Pak N yang masih voli. Istrinya, yang ternyata orang Batak, kurang ramah pada kami. Mungkin sedikit curiga karena kedatangan kami yang tiba-tiba dan wajah kami yang pastinya sudah lusuh.

Menjelang petang baru Pak N pulang. Orangnya cukup komunikatif dan terkesan berwawasan, meski sepertinya masih menjaga jarak pada kami. Seolah dia masih tak yakin kami orang yang bisa dipercaya atau tidak. Tapi itu wajar mengingat kami baru bertemu, dari LSM pula yang mungkin di mata banyak orang sering dianggap sebagai pekerjaan tak jelas.

Pak N asli keturunan Suku Asli. Dia bercerita tentang kehidupan sukunya di masalalu. Ketika ia masih kecil dulu, bagiamana ‘terbelakangnya’ kehidupan mereka sebelum kemudian datang seorang pastor dari Italia, Pastor Vellaro. Si Pastor mengajari cara hidup bersih dan memperkenalkan pendidikan. Pak N menjadi semacam asistennya. Terlepas dari ajaran agama, saya semakin berpikir bahwa itu adalah hal yang baik. Misionaris adalah cara yang efektif untuk menjadikan hidup orang-orang yang kurang terakses menjadi ‘lebih baik’ kehidupannya. Apakah itu dibilang melanggar hak asasi segala macam, tapi saya yakin orang-orang itu, si pelaku, merasa beruntung dengan intervensi semacam itu.

Pak N mengatakan kalau Suku Asli itu konon nenek moyangnya berasal dari Siak, sebuah desa di muara Sungai Siak. Tapi ia tak bisa menjelaskan tentang mereka yang di Rupat. Sepertinya mereka memang tak punya hubungan lagi dengan sesama suku asli dari satu pulau dan pulau lainnya.

Setelah merasa cukup mendapat informasi, kami berpikir untuk kembali ke Bengkalis. Tadinya kami berpikir untuk menginap di Sungai Dua dan besok pagi baru ke Bengkalis, tapi dari obrolan kami mengetahui kalau kapal ke Pekan Baru dari Bengkalis berangkat pagi-pagi.

Pak N kemudian membantu kami mencarikan ojek. Seorang lelaki tua penjual sayur, orang Batak, tampak agak takjub mendengar kami mau ke Bengkalis malam-malam. Ia bahkan mengatakan bahwa perjalanan ke Bengkalis agak rawan karena lewat hutan-hutan. Gelap dan jalannya juga tak terlalu bagus. Jujur saya agak keder. Tapi mau bagaimana lagi?

Menuju Bengkalis dan Celotehan Bang Acin
Tukang ojek yang saya tumpangi adalah abang-abang keturunan Tionghoa, sebut saja Bang Acin. Seperti yang dibilang Pak Sayur, jalanan memang gelap dan beberapa bagian masih hutan, tapi pemukiman juga cukup banyak. Sebagian besar kondisi jalan buruk, aspal rusak yang cukup membuat tubuh terguncang-guncang. Menyiksa sekali, ditambah lagi, saya kebelet pipis dan lapar sekali. Ingin minta berhenti pipis di pinggir jalan, saya belum sepenuhnya percaya dengan Bang Acin.

Menghalau siksaan, saya mencoba mengobrol sama Bang Acin. Ternyata dia sangat senang bercerita. Logatnya adalah campuran antara logat Melayu dan Tionghoa yang terdengar berlagu. Dia cerita kalau ibunya keturunan Suku Asli dan ayahnya yang Tionghoa. Dia adalah salah seorang keturunan yang dianugerahi kemampuan untuk bisa mengobati orang, karena dia dirasuki semacam dewa yang ada di keluarganya. Pasiennya siapa saja dan bisa dari agama apa saja, termasuk orang Muslim.

Menurutnya, orang yang punya kemampuan seperti itu harus berhati bersih dan dia merasa senang karena 'dipilih' untuk emmilikinya. Dia berpikir, mungkin Dewa Cina lebih memilih dia daripada orang Cina asli karena hatinya yang lebih baik. Orang Cina asli terlalu materialistis, pelit, sementara dia sebagai keturunan, punya sifat lebih tanpa pamrih membantu orang lain yang diwarisi dari darah keturunan orang Asli. Saya tertawa saja mendengar ceritanya. Dan sepertinya dia sangat antusias cerita tentang kemampuannya ini, karena 2/3 perjalanan kami isinya adalah cerita dia hal itu.

Saya iya-iyain saja, meski rasanya sudah agak pusing dan mual menahan sakit di perut. Di perjalananan,kami melintasi rumah yang tengah mengadakan upacara kematian orang Tionghoa yang penuh lampion putih, kami berpapasan dengan orang-orang yang mengangkuti kayu malam-malam. Menurut Bang Acin, itu karena orang-orang itu mencuri kayu tersebut, yang sebenarnya di larang oleh Kehutanan. Kami melintasi hamparan ladang terbuka yang luas: sawit, semak belukar, kebun buah naga...

Itu milik para pejabat dari Bengkalis, kata Bang Acin. Lalu ada rumah dengan pesta pernikahan orang Tionghoa yang bernuansa merah, rumah-rumah keturunan Tionghoa yang tampak sederhana... kami sampai di jalan besar dengan kondisi jalan yang bagus. Saya menghela napas lega, sedikit siksaan berkurang dan bahkan sebentar lagi penderitaan ini akan segera berakhir.

Kami sampai di Bengkalis, langsung singgah di kedai makan. Tapi abang-abang ojek menolak makan dan hanya minum kopi saja. Kami membayar ojek, 200 ribu mengucap terimakasih dan berpisah. Mereka harus segera kembali ke Sungai Dua sebelum terlalu larut. Kami mencari penginapan untuk bermalam. Jatah uang kami sudah terbatas sehingga kami harus mencari penginapan yang benar-benar murah.

Penginapan Ala Pak Haji di Bengkalis
Kami tak memiliki referensi soal penginapan di kota ini, jadi kami jalan saja tanpa petunjuk yang jelas. Kami jalan ke arah pasar, yang ada hotel yang terkesan mahal. Jalan lagi dan akhirnya menemukan bangunan kayu sederhana bertuliskan 'penginapan'. Ada beberapa lelaki duduk-duduk sambil minum kopi. Seorang lelaki tua berpeci mendekati kami. Suami istri? Bukan. Dan belum apa-apa dia sudah menceramahi kami: dari masuk kamar sampai besok pagi, tak boleh saling menginjakkan kaki di kamar yang lain! Tentu saja tak masalah, tapi yang menjadi masalah kemudian adalah karena harus berbagi kamar mandi dengan penghuni lain. Yang benar saja. Itu lebih mengerikan daripada sekedar menginjakkan kaki di kamar lawan jenis karena saya menduga para penginap di sini adalah para pesinggah mungkin ABk yang jujur membuat saya berprasangka.

Kemudian dia menyarankan kami ke wisma di seberang, milik temannya, katanya, Pak Haji S. Dari luar, penginapannya agak lumayan bersih. Tarifnya ada yang 50 ribu, ada yang 100 ribu. Saya pilih yang 100 ribu karena kamar mandi dalam. Begitu masuk ke kamar, saya mendapati kamar yang lembab dan berbau apak, belum lagi kamar mandinya yang usang dan airnya bau karat. Tapi sudahlah. Saya berusaha mengabaikan semua itu dan tidur dengan nyenyak.

Menyusuri Sungai Siak, Menyusuri Jejak Kejayaan Masalalu
Pagi-pagi kami naik becak ke pelabuhan. Tukang becaknya menawarkan harga 15 ribu, kami tawar 10 ribu. Dia setuju, tapi merengut saja sepanjang jalan. Kami tanyai jawabya ogah-ogahan. Kami jadi merasa agak sebal. Kalau memang tak mau ya sudah, kok sewot tapi tetap ngantar.

Kami mencari tiket speed ke Pekan Baru. Ternyata satu kapal sudah penuh. Satu lagi tinggal satu bangku dan satu lagi di cap. Kami ambil saja. Harganya 145 ribu. Speednya kecil saja meski keadannya cukup bagus dan ac-nya dingin. Speed meluncur menyusuri Sungai Siak yang berair pekat. Di sebelah saya duduk seorang perempuan berdandan heboh, ketika saya ajak beramah tamah, dia tampak tak terlalu tertarik.

Karena bosan, saya berusaha tidur, tapi tak bisa tenang karena salah satu tujuan kami memilih perjalanan ini adalah karena ingin melihat Istana Siak, yang terletak di pinggir sungai. Saya lihat di peta, sedianya itu di pertengahan, tapi saya sendiri tak tahu dimana tepatnya jadi terus berjaga-jaga. Mengusir bosan saya memperhatikan 3 anak keturunan Tionghoa yang cantik-cantik, sibuk membaca majalah anak-anak sepanjang perjalanan. Mereka tampak sangat manis dan menikmati semua itu.

Perjalanan sekitar 3 jam. Pas di istana siak ternyata berhenti karena ada dermaga yang cukup besar. Tampak mesjid Siak yang megah dan beberapa bangunan sisa kerajaan yang bercorak khas Melayu. Sisa peradaban masa lalu. Tak urung saya pun membayangkan, betapa riuh rendahnya mungkin kehidupan sungai jaman kerajaan-kerajaan dulu.

Tak berapa lama, kami sampai di Pekan Baru. Mencari sarapan di warung makan depan pelabuhan sambil mendiskusikan tentang transportasi air. Jujur saya cukup terkesan dengan perjalanan barusan, dan juga perjalanan demi perjalanan yang telah kami tempuh beberapa hari ini. Perjalanan air, meski agak membosankan karena tak banyak yang bisa dilihat selama perjalanan, tapi kami sepakat bahwa transportasi air jauh lebih efektif. Tanpa macet, tak perlu biaya pemeliharaan jalan yang mahal. Bahwa negri ini dulunya dibangun oleh tranportasi air karena memang nyaris di setiap kota memiliki sungai-sungai besar. Lalu kenapa semua itu sekarang ditinggalkan? Pembangunan transportasi darat lah yang gencar dibangun, sementara transportasi air semakin ditinggalkan. Proyek para pembesar? Hmm, entahlah.

Usai makan, kami naik angkutan umum ke pusat kota untuk melanjutkan perjalanan ke tempat semula. Meski badan terasa penat karena terus bergerak kesana kemari selama beberapa hari ini, tapi ada rasa puas yang tak terperi. Menyinggahi pulau-pulau, melihat bagaimana kehidupan orang-orang di sana, bertemu dengan orang-orang baru, selalu memberi pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga. (***

* Perjalanan ini dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2012

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (4)

Paginya, kami bersiap untuk menemui Pak Batin, semacam tetua adat. Kami keluar penginapan sekitar pukul 7, lalu mencari sarapan di warung dekat dermaga, milik keturunan Tionghoa. Kami sarapan nasi goreng yang sangat berminyak. Tapi cukuplah untuk mengisi perut.

Udara pagi di pulau ini ternyata tidak tak ada sejuk-sejuknya. Belum apa-apa tubuh terasa lembab berkeringat. Saya tak tahu apa memang begitu udara di Rupat yang memang daerah dataran rendah di tepi pantai, atau hanya pada musim-musim tertentu saja kelembaban begitu tinggi seperti ini. Tapi orang-orang sepertinya santai saja dengan udara seperti itu.

Kami jalan kaki ke rumah Pak Kades untuk menemui anak Pak Kades yang sedianya akan jadi pemandu kami. Seorang pemuda berwajah sangat Chinese dan cukup ramah. Kami dipinjami sepeda motor RX King untuk ke tempat Pak Batin, yang ternyata tak terlalu jauh.

Menimba Ilmu dari Pak Batin
Pak Batin tinggal di rumah kayu sederhana. Beliau sudah cukup tua, berkulit gelap dengan tatapan mata tajam dan garis wajah kuat. Bisa dibilang dia masih punya wajah yang ‘khas’. Beliau agak canggung menyambut kami, tapi ketika mulai mengobrol dia mulai terlihat rileks. Kami bertanya ini itu. Tentang ada istiadat Suku Akit. Ia kemudian menunjukkan sebuah buku tua yang berisikan sekelumit sejarah dan adat istiadat Suku Akit.

Kemudian kami mulai mengobrolkan tentang hutan. Hutan Samak merupakan perkampungan yang ditinggali oleh mayoritas Suku Akit dan sekarang sedang ada konflik dengan sebuah HTI yang akan menggusur lahan penduduk. Selain itu ada dua PT lagi, sawit dan akasia. Tapi konon tak berkonflik dengan masyarakat. Meski begitu, agak mengerikan juga membayangkan di pulau kecil seperti ini dipenuhi kebun sawit dan akasia yang kurang ramah lingkungan itu..
Hutan Samak
Usai dari Pak Batin, kami ke Hutan Samak. Sedikit terburu-buru karena harus mengejar speed ke Dumai pukul 1 siang nanti. Kami menyeberang meggunakan perahu mesin ke Hutan Samak di temani Pak Wakil Batin yang pendiam. Perjalananannya cuma 5 menitan karena memang hanya dipisahkan oleh laut selat yang kecil saja.

Kami sampai di Hutan Samak. Jangan bayangkan ‘seseram’ namanya, karena melibatkan kata "hutan", karena Hutan Samak adalah perkampungan biasa yang cukup ramai. Kami disuguhi pemandangan rumah-rumah kayu  dengan tempelan-tempelan jimat bernuansa Tionghoa, beberapa ornag duduk2 di depan rumah, menatap kedatangan  kami dengan sedikit heran. Tapi tatapan mereka adalah keheranan yang ramah.

Pak Wakil mengajak kami singgah di sebuah rumah kayu sederhana beratap rumbia. Di sini tinggal seorang nenek tua yang konon generasi tertua Suku Akit yang masih hidup di sini. Umurnya sekitar 80 tahun meski dari wajahnya dia tak terlihat setua itu. Seringkali, orang-orang jaman dulu tak terlalu tahu persisnya kapan lahir dan mengira-ira saja.

Wajahnya wajah melayu pada umumnya. Dia cukup ramah meski Bahasa Indonesianya terbatas. Kami mengobrol alakadarnya. Sebenarnya kami berharap bisa ke hutannya yang terletak di belakang kampung, tapi katanya cukup jauh ditambah cuaca panas menyengat yang membuat enggan.

Lalu kami berjalan-jalan masuk ke kampung. Melintasi jalan desa yang terik. Di salah satu rumah tampak keramaian kecil; ada pesta pernikahan. Suasananya ya pesta hajatan seperti di desa-desa umumnya. Orang-orang berkumpul, memasak, anak2 ramai...

Kami sampai di sekolah. Sudah sepi. Hanya ada gemuruh suara genset yang dinyalakan. Tapi tak ada orang. Sekolahnya sendiri sudah sangat layak. Sudah siang dan kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Panas semakin menyengat.

Kami sebenarnya ingin ke tempat orang Akit yang lain, di Selat Morong, dekat Batu Panjang, tapi ternyata tak ada ojek yang bisa mengantar kami. Jadilah kami berpikir untuk ke Dumai saja dulu berhubung logistik sudah mau habis dan tak ada ATM di sini. Rencananya dari Dumai kami akan menyeberang lagi ke Batu Panjang yang memang lebih dekat.

Kembali ke Dumai
Kami sempat makan siang di sebuah warung. Menunya lontong, milik seorang mbah-mbah berwajah Jawa. Tapi ketika saya ajak bicara Jawa, ia tak tak menanggapi meski sepertinya mengerti. Mbah ini sering menggumam-gumam sendiri, khas perempuan tua, tapi dia cukup komunikatif.

Karena Kades dan perangkat desa lain sedang ada acara di Kecamatan karena ada acara dengan bupati, kami pun hanya pamit lewat telepon.

Lalu kami menunggu boat di warung nasi goreng. Boat datang. Tak terlalu penuh dan boatnya lebih buruk dari yang kemarin, terkesan lebih tua dan rapuh tanpa ac, tapi tak buruk juga. Boat melaju, berguncang-berguncang menghantam  ombak yang lumayan tinggi.

Ternyata boat singgah dulu ke Medang, kota kecamatan, untuk mengambil penumpang. Medang adalah pelabuhan kecil dengan beberapa boat yang bersandar. Boat bersandar sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan, kembali terguncang-guncang. Beberapa kali boat berhenti di dermaga kecil untuk mengambil penumpang. Sekitar 2 jaman, kami sudah sampai Dumai.

Kami turun di pelabuhan kecil yang sepertinya khusus untuk boat-boat. Kusam dan kumuh. Kami keluar dengan tanpa petunjuk apapun, mendapati jalan raya kota Dumai panas dan berdebu. Kami memutuskan singgah di rumah makan karena teman saya merasa belum puas belum makan nasi. Kami singgah di warung Padang yang tampak tak terlalu bersih. Sembari makan, kami mencari informasi bagaimana cara ke Batu Panjang atau ke Bengkalis. Di kapal tadi, kami menimbang-nimbang untuk ke Bengkalis saja daripada kembali ke Rupat karena terkait tenggat waktu dan juga logistik. Tapi si pemilik warung mengaku tak tahu dan kami disarankan untuk ke loket penjualan tiket kapal saja. Dan itulah yang kemudian kami lakukan.

Kami naik angkot ke kantor penjualan tiket kapal Dumailine.Ternyata kapal ke Bengkalis adanya hanya besok pagi, pukul 7, harganya Rp. 70.000/orang. Ke Batu Panjang juga katanya tinggal ada yang besok pagi. Padahal harapannya kami bisa ke Batu Panjang sore ini, dan besok lanjut ke Bengkalis. Tapi sepertinya tak memungkinkan seperti itu. Seorang Bapak di loket menyarankan kami naik travel saja ke Bengkalisnya. Setiap saat ada, katanya. Perjalanan cuma 3 jam. Saya pikir itu ide yang masuk akal, karena saya pikir bermalam di Dumai dan menunggu waktu hingga besok pagi hanya buang-buang waktu.

Kami kemudian diantar ojek ke loket travel. Karena tahu kami pendatang, dia seenaknya saja pasang tarif Rp.10.000, padahal jaraknya ternyata tak sampai lima menit. Ternyata juga si tukang ojek tak terlalu paham loket travel karena yang ada hanya mobil charteran dan kami tak mungkin mencharter mobil ke Bengkalis. Karena tak memiliki banyak informasi, akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja. Kebetulan di dekat-dekat situ lumayan banyak penginapan karena dekat pelabuhan. Dari luar sih kelihatan cukup layak, tapi ternyata setelah di lihat dalamnya banyak yang kumuh dan bernuansa 'mesum.'

Setelah melihat-lihat beberapa penginapan, akhirnya kami memutuskan menginap di sebuah penginapan sederhana tapi cukup bersih seharga Rp. 75.000 per kamar. Kamarnya sederhana sekali tapi cukup layaklah meski aku masih dibayangi ketidaknyamanan di kota ini.
Menikmati Malam yang Semarak di Dumai
Setelah mandi kami memutuskan keluar untuk mencari makan dan warung internet karena ada beberapa hal yang harus di cek di email.

Kami jalan kaki saja tanpa tujuan yang jelas. Dumai di malam hari terasa lebih ramah. Saya memutuskan singgah di warung mie Aceh pinggir jalan yang kami lintasi. Warungnya berada di sudut kecil yang terkesan cukup hangat tapi ketika disajikan, ternyata mi-nya biasa saja. Sangat berlemak dan rasanya dominan penyedap rasa. Kami juga sempat mencobai air akar yang dijual bapak tua dengan gerobak kayunya. Minuman yang dijualnya di kemas dalam botol-botol sehingga terlihat sangat khas. Namanya air akar. Saya penasaran. Setelah diminum ternyata: cincau! Bedanya hanya dicampur susu dan es.

Kami jalan lagi, mampir ke warnet sebentar. Warnetnya merangkap sebagai game online, yang isinya anak-anak muda yang main game, membunyikan sound sekeras-kerasnya, berbau rokok dan keringat cowok. Sama sekali bukan tempat yang nyaman. Kami cuma sebentar saja, lalu tanya-tanya pusat keramaian kota ini. Ada satu tempat namanya Ombak, kata pramuniaga toko. Karena sudah mulai lelah jalan kaki, kami pun memutuskan naik becak. Ongkosnya Rp. 10.000.

Tukang becaknya bapak-bapak yang belum terlalu tua dan enak diajak ngobrol. Dia mengaku dari Bangkinang, lama dia di Malaysia kerja bangunan. Konon dia terlibat dalam pembangunan KLCC dulu.
    "KLCC itu dibangun oleh orang-orang Indonesia," ujarnya. Saya sempat surprise tapi kemudian berpikir, apa itu patut dibanggakan? Jadi buruh di negri orang? Kita jadi arsiteknya itu hebat, tapi jadi buruh kasarnya? Hmm...

Dia lama di sana, lama di sini, pokoknya fasih dia cerita. Dia cerita kalau di Ombak ada swalayan yang menjual makanan-makanan Malaysia, sembari menyebut merek-mereknya, seolah aneka makanan itu memiliki gengsi tersendiri...

Ternyata Ombak lumayan jauh dan kami merasa ongkos 10 ribu yang Bapak itu pasang terlalu murah. Merasa kasihan, kami tambah 5 ribu dan dia tampak senang. Dia menyarankan agar nanti kalau kami hendak pulang untuk naik dia lagi dan dia memberi nomor ponselnya.

Ombak, tak seperti yang kami bayangkan berupa Pujasera atau semacamnya. Itu adalah sebuah jalan memanjang yang di kanan kiri adalah penjual makanan. Makanannya pun tak khas, jajanan PKL pada umumnya: martabak bangka, mie rebus, mie goreng, nasi goreng, sate... ada satu dua seafood itu pun penuh sesak. Jalanannya juga tak nyaman. Bercampur dengan toko-toko kelontong, tambal ban, dan tak ada trotoar sehingga tak nyaman untuk pejalan kaki. Tak ada yang terlalu menarik. Kami memutuskan untuk singgah ke swalayan mencari beberapa makanan ringan. Teman saya kemudian makan sate.
(bersambung)

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (3)

Saya bangun pagi-pagi, duduk bermalas-malasan di teras sambil memperhatikan anak-anak melintas di bawah hendak berangkat sekolah. Mereka mengobrolkan soal hp dengan logat Melayu kental yang membuat saya ingin tersenyum. Sepeda motor lalu lalang dari orang-orang yang hendak berangkat kerja. Cerecau rekaman walet masih bising bersahutan. Matahari berpendar. Kehidupan baru dimulai. Tempat ini memang membosankan. Tapi orang-orang tetap menjalani hidup dengan riang. Mungkin kami hanya perlu membiasakan diri saja. Meski saya juga merasa bersyukur, tidak harus tinggal lama di sini.

Sekitar pukul 7, kami pergi ke Kantor Kecamatan. Bangunan baru yang cukup layak. Sudah buka, tapi belum ada orang. Kami mampir ke rumah camat di belakang, ternyata tak ada juga.

Kami ke rumah seorang pejabat kecamatan. Bergegas karena kami harus mengejar kapal pukul 8.  Si Bapak masih ada tamu dan sepertinya belum mandi. Tamunya ternyata orang yang mau ngukur tanah untuk kebun sawit yang baru akan dibuka... nha...info bagus. Lalu kami menjelaskan kedatangan kami, blabla...apa ada data? Di kantor...data per suku tak ada...sudahlah. Kami sedikit mengorek info hutan. Ada hutan lindung, tapi SK-nya hilang, lokasinya ditengah pulau, dekat kebun yang akan dibuka. Hmm...

Kami pamit. Merasa menyesal karena dikejar waktu. Seharusnya kami bisa cari-cari informasi lebih mendalam jika punya lebih banyak waktu. 

Menuju Selat Panjang -DumaiKetika sampai pelabuhan, suasana sudah ramai. Kami beli tiket ke Selat Panjang dan rencananya, dari Selat Panjang melanjutkan ke Dumai. Udara terasa menyengat. Kapal belum datang. Karena tak sempat sarapan, saya membeli makanan ringan di toko seberang dermaga. Pemiliknya keturunan Tionghoa dan sama seperti di Tanjung Batu maupun Alai, warungnya penuh sesak dengan aneka jajanan dan hampir semuanya produk Malaysia. Yah, begitulah. Agaknya orang-orang di pulau ini selalu dicekoki makanan produk negeri tetangga sejak kecil. Mungkin karena lebih dekat sehingga lebih murah.

Udara terasa panas berkeringta. Agak lama baru fery datang. Cukup nyaman dan besar. Lebih besar daripada kemarin yang dari Tanjung Batu. Sejak kemarin, saya menandai bahwa transportasi di lautan ini tak mengecewakan. Semuanya cukup layak dan nyaris selalu tepat waktu. Jauh lebih tepat waktu daripada di darat karena terlambat kadang berarti harus menunggu hingga hari berikutnya. Yang saya agak heran adalah melihat cukup banyak di antara mereka yang selalu menenteng tas besar hingga koper ketika bepergian.

Perjalanan ke Selat Panjang tak terlalu nyaman. Fery terus berguncang-guncang, sepertinya agak kandas menyusuri pinggiran. Berhenti sebentar-sebentar di dermaga-dermaga kecil pulau-pulau sekitar, menurun-naikkan satu dua penumpang. Hmm, jadi seperti itulah sepertinya kehidupan di pulau...

Sekitar dua jam kami sampai di Selat Panjang. Selat Panjang merupakan ibu kota Kabupaten Meranti, kabupaten yang terbilang baru, pemekaran dari Bengkalis. Kotanya cukup ramai, banyak-banyak kapal yang bersandar. Sayang, kami tak ada alasan untuk menyinggahi pulau ini dalam waktu agak lama. Turun dari feri kami langsung ditodong tukang becak motor dan ojek untuk ke pelabuhan besar mencari kapal ke Dumai. Kami memutuskan naik becak saja, becak mesin. 15 ribu. Ketika melintasi pusat kota, suasana kota ini terlihat cukup menyenangkan.

Pelabuhan Selat Panjang cukup besar, bahkan memiliki pelabuhan internasional. Sayang, suasananya kumuh dan pengap. Toiletnya juga buruk dan jorok. Bayar pula. Seperti di terminal lah.

Kapal agak terlambat beberapa menit. Kami menunggu dengan perut lapar. Tapi tak tahu bagaimana mengakses makanan, karena khawatir terlambat jika keluar.

Kapal menuju Dumai yang akan kami tumpangi adalah kapal dari Batam. Jenis Jet Foil yang cukup besar dan nyaman. Kursinya empuk dan terkesan bersih, tapi sepertinya ada masalah dengan AC karena ruangan terasa panas.

Perjalanan dari Selat Panjang menuju Dumai sekitar dua jam.Saya tak terlalu menikmati perjalanan karena didera lapar. Memang ada penjual makanan yang menjajakan nasi goreng, nasi ayam dan popmie, tapi semuanya tak mengundang selera. Pengalaman dari membeli makan di perjalanan seperti ini seringkali rasanya sangat pas-pasan dan kadang basi juga.
Dumai yang industrialis

Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kami sampai di Dumai. Pelabuhannya besar dan penuh kapal-kapal besar yang bersandar. Kami tanya-tanya dimana mencari kapal untu ke Rupat?
    "Biasanya kapal bisa dipanggil kesini," kata abang-abang di dermaga. Apalagi berbarengan dengan kami dari Bengkalis adalah beberapa orang berseragam, pejabat dari Bengkalis sepertinya. Ketika boat datang, kami berdesakan masuk. Kami tak mendapat tempat duduk. Banyak penumpang lain yang juga tak mendapat tempat duduk. Dilihat di peta, Dumai-Rupat tak terlalu jauh jadi saya pikir 1 jaman sudah akan sampai, jadi tak masalah berdiri. Ternyata, sekitar 3 jam baru sampai di Rupat! 

Akhirnya, Pulau Rupat: Titi Akar
Kami turun di pemberhentian terakhir, Titi Akar. Dermaga yang kecil dan sepi. Berdasarkan hasil mengobrol di kapal, disarankan kalau kami menemu Pak Batin jika ingin mencari informasi tentang Suku Akit. Dalam perjalanan mencari rumah Pak Batin, kami singgah di warung bakso yang kebetulan ada di pinggir jalan, untuk mengisi perut. Sembari makan, kami mengajak ngobrol si ibu pemilik warung yang bicara dalam logat Melayu kepulauan yang kental.
    "Ombaknya sedang besar sekarang." Katanya. "Biasanya halus saja."
    Saya memandang sekolahan di depan kami. Sebuah bangunan SD seperti pada umumnya. Ramai oleh anak-anak bermain bola. Saya ingat tulisan di sebuah buku yang saya baca, yang ditulis para anak muda dari kota yang dikirim ke pelosok-pelosok untuk mengajar. Salah satunya di tempat ini dan bagaimana dalam buku tersebut digambarkan bahwa tempatnya begitu terpencil dan bagaimana anak-anak Suku Akit mengalami banyak diskriminasi. Pemandangan di depan saya langsung membuyarkan bayangan saya.
Add caption

Seorang abang-abang berpakaian rapi muncul, mengajak si Ibu berbahasa Jawa. Saya dan teman saya langsung berbagi pandang. Jadi dia ibu itu ternyata orang jawa? Nah, lho...

Si Abang lalu bercerita kalau dia orang Bengkalis, tapi istrinya orang Jawa jadi dia belajar bicara Bahasa Jawa. Dia seorang guru di Hutan Samak. Tempat ini juga pernah  saya dengar di buku yang saya baca.
    "Apakah tempatnya terpencil?" tanya saya. Dari cerita si mas, ternyata sepertinya tidak. Meski kesana harus menyebrang pakai perahu setiap pagi.
    "Bagaimana akses pendidikan di sini?" tanya saya lagi.
    "Di Sempur. Tapi ada kelas jauh di sana." ujarnya. Lalu setelah ngobrol ini itu, kami bertanya dimana bisa menginap. Si Abang menyarankan agar kami pergi saja ke rumah Kades, karena ada penginapan desa untuk tamu-tamu yang datang. Tapi lapor ke Kades dulu.

Usai makan, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Batin. Eh, ternyata ketemunya malah rumah Pak Kades duluan. Ya sudah. Kebetulan Pak Kadesnya juga sedang ada di rumah, sekalian saja kami singgah. Kami dipersilakan masuk dan saya mengamati suasana rumah dengan banyak ornamen Tionghoa. Ruang tamunya penuh foto-foto yang dibingkai.

Suku Akit, Mereka Yang Bertugas Membuat Rakit
Pak Kades keluar menyambut kami. Seorang lelaki berkulit coklat dan mata agak sipit, tapi garis wajahnya lebih Melayu daripada keturunan. Keramahannya bercampur kegusaran yang wajar dikunjungi tamu tak dikenal seperti kami. Kami pun segera menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia tampak paham dan tanpa banyak kami tanya, mulai mulai cerita tentang sejarah Suku Akit. Tanpa berputar-putar seperti orang-orang yang kami temui sebelumnya, dia dengan penuh percaya diri mengaku bahwa dirinya adalah Suku Akit. Sepertinya, beliau cukup bangga dengan identitas dirinya. Dan ini melegakan. Kami pun jadi lebih leluasa untuk bertanya.

Leluhurnya, Suku Akit konon adalah sekelompok orang yang ditugaskan untuk membuat rakit oleh Kerajaan Siak dulu. Selain itu ada juga Ia bercerita tentang Batin Panjang yang merupakan salah satu tokoh yang ikut berperan melawan penjajahan Belanda. Dia mengatakan bahwa banyak Suku Akit yang kemudian menikah dengan pendatang keturunan Tionghoa, dan kemudian ikut memeluk agama Budha. Termasuk dirinya.

Seperti yang dikatakan si Abang di warung bakso, kami ditawari menginap di Wisma desa. Dia menelpon bawahannya untuk mengantar kami ke penginapan karena hari beranjak petang. Dia menyarankan agar besok saja kami ke Pak Batin, karena malam-malam tak ada listrik. Listrik sedang bermasalah. Kami setuju dan pamit.

Kami diantar ke penginapan oleh seorang gadis remaja berwajah sangat oriental yang agak malu-malu tapi ramah. Namanya Ros, baru kelas 2 SMP. Kami berjalan bersisian dan rambutnya menguarkan aroma dupa. 

Penginapan yang dimaksud adalah bangunan besar, bertingkat dan tertutup. Dari luar, terkesan kurang artistik. Tapi ketika masuk, ternyata kamarnya sangat layak. Berlantai keramik, bersih dengan kamar mandi dalam pula. Di dekat pintu masuk, ada guratan tulisan Cina dan jumlah uang dalam ringgit. Ternyata itu nama-nama penyumbang bangunan ini. Kenapa dalam ringgit? Saya tak sempat bertanya. Apapun, penginapan itu cukup mewah untuk sebuah penginapan desa. Konon ini berakaitan dengan rencana menjadikan Titi Akar sebagai salah satu daerah tujuan wisata.

Setelah meletakkan barang-barang, kami keluar untuk melihat suasana di dermaga menjelang petang. Ada bangku-bangku kayu di sana. Dari situ, kami bisa melihat matahari yang hampir tenggelam di balik pulau dan suasana terasa begitu permai. Rasa penat menempuh perjalanan seharian sedikit menguar. Saya merasa bersyukur karena mendapat kesempatan mengunjungi tempat yang demikian indah seperti ini.
Dermaga di tepi selat tempat bisa menikmati senja

Malam datang. Kami diundang untuk makan malam di salah satu rumah perangkat desa. Sebuah keluarga muda pasangan Melayu-Jawa. Kami disuguhi hidangan makan malam sederhana tapi cukup lezat. Ditambah lagi tuan rumah yang ramah. Kami mengobrol panjang lebar. Sang istri lebih ramah sementara suaminya meski juga cukup ramah tapi lebih pendiam. Kedua-duanya adalah guru SD. Mereka bercerita tentang Orang Asli.     "Mereka biasa saja, seperti orang luar." Ujar si Ibu. Tapi memang ada juga stigma ‘primitifisme’ terutama dari ornag luar. Si Ibu pernah pernah mengajak salah satu muridnya yang merupakan Suku Akit dan banyak orang yang terkejut mengetahui bahwa ternyata Suku Akit sama saja dengan anak-anak kebanyakan.

Sang Suami yang walaupun keturunan Jawa tapi sudah lahir di Rupat, menceritakan ketika ia kecil dan berteman dengan anak-anak Suku Akit. Mereka kala itu juga sudah sekolah tapi pakaian mereka agak aneh dan tas mereka dari plastik. Itu tak penting. Banyak anak dari suku mayoritas di daerah terpencil juga berpakaian alakadarnya. Tapi yang jelas anak-anak Suku Akit ini sejak 30 tahunan yang lalu sudah mengenal sekolah. Tak urung saya pun membandingkan dengan Suku Orang Rimba yang baru beberapa mulai diperkenalkan dengan sekolah akhir-akhir ini.

Bagaimana dengan di sekolah? Diskriminasi dari anak-anak lain? Kata si Bapak sih biasa-biasa saja. Juga si Ibu yang sekarang mengajar banyak anak-anak Suku Akit.

Setelah cukup lama mengobrol, kami pamit untuk pulang ke penginapan. Saya membersihkan badan yang lengket oleh keringat dan istirahat. Udara terasa sangat panas dan bunyi mesin diesel begitu berisik. Tapi untungnya ada kipas angin yang membuat saya bisa tidur nyenyak. Namun, tengah malam saya terbangun. Listrik sudah dipadamkan dan tubuh saya kuyup oleh keringat.
(bersambung)

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (2)

Menyinggahi Pulau Alai
Keesokan harinya, teman saya ternyata sudah membuat janji ketemu dengan bapak-bapak dari rombongan yang kami temui di kapal kemarin. Si Bapak akan mengajak kami menemui Suku Asli yang konon ada di Pulau Alai, pulau kecil di seberang Tanjung Batu. Janjiannya pukul 7 pagi, karena kami rencananya akan mengejar kapal ke Dumai menjelang siang. Di luar mendung dan saya agak malas bangun, tapi bagaimanapun harus. Karena sedianya langsung check-out, saya mengemasi barang dan turun ke lobi. Sembari menunggu teman saya, saya pesan nasi lontong untuk sarapan dari warung sebelah yang nampak semarak.

Di meja resepsionis, selain lelaki tunawicara semalam, ada juga seorang perempuan berblazer kuning. Rapi sekali dia, dan cukup ramah. Mungkin dia bertugas siang hari, sementara lelaki Tegal semalam, bertugas malam hari.

Lelaki tunawicara menggerak-gerakkan tangannya, mengajak saya bicara. Saya pikir dia bertanya: apa saya mau ke pulau di seberang? Saya bilang iya. Dia tampak ramah.  Badannya yang tegap dan gempal seperti anggota gangster, sungguh kontras dengan ketunawicaraannya. Seorang lelaki tua berkulit terang bermata sipit muncul, sepertinya baru dari jalan-jalan. Mungkin dia pemilik penginapan ini. Lalu si perempuan berblazer kuning berjalan melintas di depan saya dan...saya terkejut melihat bahwa sebelah tangannya tak ada! Namun dia nampak santai dan percaya diri saja dengan semua itu. Entah bagaimana, tiba-tiba saya merasa tertohok dan ingin menangis. Apakah penginapan ini mempekerjakan orang-orang difable? Tiba-tiba saya ingin menulis sebuah cerita tentang mereka! Saya mengeluarkan buku, membuat draft. Tapi saya kesulitan membuat narasinya, mungkin karena suasananya kurang kondusif.

Teman saya muncul. Karena ribet harus menenteng-nenteng ransel yang berat, kami memutuskan untuk menitipkan tas kami di resepsionis saja. Tokh kami masih harus kembali ke pulau ini lagi nanti untuk mencari kapal ke Dumai.

Kami ke pelabuhan, yang letaknya cuma beberapa meter dari penginapan. Saya hanya menenteng pelampung. Maklum, saya tak bisa berenang dan punya pengalaman buruk dengan air. Hihi.

Kami janji ketemuan dengan si Bapak di pelabuhan, tapi ketika teman saya menelponnya, ternyata dia meminta kami menemuinya langsung di Alai, yang hanya terbentang beberapa meter di depan. Kami mencari angkutan penyeberangan, sudah terlambat. Karena kami ingin cepat-cepat, kami charter saja. Rp.20.000 dengan perahu kayu kecil yang biasa kami sebut pompong.

Perahu melaju pelan, melintasi perairan selat yang kecoklatan. Cuaca mendung dan saya agak khawatir kalau-kalau kehujanan.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di Pulau Alai. Si Bapak sudah menunggu di kedai kopi dekat dermaga bersama beberapa lelaki. Hm, khas desa-desa Melayu, pagi-pagi sudah berkerumun di kedai kopi.

Si Bapak terkesan lebih muda dan ramah dari yang kemarin kami temui. Kami menyalami lelaki yang lain, dan langsung ditodong dengan pertanyaan: untuk apa? Kami berusaha menjelaskan sebaik mungkin supaya bisa diterima dengan baik. Beberapa nampak antusias. Mereka sih sepertinya mengira kami wartawan dan tak terlalu berprasangka. Itu agak menguntungkan. Mereka mulai menceritakan tentang batu-batu legenda di pulau ini. Kami menanggapinya dengan tak terlalu antusias karena tujuan kami memang bukan untuk berwisata dan waktu yang kami miliki juga terbatas.

Sambil mengobrolkan hal basa basi yang tak terlalu penting, saya mengamati seorang lelaki tua yang berjalan sempoyongan beberapa meter di depan kami. Menurut para lelaki itu, lelaki tua itu gila. Kecelakaan sewaktu bekerja di Malaysia membuat kepalanya harus dioperasi. Mungkin ada yang harus diambil dari kepalanya dan syaraf otaknya setengah tak berfungsi. Dan dia tak sendiri. Ada juga lelaki tua yang lain, sepertinya keturunan Tionghoa yang juga bertingkah seperti orang gila. Keduanya mondar mandir saja di jalanan utama desa, tertawa-tawa sendiri...ini seperti sebuah dunia yang aneh. Kehidupan macam apa yang dijalani oleh orang-orang di pulau ini?

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, si Bapak akhirnya mengantar kami menemui Suku Asli. Hanya berjalan beberapa meter saja, menyusuri jalan tanah yang di kanan kiri tampak semrawut oleh rumah-rumah kayu panggung yang terlihat lembab, pohon-pohon kelapa, tumpukan tempurung kelapa. Konon, kopra adalah salah satu sumber penghasilan penduduk di sini. Sekilo bisa Rp. 4000. Sementara sawit cuma Rp. 600 perak, karena mungkin transportasinya susah.

Kami berhenti di depan sebuah rumah kayu yang cukup rapat dan reyot. Dari rumah sebelah, terdengar suara anak2 bernyanyi.' Ini rumah orang Asli, kata si Bapak yang tampaknya sudah cukup kenal dengan si pemilik. Kami masuk, disambut ramah si pemilik rumah. Sama sekali tak seperti yang kami bayangkan. Kami kira akan bertemu sekelompok orang dengan penampilan yang khas ternyata...mereka tak ubahnya seperti orang desa pada umumnya.

Mereka cukup ramah menyambut kami. Ada Pak Simon,si kepala keluarga, anak perempuannya, tiga menantu lelakinya, satu menantu perempuannya...rumahnya memang cukup sederhana, tapi cukup layak dan bernuansa ‘desa.’ Pak Simon berkulit gelap, demikian juga kaum lelaki yang lain. Mungkin karena paparan matahari terkait pekerjaannya sebagai nelayan. Dua  menantunya berwajah seperti keturunan India benggali.

Pak Simon terkesan cukup hangat, meski agak pendiam dan pemalu. Dia hanya sering tersenyum-senyum setiap ditanya, sementara dua menantunya yang aktif menjawab. Mereka mengaku sebagai Suku Asli, asalnya dari Tanjung Batu. Apa mereka kenal Suku Akit? tanya kami. Tidak. Kata mereka. Mereka hanya tahu bahwa mereka Suku Asli. Pekerjaan mereka nelayan. Sejak dulu kala. Salah satu menantu Pak Simon, mengatakan kalau dia kadang juga berburu babi di pulau sebelah.

Di sebelah, terdengar anak-anak menyanyikan lagu-lagu pujian. Mereka sedang mengikuti Sekolah Minggu. Ada seorang pendeta dari Medan, katanya. Di tengah obrolan, si pendeta ini muncul, seorang perempuan berpenampilan necis dan berwajah ala misionaris. Melihat kami, tersirat pandangan penuh selidik. Sejak lima tahun belakangan kelompok Pak Simon aktif sebagai kristen yang taat, meski sebenarnya mereka sudah beragama cukup lama.

Lalu kami bertanya, dimana suku yang masih benar-benar asli? Di Penyalai, kata mereka. Si Menantu bilang, bahwa dia pernah singgah di sana dan para perempuan masih bersembunyi ketika melihat orang luar datang. Mereka berkebun untuk diri sendiri dan cenderung ‘belum gaul’, istilah mereka. Kami antusias mendengar cerita si Menantu. Inikah suku yang kami cari? Saya membayangkan sekelompok masyarakat asli yang masih tertutup dan masih setengah bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Kami harus kesana! Tapi tidak ada perahu yang sampai kesana, kecuali pagi jam 7 pagi.
    "Coba saja charter," saran si Bapak, demi mendengar ini, ingin ikut.
    "Berapa charter kesana?"
    "Dua ratus ribuan mungkin?" Hmm, agak mahal, tapi masih terjangkau lah.

Cuaca masih mendung ketika kami keluar dari rumah Pak Simon. Kami yakin bahwa kami bisa mencharter boat. Kami pun memutuskan untuk mampir ke warung di pinggir jalan, meski kecil tapi nampak penuh sesak. Sebagian barang-barang yang dijual adalah produk Malaysia, terutama aneka makanan ringan. Pemiliknya, keturunan Tionghoa. Kami membeli ini itu. Saya membeli satu kilo pisang, beberapa bungkus roti, maksudnya untuk bekal kalau jadi pergi karena mungkin di Penyalai kami tak akan banyak menemukan toko. Imaji saya tentang Penyalai adalah pulau yang sepi dan masih dilingkupi banyak hutan.

Sementara kami belanja, si Bapak mencari informasi soal charter boat. Ternyata: 800 ribu! Damn! Itu sangat mahal, dan kami pikir it’s not that worthed. Tapi si Bapak mengatakan, bahwa masih ada boat ke Penyalai jam 2 siang. Tapi biasanya tak akan sampai di lokasi Suku Asli. Masuknya bisa naik ojek. Kami mempertimbangkan alternatif itu, mengucap terimakasih dan pamit.

Kami kembali ke Tanjung Batu dengan perahu reguler, tarifnya cuma 5000. Karena ingin memastikan boat ke Penyalai, kami minta diantar ke dermaga dan  menambah ongkos Rp. 5000. Masih pukul 10 pagi, dan kami berharap ada boat lebih awal. Ternyata hanya tinggal yang jam 1 siang. Kami membatalkan rencana ke Dumai hari ini dan memutuskan ke Penyalai. Mengisi waktu, kami ambil barang di hotel dan berniat mencari informasi dari orang-orang sekitar.


Akhirnya kami mendapat informasi tentang keberadaan Suku Akit di pulau ini. Ada seorang juragan kaya yang konon keturunan Suku Akit, meski berayah keturunan Tionghoa. Info ini diperkuat dengan pernyataan seorang informan kalau dia dulu satu sekolah dengan si juragan dan si juragan ini sering diejek 'Akit.' Kami diarahkan untuk pergi ke bagian lain pulau ini, yang konon merupakan tempat bermukim Suku Akit. Nama tempatnya, Batu Dua.

Kami minta antar ojek ke sana. Agak jauh ke pinggiran. Melintasi kota utama yang terlihat ramai. Ya, meski kota kecamatan, Tanjung Batu memang cukup ramai karena sepertinya, menjadi pusat dari pulau-pulau kecil sekitar.

Batu Dua dan Cerita Kepahlawanan Pak R
Batu Dua merupakan desa yang bersuasana cukup urban karena memang jaraknya dekat dengan kota kecamatan. Di sana, kami langsung menemui Pak H, yang disebut sebagai keturunan Suku Akit. Pak H mengatakan kalau ibunya memang keturunan Suku Akit, tapi dia sendiri sama sekali tak paham tentang Suku Akit. Ibunya yang bisa ditanya-tanya juga sedang pergi. Dia kemudian menawarkan agar kami ke Pak R, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat yang juga keturunan Suku Akit.
Kami setuju dan diantar ke tempat Pak R.

Pak R menyambut kami dengan sedikit canggung. Wajahnya khas, mengesankan 'Suku Asli.' Tapi ketika kami tanya tentang Suku Akit, nada suaranya agak naik dan dia langsung menjelaskan panjang lebar, bahwa dirinya dan orang-orang di tempat itu bukan Suku Akit, meski orang luar menganggap mereka Suku Akit. Mereka adalah keturunan (maksudnya, Tionghoa), kata Pak R. Nenek moyangnya dalah marga Se Ng dari Tiongkok yang pergi meninggalkan Tiongkok karena tak mau dijajah Belanda. Saya dan teman saya berbagi pandang: memang Cina pernah dijajah Belanda? Meski begitu, kami mendengarkan saja cerita Pak R. Konon, si Ng ini pergi, melewati Singapura, membunuh musuh-musuhnya dan kemduian sampailah di pulau ini. Demikianlah cerita Pak R.
    "Bagaimana dengan Suku Hutan?" tanya kami, berusaha mencari penegasan istilah.
    "Mereka yang hidup di hutan-hutan, di Rupat." ujar Pak R. "Yang masih ‘primitif’, telinganya panjang-panjang...,"
    Saya mengamati foto-foto yang dipajang. Foto tua mungkin orang tua Pak R. Wajahnya seperti orang Melayu kebanyakan. Saya mengamati wajah Pak R. Wajahnya juga sangat Melayu dan rambutnya cenderung ikal, nyaris keriting. Karena sudah siang, kami pamit. Dugaan kami, sepertinya Pak R berusaha menyembunyikan jati dirinya. Dia Orang Asli, tapi tak mau mengakui, mungkin ini terkait stigma negatif yang sering dilekatkan pada suku-suku minoritas seperti ini.

Menuju Pulau Penyalai
Kami kembali kepelabuhan untuk mengejar kapal ke Penyalai. Kapalnya sederhana saja, berukuran sedang dan cukup nyaman. Saya terkantuk-kantuk karena bosan. Di depan kami, dua anak muda berwajah Tionghoa terus mengoceh sepanjang jalan dalam bahasa Mandarin yang membuat suasana seolah sedang di antah berantah.

Dua pertiga perjalanan, saya tertidur. Kadang terbangun oleh guncangan kapal menghantam ombak. Sekitar dua jam kemudian kami sampai. Penyalai. Meski tak seramai Tanjung Batu, tapi juga tak "seterbelakang" yang saya bayangkan. Seperti wajah pulau-pulau di sini, di depan dermaga adalah ruko-ruko kecil, meski terkesan lebih sepi dan terbengkalai. Kami memutuskan singgah di warung kecil untuk mencari makan, sambil mencari2 informasi tentunya.

Di sini, istilah Suku Asli cukup familiar. Mereka menempati salah satu bagian belakang pulau ini, Tanjung Medan. Untuk kesana, kami bisa naik ojek, sekitar sejaman. Untuk menginap, ada penginapan milik Pak Haji di depan menara komunikasi. Tarifnya Sekitar 50 ribu, tapi ada kamar mandinya. Bersih, promo mbak penjual jus.

Karena pengalaman di Tanjung Batu kami begitu banyak penginapan cukup bagus yang murah meriah bertebaran, sedikit banyak saya membayangkan penginapannya semacam itu. Ternyata... penginapannya adalah tempat yang memang sangat pas disebut "penginapan" karena memang sangat sederhana. Sebuah rumah kayu yang terkesan muram dan usang. Sekadar kipas angin juga tak ada. Meski tak kotor, tapi juga tak bersih. Tapi karena itu satu-satunya, kami tak punya pilihan. Setelah meletakkan barang, kami segera mencari ojek ke Tanjung Medan. Berdasarkan informasi, kami disarankan untuk menemui Pak K, salah seorang tokoh masyarakat yang merupakan Suku Asli.

Ongkos ojeknya tak terlalu mahal, si Abang ojek minta 20 ribu saja pulang pergi. Kami menelusuri jalanan yang dicor yang tak sepenuhnya bagus. Di banyak bagian sudah retak-retak, miring-miring, mungkin karena struktur tanah di bawahnya yang terlalu lembek.Di pulau ini, tanahnya adalah tanah gambut. Air kecoklatan mengalir dari parit di kanan kiri jalan. Lahan-lahan terbuka nampak berair dan hanya ditumbuhi rumput2 liar. Rumah-rumah sederhana berderet, sebagian mash kayu. Aroma bunga pinang semerbak, aroma khas desa-desa Melayu. Pohon-pohon kelapa menjulang, memberi keteduhan sekitar. Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa permepuan yang disebut Abang Ojek sebagai Orang Asli. Mereka berjalan kaki, penampilannya cukup khas tapi juga tak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan.
Setelah setengah jaman, kami akhirnya sampai di rumah Pak K. Dan yah, tak seperti yang saya bayangkan tentang "Rumah Orang Asli." Rumah kayu berbentuk panggung sederhana, tapi sudah terkesan umum juga. Dan yang lebih mengejutkan, kami disambut anak muda berlogat jawa. Usut punya usut, dia anak tiri Pak K. Jadi Pak K ini menikah dengan perempuan Jawa. Sedangkan Pak K nya sedang tak ada di rumah, jadi kami disarankan menemui Pak M, kakaknya Pak K. Kami setuju.

Rumah Pak M hanya di seberang jalan. Rumah panggung yang besar, paling besar di sekitar tempat itu. Entah kenapa, Pak M kurang ramah menyambut kami, meski begitu, tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Dia bilang memang mereka Suku Asli. Dia bilang memang kelihatannya sudah maju, tapi sebenarnya secara ekonomi belum. Mereka banyak jadi buruh untuk kebun jagung milik warga keturunan. Lalu dia mulai curhat, anaknya baru lulus SMA dan dia bingung karena tak bisa menyekolahkan anaknya yang minta kuliah. Dia menunjuk anaknya yang berdiri di depan rumah. Anak muda yang nampak bersih dengan penampilan khas anak muda jaman sekarang. Hmm...buyar sudah bayangan "ketradisionalan" Suku Asli di benak saya.

Mereka sudah punya akses ke pendidikan sejak lama, tak beda dengan masyarakat umum. Soal ekonomi? Yah, bahkan suku mayoritas pun memiliki masalah itu...

Lalu kami menyinggung soal Suku Akit, secara hati-hati saja karena pengalaman dengan Pak R. Pak M malah mengatakan kalau orang-orang Suku Asli di tempatnya memang sebenarnya disebut Suku Akit. Ada hubungannya dengan di Rupat? tanya kami. Pak M mengiyakan. Konon secara nenek moyang mereka dari sana.
    "Bagaimana bisa kesini?" tanya kami lagi. Dia pun tak tahu. Dia sudah generasi kelima di pulau ini dan tak ada kontak apapun dengan yang di Rupat. Hmmm... agak rumit juga. Bagaimana ya mencari jejak sejarah orang-orang ini? Karena sudah sore, kami pamit.

Kami sampai penginapan menjelang petang. Kami makan mie instan, yang dijual di lantai bawah. Usai makan, karena badan lengket oleh keringat, saya memutuskan untuk mandi.  Meski tadi saya melihat bahwa air di sini adalah air gambut, saya pikir di penginapan tersedia air tawar biasa. Tapi ketika masuk ke kamar mandi, ternyata airnya pekat kecoklatan. Air gambut! Teman saya mengeluh, merasa jijik dan 'tak tega' menggunakan air itu. Tapi saya nekad mandi saja. Apa buruknya sekali dua kali, orang-orang di sini bahkan harus menggunakan air seprti ini setiap hari!

Usai mandi, masih terlalu dini untuk tidur sebenarnya, tapi saya tiduran saja. Teman saya yang memang agak penyakitan, mengaku kelelahan dan ingin segera istirahat. Sebenarnya saya tak terlalu lelah, tapi tak tahu juga apa yang bisa dilakukan di tempat yang terasa "kering" seperti ini. Tak ada TV untuk hiburan. Di luar, suara rekaman burung walet bercerecau dengan berisik. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya jatuh tertidur.
(bersambung)

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (1)

Awal Perjalanan: Menuju Batam
Ini semacam kebetulan. Meski saya ragu, apa ada yang benar-benar namanya kebetulan. Ketika tiba-tiba lembaga tempat saya bekerja berencana melakukan penelitian kecil-kecilan pada suku-suku Asli minoritas di Sumatera, yang tersebar di sekitar Riau dan Kepulauan Riau. Tim saya, yang terdiri dari saya dan seorang teman, ditugaskan untuk melakukan penelitian pada Suku Akit.

Saya sendiri baru mendengar nama ini dari sebuah buku. Informasinya juga sekilas saja. Tak ada gambaran jelas dimana sebenarnya kelompk terbesar suku ini bermukim. Coba-coba browsing di internet dan bertanya pada teman-teman yang bermukim di sekitar Riau, ternyata juga tak banyak membantu. Ada yang menyebutkan di Kab. Pelelawan, Riau. Ada yang mengatakan di Pulau Rupat, Bengkalis. Ada majalah lama di kantor saya yang memuat hasil penelitian tentang suku-suku kecil ini, termasuk suku Akit, beserta peta persebarannya, dan ternyata Suku Akit tak hanya terdapat di Pulau Rupat, tapi juga di pulau-pulau sekitar. Nah, lho...

Karena informasi yang masih kabur, bingung memulai dari mana, akhirnya kami sepakat untuk ke Pulau Rupat. Ada dua alternatif rute perjalanan dari Jambi: Jambi-Pekan Baru-Dumai (darat), Dumai-Rupat (laut). Rute kedua: Jambi-Batam (udara), Batam-Dumai-Rupat (laut). Dan kami sepakat mengambil rute yang kedua karena berpikir lebih efektif.

Kami mendapat info kalau kapal Batam-Dumai beroperasi dua kali sehari, pukul 7 pagi dan 2 siang. Pesawat kami pukul 12 siang dan sampai Batam pukul 1 siang, jadi kami masih bisa mengejar kapal yang pukul 2. Begitu keluar bandara, kami lekas-lekas mencari taksi ke pelabuhan.Taksinya tak pakai argo. Tarifnya: Rp. 90.000,-.Sebenarnya agak terlalu mahal karena jaraknya tak terlalu jauh. Tapi kami tak punya pilihan karena karena dikejar waktu, selain itu juga tahu informasi tentang  angkutan umum rute bandara-Sekupang.

Sampai di Sekupang, kami langsung mencari tiket kapal ke Dumai. Ini juga kedua kalinya saya menginjakkan kaki di Sekupang. Pada kesan pertama, saya tak menyukai tempat ini karena terlalu berisik dan annoying. Kali ini, ternyata sama saja. Para penjual tiket tak henti berteriak--benar-benar berteriak--ribut sekali.
    "Tak ada. Adanya cuma besok pagi, jam 7-an." jawab si penjaga loket ketika kami tanya tiket ke Dumai. Kami jadi agak bingung karena rencana semula jadi berantakan. Rasanya terlalu buang-buang waktu kalau harus menginap di Batam. Pun ketika kami tanya penginapan di dekat-dekat pelabuhan, katanya tak ada. Adanya hotel besar, itu pun agak jauh. Mengingat bahwa kapal jam 7 pagi, menginap di tempat yang agak jauh dari pelabuhan sama sekali bukan ide bagus. 

Bingung, akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung di dekat pelabuhan. Kami pesan minum dan mulai tanya-tanya. Si Ibu cukup ramah mengatakan kalau kami bisa menginap di tempatnya, alakadarnya memang. Tapi kami tak keberatan dengan penginapan alakadarnya. Kami buka-buka peta, dan berdiskusi: bagaimana kalau mengunjungi pulau terdekat? Ada Tanjung Balai di seberang sana. Sepertinya sih tak ada yang terlalu menarik, tapi lebih baik mengunjungi tempat baru daripada bengong. Apalagi setelah diperhatikan lagi, ada pulau kecil dekat Tanjung Balai yang dipeta diarsir sebagai lokasi Suku AKit, Pulau Kundur. Lalu datang abang-abang yang mungkin suami si Ibu, dan kami mulai tanya-tanya soal Suku Akit. Tapi lagi-lagi nama Suku Akit tak familiar, jadi kami tanya Suku Asli. Karena berpikir sama saja konotasinya. Kami tanya apa di Pulau Kundur ada Suku Asli? Si Abang mengiyakan, meski sepertinya tak terlalu meyakinkan.
    "Apa masih ada transport kesana?" tanya kami.
    "Masih, terakhir jam 4!" jawab si Abang. Saya melihat jam. Hampir pukul 4. Tanpa babibu, kami mengucap terimakasih dan bergegas.

Menyinggahi Tanjung Batu, Pulau Kundur
Kami membeli tiket, lalu setengah berlari ke dermaga. Sampai di dermaga, ternyata kapalnya sudah penuh. Seorang lelaki bermata sipit yang mungkin pemiliknya teriak-teriak kalau sudah penuh dan jangan ada yang naik lagi. Kapal pun segera melepas sauh. Kami bengong. Beberapa penumpang yang nasibnya sama dengan kami menggerutu. Saya merasa bingung dengan situasi itu. Bagaimana tiket sudah di tangan tapi ternyata tak bisa menjaminkan bisa berangkat? Jadi penjualan tiketnya bukan berdasar ketersediaan kursi ya? Parah.

Untunglah, ternyata bukan berarti tiket kami hangus. Kami bisa menukarkannya kembali. Beberapa orang yang bernasib sama dengan kami, menyarankan untuk mengganti tiket ke Tanjung Balai saja, mungkin dari sana masih ada kapal yang ke Pulau Kundur. Gambling sih, tapi kami ambil ide itu. Mentoknya bermalam di Tanjung Balai saya pikir tak lebih buruk daripada cuma bengong di Batam.

Teman saya menukar tiket. Kami menunggu beberapa menit dan kapal berikutnya datang. Batam-Tanjung Balai cuma memerlukan waktu dua jam dengan kapal cepat. Kondisi kapalnya lumayan, kecuali bahwa ac-nya rusak, tapi kemudian pulih di tengah jalan. Saya merasa penat dan mencoba tiduran, tapi tak bisa karena anak-anak di belakang saya berisik sekali.Sementara teman saya memilih duduk di luar karena katanya bisa mengambil foto dengan leluasa.
Tanjung Balai Karimun (photo by HA)

Tiba di Tanjung Balai, saya cukup takjub juga melihat bangunan-bangunan menjulang, menandai kota yang cukup besar. Tadinya saya kira, Tanjung Balai hanya pulau kecil saja yang membosankan, tapi ternyata terlihat cukup megah.

Di kapal, teman saya mendapat kenalan orang dari Tanjung Batu, Pulau Kundur. Mereka berombongan, katanya baru menghadiri semacam majelis Melayu begitu. Karena berombongan, mereka bisa mendapatkan kapal dan menawari kami kalau kami mau barengan. Tentu saja kami mau! Kami menunggu sekitar 15 menit, lalu datanglah speed boat berukuran sedang yang sedianya akan membawa kami ke Pulau Kundur.
Perjalanan menuju Tanjung Batu (Photo By HA)

Perjalanan ke Tanjung Balai-Tanjung Batu cuma sekitar 1 jam, melintasi laut tenang, membelah pulau-pulau kecil yang dinaungi bakau. Tampak indah permai dalam pendar matahari sore yang keemasan. It’s great! Saya pikir, saya benar-benar mulai menyukai perjalanan ini!

Sudah menjelang petang sampai di Pelabuhan Tanjung Berlian, Pulau Kundur. Saya pikir, rombongan yang bersama kami tadi akan sedikit basabasi sama kami ketika turun mengingat kami tak tahu mau kemana, tapi ternyata berpisah begitu saja dan kami harus mengandalkan diri sendiri.
Pelabuhan Tanjung Berlian, Pulau Kundur (photo by HA)

Keluar dari dermaga adalah deretan ruko berornamen Tionghoa yang berjejer di kiri kanan jalan, memanjang dan lengang karena sudah pada tutup. Kami tanya-tanya ternyata ini bukan kota utamanya. Tapi masih jauh. Sayangnya sudah tak ada kendaraan karena sudah terlalu sore. Bersama kami seorang anak muda dan ibu muda yang kemudian mengajak kami nyarter angkot. Kami setuju.

Di dalam angkot, ada bapak-bapak yang cukup ramah dan mengajak kami mengobrol ini itu. Petang sudah datang dan tak banyak yang bisa dilihat di kanan kiri jalan. Hanya jalanan yang mulus, rumah-rumah yang tak terlalu padat, hamparan pekarangan yang agak bersemak...kesan desanya kuat sekali kecuali bahwa jalan yang kami lalui sangat mulus.

Sampai tengah jalan, kilat menyambar-nyambar. Saya teringat cerita teman saya yang berasal dari Kepri. Konon petir di daerah kepulauan ini mengerikan. Mungkin seperti inilah. Kesannya langit hanya sejengkal di atas kita dan kilat menyambar. Benar-benar terasa mengerikan. Lalu hujan turun, menguarkan aroma aspal yang basah. Deras sekali kelihatannya. Kami tutup semua jendela dan pintu. Suasana di dalam angkot terasa pengap. Rasanya perjalanan cukup lama, melintasi daerah pedesaan yang membuat saya berpikir, kok mau-maunya angkot ini mengantar? Apa tak takut pulang melintasi jalan sepi dan gelap begini?

Hujan hanya sebentar saja. Ketika penumpang satu per satu turun, kami agak bingung. Tapi kami disarankan turun di kota kecamatan saja karena banyak penginapan di sana. Kota kecamatan tapi ada penginapannya? Saya penasaran juga. Seperti apa sih kotanya? Ternyata suasananya sama sekali tak seperti kota kecamatan, cukup besar untuk disebut kota kabupaten malah. Deretan toko-toko terlihat masih ramai. Ada pasar malam juga. Kami diturunkan di depan sebuah penginapan yang terlihat cukup layak. Teman saya bertanya, apa sebaiknya cek tempat lain? Tapi karena hari sudah malam dan kami buta tempat ini, saya pikir lebih baik di sini saja.

Hotel biasa saja, bernuansa usang dengan ornamen China. Kesannya, bukan hotel yang ‘bersih.’ Harganya ternyata cukup murah,untuk harga Rp. 90.000 sudah ber-ac dan ber-tv. Tak ada pertanyaan soal KTP  segala macam, langsung bayar dan dikasih kunci kamar.

Saya diantar seorang lelaki bertubuh gempal--yang sepertinya bell boy hotel itu--ke kamar di lantai dua, sementara teman saya di lantai 1. Koridor lantai dua tampak lengang dan gelap. Sepertinya tak banyak tamu. Entah bagaimana saya merasa agak ngeri juga karena atmosfer hotel ini terasa kurang nyaman.

Masuk ke kamar, ternyata kamarnya cukup luas. Ketika tadi saya berusaha menawar, resepsionisnya tadi mengatakan tidak bisa dan sebagai semacam nilai plusnya adalah karena TVnya besar, ternyata TV biasa saja, 21 inc, sudah tua pula. Sebenarnya, tak masalah bagi saya TV kecil atau besar, tapi iseng saya protes pada petugas yang mengantar saya: Mana? Katanya besar? Dia diam saja. Saya pikir dia agak tersinggung, tapi kemudian ketika dia hendak keluar, dia menggerak-gerakkan tangannya membentuk bahasa isyarat. Oh, ternyata dia tuna wicara! Meski saya tak tahu bahasa isyarat, tapi saya kira saya paham apa yang dikatakannya. Dia bertanya kenapa saya dan teman saya tak sekamar? Saya bilang kami bukan suami istri, tapi teman kerja. Dia sepertinya mengerti, tapi kemudian dia masih menggerakkan jari lagi. Saya tak paham kata-katanya, jadi hanya saya jawab: bukan-bukan. Mungkin aneh juga dua orang berjenis kelamin berbeda bepergian, bukan suami istri dan menginap di hotel begini.

Mengabaikan atmosfer tak nyaman di kamar, saya memutuskan untuk mandi karena badan terasa lengket oleh keringat. Kamar mandinya tak terlalu bagus. Airnya beraroma karat. Saya memeriksa dinding, khawatir kalau-kalau ada semacam hidden camera. Tapi sepertinya tidak dan saya pun mulai mandi.

Tanjung Batu dan Sisa Kejayaan Masalalu
Usai mandi, teman saya sms mengajak saya cari makan di luar. Kami keluar dan beberapa meter dari penginapan, mendapati hamparan pujasera yang terlihat cukup meriah. Menu-menunya sih tak ada yang terlalu khas: bakso, mi goreng, nasi goreng, miso...tapi suasananya terasa sangat hidup. Dan kami benar2 merasa surprise! Rasanya seperti sedang liburan saja!

Usai makan, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Beberapa toko sudah tutup. Jalanan cukup riuh oleh anak-anak muda yang bersliweran dengan sepeda motor menderu-deru. Maklum, malam Minggu. Selebihnya, lorong panjang pertokoan yang temaram, dengan lampion-lampion merah yang bergelantungan. Di sudut perempatan, ada wihara yang merah temaram, menambah kesan eksotik tempat itu.

Salah satu sudut kota Tanjung Batu

Kami berjalan-jalan saja, menyadari bahwa kota itu ya di situ-situ saja. Di salah satu perempatan, kami mendapati patung ibu dan dua anak di perempatan dan kami pikir itu pasti ada legendanya dan besok akan kami tanya kalau ketemu seseorang.

Kami sampai di ujung dermaga yang terbengkelai. Gelap tapi terlihat beberapa anak muda duduk-duduk disana, mojok. kami ingin pulang, tapi hujan turun, dan kami mampir di sebuah kedai makan. Ngobrol-ngobrol dengan pemiliknya yang sebenarnya sudah mau tutup. Kami tanya tentang Suku Akit, tak banyak tahu juga. Suku Asli ada, di Penyalai, pulau di seberang lagi. Teman saya pesan teh, saya makan mangga. Tanya-tanya penginapan. Katanya penginapan kami mahal, hotel lain 25-70 ribu, katanya sambil menunjuk bangunan di sebelah. Terlihat seperti asrama.

Lalu cerita melompat ke Tanjung Batu di masa lalu. Dulu katanya surga judi dan perempuan. Masa Suharto. Tiap malam orang-orang Malaysia dan Singapura berdatangan dengan kapal untuk mereguk surga dunia. Perempuan penghibur didatangkan terutama dari Jawa. Sekarang, sudah tak boleh lagi. Sepi. Saya pikir penginapan-penginapan di sini adalah sisa kejayaan masa lalu. Dimana hiburan di sini? Ada klub di sana. Ujar si Abang. Ada juga perempuannya. Tapi benar-benar sudah sepi sekarang, tambahnya.

Si Abang warung bilang akan segera tutup karena sebentar lagi lampu dimatikan. Listrik di sini tidak 24 jam. Hujan pun reda dan kami berjalan pulang. Suasana jalanan masih semarak.

Saya kembali ke kamar, nonton TV, dan tertidur. Karena kecapekan, saya tidur cukup nyenyak. Tapi di tengah malam saya terbangun dan samar-samar mendengar gemeletuk hak sepatu perempuan. Saya mendengar suara-suara...Hmmm...saya tak mau berpikir aneh-aneh dan meneruskan tidur. (Bersambung)




Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (6-habis)

Selamat Pagi, Singapura...
Saya terbangun dengan badan seperti habis dipukuli. Rencana hari ini: keliling Singapura hingga sore dan sore langsung cari fery ke Batam. Kami tak punya peta karena lupa minta di informasi kemarin waktu di bandara, jadi masih merasa blank soal Singapura. Tapi dari catatan panduan, ada beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi: Chinatown, Little India, Orchard Road...
Suasana Geylang siang hari yang terasa lebih ramah

Sambil check-out, kami minta peta pada si ibu. Dia bilang dia cuma punya yang lama dan saya pikir karena masih bisa dipakai, saya minta juga. Kami berjalan keluar. Jalanan cukup lengang. Nuansa remang-remang semalam seolah sudah tak tersisa. Di pinggir jalan utama, toko-toko nampak semarak. Di tempat ini, nuansa China dan India berbaur. Saya berpikir untuk cari sarapan, tapi tak yakin kehalalannya. Kami mampir di warung kecil untuk membeli air mineral. 1 botol isi 600 ml diharga Sin $ 1.

Saya masih bingung hendak kemana dulu. Saya pikir lebih baik kami cari MRT saja. Tapi kami harus berjalan muter-muter hingga menemukan stasiun MRT. Langkah-langkah kami dari hari ke hari makin terasa berat saja. Setiap beberapa langkah kami harus berhenti untuk mengistirahatkan kaki. Keadaan saya parah karena luka kecil di tungkai saya, mungkin karena kelembaban dan debu, mulai meradang dan bernanah.

Dari rute MRT, kami melihat bahwa Chinatown dan Little India berdekatan. Juga Orchard Road, tapi tak ada rute yang langsung. Pilihan saya jatuh ke Little India.

Kesan saya, orang-orang Singapura ini benar-benar terkesan sibuk. Menuju MRT, mereka tampak begitu tergesa-gesa. Suara derap kaki mereka terdengar susul menyusul. Waktu menyeberang jalan juga begitu. Terburu-buru dan acuh. Saya yang biasa dengan budaya serba santai di negri sendiri, rasanya melelahkan melihat orang-orang yang seolah selalu dikejar waktu itu.

Sejenak di Little India


Little India masih sepi waktu kami sampai. Toko-toko masih banyak yang tutup. Karena saya tak berminat belanja, tak terlalu masalah. Kami keliling-keliling saja. Dari peta, saya baca ada tempat-tempat yang bisa dikunjungi: Kuil dan Mesjid. Lokasi keduanya cukup berjauhan. Karena lebih dekat ke kuil, kami ke kuil dulu. Tak ada yang terlalu istimewa. Hanya kuil pada umumnya da orang-orang yang sedang sembahyang. Kami foto-foto sebentar lalu berniat cari Mesjid.  Abdul Gafoor

Kami harus berjalan cukup jauh hingga menemukan mesjid yang nyempil. Kesan tuanya cukup terlihat, tapi terasa kurang dirawat. Waktu saya menginjakkan kaki di batas suci, pasir menempeli telapak kaki saya. Aroma apak juga menguar waktu saya masuk ke ruangan. Waktu saya ke toilet, toiletnya juga tak terlalu bersih. Ketika kemudian saya istirahat di depan masjid, aroma tak sedap seperti dari septik tank menguar.
Mesjid Abdul Gafoor


Mustafa Center
Kami meninggalkan mesjid untuk cari makan dan ke Mustafa Center. Penasaran saja dengan pusat perbelanjaan ini karena konon buka 24 jam. Saya penginnya makan di warung-warung saja, pasti suasananya lebih enak dan harganya juga lebih murah. Tapi di sekitar Mustafa kebanyakan adalah restoran yang saya yakin harganya tak kurang dari 8 dolar.

Kami mampir ke Mustafa sebentar. Benar-benar besar. Badan saya sudah basah oleh keringat. Cuek saja. kami memperhatikan barang-barang yang dijual adalah barang-barang yang ada di supermarket pada umumnya. Tapi benar-benar terlihat lengkap. Karena harganya cukup mahal kalau dikurs-in, saya tak berniat beli apa-apa. Tapi ketika menghampiri tempat minuman dingin, saya tertarik beli yogurt dua botol masing-masing Sin$ 1. Hal yang saya sesali kemudian karena rasa yogurt ini benar-benar parah. Tak ubahnya seperti minuman berperisa buah yang di jual di warung-warung seharga 1000 rupiah itu.

Porsi Jumbo Nasi Briyani dan Nasi Kuning

Keluar dari Mustafa, kami terus mencari kedai makan. Akhirnya nemu restoran India Muslim yang terlihat cukup sederhana. Di sana terpasang harga: nasi briyani: sin$ 5. Harga yang cukup terjangkau. Karena nasi briyani-nya pakai ayam, saya pesan nasi kuning dengan lauk ikan. Sementara teman saya pesan nasi briyani. Porsinya luar biasa besar. Saya pikir nasi kuning ini seperti nasi kuning di Indonesia, tapi ternyata teksturnya lebih lembek dan rasanya berempah. Beberapa suap saja saya sudah merasa eneg. Nasi briyani rasanya jauh lebih baik, meski juga bikin eneg kalau kebanyakan karena terlalu banyak bumbu.


Sambil makan, kami lihat-lihat peta. Saya pikir kami bisa ke Orchard atau Chinatown. Si penjual menghampiri kami: mau kemana? Tanyanya ramah. ‘Orchard.’ Saya bilang. ‘Orcard? Oh dekat sekali. Tinggal ke kiri, terus lurus: Orchard.’ Ohya? Tadi saya pikir kami harus naik MRT ke sana. ‘chinatown?’ tanya saya. ‘naik MRt’ oke. Thanks.

Tertatih Menuju Orchard Road
Mengikuti arahan mas-mas di kedai makan, kami ambil kiri dan jalan lurus menelusuri Little India. Tapi rasanya kami sudah berjalan cukup jauh dan kaki juga pegal bukan main, tulisan Orchard Road belum juga kelihatan. Katanya dekat? Yah, orang kadang punya versi berbeda soal jauh dekat.

Kami sudah nyaris menyerah dan cari MRT saja. Tapi kemudian kami melihat tulisan Orchard Road. Suasananya sih belum meyakinkan, tapi feeling saya pusat perbelanjaan itu ada di sudut lain jalan ini. Cuaca panas membuat langkah kami makin terseok-seok. Ada sebuah taman kecil di pinggir jalan yang indah dan terasa nyaman. Kami memutuskan berhenti disana. Karena suasananya nyaman saya ketiduran di bangku taman ini. Baru beberapa menit, terdengar suara ribut. Beberapa anak-anak ABG berdatangan. Mungkin mereka hendak mengerjakan tugas sekolah atau apa. Di negara yang rumah-rumahnya tak berhalaman begini, tentu public space sangat dibutuhkan. Dan agaknya Singapura paham akan hal itu.
Trotoar Orchard Road yang teduh, lebar dan bersih

Kami melanjutkan menelusuri Orchard. Semakin ke ujung, semakin terlihat bangunan-bangunan pusat perbelanjaan. Dan semakin dekat, saya paham kenapa tempat ini terkenal. Meski pusat perbelanjaan besar, tapi suasananya nyaman. Trotoarnya lebar dan teduh oleh naungan pepohonan di sepanjang jalan. Meski ramai tapi kesannya tidak crowded. Karena kami tak punya budget belanja, kami lewati saja pusat-pusat perbelanjaan dengan merek-merek terkenal itu. Sesekali berhenti di bangku untuk melepas lelah sembari memperhatikan tingkah polah orang-orang yang lalu lalang. Beberapa yang menenteng tas belanjaan bermerek, nampak begitu bangga.

City Hall: Esplanade Theater, Patung Merlion, "Mabuk" Mencari "Singa Mabuk
Teman saya ingin foto di patung singa, karena bagi dia, itu bukti kalau dia sudah ke Singapura. Saya sendiri sebenarnya tak terlalu tertarik dan juga kurang paham dimana patung itu, dan saya tak menemukan petunjuk di peta, tapi karena itu lambang Singapura, saya pikir letaknya tak jauh-jauh dari pusat pemerintahan. City Hall. Dan kami pun naik MRT ke sana. Keluar dari MRT, kami agak kebingungan karena tak ada petunjuk yang menyebut-nyebut Patung Merlion ini. Esplanade? Mungkin di sekitar itu dan saya pun mengikut petunjuk ke Esplanade. Kami sudah sampai di depan Esplanade Theater, tapi patung itu belum nampak juga. Padahal kami benar-benar sudah kelelahan.

Untunglah kemudian kami mengikuti serombongan cewek-cewek (entah China, Taiwan atau Vietnam), yang ternyata juga cari Patung Singa. Patung Singa ini memang letaknya melewati Esplanade. Dan alangkah leganya kami ketika di kejauhan, nampak si singa ini berdiri menjulang menghadap laut sambil tak henti memuntahkan air.

Hanya sebuah patung, tapi orang berkerumun di sekitarnya untuk berfoto. Benar-benar terasa konyol. Tapi suasana di sekitar patung ini sendiri memang cukup terasa nyaman. Angin laut bertiup semilir, para wisatawan bisa naik perahu di sekitar patung,udaranya terasa bersih...

Puas berfoto, karena sudah beranjak sore, kami beranjak pergi. Saya masih ingin ke Chinatown meski kaki sudah pegal. Teman saya nyaris menyerah,t api saya bilang nanggung sudah sampai di sini. Dan kami pun cari MRT untuk ke Chinatown. Untuk ke MRT, kami masih harus berjalan lagi cukup jauh. Wah pokoknya jalan jalan dan jalan deh. Untunglah ada penjual es krim kempit di pinggir jalan yang sedikit menyegarkan suasana.

Sudah Terlalu Sore di Chinatown

Chinatown terasa sangat semarak di sore hari yang cerah itu. Lampion merah yang bergelantungan, toko-toko cinderamata khas China...sayang, baterei kamera teman saya sudah habis sehingga kami harus puas foto dengan kamera hp yang juga sudah lowbat.

Barang-barang di sini rata-rata dijual 3 untuk Sin $ 10. Teman saya tertarik untuk beli syal dan saya ambil satu. Ternyata ada beberapa tempat yang bisa ditawar. Pengalaman saya, kalau pedagang China yang susah ditawar. Sementara pedagang yang berwajah Melayu (mungkin juga Thailand), bisa ditawar. Saya beli cincin dari harga 5 dolar bisa dapat harga 3 dolar. Mug yang dijual 3 10 dolar juga bisa saya tawar 3 dolar saja 1 bijinya.

Ada beberapa tempat menarik di Chinatown ini yang tertera di peta. Ada kuil, mesjid dan komplek china heritage. Saya Cuma melongok sebentar. Tak jauh beda dengan Little India. Karena tak ada kamera saya juga tak bisa memotret. Ada beberapa penginapan untuk backpacker juga di sini. Dan saya sedikit menyesal, mungkin jauh lebih nyaman kalau kami menginap di sini...

Harbourfront –Batam Centre
Dari Chinatown kami langsung ke Harbourfront untuk cari fery ke Batam. Ohya, ada dua pelabuhan di Batam, Batam Centre dan Sekupang. Kami memilih yang pertama karena lebih dekat dengan kota. Harga tiket one way sin$ 22 per orang. Petugas di sini agak jutek-jutek. Karena agak lama menunggu, saya tanya ke petugas. Eh, malah dijawab ketus sama mbak-mbaknya. Kami ambil fery yang jam 7 malam. Fery paling malam hingga jam 9. Perjananan ke batam Cuma butuh satu jam tapi cukup membosankan karena satu jam Cuma bengong-bengong.

Menginjakkan kaki di Batam Centre, atmosfer Indonesia langsung terasa. Seorang lelaki, salah satu penumpang, langsung menyalakan rokok, yang diledeki oleh penumpang yang lain, ‘Kalau di negera sendiri bisa suka-suka, ya.’

Menginjakkan kaki di negeri sendiri, entah kenapa saya merasa sedih. Meski hanya terpisah beberapa kilo meter, meski udaranya terasa sama, tapi ada sesuatu yang berbeda di tempat ini dengan tempat di seberang sana. Keteraturan, kemakmuran...akh, sudahlah. Mungkin rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau, ya :)*** (habis)


Catatan:
Perjalanan ini dilakukan pada bulan September 2011