Laman

Senin, 07 Desember 2015

Sehari Menyinggahi Bumi Sriwijaya Dengan Kereta Api

Akhirnya, kesampaian juga saya mencobai kereta api Lubuk Linggau-Palembang. Ada dua jadwal keberangkatan, pagi pukul 09.30 kereta api ekonomi dengan tiket Rp. 35. 000 dan malam, pukul 20. 00., kereta api eksekutif dengan tiket Rp. 120.000. Perjalanan di mulai dari statiun Lubuk Linggau hingga ke Stasiun Kertapati Palembang memakan waktu antara 7- 9 jam dengan melewati beberapa stasiun besar seperti Tebing Tinggi, Muara Enim, Lahat dan Prabumulih. Saya berangkat bersama 3 orang teman saya dan karena niatannya mau menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, kami pun memilih kereta api pagi. Seperti umumnya kereta api saat ini, kereta api yang kami tumpangi, meskipun kelas ekonomi tapi sudah cukup nyaman. Gerbongnya ber-AC dan cukup bersih.

Tapi, sayangnya rasa antusais kami terusik, belum apa-apa petugas keamanan kereta mulai berkeliling ketika kereta api mulai beranjak, dan memperingatkan penumpang untuk menutup gorden jendela. Alasannya, sering terjadi pelemparan batu di sepanjang jalan. Selama sekitar sebulan tinggal di daerah Sumatera Selatan, peringatan semacam ini bukan hanya sekali kami dengar. Kemana-mana kami selalu mendapat peringatan untuk berhati-hati. Hal yang membuat saya bertanya-tanya: apa orang-orang di sini sejahat dan se-anarkis itu? (Untunglah sepanjang perjalanan, tidak terjadi pelemparan batu seperti yang diperingatkan atau juga kejadian yang kurang menyenangkan). 
Pemandangan di kiri kanan jalan yang menyedihkan :(

Bayangan saya tentang perlintasan kereta api di Sumatra adalah kanan-kiri jalan yang ditumbuhi hijau pepohonan. Hutan tropis yang masih asli.. dan yah, kenyataannya tidak seperti itu. Pemandangan yang kami lewati di sepanjang jalan adalah deretan kebun karet, kebun kopi, kebun sawit, kota-kota kecil di pinggiran stasiun yang menurut saya polanya kok hampir sama saja dimana-mana: cenderung kumuh dan kotor karena beberapa tempat dijadikan pembuangan sampah. Mungkin juga karena kami bepergian ketika musim kemarau sedang mencapai puncaknya. Dimana-mana rumput terlihat kering kecoklatan, sawah-sawah terlihat kerontang, semak-semak sisa kebakaran dimana-mana... meninggalkan pemandangan gersang yang menyedihkan. Dan pemandangan ini semakin menyedihkan ketika sampai antara Prabumulih-Palembang.
Di daerah ini, sedang dilakukan pembuatan rel kereta baru yang baru pada tahap pembukaan jalan. Ketika kereta api melintas, serpih-serpih debu --meskipun di ruang tertutup--terkadang masuk melalui celah-celah jendela. Dan hal ini diperparah ketika memasuki areal lahan gambut, pemandangan yang tersaji di kanan kiri kami adalah lahan yang sedang terbakar. Asap pekat menyelubung. Langit terlihat kelabu sepenuhnya. Pun ketika kereta akhirnya memasuki Stasiun Kertapati, suasana berasap itu masih menyelimuti.
Stasiun Kertapati yang bersih dan besar

Stasiun Kertapati sendiri cukup menakjubkan bagi saya, yang pertamakali menginjakkan kaki di sana. Saya selalu memabyangkan stasiun kereta api di Sumatera--karena memiliki rute yang terbatas--pastilah stasiun yang biasa saja. Tapi ternyata Stasiun Kertapati cukup megah, bersih dan terlihat sangat nyaman. Dari stasiun ini, selain kereta api ke Lubuk Linggau juga melayani rute Palembang (Kertapati) - Lampung (Tanjung Karang) dengan waktu tempuh sekitar 10-12 jaman. Saya berpikir, jika ada kesempatan lain waktu ingin mencobanya juga. Sementara kereta api lokal dari kertapati ke indralaya. Selain itu, stasiun ini terutama dihidupi oleh kereta api batu bara yang agaknya beroperasi sejak dulu kala.  

Palembang sedang diselubungi kabut asap, seperti juga beberapa kota di Sumatera lainnya seperti Jambi dan Pekan Baru. Karenanya, sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi Palembang saat seperti ini.  Tapi yah, apa boleh buat karena kesempatannya memang baru didapat saat seperti ini.
Jembatan Ampera yang berselubung kabut asap

Selama di Palembang, kami menginap di rumah temannya teman di daerah Jl Sultan Syahrir. Karena tidak paham transportasi umum di sini, kami memutuskan untuk naik taksi saja. Karena agak lama menunggu tak ada taksi melintas, teman saya menelepon Blue Bird dan kami menunggu di pinggir jalan depan stasiun. Tak berapa lama, beberapa orang lelaki yang sedari tadi berdiri di sekitar kami, memanggil kami dengan ramah, mengatakan bahwa tkasi kami sudah menunggu. Jujur, saya sudah agak curiga melihat keramahan mereka karena mereka terlihat bukan sebagai petugas ataupun sopir taksi. Dan benar saja, ketika kami sudah masuk ke taksi, dia langsung menodong kami dengan uang parkir: Rp. 10.000! Padahal taksi baru saja sampai, berhenti di pinggir jalan umum pula.  Meski merutuk kemudian, kami tak ingin ribut dan segera memberi uang yang diminta. Sopir taksi terlihat kurang enak dan mengatakan bahwa ia juga tak bisa berbuat apa-apa karena itu sistem di sini. Inilah hal yang saya benci dari negeri ini: premanisme. Hal yang juga membuat saya merasa malu sebagai sesama orang Indonesia. Kenapa sih harus mencari rejeki dari hal-hal kurang menyenangkan seperti itu?

Taksi melaju dan jalanan sangat ramai. Kami melntasi seputaran Jembatan Ampera dan saya mengais ingatan samar tentang kota ini. Sebenarnya saya sudah dua kali menginjakkan kaki di kota ini. Pertama tahun 2009 lalu dan terakhir tahun 2013.  Entah karena waktu itu tak banyak tempat yang saya kunjungi atau memang sudah berubah, saya merasa kota ini tak seperti ingatan saya. Jauh lebih ramai, jauh lebih riuh dan besar. Ketika taksi membawa kami menyusuri daerah pertokoan yang padat dan semarak, saya kembali merasa takjub. Saya selalu merasa bahwa palembang adalah kota besar tapi dalam bayangan saya,  kotanya tak sebesar ini. Di selang-seling pertokoan yang semarak dan menjulang, kota ini dipenuhi kanal-kanal dengan air kehitaman yang nyaris kering dan dipenuhi sampah diamna-mana. Mungkin karena musim kemarau semuanya terlihat kelabu, berdebu, usang dan kumuh. Setelah sekitar 30 menitan kami sampai di tujuan dan argo taksi menunjuk angka Rp. 60.000.

Kami tak memiliki banyak referensi soal Palembang.  Lagipula, Palembang sebenarnya memang bukan tempat yang kaya akan obyek wisata. Tujuan kami ke kota ini lebih karena ingin mencoba kereta api. Tapi karena sudah berada di kota ini, kami ingin jalan-jalan juga. Setelah browsing-brwosing di internet, kami mendapat beberapa referensi tempat wisata di sekitar kota. Salah satunya adalah Pulau Kemaro.

Kami pergi ke Pulau Kemaro pagi-pagi sekitar pukul 10-an. Kami naik angkot dan turun di bawah Jembatan Ampera yang memang menjadi salah satu meeting point angkutan umum di kota ini. Dari sini, kami mencari boat yang akan mengantarkan kami menyeberang ke Pulau Kemaro. Karena merupakan tujuan yang populer, para sopir boat di sana langsung riuh menawarkan boatnya pada kami. Suasana pinggir sungai sendiri sangat ramai. Saya baru ngeh kalau sungai Musi merupakan salah satu sungai tersibuk di Indonesia sepertinya. Syukurlah meski musim kemaru panjang, debit air sungai ini masih cukup besar sehingga perahu-perahu masih berlintasan.
Riuhnya kehidupan di pinggir Sungai Musi

Seorang abang-abang menawari kami menaiki boatnya. Harga yang ditawarkan adalah Rp. 300.000 pp dengan boat. Kami mencoba menawar Rp. 150.000, tapi dia tidak mau. Setelah agak lama, akhirnya kami sepakat pada harga Rp. 180.000. Menurut teman saya yang orang Palembang, tarif standarnya Rp. 200.000. Jadi harga itu cukup masuk akal.

Perjalanan ke Pulau Kemaro sebenarnya dekat saja. Setelah terguncang-guncang di atas boat selama sekitar 15 menit di atas Sungai Musi, kami akhirnya sampai. Pulau Kemaro sendiri adalah sebuah delta di tengah Sungai Musi dan yang menjadi menarik adalah karena di ataasnya dibangun wihara yang cukup megah. Tapi konon tempat ini baru ramai pada perayaan imlek atau cap gomeh. Sehingga ketika kami datang, tempat ini sepi saja. Hanya ada satu dua pengunjung selain kami. Dan kalau diamat-amati, sebenarnya tempat ini juga kurang terpelihara. Ditambah lagi karena musim kemarau, rumput dan pepohonan di sekitar wihara juga banyak yang kering dan meranggas. Tapi pada beberapa sudut, cukup menariklah sebagai spot untuk foto-foto.

Setelah puas menjepretkan kamera di Pulau Kamaro, kami singgah di Pasar 16--salah satu pasar terbesar di Kota Palembang. Pasar ini tepat berada di pinggir Sungai Musi. Terlihat sangat ramai dan besar. Tujuan kami? Mencari barang second hand. Hehe. Tapi ternyata tidak terlalu banyak. Setelah puas, kami singgah untuk sholat dzuhur di Mesjid Agung yang hanya berlokasi di seberang pasar.
Mesjid Agung Palembang

Mesji Agung Palembang berupa bangunan mesjid yang terlihat megah dan artistik. Gaya arsitekturnya sedikit bernuansa Tionghoa. Seperti diketahui, Palembang memang memiliki pengaruh Tionghoa yang kuat. Setelah sembahyang dan foto-foto di depan mesjid, kami melanjutkan perjalanan lagi ke obyek wisata lain yang letaknya juga tak terlalu jauh dari Mesjid Agung, yakni Benteng Kuto Besak. Seperti namanya, merupakan benteng tua yang kemudian digunakan sebagai markas ABRI. Yang menarik, benteng ini berada di pinggiran Sungai Musi. Jadi sambil melihat bangunan tua, bisa dilanjutkan dengan duduk-duduk di pinggiran sungai sambil menikmati jajajan pinggir jalan yang memang banyak terdapat di sana. Kami menyempatkan diri duduk-duduk di pinggir sungai, tapi tidak terlalu menikmati karena udara masih dipenuhi kabut asap sehingga lama-lama mata terasa perih. 
Benteng Kuto Besak

Sebenarnya saya ingin ke Bukit Siguntang yang konon merupakan situs sejarah.  Tapi karena hari sudah sore dan badan juga lelah (mungkin karena paparan kabut asap), kami memutuskan mencari udara yang lebih segar. Tebak di mana? Mall. Hehe. Ya itung-itung cuci mata, karena memang sudah lama tidak pergi ke mall. Tujuan kami hanya untuk refreshing saja dan karena pertimbangan akses, kami memilih mall Palembang Indah Mall.  Berhubung kami tak terlalu suka window shopping, kami memutuskan untuk nonton film saja di XXI. Sayangnya, sedang tidak banyak film bagus yang diputar. Dan setelah menimbang-nimbang, kami sepakat nonton film berjudul Crimson Peak, garapan sutradara Guillermo Del Torro dan dibintangi dua bintang yang cukup terkenal: Mia Wasiwoska dan Jessica Stain. Karena buakn sedang weekend, kami membayar tiket Rp. 35.000/orang. Filmnya sendiri tidak terlalu istimewa, tapi lumayan lah.

Usai dari bioskop kami llngsung pulang karena khawatir tidak ada lagi angkot. Meskipun kota yang cukup besar, tapi konon angkot di sini hanya beroperasi hingga sekitar pukul 9 malam. Pun pada pukul 7-8 sudah sepi.  Tarif angkot jauh dekat adalah Rp 4000/orang.

Keesokan harinya, kami bersiap untuk kembali ke Linggau. Jadwal keberangkatannya sama saja, yakni pukul 09.30 pagi. Tapi kali ini perjalanan lebih lambat. Mungkin karena menjelang akhir pekan , sehingga banyak orang bepergian. Kereta berhenti hampir di semua stasiun kecil, menaikturunkan penumpang. Perjalanan juga terasa kurang nyaman. Sepanjang jalan, lagi-lagi si petugas keamanan terus menerus mengingatkan kami untuk menutup jendela. Ruangan terasa panas meskipun ac dinyalakan. Kami mulai merasa bosan, penat dan lapar. Meski sudah membawa aneka cemilan, tapi rasanya masih belum puas. Harga makanan di dalam kereta sebenarnya cukup terjangkau. Untuk nasi goreng dengan telur dadar dan nasi ayam goreng dihargai Rp 18.000 per porsi sedangkan Popmie Rp. 7000/porsi (harga yang menurut saya cukup murah dibanding kereta api yang pernah saya naiki di Jawa). Tapi pilihan menunya terbatas sehingga kami tak cukup berselera untuk makan.

Sekitar pukul 6 petang, bersama adzan magrib yang berkumandang, kami sampai di Linggau. Meskipun agak melelahkan, namun perjalanan singkat ini cukup menyenangkan lah.

(Perjalanan ini dilakukan pada tanggal 13-14 Oktober 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar