Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (2)

Menyinggahi Pulau Alai
Keesokan harinya, teman saya ternyata sudah membuat janji ketemu dengan bapak-bapak dari rombongan yang kami temui di kapal kemarin. Si Bapak akan mengajak kami menemui Suku Asli yang konon ada di Pulau Alai, pulau kecil di seberang Tanjung Batu. Janjiannya pukul 7 pagi, karena kami rencananya akan mengejar kapal ke Dumai menjelang siang. Di luar mendung dan saya agak malas bangun, tapi bagaimanapun harus. Karena sedianya langsung check-out, saya mengemasi barang dan turun ke lobi. Sembari menunggu teman saya, saya pesan nasi lontong untuk sarapan dari warung sebelah yang nampak semarak.

Di meja resepsionis, selain lelaki tunawicara semalam, ada juga seorang perempuan berblazer kuning. Rapi sekali dia, dan cukup ramah. Mungkin dia bertugas siang hari, sementara lelaki Tegal semalam, bertugas malam hari.

Lelaki tunawicara menggerak-gerakkan tangannya, mengajak saya bicara. Saya pikir dia bertanya: apa saya mau ke pulau di seberang? Saya bilang iya. Dia tampak ramah.  Badannya yang tegap dan gempal seperti anggota gangster, sungguh kontras dengan ketunawicaraannya. Seorang lelaki tua berkulit terang bermata sipit muncul, sepertinya baru dari jalan-jalan. Mungkin dia pemilik penginapan ini. Lalu si perempuan berblazer kuning berjalan melintas di depan saya dan...saya terkejut melihat bahwa sebelah tangannya tak ada! Namun dia nampak santai dan percaya diri saja dengan semua itu. Entah bagaimana, tiba-tiba saya merasa tertohok dan ingin menangis. Apakah penginapan ini mempekerjakan orang-orang difable? Tiba-tiba saya ingin menulis sebuah cerita tentang mereka! Saya mengeluarkan buku, membuat draft. Tapi saya kesulitan membuat narasinya, mungkin karena suasananya kurang kondusif.

Teman saya muncul. Karena ribet harus menenteng-nenteng ransel yang berat, kami memutuskan untuk menitipkan tas kami di resepsionis saja. Tokh kami masih harus kembali ke pulau ini lagi nanti untuk mencari kapal ke Dumai.

Kami ke pelabuhan, yang letaknya cuma beberapa meter dari penginapan. Saya hanya menenteng pelampung. Maklum, saya tak bisa berenang dan punya pengalaman buruk dengan air. Hihi.

Kami janji ketemuan dengan si Bapak di pelabuhan, tapi ketika teman saya menelponnya, ternyata dia meminta kami menemuinya langsung di Alai, yang hanya terbentang beberapa meter di depan. Kami mencari angkutan penyeberangan, sudah terlambat. Karena kami ingin cepat-cepat, kami charter saja. Rp.20.000 dengan perahu kayu kecil yang biasa kami sebut pompong.

Perahu melaju pelan, melintasi perairan selat yang kecoklatan. Cuaca mendung dan saya agak khawatir kalau-kalau kehujanan.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di Pulau Alai. Si Bapak sudah menunggu di kedai kopi dekat dermaga bersama beberapa lelaki. Hm, khas desa-desa Melayu, pagi-pagi sudah berkerumun di kedai kopi.

Si Bapak terkesan lebih muda dan ramah dari yang kemarin kami temui. Kami menyalami lelaki yang lain, dan langsung ditodong dengan pertanyaan: untuk apa? Kami berusaha menjelaskan sebaik mungkin supaya bisa diterima dengan baik. Beberapa nampak antusias. Mereka sih sepertinya mengira kami wartawan dan tak terlalu berprasangka. Itu agak menguntungkan. Mereka mulai menceritakan tentang batu-batu legenda di pulau ini. Kami menanggapinya dengan tak terlalu antusias karena tujuan kami memang bukan untuk berwisata dan waktu yang kami miliki juga terbatas.

Sambil mengobrolkan hal basa basi yang tak terlalu penting, saya mengamati seorang lelaki tua yang berjalan sempoyongan beberapa meter di depan kami. Menurut para lelaki itu, lelaki tua itu gila. Kecelakaan sewaktu bekerja di Malaysia membuat kepalanya harus dioperasi. Mungkin ada yang harus diambil dari kepalanya dan syaraf otaknya setengah tak berfungsi. Dan dia tak sendiri. Ada juga lelaki tua yang lain, sepertinya keturunan Tionghoa yang juga bertingkah seperti orang gila. Keduanya mondar mandir saja di jalanan utama desa, tertawa-tawa sendiri...ini seperti sebuah dunia yang aneh. Kehidupan macam apa yang dijalani oleh orang-orang di pulau ini?

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, si Bapak akhirnya mengantar kami menemui Suku Asli. Hanya berjalan beberapa meter saja, menyusuri jalan tanah yang di kanan kiri tampak semrawut oleh rumah-rumah kayu panggung yang terlihat lembab, pohon-pohon kelapa, tumpukan tempurung kelapa. Konon, kopra adalah salah satu sumber penghasilan penduduk di sini. Sekilo bisa Rp. 4000. Sementara sawit cuma Rp. 600 perak, karena mungkin transportasinya susah.

Kami berhenti di depan sebuah rumah kayu yang cukup rapat dan reyot. Dari rumah sebelah, terdengar suara anak2 bernyanyi.' Ini rumah orang Asli, kata si Bapak yang tampaknya sudah cukup kenal dengan si pemilik. Kami masuk, disambut ramah si pemilik rumah. Sama sekali tak seperti yang kami bayangkan. Kami kira akan bertemu sekelompok orang dengan penampilan yang khas ternyata...mereka tak ubahnya seperti orang desa pada umumnya.

Mereka cukup ramah menyambut kami. Ada Pak Simon,si kepala keluarga, anak perempuannya, tiga menantu lelakinya, satu menantu perempuannya...rumahnya memang cukup sederhana, tapi cukup layak dan bernuansa ‘desa.’ Pak Simon berkulit gelap, demikian juga kaum lelaki yang lain. Mungkin karena paparan matahari terkait pekerjaannya sebagai nelayan. Dua  menantunya berwajah seperti keturunan India benggali.

Pak Simon terkesan cukup hangat, meski agak pendiam dan pemalu. Dia hanya sering tersenyum-senyum setiap ditanya, sementara dua menantunya yang aktif menjawab. Mereka mengaku sebagai Suku Asli, asalnya dari Tanjung Batu. Apa mereka kenal Suku Akit? tanya kami. Tidak. Kata mereka. Mereka hanya tahu bahwa mereka Suku Asli. Pekerjaan mereka nelayan. Sejak dulu kala. Salah satu menantu Pak Simon, mengatakan kalau dia kadang juga berburu babi di pulau sebelah.

Di sebelah, terdengar anak-anak menyanyikan lagu-lagu pujian. Mereka sedang mengikuti Sekolah Minggu. Ada seorang pendeta dari Medan, katanya. Di tengah obrolan, si pendeta ini muncul, seorang perempuan berpenampilan necis dan berwajah ala misionaris. Melihat kami, tersirat pandangan penuh selidik. Sejak lima tahun belakangan kelompok Pak Simon aktif sebagai kristen yang taat, meski sebenarnya mereka sudah beragama cukup lama.

Lalu kami bertanya, dimana suku yang masih benar-benar asli? Di Penyalai, kata mereka. Si Menantu bilang, bahwa dia pernah singgah di sana dan para perempuan masih bersembunyi ketika melihat orang luar datang. Mereka berkebun untuk diri sendiri dan cenderung ‘belum gaul’, istilah mereka. Kami antusias mendengar cerita si Menantu. Inikah suku yang kami cari? Saya membayangkan sekelompok masyarakat asli yang masih tertutup dan masih setengah bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Kami harus kesana! Tapi tidak ada perahu yang sampai kesana, kecuali pagi jam 7 pagi.
    "Coba saja charter," saran si Bapak, demi mendengar ini, ingin ikut.
    "Berapa charter kesana?"
    "Dua ratus ribuan mungkin?" Hmm, agak mahal, tapi masih terjangkau lah.

Cuaca masih mendung ketika kami keluar dari rumah Pak Simon. Kami yakin bahwa kami bisa mencharter boat. Kami pun memutuskan untuk mampir ke warung di pinggir jalan, meski kecil tapi nampak penuh sesak. Sebagian barang-barang yang dijual adalah produk Malaysia, terutama aneka makanan ringan. Pemiliknya, keturunan Tionghoa. Kami membeli ini itu. Saya membeli satu kilo pisang, beberapa bungkus roti, maksudnya untuk bekal kalau jadi pergi karena mungkin di Penyalai kami tak akan banyak menemukan toko. Imaji saya tentang Penyalai adalah pulau yang sepi dan masih dilingkupi banyak hutan.

Sementara kami belanja, si Bapak mencari informasi soal charter boat. Ternyata: 800 ribu! Damn! Itu sangat mahal, dan kami pikir it’s not that worthed. Tapi si Bapak mengatakan, bahwa masih ada boat ke Penyalai jam 2 siang. Tapi biasanya tak akan sampai di lokasi Suku Asli. Masuknya bisa naik ojek. Kami mempertimbangkan alternatif itu, mengucap terimakasih dan pamit.

Kami kembali ke Tanjung Batu dengan perahu reguler, tarifnya cuma 5000. Karena ingin memastikan boat ke Penyalai, kami minta diantar ke dermaga dan  menambah ongkos Rp. 5000. Masih pukul 10 pagi, dan kami berharap ada boat lebih awal. Ternyata hanya tinggal yang jam 1 siang. Kami membatalkan rencana ke Dumai hari ini dan memutuskan ke Penyalai. Mengisi waktu, kami ambil barang di hotel dan berniat mencari informasi dari orang-orang sekitar.


Akhirnya kami mendapat informasi tentang keberadaan Suku Akit di pulau ini. Ada seorang juragan kaya yang konon keturunan Suku Akit, meski berayah keturunan Tionghoa. Info ini diperkuat dengan pernyataan seorang informan kalau dia dulu satu sekolah dengan si juragan dan si juragan ini sering diejek 'Akit.' Kami diarahkan untuk pergi ke bagian lain pulau ini, yang konon merupakan tempat bermukim Suku Akit. Nama tempatnya, Batu Dua.

Kami minta antar ojek ke sana. Agak jauh ke pinggiran. Melintasi kota utama yang terlihat ramai. Ya, meski kota kecamatan, Tanjung Batu memang cukup ramai karena sepertinya, menjadi pusat dari pulau-pulau kecil sekitar.

Batu Dua dan Cerita Kepahlawanan Pak R
Batu Dua merupakan desa yang bersuasana cukup urban karena memang jaraknya dekat dengan kota kecamatan. Di sana, kami langsung menemui Pak H, yang disebut sebagai keturunan Suku Akit. Pak H mengatakan kalau ibunya memang keturunan Suku Akit, tapi dia sendiri sama sekali tak paham tentang Suku Akit. Ibunya yang bisa ditanya-tanya juga sedang pergi. Dia kemudian menawarkan agar kami ke Pak R, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat yang juga keturunan Suku Akit.
Kami setuju dan diantar ke tempat Pak R.

Pak R menyambut kami dengan sedikit canggung. Wajahnya khas, mengesankan 'Suku Asli.' Tapi ketika kami tanya tentang Suku Akit, nada suaranya agak naik dan dia langsung menjelaskan panjang lebar, bahwa dirinya dan orang-orang di tempat itu bukan Suku Akit, meski orang luar menganggap mereka Suku Akit. Mereka adalah keturunan (maksudnya, Tionghoa), kata Pak R. Nenek moyangnya dalah marga Se Ng dari Tiongkok yang pergi meninggalkan Tiongkok karena tak mau dijajah Belanda. Saya dan teman saya berbagi pandang: memang Cina pernah dijajah Belanda? Meski begitu, kami mendengarkan saja cerita Pak R. Konon, si Ng ini pergi, melewati Singapura, membunuh musuh-musuhnya dan kemduian sampailah di pulau ini. Demikianlah cerita Pak R.
    "Bagaimana dengan Suku Hutan?" tanya kami, berusaha mencari penegasan istilah.
    "Mereka yang hidup di hutan-hutan, di Rupat." ujar Pak R. "Yang masih ‘primitif’, telinganya panjang-panjang...,"
    Saya mengamati foto-foto yang dipajang. Foto tua mungkin orang tua Pak R. Wajahnya seperti orang Melayu kebanyakan. Saya mengamati wajah Pak R. Wajahnya juga sangat Melayu dan rambutnya cenderung ikal, nyaris keriting. Karena sudah siang, kami pamit. Dugaan kami, sepertinya Pak R berusaha menyembunyikan jati dirinya. Dia Orang Asli, tapi tak mau mengakui, mungkin ini terkait stigma negatif yang sering dilekatkan pada suku-suku minoritas seperti ini.

Menuju Pulau Penyalai
Kami kembali kepelabuhan untuk mengejar kapal ke Penyalai. Kapalnya sederhana saja, berukuran sedang dan cukup nyaman. Saya terkantuk-kantuk karena bosan. Di depan kami, dua anak muda berwajah Tionghoa terus mengoceh sepanjang jalan dalam bahasa Mandarin yang membuat suasana seolah sedang di antah berantah.

Dua pertiga perjalanan, saya tertidur. Kadang terbangun oleh guncangan kapal menghantam ombak. Sekitar dua jam kemudian kami sampai. Penyalai. Meski tak seramai Tanjung Batu, tapi juga tak "seterbelakang" yang saya bayangkan. Seperti wajah pulau-pulau di sini, di depan dermaga adalah ruko-ruko kecil, meski terkesan lebih sepi dan terbengkalai. Kami memutuskan singgah di warung kecil untuk mencari makan, sambil mencari2 informasi tentunya.

Di sini, istilah Suku Asli cukup familiar. Mereka menempati salah satu bagian belakang pulau ini, Tanjung Medan. Untuk kesana, kami bisa naik ojek, sekitar sejaman. Untuk menginap, ada penginapan milik Pak Haji di depan menara komunikasi. Tarifnya Sekitar 50 ribu, tapi ada kamar mandinya. Bersih, promo mbak penjual jus.

Karena pengalaman di Tanjung Batu kami begitu banyak penginapan cukup bagus yang murah meriah bertebaran, sedikit banyak saya membayangkan penginapannya semacam itu. Ternyata... penginapannya adalah tempat yang memang sangat pas disebut "penginapan" karena memang sangat sederhana. Sebuah rumah kayu yang terkesan muram dan usang. Sekadar kipas angin juga tak ada. Meski tak kotor, tapi juga tak bersih. Tapi karena itu satu-satunya, kami tak punya pilihan. Setelah meletakkan barang, kami segera mencari ojek ke Tanjung Medan. Berdasarkan informasi, kami disarankan untuk menemui Pak K, salah seorang tokoh masyarakat yang merupakan Suku Asli.

Ongkos ojeknya tak terlalu mahal, si Abang ojek minta 20 ribu saja pulang pergi. Kami menelusuri jalanan yang dicor yang tak sepenuhnya bagus. Di banyak bagian sudah retak-retak, miring-miring, mungkin karena struktur tanah di bawahnya yang terlalu lembek.Di pulau ini, tanahnya adalah tanah gambut. Air kecoklatan mengalir dari parit di kanan kiri jalan. Lahan-lahan terbuka nampak berair dan hanya ditumbuhi rumput2 liar. Rumah-rumah sederhana berderet, sebagian mash kayu. Aroma bunga pinang semerbak, aroma khas desa-desa Melayu. Pohon-pohon kelapa menjulang, memberi keteduhan sekitar. Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa permepuan yang disebut Abang Ojek sebagai Orang Asli. Mereka berjalan kaki, penampilannya cukup khas tapi juga tak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan.
Setelah setengah jaman, kami akhirnya sampai di rumah Pak K. Dan yah, tak seperti yang saya bayangkan tentang "Rumah Orang Asli." Rumah kayu berbentuk panggung sederhana, tapi sudah terkesan umum juga. Dan yang lebih mengejutkan, kami disambut anak muda berlogat jawa. Usut punya usut, dia anak tiri Pak K. Jadi Pak K ini menikah dengan perempuan Jawa. Sedangkan Pak K nya sedang tak ada di rumah, jadi kami disarankan menemui Pak M, kakaknya Pak K. Kami setuju.

Rumah Pak M hanya di seberang jalan. Rumah panggung yang besar, paling besar di sekitar tempat itu. Entah kenapa, Pak M kurang ramah menyambut kami, meski begitu, tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Dia bilang memang mereka Suku Asli. Dia bilang memang kelihatannya sudah maju, tapi sebenarnya secara ekonomi belum. Mereka banyak jadi buruh untuk kebun jagung milik warga keturunan. Lalu dia mulai curhat, anaknya baru lulus SMA dan dia bingung karena tak bisa menyekolahkan anaknya yang minta kuliah. Dia menunjuk anaknya yang berdiri di depan rumah. Anak muda yang nampak bersih dengan penampilan khas anak muda jaman sekarang. Hmm...buyar sudah bayangan "ketradisionalan" Suku Asli di benak saya.

Mereka sudah punya akses ke pendidikan sejak lama, tak beda dengan masyarakat umum. Soal ekonomi? Yah, bahkan suku mayoritas pun memiliki masalah itu...

Lalu kami menyinggung soal Suku Akit, secara hati-hati saja karena pengalaman dengan Pak R. Pak M malah mengatakan kalau orang-orang Suku Asli di tempatnya memang sebenarnya disebut Suku Akit. Ada hubungannya dengan di Rupat? tanya kami. Pak M mengiyakan. Konon secara nenek moyang mereka dari sana.
    "Bagaimana bisa kesini?" tanya kami lagi. Dia pun tak tahu. Dia sudah generasi kelima di pulau ini dan tak ada kontak apapun dengan yang di Rupat. Hmmm... agak rumit juga. Bagaimana ya mencari jejak sejarah orang-orang ini? Karena sudah sore, kami pamit.

Kami sampai penginapan menjelang petang. Kami makan mie instan, yang dijual di lantai bawah. Usai makan, karena badan lengket oleh keringat, saya memutuskan untuk mandi.  Meski tadi saya melihat bahwa air di sini adalah air gambut, saya pikir di penginapan tersedia air tawar biasa. Tapi ketika masuk ke kamar mandi, ternyata airnya pekat kecoklatan. Air gambut! Teman saya mengeluh, merasa jijik dan 'tak tega' menggunakan air itu. Tapi saya nekad mandi saja. Apa buruknya sekali dua kali, orang-orang di sini bahkan harus menggunakan air seprti ini setiap hari!

Usai mandi, masih terlalu dini untuk tidur sebenarnya, tapi saya tiduran saja. Teman saya yang memang agak penyakitan, mengaku kelelahan dan ingin segera istirahat. Sebenarnya saya tak terlalu lelah, tapi tak tahu juga apa yang bisa dilakukan di tempat yang terasa "kering" seperti ini. Tak ada TV untuk hiburan. Di luar, suara rekaman burung walet bercerecau dengan berisik. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya jatuh tertidur.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar