Laman

Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (5)

Menunggu di Changi
Penerbangan KL-Singapura hanya sekitar satu jam. Meski begitu ini penerbangan yang cukup menyiksa karena perut saya sakit menahan buang air kecil. Saya punya pengalaman buruk ketika menggunakan toilet di pesawat dan agak trauma, jadi saya berusaha menahannya saja, tokh cuma satu jam. Tapi dalam keadaan seperti itu, ternyata penerbangan selama 1 jam jadi terasa lama sekali.

Begitu masuk bandara, saya langsung cari toilet. Ini pertamakalinya saya menginjakkan kaki di bandara Changi dan tak urung saya penasaran karena konon, ini salah satu bandara terbaik di dunia. Saya sendiri tak punya banyak pengalaman menyinggahi bandara internasional, jadi tak bisa membanding-bandingkan. Tapi kalau dibanding bandara Soetta ya memang jauh lebih megah dan modern.

Keluar dari bagian imigrasi, saya memutuskan menunggu di dekat tempat pengambilan bagasi. Saya pikir, teman saya pasti akan lewat situ. Saya menunggu, memperhatikan orang yang lalu lalang. Karena ini bandara internasional, suasananya memang sangat internasional. Kulit gelap, kulit putih,kulit berwarna... orang-orang berpakaian sederhana, berpakaian rapi, berpakaian modis...wah-wah...saya merasa sangat lusuh!

Sekitar satu jam berlalu. Saya cek di layar pengumuman, belum tercatat kedatangan Airasia dari Kuala Lumpur. Apa saya salah dengar? Saya menunggu dan menunggu...belum juga lewat. Kemudian saya lihat pengumuman lagi: penerbangan Airasia dari Kualalumpur adalah pukul 17.30 bukannya jam 15.30!

Saya hanya bisa menunggu. Beberapa kali teman saya berusaha menghubungi, tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Pulsa saya sudah ludes disedot roaming. Saya berpikir mungkin bisa membeli nomor lokal. Tapi di sebelah mana ya? Bandara ini terlalu besar bagi saya.

Kegaptekan Menggunakan MRT
Di luar terlihat mulai beranjak petang. Saya mulai agak khawatir kalau kami akan sedikit kesulitan mencari penginapan. Saya melihat petugas bandara memperhatikan saya. Mungkin mereka heran karena saya  yang sudah duduk di bangku itu berjam-jam. Kenapa teman saya belum muncul juga? Bukankah seharusnya dia lewat dari jalur yang sama? Setelah beberapa waktu, akhirnya teman saya sms, dia nunggu di sudut lain. Waduh, ternyata dia tak melewati tempat saya! Bodohnya saya karena berpikir bandara ini kecil dan cuma punya satu pintu keluar yang sama!

Untungnya tak terlalu sulit menemukan teman saya. Kami pun segera bergegas untuk mencari penginapan. Tapi dimana cari angkutan? Saya pikir kami bisa naik MRT. Kami tanya ke petugas berseragam yang jaga dekat pintu, orang Melayu bagaimana cara ke Bugis dengan MRT. Dia mengarahkan kami untuk ke atas, lalu ke Terminal 2. Setelah sedikit berputar-putar, kami naik semacam shuttle train untuk dibawa ke terminal 2. Di Terminal 2, kami mengikuti petunjuk untuk ke MRT. Ternyata harus turun ke bawah lagi, melewati eskalator yang suram dan curam sekali.

Stasiun MRT tampak lengang. Ada counter penjual loket dengan penjaga satu orang yang tampak acuh tak acuh. Di counter itu ada tulisan yang bunyinya kira-kira begini: ‘kalau mau beli tiket one way, harap beli lewat mesin saja’ waduh, karena kami belum berpengalaman pakai mesin, ditambah lagi tak ada petunjuk step by step-nya, kami agak kebingungan. Agak malu juga, untungnya tak banyak orang. Ada abang-abang berwajah India yang juga lagi beli tiket di mesin sebelah, dan saya mengabaikan segala rasa malu minta tolong dia. Dia dengan ramah membantu kami. Saya memperhatikan proses-prosesnya. Untuk ke Bugis, kami harus membayar sekitar Sin $2,5 perorang dengan Sin $ 1 nya sebagai deposit dan kelak bisa diambil lagi ketika mengembalikan kartunya.

Kebingungan kembali muncul karena di sini tak ada platform kanan kiri seperti pengalaman kami di KL. Apa semuanya bisa ke Bugis? Ketika kemudian MRT datang dan semua orang masuk, kami ikut masuk. Karena ragu, akhirnya saya tanya ke abang India yang ternyata duduk di depan kami: ‘Apa ini benar ke Bugis?’ dia bilang iya, nanti ganti MRT di Tanah Abang’ ujarnya. Tanah Abang? Whatever,...saya lega.

Meski MRT ini sama dengan monorail di KL, tapi suasananya terasa berbeda. Di KL, suasananya terasa lebih hangat, sementara di Singapura terkesan lebih ‘dingin.’ Para penumpang, yang saya duga baru pulang kerja, saling diam dan acuh satu sama lain.

"Tersesat" di Bugis

Kami turun di Bugis. Berdasarkan catatan panduan yang saya bawa, penginapan yang akan kami tuju berada di seberang jalan dan kami pun menyeberang. Terlihat semacam pasar malam yang penuh sesak (mirip di Petaling), ruko-ruko di sepanjang jalan dan saya pikir penginapan itu ada di salah satu bangunan. Saya dan teman saya mengelilingi kompleks itu, tak ada tulisan penginapan yang kami cari. Tapi kami sudah berputar dari ujung ke ujung tak ketemu juga.

Di salah satu sudut, ketemu satu penginapan: Bugis Backpackers Hostel. Tapi bukan itu nama penginapan di catatan saya. Saya coba check penginapan ini yang berada di lantai 3. Di pintu masuk tertera harga, untuk dormitory kalau tak salah 60 dolar, untuk double 36 dan private saya lupa. Karena di catatan saya lebih murah dari itu, saya pikir cari yang lain. Saya tetap ngotot dengan penginapan yang tertera di catatan panduan saya.
 
Kami berusaha bertanya pada beberapa orang, tapi tak ada yang tahu. Saya memutari kompleks ruko lagi. Di salah satu sudut, saya berpapasan dengan anak muda keturunan India. Dia bertanya, apa saya bisa bahasa Melayu? Ya. Jawab saya. dia bilang dari Malaysia dan ingin tanya sebuah tempat (saya lupa apa). Saya jawab saya tak tahu karena saya juga pendatang. Lalu dia mengulurkan tangan, ‘Nama saya Jo.’ Saya memikirkan untuk mengatakan nama saya atau tidak ketika dia melanjutkan, ‘Apa mau minum bersama?’ Hah?! ‘Apa mau jalan bersama?’ saya tertawa, sadar saya sudah dikerjai. Bocah sialan! Dari tampangnya dia  masih bocah ingusan. Berani-beraninya! Saya pergi. Karena sudah kelelahan, saya berpikir mungkin ambil Bugis Backpackers itu saja. Tapi waktu saya naik, ternyata sudah terpasang tulisan ‘Closed.’ Yah....

Karena tak punya referensi lagi tentang penginapan murah di sekitar situ kami memutuskan untuk ke tempat lain saja. Dari catatan panduan yang saya bawa, disebutkan bahwa banyak hotel murah terdapat di daerah Geylang. Meski terkenal sebagai daerah ‘lampu merah.’ Karena hari sudah malam, saya pikir lebih baik ke tempat yang banyak pilihannya.  Dan kesanalah kami menuju.

Geylang oh Geylang...
Kami naik bus dari halte di depan Pasar Malam Bugis yang rutenya melewati Geylang. Tiketnya Sin$ 1 untuk satu orang.  Kami pikir akan ada pengumuman atau tulisan di bis seperti ketika naik MRT di halte-halte yang akan di lewati, ternyata tak ada. Karena malam, tulisan di halte juga tak kelihatan. Waduh, bagaimana kami tahu dimana Geylang? Lalu teman saya tanya ke ibu-ibu yang duduk di sebelahnya dan si ibu berbaik hati memberitahu kami ketika sampai di Geylang.
Geylang

Turun dari bus, kami agak kebingungan karena di kanan kiri jalan adalah toko-toko biasa, tak ada tulisan hotel. Dari catatan panduan, hotel-hotel ada di Lorong bernomor genap: 16, 18, 20...tapi saya lihat tulisan di seberang jalan: Lorong 15, lalu lorong 17....kami telusuri sampai ke ujung, semuanya bernomor ganjil! Akhirnya saya berkesimpulan, pastilah nomor genap di sisi yang lain. Tapi sebelah mana? Saya mampir ke toko es krim yang sepi dan bertanya pada penjualnya: dimana lorong Geylang 18? Penjual es krim, yang meski bermata sipit tapi saya pikir bukan orang Singapura (mungkin Vietnam atau Thailand), sepertinya tak terlalu paham Bahasa Inggris dan menggeleng. Untunglah kemudian rekannya, yang dari logatnya saya yakin Orang Singapura, menjelaskan dengan ramah. Lorong 18 ada di seberang sana! Ujarnya. Dan kami pun mengucap terimakasih, bersiap menyeberang.

Kami menelusuri lorong yang agak gelap, bernuansa perumahan etnis Tionghoa. Tempat itu agak kumuh dan bau pesing, mengingatkan saya pada Pecinan di daerah Medan. Di ujung lorong, dalam keremangan, tampak beberapa perempuan berpakaian mini sedang bicara dengan beberapa lelaki. Tawar menawar! Oh....

Nama hotel terpampang di seberang jalan. Tapi bangunannya terlihat besar-besar. Bagaimana murah kalau bangunannya cukup megah begitu? Mungkin ada yang lebih sederhana, pikir saya.  Dan kami pun meneruskan perjalanan. Menelusuri lorong-lorong bernomor genap. Di sepanjang lorong, kami bertemu gerombolan lelaki yang saya duga sedang ‘lihat-lihat’, rumah-rumah bercahaya merah...(saya sempat berpikir itu kuil atau apa, ternyata melongok ke dalam adalah perempuan-perempuan berpakaian mini yang seperti dipajang di etalase).

Semuanya hotel dengan bangunan besar. Karena sudah kelelahan, kami akhirnya nekat bertanya di sebuah hotel yang disambut lelaki berwajah Tionghoa botak: 50 dolar! Ujarnya. 50 dolar? Apa tidak bisa diskon? Diskon? Ini hotel. Mana bisa diskon. Ujarnya ketus. Di sebelah kami, tampak seorang perempuan dengan wajah sensual bersama seorang lelaki. Ketika saya melihat ke arahnya, dia melempar senyum yang entah apa maksudnya. Kami buru-buru cabut. 50 dolar. Dibagi dua masing-masing 25 dolar. Di catatan, saya baca kalau bisa dapat penginapan 17 dolar. Tapi setelah dikurs-kurs-in, ternyata sin$ 25 itu tak sampai Rp.200.000! Bukan harga yang murah, tapi tak terlalu mahal juga.

Dan karena sudah tak tahu mau kemana lagi, kami akhirnya cari hotel lain di sekitar situ yang harganya memang hampir sama. Ada sebuah penginapan yang mungkin karena sedang direnovasi, mirip bangunan habis kena gempa. Kami berpikir, karena bangunannya buruk, mungkin bisa dapat harga murah. Seorang cowok  yang sepertinya langsung tahu kami adalah Orang Indonesia, langsung bicara dengan bahasa Indonesia yang lancar. Dia orang Indonesia tapi entah darimana. 60 dolar. Ujarnya. Apa? Mahal sekali. Ternyata dugaan kami salah. Bangunan lebih buruk ternyata justru harga lebih mahal! Meski belum sepakat harga, dia sudah bersiap ngecek kamar. Dia buka pintu di depan resepsionis, saya pikir itu kamarnya. Ternyata: gudang! Benar-benar gudang dalam arti sebenarnya. Ini kamarnya? Oh, tidak! Bukan, ujarnya. Mungkin dia ngecek bantal. Tapi kami sudah hilang minat. 60 mahal sekali. Ujar saya. 20 lah. Dia tertawa. Mana bisa. 30. 50 lah. Kami cabut, mampir ke hotel sebelah yang bernuansa China sekali dengan berbagai ornamen merah.

Di resepsionis adalah ibu-ibu dan di dekat resepsionis, seorang nenek-nenek renta tertidur di atas kursi roda. Saya dan teman saya sepakat dengan harga 50 dollar. Dan itulah harga yang ditawarkan. Saya mencoba tawar 40, tapi seperti kami duga tak bisa. Ya sudah, 50 dollar. Kami diberi kunci dan naik lift ke lantai dua.

Karena dari luar cukup kelihatan sebagai hotel, saya pikir kamarnya juga akan mencerminkan kamar hotel. Ternyata mirip kamar kos-kosan. Satu tempat tidur besar, lemari, meja dan tivi. Begitu masuk, aroma pengap langsung menguar. Benar-benar terasa pengap. Segala sesuatu di kamar itu terasa usang dan kurang terawat. Untunglah udara AC cukup mampu meredam kepengapan.  Jauh lebih nyaman penginapan murah kami di KL. Saya membayangkan bahwa orang-orang yang menginap di sini adalah orang-orang yang datang untuk 'bersenang-senang.' Tapi sudahlah, yang penting kami bisa istirahat. Kaki, badan benar-benar terasa remuk. Yang tambah menyebalkan, air panasnya ternyata juga tak mau nyala. Untungnya cuaca terasa gerah sehingga tak terlalu masalah mandi air dingin.

Seperti biasa, begitu usai mandi, saya langsung terkapar.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar