Laman

Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (2)

Batu Caves
Sebenarnya, nggak ada alasan khusus milih tempat ini sebagai tujuan pertama. Saya baca berbagai referensi di internet, memang tak terlalu banyak obyek wisata di Kuala Lumpur ini. Yah, seperti kebanyakan kota besar lah. Paling Cuma pusat-pusat perbelanjaan. Dan nama Batu Caves yang konon adalah gua dengan kuil Hindu, terdengar menarik bagi saya.

Kami naik KTM menuju ke Batu Caves. Pertama, kami harus beli tiket dulu di kounter. Dari KL-Sentral- Batu Caves tiketnya seharga RM 1,3. Kami diberi tiket yang berfungsi sebagai semacam pass untuk bisa masuk ke platform KTM. Platformnya terletak di lower ground, agak suram memang, tapi  terkesan tidak pengap dan yang jelas, bersih. Kami menunggu beberapa menit dan muncullah KTM yang akan membawa kami ke Batu Caves. Keretanya bersih dan adem.
Batu Caves

Di Batu Caves ini terdapat gua dan kuil Hindu. Untuk sampai ke gua, diperlukan untuk menaiki anak tangga batu yang konon jumlahnya sekitar 200-an. Monyet-monyet jinak berkeliaran di sepanjang tangga, siap merebut kantong makanan yang di bawa pengunjung. Jadi, harap berhati-hati degan barang bawaan!


Saat kami sampai di sana, hari sudah beranjak sore dan suasana ramai sekali oleh turis dengan berbagai warna kulit. Benar-benar terasa semarak, selain para pengunjung juga orang-orang yang sedang melakukan sembahyang. Gua ini memang unik, dengan stalagtit yang bergelantungan dan juga tempat persembahyangan. Namun menurut saya sih nggak istimewa-istimewa amat, jadi menurut saya ramainya pengunjung itu cukup membuat saya takjub.

Multikulturalisme
Melepas lelah, saya duduk di tangga, sembari mengamati pengunjung yang terus datang dan pergi.  Warna kulit dan wajah mereka beraneka ragam: Melayu, India, Arab, Barat, Asia...saya bertanya dalam hati, apa sebagian besar mereka turis domestik atau mancanegara? Seperti diketahui, di Malaysia ada 3 suku bangsa besar : Melayu, China dan India. Dan saya baca berita kalau komposisi ini sering menimbulkan permasalahan yang bersifat rasial. Dan saya pun berpikir itu hal yang bisa dipahami.

Mungkin orang akan mengatakan wajar kalau di Indonesia, seringkali terjadi konflik etnis karena ada begitu banyak suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Tapi saya bisa pikir, hal yang bisa dipahami juga jika di Malaysia, meski hanya ada 3 suku besar, tapi tak terhindar dari konflik semacam itu. Ketiga suku ini, benar-benar memperlihatkan perbedaan yang nyata: warna kulit, bahasa,latar belakang budaya. Dan mereka adalah berasal dari 3 suku bangsa besar: India, China, Melayu! Oke, di Indonesia ada Orang Jawa, Orang Batak, Orang Sunda, Orang Melayu...tapi rasanya perbedaan di antara suku-suku ini tak terlalu mencolok, at least, secara fisik dan kebudayaan mirip-miriplah.

Di KTM, dalam perjalanan kembali ke KL Sentral, saya  meneruskan lamunan saya di tangga Batu Caves, saya mengamati di dalam KTM juga di peron-peron. Sepertinya memang ada garis batas yang jelas tentang perbedaan etnis ini.

Orang-orang keturunan India bergerombol dengan orang-orang keturunan India, orang-orang Melayu bergerombol dengan orang-orang Melayu, demikian juga dengan orang-orang keturunan Cina. Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Jarang terlihat misalnya orang berwajah Melayu jalan bersama orang berwajah Cina, atau orang India dan sebaliknya. Tak urung saya membandingkan dengan di Indonesia: adalah hal biasa orang-orang dari suku tertentu jalan dengan suku tertentu, ngobrol dengan sangat cair...

Lamunan saya buyar  ketika sampai di sebuah pemberhentian dan ada penumpang masuk. Seorang Ibu keturunan India ngamuk-ngamuk karena ada serombongan lelaki berwajah India yang masuk ke gerbong kami, yang kebetulan adalah gerbong khusus perempuan. Para lelaki itu pun langsung kabur ke gerbong lain. Satu hal lagi yang saya amati di KTM atau di angkutan umum lainnya seperti monorail: orang-orang Melayu atau India senang mengobrol, sementara Orang Cina lebih sering saling berdiam diri, membaca komik atau main game di hp. Well, ini cuma pengalaman subyektif saya yang cuma baru beberapa saat menginjakkan kaki di sana, lho ;)

Petaling Street
Kembali ke KL Sentral, saya janjian bertemu dengan teman SMA saya yang kerja di KL, Tina. Sedianya dia akan menjadi guide kami selama di KL. Tina juga yang membantu kami mencarikan penginapan di daerah Petaling Street, yang konon cukup strategis.

Karena hari sudah beranjak petang, kami pun langsung ke penginapan. Dari KL Sentral, kami naik bus ke Jalan Petaling dan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit.

Kami turun di dekat Central Market, untuk kemudian jalan kaki beberapa meter hingga sampai ke Jalan Petaling. Memasuki Petaling, nuansa China langsung terasa. Ya, daerah ini memang merupakan kawasan Pecinan. Tulisan China, warna merah dan lampion bergelantungan di sepanjang jalan. Tidak hanya itu, karena suasana malam di tempat ini juga sangat semarak oleh orang-orang yang berjualan bermacam barang di sepanjang jalan. Mulai dari tas, kaos, kacamata, parfum, sepatu, makanan...para pembeli, yang kebanyakan kelihatannya adalah turis, berdesakan di antara lorong-lorong sempit. Suasana benar-benar terasa riuh rendah, belum lagi hawa gerah yang membuat badan lengket oleh keringat. Konon barang-barang yang dijual di sini adalah barang-barang bermerk dengan kualitas KW. Saya sendiri merasa nggak tertarik untuk membelinya barang-barang semacam itu.

Excel Inn
Penginapan kami bernama Excel Inn. Lokasinya nyempil di barisan pertokoan sepanjang jalan Petaling. Sebenarnya sih nggak susah menemukan penginapan ini  ketika jalanan sepi, tapi ketika jalanan tertutup oleh pasar malam, perlu usaha keras untuk menemukannya.

Di meja resepsionis, kami disambut seorang bapak tua keturunan Tionghoa dengan rambut sudah penuh uban. Mereka menawarkan kamar dengan harga RM 55 untuk single room, dan RM  66 untuk double room. Dia bilang sih nggak masalah kalau kami ambil yang single untuk berdua, tapi sempit. Jadilah kami ambil yang double room.Karena rencana kami stay dua malam, kami minta discount, tapi si Bapak ngotot nggak mau ngasih.
    ‘No discount for weekend,’ katanya. Karena berpikir harga segitu sudah lumayan murah dan setelah kami periksa kamarnya lumayan nyaman, ditambah lagi kami sudah ingin cepat-cepat mandi dan melepas lelah, kami setuju dengan harga itu.

Menikmati Suasana Malam di Bukit Bintang
Usai mandi, badan sudah terasa lebih segar, kami memutuskan untuk jalan-jalan sambil mencari makan malam di Bukit Bintang. Lokasinya tak terlalu jauh dari Petaling sehingga kami cukup jalan kaki kesana.

Sama seperti Jalan Petaling, Bukit Bintang juga merupakan pusat keramaian malam. Bedanya di sini, keramaian dipenuhi dengan berbagai kedai makanan yang berjajar di kanan kiri jalan, menawarkan berbagai menu. Kebanyakan adalah Chinese Food atau Thailand Food, tapi banyak yang halal kok.
Suasana semarak di Bukit Bintang


Asap mengepul dan aroma berbagai rempah menguar. Kami ditraktir tomyam sama Tina dan pacarnya. Untuk seporsi tom yam yang cukup besar (bisa untuk makan 4 orang), dihargai RM 20. Namun tomyamnya sendiri menurut saya kurang yahud, karena rasanya terlalu asam.

Usai makan, kami jalan-jalan di sekitar Bukit Bintang untuk melihat suasana malam, yang katanya berlangsung selama 24 jam. Saya nggak tahu apa karena waktu itu akhir pekan, tapi jalanan benar-benar ramai. Orang-orang, terutama anak-anak muda, berkerumun di sudut-sudut jalan.  Banyak dari orang yang lalu lalang itu berwajah Arab. Teman saya cerita, kalau pada bulan-bulan tertentu, akan banyak rombongan turis dari Arab.
   
Awalnya saya menikmati keramaian yang terasa semarak itu, tapi lama-lama saya mulai pusing. Dimana-mana orang berkerumun, lalu lalang...ya ampun, apa sih yang mereka cari? Apa sebenarnya istimewanya negara ini sehingga orang-orang asing senang berkunjung? Suasana yang terasa ‘welcome’! Imej yang bagus! Ya, saya pikir itu. Bagaimanapun indahnya negri kita, tapi kita punya imej yang tak terlalu bagus dan suasana yang kadang tak nyaman. Di sini, trotoar yang luas untuk pejalan kaki, lalu lintas yang tertib, kesemarakan yang hangat...

Setelah kelelahan dan kaki pegal berjalan, kami memutuskan kembali ke penginapan. Di tengah jalan, kami singgah ke restoran India sembari menunggu jemputan temannya Tina yang punya mobil. Kami memesan minuman. Saya memesan segelas teh tarik yang dihargai RM 1,6.

Beberapa saat kemudian temannya Tina datang. Seorang pemuda keturunan India berbadan tinggi besar. Ia memperkenalkan diri dengan ramah: Kris. Kris masih kuliah di kepolisian dan seperti kesan di awal, dia orang yang ramah. Kami mengobrol dalam bahasa Melayu yang cukup bisa saling dipahami.

Setelah sekitar setengah jam, kami pulang. Waktu memasuki Jalan Petaling, suasana sudah lengang. Stand-stand jualan sudah dibongkar. Hanya tinggal sampah-sampah yang berserakan (yang paginya sudah kembali bersih) dan lampion-lampion yang memberi cahaya temaram. Lelah bukan main, begitu masuk kamar kami langsung terkapar.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar