Laman

Kamis, 22 Januari 2015

Medan: Air Terjun Dua Warna

Kami--saya dan teman saya, E, --naik kendaraan jurusan Medan-Berastagi-Kabanjahe di Simpang Kuala, Padang Bulan. Setelah sekitar setengah jam menunggu dan kami sudah bosan, barulah bis berangkat.

Bis yang kami tumpangi adalah bis tua dengan badan bis berwarna meriah serta kursi-kursinya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nyaris tak ada ruangan yang tak dimanfaatkan untuk menampung penumpang. Penuh sesak kami dijejalkan dalam kotak tua itu. Suaranya meraung-raung gahar meski lajunya tak terlalu kencang. Karena musim liburan, jalanan cukup padat. Untunglah Si Abang Sopir tanpa rasa takut salip sana salip sini sehingga kendaraan yang kami tumpangi tak perlu ikut terjebak macet. Tak berlebihan kiranya kalau istilah 'sopir Medan' terkenal. 

Sibolangit

Hampir pukul 12 ketika kami sampai di Bumi Perkemahan Sibolangit. Di perkemahan ini, kami berharap akan ada papan petunjuk atau semacamnya, harus ke arah mana kami berjalan untuk menuju air terjun. Tapi begitu menjejakkan kaki turun dari bis, kami kebingungan karena tak ada petunjuk apapun. Sambil menyusuri jalan masuk beraspal, kami menengok ke kanan-kiri, mencari-cari siapa kiranya yang bisa ditanyai.Kami kemudian  memutuskan untuk singgah di warung makan, makan siang sekaligus mencari informasi di sana.


Informasinya sendiri agak simpang siur, karena informan kami adalah ibu-ibu penjaga warung yang pastinya belum pernah menginjakkan kaki ke air terjun. Ada yang menyebut butuh waktu 1 jam, ada yang 4 jam... ada yang menyarankan pakai guide saja...

Saya mulai agak bimbang. Perkiraan saya, perjalanan sekitar 2 jam. Pulang pergi, 4 jam. Dan tentu saja, perlu istirahat setidaknya 1 jaman. Hari sudah cukup siang, sehingga saya khawatir kami akan kemalaman di jalan. Sementara kami tak membawa perlengkapan apapun. Namun karena teman saya begitu bersemangat, saya pun ikut saja.

Guide
Usai makan, kami melanjutkan perjalanan ke ujung Bumi Perkemahan menelusuri jalan mulus beraspal. Karena saya tak tahu sampai mana batas jalan beraspal, sempat terpikir di benak saya jika jalannya sebagus ini, kenapa nggak ada ojeg saja ya? Kami pun mulai ragu dan setelah mulai lelah berjalan, memutuskan bertanya di sebuah warung.
    'Mau ke air terjun?  Kesana,' dia menunjuk hutan perbukitan di kejauhan. 'Berdua saja?' Abang yang kami tanyai tampak tak yakin. 'Lebih baik pakai guide saja.'
    'Memang jalannya susah ya, bang?'
    'Susah sih tidak, tapi karena banyak orang kesana, suka bikin jalan sendiri jadi kalau belum biasa bisa tersesat. Tadi malam kami baru mencari orang sesat,  jam 2 baru ketemu.' tak ada nada menakut-nakuti dalam nada suara Si Abang, tapi nyali kami pun tiba-tiba ciut.
    'Lebih baik pakai guide.' si abang mengulang.
    'Mahal nggak, bang?' tanya kami ragu. 
    'Ya itu bisa ditanya nanti. Biar saya hubungi.' dan tanpa menunggu persetujuan kami, si abang menelpon entah siapa. Setelah bicara beberapa saat, ia kemudian memanggil ke arah seberang, pada seseorang di dekat tenda di bawah pohon pinus.  Seorang lelaki muda berkulit gelap dan kepala plonthos mendekat. Si Abang menerangkan kalau kami mau ke air terjun. Kami langsung bertanya soal harga. Si Abang plonthos berpikir sejenak.
    'Biaya masuk per orang 22.500.' dia berpikir lagi. 'Kalian kasih lah semuanya 100.000.'
    'Dua orang 100.000?' kami menegaskan. Si Abang mengangguk. Kami berpikir sejenak. Sebenarnya jumlah itu cukup murah dari yang saya bayangkan. Saya sempat berpikir bahwa satu orang 100.000 atau malah 200.000.
    'Nggak bisa dikurangi lagi ya?' kami bertanya, mencoba menawar.
    Si Abang hanya tersenyum.'Itu sudah murah. Biasanya lebih mahal dari itu.' Saya pikir juga begitu. Dan kami pun sepakat dengan harga itu.

Perjalanan
Kami langsung berangkat. Kabut mulai turun di perbukitan dan ada tanda-tanda hujan akan turun. Kami tak bawa mantel atau apapun.

Setelah berjalan sekitar setengah jam menyusuri jalan beraspal, kami mulai masuk jalan tanah setapak yang dikelilingi pepohonan, lalu menyusuri sungai berair jernih dan dingin bukan main, lalu jalan tanah lagi, menanjak, lembab, licin, dan ditumbuhi akar-akaran. Di kanan kiri jalan, di bawah kerindangan pepohonan, banyak tenda-tenda orang yang sedang berkemah. Dan seperti itulah sepanjang jalan menuju air terjun. Sesekali kami berpapasan dengan serombongan orang-orang yang juga baru dari air terjun dan mereka bertanya heran:
    'Baru berangkat? Balik malam ya?'
    'Iya,' Jawab Si Abang santai. Kemudian dia berpesan pada kami, 'Kita berangkat jalannya cepat ya, nanti kalau balik baru kita santai-santai,' Ok!
Jalan setapak menuju telaga Dua Warna dengan vegetasi pepohonan hutan dataran tinggi

Semakin ke atas, udara semakin dingin dan jalanan semakin basah. Saya memperhatikan sekeliling, pada barisan pepohonan  dan membandingkan dengan hutan dataran rendah di Jambi,  yang sering saya masuki. Berbeda memang. Berjalan di hutan dataran rendah, saya pasti sudah mandi keringat dan diserbu pacet. Di bawah pohon-pohon besar juga lebih semak. Di sini, pepohonan lebih kecil-kecil, dan di bawahnya hanya beberapa perdu yang tumbuh. Saya juga tak menemukan pacet sepanjang perjalanan.

Kami berjalan cepat-cepat dan tak terlalu banyak bicara. Si Abang tak bicara kalau tak tak ditanya. Tapi dia terlihat cukup bertanggung jawab dan profesional. Namanya Aman, aslinya orang Banten tapi lahir dan besar di Berastagi. Dari logat bicaranya tentu tak akan ada yang menyangka kalau ia orang Banten karena sudah sangat Karo. Saya bertanya hal-hal formal saja, seperti:
    'Apa ada organisasi untuk guide-guide di sini?'
    'Dulunya ada, tapi sekarang sudah pecah karena ada orang-orang yang mau masuk dan berani bayar mahal, jadinya sekarang sendiri-sendiri saja,'
    'Kalau uang masuknya itu untuk apa? Siapa yang mengelola?'
    'Itu untuk orang sini saja. Untuk keamananannya lah.'
    'Oh, jadi bukan pungutan resmi dari kehutanan atau apa, gitu?'
    'Nggak, nggak. Nggak ada untuk kehutanan. Sebenarnya kalau nggak bayar ya nggak apa-apa, tapi kalau ada apa-apa ya mereka tak mau membantu,'
    'Ooh. Apa ada orang luar yang dulu membuka lahan di hutan?'
    'Dulu ada. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah dibuat aturannya.'
    'Kalau ngambil kayu?' ah, sepertinya saya jadi sedikit latah soal kehutanan.
    'Kalau ngambil kayu ada. Kemarin baru ada yang ditangkap.'
    'Sering penangkapan begitu?'
    'Ya lumayan sering lah,'
Sebagian perjalanan menyusur sungai dengan batu-batu yang berlumut dan licin

Agaknya jalan kami cukup cepat karena beberapa kali kami berhasil menyalip rombongan yang sudah berangkat sejak pagi. Kebanyakan adalah anak-anak muda berpasang-pasangan. Sedikit geli melihat rombongan yang kami salip ini karena umumnya mereka mengenakan pakaian yang kurang cocok untuk kegiatan outdoor: celana hot pants dan sandal berhak, laiknya mau jalan-jalan ke mall saja. Di medan seperti itu, tentu saja mereka jadi kesulitan berjalan. Saya berpikir, pasti sangat tak nyaman dan melelahkan. Entah disengaja atau memang mereka tak berpengalaman. Meski begitu, saya merasa  kagum, walaupun gaya mereka anak mall tapi terlihat begitu bersemangat untuk bertualang.

Air TerjunNan Indah Permai!
Setelah berjalan selama 2,5 jam, akhirnya kami sampai. Saya ternganga melihat pemandangan di depan mata saya dan hanya satu yang keluar dari mulut saya: 'Wow!' dan saya mengulang kata itu berkali-kali 'wow!  wow!...' menakjubkan! sangat menakjubkan. Air terjun setinggi kira-kira 100 m (hmm, saya tak tau persis. saya payah soal ukur-ukuran). Airnya berwarna kehijauan, terlihat begitu indah permai. Dan jika kita sentuh, airnya dingin bukan main. Di  seberang air terjun itu, ada air terjun lebih pendek, mungkin hanya sekitar 2 m. airnya berwarna putih bening dan lebih hangat. Dua warna itu menyatu dalam sebuah aliran sungai, berkelok-kelok di antara bebatuan berlumut hijau, aakh...GORGEOUS!!!
Air terjun kehijauan yang indah permai!

Rasa letih selama perjalanan sepertinya menjadi tiada artinya. Saya merasa...entahlah, sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Saya hanya berpikir, kelak, semoga ada kesempatan lagi untuk kesana. Cuma satu yang saya sayangkan, sampah plastik yang berserakan!
Ari terjun yang lebih pendek dengan air berwarna putih dan lebih hangat

Kami berfoto-foto sepuasnya. Dan karena hari sudah beranjak sore kami memutuskan untuk pulang, takut kemalaman di jalan. Apalagi langit juga sudah mulai gelap dan rintik hujan turun. Begitu memasuki hutan, jalanan sudah gelap dan kabut turun. Padahal jam baru menunjukkan pukul 3 sore. Kami berjalan cepat-cepat dan melupakan rencana pulang dengan lebih santai.


 Pulang & Bang Aman
Menjelang petang kami sampai di Sibolangit. Mungkin karena kelelahan, perjalanan pulang ini terasa lama. Bang Aman menawari kami untuk minum atau makan dulu sebelum menunggu kendaraan, dan itu juga yang kami pikirkan.

Kami diajaknya singgah di rumah makan di mana kami makan siang tadi. Karena kurang berselera makan, kami hanya memesan minuman hangat saja. Bang Aman bilang kalau pemilik warung itu adalah adik ibunya. Usai minum, ia bilang biar dia yang membayar. Sebenarnya saya merasa tak enak karena seharusnya kami yang mentraktirnya tapi juga tak bisa menolak.
Bumi Perkemahan Sibolangit menjelang petang

Kami pikir, kami akan berpisah dengan si Abang usai minum, tapi ternyata dia mengantar kami hingga menungu mobil. Bahkan dia yang mencegatkan mobil untuk kami. Kami bersalaman sebelum berpisah. Kami sempat terlibat obrolan hangat dan merasa lucu karena merasa akrab justru ketika hendak berpisah.  Tadinya, saya pikir, dia sama sekali tak peduli siapa kami. Dia seorang guide, pekerjaannya adalah menemani orang-orang yang butuh bantuannya. Setiap saat ia bertemu dengan orang-orang baru dan mungkin tak penting lagi baginya mengenal orang-orang itu, karena setelah pekerjaannya selesai, hubungan pun akan terputus. Begitulah yang saya pikirkan. Tapi melihat kebaikannya, membuat saya terharu.

Kekita mobil yang kami tumpangi melaju, saya berpikir, saya merasa sedikit menyesal: Mungkin kami seharusnya lebih ramah kepadanya. Saya juga merasa sedikit sedih mengingat mungkin hanya itulah kesempatan kami bertemu dan setelah itu kami akan saling melupakan satu sama lain. Tapi itulah kehidupan, kadang kita bertemu seseorang hanya sekejap dan kemudian saling melupakan.

Jalanan padat sekali dan kendaraan merambat pelan. Bisa dipahami karena jalan yang kami lalui adalah jalur wisata dan ini hari libur. Rasa lapar bercampur letih membuat perjalanan terasa membosankan. Meski si Abang sopir sudah berusaha menerabas setiap celah yang ada, tetap saja susah menghindari kemacetan. Karena penat, akhirnya saya tertidur dan terbangun ketika sudah sampai di kota Medan, disambut keriuhannya yang seperti tak pernah mati. ***

How to get there?

- Cari mobil jurusan Medan-Berastagi/Kabanjahe di Padang Bulan - Bilang sama Abang Sopir untuk turun di Bumi Perkemahan Sibolangit (kanan jalan)
- Ikuti jalan masuk dan tanya saja pada masyarakat di situ
- Lebih baik pakai guide
- Perjalanan ke air terjun kira-kira 2 jam jalan kaki, jalanan biasanya lembab dan licin, jadi pakai sepatu senyaman mungkin. Saya pakai sendal gunung eiger dan cukup nyaman
- Bawa baju ganti kalau mau mandi-mandi
- Jaga kebersihan di lokasi!

Catatan: Saya mengunjungi tempat ini di awal tahun 2010. Karenanya saya yakin sudah banyak berubah, meski kalau saya baca-baca perubahannya tidaklah signifikan karena wilayahnya yang memang masuk hutan lindung sehingga tak memungkinkan adanya pembangunan massif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar