Laman

Rabu, 28 Januari 2015

Pulau Berhala, Surga Kecil Yang Menenangkan (2)

Menuju Pulau Berhala
Masih pagi benar ketika kami dibangunkan oleh Datuk (kami tak menyangka bahwa dia akan menjadi guide kami mengingat usianya yang terlihat sudah cukup uzur). Di luar masih gelap. Kami diminta bersiap, karena kita akan berangkat pagi-pagi. kata si Datuk. Meski di perjanjian awal kami sepakat untuk tak disediakan makan, sebagai konsekuensi pengurangan harga, ternyata si Bapak sepertinya tak tega melihat kami dan usai mandi, tahu-tahu kami sudah disiapkan masing-masing seporsi nasi uduk.

Matahari muncul dengan berbinar-binar ketika kami sampai di dermaga. Kehidupan pinggir sungai terasa eksotis sekali di saat seperti itu. Boat melaju, mengarungi sungai. Kali ini saya merasa lebih tenang karena boatnya sedikit lebih besar, dan juga disediakan pelampung. Di sisi lain, mungkin saya juga mulai terbiasa melihat air. Sekitar 15 menit kemudian, terhampar air yang seolah tak berbatas. Laut.
Biarpun cengengesan di depan kamera, sebenarnya sudah ketar-ketir

Laut terlihat tenang tapi semakin ke tengah, saya mulai gelagepan. Boat mulai bergoncang hebat ketika menghantam air beriak. Saya miris membayangkan ketika tiba-tiba boat terbalik dan bluppp....kami terlempar ke tengah lautan yang entah berapa dalamnya. Meski ada pelampung, saya tak tahu seberapa 'ampuh' benda itu bisa melindungi dari kegelapan air. Di tengah hamparan lautan yang seolah tak berbatas, saya benar-benar selalu merasa kecil dan tak berdaya.

Pulau Berhala: Tanah Datuk Berhalo Yang Menjadi Sengketa
Saya menarik nafas lega, ketika satu jam kemudian, terlihat bayangan kelabu sebuah pulau. Pulau Berhala, pulau yang kami tuju. Tadinya saya pikir butuh waktu sekitar 2 jam ke sana, tapi ternyata baru satu jam sudah sampai.


Dalam beberapa menit kemudian, kami sudah melihat hamparan hijau air laut yang tenang dan bebatuan yang bertebaran juga dermaga kayu yang sepi. Kami sudah sampai, disambut pemandangan berupa hamparan daratan yang ditumbuhi alang-alang dan semak, beberapa pohon kelapa yang  menjulang dan bangunan yang terbengkelai. Suasananya terkesan sunyi dan tak terawat. 

Seorang lelaki datang, cukup hangat menyambut kami dan membawa kami ke sebuah bangunan terbuka, semacam pendopo yang memang disediakan untuk para tamu. Di belakang pendopo, ada beberapa rumah kayu yang tampak lengang. Seorang mbak-mbak, istri si lelaki yang kemudian kami ketahui sebagai orang Sunda, ikut menyambut kami. Dari cerita-cerita sambil melepas lelah, kemudian kami ketahui kalau rumah-rumah kayu itu disediakan oleh pemda Jambi untuk mereka yang diharapkan menjadi penghuni pulau ini. Mungkin ada sekitar 10 rumah. Tapi sekarang, hanya tinggal satu yang berpenghuni. Keluarga si Mbak yang tetap bertahan.
Beberapa fasilitas yang dibangun dan terbengkelai

Bisa dimaklumi, tentu berat bagi orang yang terbiasa hidup di Pulau Besar untuk tinggal di pulau kecil nan sunyi dan terisolir begini. Di sisi lain, ada juga beberapa penghuni yang memilih pindah ke bagian lain pulau ini, perkampungan kecil yang disediakan oleh Provinsi Kepri yang menyediakan lebih banyak fasilitas.

Yah, Pulau Berhala memang menjadi sengketa dua Provinsi: Jambi dan Kepri. Saling klaim kepemilikan. Ketika perjalanan ini saya lakukan, pulau masih dalam status quo tapi setelah sebelumnya masuk Prov. Jambi. Secara akses pulau ini memang lebih dekat ke Jambi dan adanya Makam Datuk Berhalo juga menjadi salah satu legitimasinya. Namun menurut peta yang dibuat jaman Belanda, wilayah pulau ini konon masuk ke Kepri. Selama masa status quo, kedua belah pihak dilarang melakukan pembangunan. Namun Kepri gencar menyediakan fasilitas seperti listrik, sekolah dan puskesmas untuk Kampung Kepri. Dan tahun 2013 lalu, akhirnya Kepri memenangkan gugatan di MK. Pulau Berhala pun masuk ke Kepri. Aneh rasanya melihat persengkataan ini, mengingat sama-sama masih dalam satu negara. Saya sendiri tak paham, apa sebenarnya potensi yang tersimpan di pulau ini sehingga terjadi perebutan semacam itu.

Menikmati 'Surga Kecil" yang Menenangkan
Suasana pulau benar-benar terasa tenang ditambah lagi cuaca sangat cerah. Kekhawatiran kami bahwa pulau ini akan ramai ketika musim liburan, ternyata tak terbukti. Sepertinya kamilah satu-satunya rombongan yang berwisata ke sana saat itu.
Pulau Berhala dengan hamparan pantai berair biru kehijauan

Meski matahari pagi sudah begitu terik bersinar, kami segera berkeliling menyusuri pinggir pantai yang sedang surut, melompat dari batu ke batu. Bernarsis ria di depan kamera. Sesekali kami berteduh di balik gundukan karang sambil menikmati ketenangan pantai. Di ujung, ada gundukan bebatuan yang kokoh menjulang, dan berdiri di sana, rasanya menakjubkan. Nyaman sekali duduk di sana berlama-lama, menatap lautan luas yang terasa begitu menenangkan. Saya membayangkan, menyenangkan mungkin menghabiskan beberapa waktu di sini, bermalasan, menatap lautan, menatap langit biru, merasakan hembusan angin beraroma laut, membaca, menulis...hmm...Rasanya benar-benar luar biasa!

Surga kecil yang tenang

Kami kemudian mengelilingi pulau yang memang hanya perlu waktu tak lebih dari dua jam (luas pulau ini hanya 2,5 Km persegi). Kami melewati perkampungan Kepri yang jaraknya cuma beberapa meter dari pendopo Jambi. Suasananya terlihat semarak dan hidup, sebagai umumnya perkampungan nelayan. Kontras dengan bagian Jambi yang terbengkelai.
Lelah berkeliling, kami mampir ke rumah penduduk untuk mencari kelapa muda. Penduduk di sini cukup hangat dan enak diajak bicara. Senang mendengar logat bicara Melayu mereka yang begitu kental.
(Foto oleh Bang Nopri H)

Menikmati kelapa muda yang baru dipetik dari pohon di tengah siang yang terik benar-benar terasa nikmat. Dan karena perut sudah mulai lapar, kami memutuskan untuk kembali ke pendopo yang selanjutnya menjadi penginapan kami. Lagi-lagi, ternyata si Datuk sudah menyediakan makan. Alih-alih menjadi guide, dia justru bak datuk sungguhan bagi kami, memperlakukan kami seperti cucu-cucunya saja.

Kenyang dan kelelahan kami ketiduran.

Sore, air mulai bergerak pasang. Kami memutuskan untuk main air. Mandi-mandi di pinggiran karena saya tak berani ke tengah karena takut tenggelam :(. Kami teriak-teriak, main ciprat-cipratan, lempar-lemparan pasir...bener-bener holiday!
Yeah, it's HOLIDAY!!

Usai mandi sedianya ingin melihat sunset, tapi sunset ada di belakang pulau dan cuaca mendung. Pasti sunsetnya tak akan terlalu bagus. Saya pun memutuskan tinggal di pendopo sementara sebagian dari kami tetap ingin melihat sunset.

Saya dan teman saya kemudian mencari ikan di Kampung Kepri untuk dibakar malam-malam. Sayang tak ada ikan yang cukup bagus, karena yang bagus sudah dijual ke seberang. Tapi cukuplah.

Menjelang malam, ternyata angin bertiup semakin kencang. Langit juga sangat mendung. Kami mulai agak kecewa karena sudah membayangkan alan menikmati malam yang cerah di pinggir laut sambil main api unggun.
Acara bakar-bakar ikan yang alakadarnya karena cuaca buruk

Meski begitu, di tengah angin yang tak henti menderu-deru, kami tetap nekad membakar ikan di celah-celah batu agar apinya tak padam. Usai bakar-bakar, hujan benar-benar mulai turun. Kami menyantap makan malam kami dengan menu ikan bakar ala kadarnya. Rasanya kurang memuaskan, ditambah lagi cuaca yang benar-benar mulai tak kondusif membuat kami memutuskan untuk istirahat cepat-cepat. Apalagi suasana nyaris gelap gulita karena kami hanya mengandalkan penerangan dari lilin (sebenarnya ada genset yang disediakan untuk pengunjung, tapi harus membayar jika ingin menyalakannya). Rencana tidur di tenda juga batal, karena setiap kali tenda di pasang, angin kencang bertiup dan siap menerbangkannya.
(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar