Laman

Selasa, 13 Januari 2015

Probolinggo: Suatu Hari di Pulau Gili

Sekitar pukul 7.30 pagi ketika kami sampai di pelabuhanTanjung Tembaga, pelabuhan lautnya Probolinggo. Tadinya kami--saya dan teman saya--cukup terburu-buru, khawatir ketinggalan perahu. Nyatanya, perahu sepertinya berangkat setiap saat ada cukup penumpang. Melihat dermaganya, cukup membuaat saya agak kecewa.

Pelabuhan Probolinggo sebenarnya lumayan besar, mengingat banyaknya perahu motor serta kapal-kapal barang serta kapal pencari ikan yang bersandar. Namun, jangan bayangkan ini adalah pelabuhan dengan dermaga yang megah. Kapal-kapal, termasuk perahu motor yang hendak kami tumpangi, hanya bersandar di sodetan kecil. Bahkan tak ada jembatan penghubung yang layak untuk naik ke perahu, melainkan hanya sekeping papan yang dibongkar pasang bersama datang perginya perahu. Seorang lelaki tua, membantu menarik tangan penumpang  yang hendak naik agar tak terjatuh. Bagi saya, ini agak aneh mengingat jembatan permanen seharusnya adalah kebutuhan mengingat ramainya lalu lintas pelabuhan.
Pelabuhan Probolinggi. Ini perahu yang digunakan untuk menyeberang ke Pulau Gili

Untuk menyeberang ke Pulau Gili, ongkosnya kala itu Rp. 7000,- per orang. Setelah menunggu sekitar lima belas menit dan perahu nyaris penuh (perahu mampu mengangkut sekitar 30-an penumpang), perahu pun meninggalkan pelabuhan. Kebanyakan penumpang adalah orang-orang yang baru pulang berbelanja di Kota Probolinggo, atau juga pegawai pemerintahan yang bertugas di Pulau Gili. Para penumpang menempati bagian atas perahu yang berlantaikan papan, sementara bagian bawah perahu diperuntukkan untuk barang-barang. Tak ada pagar pembatas atau apapun di pinggir perahu, sehingga membuat saya yang phobia air agak miris. Dan tentu saja, seperti kebanyakan transportasi air jarak dekat, tak ada fasilitas keamanan air berupa pelampung.

Kemirisan saya bertambah begitu perahu sampai di lautan lepas yang mulai berombak. Cuaca memang sedang kurang bersahabat dan ombak, meski tak terlalu tinggi, tak henti bergulung-gulung, berulangkali mengguncangkan perahu. Saya terus-menerus berpegangan pada tiang perahu, khawatir jika ombak tiba-tiba mengempaskan kapal. Jika kapal sampai terempas dan miring, kemungkinannya adalah penumpang yang akan terlontar dari perahu.
Pulau Gili

Yah, mungkin saya agak terlalu paranoid. Karena di belakang saya, para penumpang lain, termasuk di antaranya para ibu-ibu dan anak kecil, tampak tenang-tenang saja. Tentulah ini adalah perjalanan rutin bagi mereka, dan memikirkan hal itu, membuat saya lega. Ditambah kenyataan bahwa pulau yang akan kami kunjungi memang tak tak terlalu jauh, terhampar kelabu di depan sana.

Dan begitulah, sekitar satu jaman, perahu akhirnya sampai di Pulau Gili Ketapang. Kali ini, ada dermaganya, tapi juga alakadarnya.

Pulau Gili Ketapang bukanlah tempat wisata, sehingga memang tak ada destinasi wisata di tempat ini. Niat kami memang hanya ingin melihat keadaan pulau ini sembari menikmati udara laut. Tak seperti yang saya bayangkan tentang pemukiman di pulau kecil (apalagi begitu dekat dengan pulau besar), yang biasanya tak terlalu padat, Pulau Gili Ketapang justru sebaliknya sangat padat. Rumah-rumah dibangun nyaris berhimpitan, tentu ini karena terbatasnya lahan. Dengan luas pulau yang hanya 68 ha, penduduk pulau ini konon mencapai 8000-an jiwa. Padat banget, kan?

Pinggir pantai yang banyak diseraki sampah :(

Tempat pertama yang hendak kami kunjungi adalah Goa Kucing. Teman saya yang sudah pernah kesana, ternyata lupa arah jalannya dan kami malah nyasar ke pemukiman penduduk. Di sepanjang jalan, kami berpapasan dengan penduduk setempat. Sekilas beberapa dari mereka tampak acuh, mungkin terbiasa dengan kedatangan orang luar, tapi begitu ditanya atau diajak bicara, mereka akan menjawab dengan hangat dan ramah. Meski kadang, agak sulit memahami mengingat bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Madura. Yap, mayoritas penduduk pulau ini memang Suku Madura dan mereka rata-rata bermatapencaharian sebagai nelayan.

Lorong-lorong pemukiman yang tampak rapi dan bersih

Kami berjalan melintasi lorong-lorong pemukiman. Meski padat, tapi lorong-lorong dan halaman-halaman rumah tampak bersih dan terawat, hal yang sedikit kontras dengan pinggiran pantai yang banyak sampah plastik. Kebanyakan rumah-rumah yang dibangun juga terlihat cukup mewah, berupa rumah-rumah permanen berdinding tembok dan berlantai keramik. Warung-warung yang menjual aneka bahan makanan bertebaran di sana-sini. Kambing-kambing, yang sepertinya adalah peliharaan utama penduduk pulau ini, berkeliaran di jalan. Meski tidak ada rerumputan, tapi kambing-kambing itu terlihat cukup gemuk dan sehat-sehat. Saya amat-amati, ternyata kambing-kambing itu memakani sampah, bahkan plastik pun kadang dikunyah-kunyahnya...

Dari pemandangan itu, saya berpikir bahwa penduduk pulau ini sepertinya cukup makmur. Saya tak tahu, tapi mungkin penghasilan dari melaut cukup menjanjikan.

Di tengah jalan, kami berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang terlihat ramah. Bapak ini kemudian mengantarkan kami hingga ke goa kucing dan menjelaskan ini itu dengan ramah, meski Bahasa Indonesianya campur-campur dengan Bahasa Madura.
Goa Kucing

Tadinya, saya pikir Goa Kucing adalah goa sungguhan, tapi ternyata semacam sumur yang dianggap memiliki mitos dan dikeramatkan. Konon, sumur itu merupakan petilasan Syeh Maulana Ishaq, seorang ulama penyebar Islam di pulai itu. Sumur itu juga konon dihuni oleh seekor kucing gaib. Bersebelahan dengan goa kucing adalah makam sang Syeh dan di depannya dibangun masjid kecil. Tempat ini cukup terawat dan pada hari-hari tertentu, cukup ramai dikunjungi orang yang ingin melakukan ziarah. Bahkan di dekat masjid juga dibangun pondokan kecil, untuk orang yang ingin bermalam ketika melakukan ziarah.

Di belakang makam, terdapat pohon besar yang tumbuh menembus atap makam. Kata si Bapak, itu adalah pohon Sentaki, dan merupakan tongkat Sang Syekh yang ditancapkan dan kemudian tumbuh seperti itu.
Hutan kecil yang ditumbuhi pohon jeren dengan daun hijau mudanya yang tampak menyegarkan mata

Usai dari Goa Kucing, kami berjalan-jalan ke bagian belakang pulau. Ada barisan pohon jeren (pohon jaran) yang membentuk hutan kecil dengan daun-daunnya yang rimbun dan berwarna hijau muda, memberi kontras yang menarik pada pemandangan pulau. Di bagian belakang, air laut lebih tenang dan disanalah kebanyakan kapal-kapal nelayan bersandar. Penduduk pulau terutama ibu-ibu, tampak menghabiskan waktu di pinggir pantai, mengobrol atau mencari kerang. Beberapa perempuan penjaja jajanan mondar-mandir, menjajakan jualan mereka. Segerombolan bapak-bapak tengah memperbaiki jala dan mereka menjawab sapaan kami dengan ramah... Suasana terasa begitu hidup dan semarak.

Menjelang siang, kami memutuskan untuk pulang karena langit tiba-tiba sangat mendung dan udara kencang bertiup. Si Bapak berpesan agar kami jangan sampai kesorean karena kondisi ombak sedang tinggi.

Di dermaga, beberapa perahu dari Probolinggo datang menurunkan para penumpang. Beberapa tampak datang dengan menyandang alat pancing. Kemungkinan, mereka adalah pendatang yang ke pulau itu untuk memancing.
Kehidupan kampung nelayan yang semarak

Perahu yang akan menyeberang masih harus menunggu cukup penumpang untuk berangkat. Kami pun menunggu di pinggir dermaga, menikmati udara laut yang berembus kencang. Hujan rintik-rintik turun dan air laut terlihat bergolak. Meski begitu, hal itu agaknya tak menyurutkan nyali para nelayan yang dengan perahu-perahunya, menderu-deru, hilir mudik untuk mencari tangkapan. Juga anak-anak kecil yang tampak riang gembira, saling teriak dan tertawa sembari menceburkan diri di antara gulungan ombak pinggir pantai.

Setelah menunggu hampir satu jaman, perahu akhirnya penuh dan mesin pun mulai dihidupkan. Mungkin karena terpapar udara laut dan juga terombang-ambing di atas perahu yang cukup lama bersandar, membuat kami pusing dan mual sehingga tak lagi bisa menikmati perjalanan pulang. Dan hal yang sama  agaknya dialami penumpang lain. Beberapa tampak memilih membaringkan badan di atas lantai, beberapa bahkan mulai mabuk. Untunglah, perjalanan itu sebentar saja dan begitu perahu memasuki pelabuhan kami menarik napas lega.

Pulau Gili sendiri bukanlah tempat yang luar biasa, namun entah kenapa, suasana pulau itu dan juga kehangatan penduduknya, meninggalkan kesan yang menyenangkan bagi saya :)
(perjalanan ini dilakukan pada tanggal 2 Januari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar