Laman

Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (6-habis)

Selamat Pagi, Singapura...
Saya terbangun dengan badan seperti habis dipukuli. Rencana hari ini: keliling Singapura hingga sore dan sore langsung cari fery ke Batam. Kami tak punya peta karena lupa minta di informasi kemarin waktu di bandara, jadi masih merasa blank soal Singapura. Tapi dari catatan panduan, ada beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi: Chinatown, Little India, Orchard Road...
Suasana Geylang siang hari yang terasa lebih ramah

Sambil check-out, kami minta peta pada si ibu. Dia bilang dia cuma punya yang lama dan saya pikir karena masih bisa dipakai, saya minta juga. Kami berjalan keluar. Jalanan cukup lengang. Nuansa remang-remang semalam seolah sudah tak tersisa. Di pinggir jalan utama, toko-toko nampak semarak. Di tempat ini, nuansa China dan India berbaur. Saya berpikir untuk cari sarapan, tapi tak yakin kehalalannya. Kami mampir di warung kecil untuk membeli air mineral. 1 botol isi 600 ml diharga Sin $ 1.

Saya masih bingung hendak kemana dulu. Saya pikir lebih baik kami cari MRT saja. Tapi kami harus berjalan muter-muter hingga menemukan stasiun MRT. Langkah-langkah kami dari hari ke hari makin terasa berat saja. Setiap beberapa langkah kami harus berhenti untuk mengistirahatkan kaki. Keadaan saya parah karena luka kecil di tungkai saya, mungkin karena kelembaban dan debu, mulai meradang dan bernanah.

Dari rute MRT, kami melihat bahwa Chinatown dan Little India berdekatan. Juga Orchard Road, tapi tak ada rute yang langsung. Pilihan saya jatuh ke Little India.

Kesan saya, orang-orang Singapura ini benar-benar terkesan sibuk. Menuju MRT, mereka tampak begitu tergesa-gesa. Suara derap kaki mereka terdengar susul menyusul. Waktu menyeberang jalan juga begitu. Terburu-buru dan acuh. Saya yang biasa dengan budaya serba santai di negri sendiri, rasanya melelahkan melihat orang-orang yang seolah selalu dikejar waktu itu.

Sejenak di Little India


Little India masih sepi waktu kami sampai. Toko-toko masih banyak yang tutup. Karena saya tak berminat belanja, tak terlalu masalah. Kami keliling-keliling saja. Dari peta, saya baca ada tempat-tempat yang bisa dikunjungi: Kuil dan Mesjid. Lokasi keduanya cukup berjauhan. Karena lebih dekat ke kuil, kami ke kuil dulu. Tak ada yang terlalu istimewa. Hanya kuil pada umumnya da orang-orang yang sedang sembahyang. Kami foto-foto sebentar lalu berniat cari Mesjid.  Abdul Gafoor

Kami harus berjalan cukup jauh hingga menemukan mesjid yang nyempil. Kesan tuanya cukup terlihat, tapi terasa kurang dirawat. Waktu saya menginjakkan kaki di batas suci, pasir menempeli telapak kaki saya. Aroma apak juga menguar waktu saya masuk ke ruangan. Waktu saya ke toilet, toiletnya juga tak terlalu bersih. Ketika kemudian saya istirahat di depan masjid, aroma tak sedap seperti dari septik tank menguar.
Mesjid Abdul Gafoor


Mustafa Center
Kami meninggalkan mesjid untuk cari makan dan ke Mustafa Center. Penasaran saja dengan pusat perbelanjaan ini karena konon buka 24 jam. Saya penginnya makan di warung-warung saja, pasti suasananya lebih enak dan harganya juga lebih murah. Tapi di sekitar Mustafa kebanyakan adalah restoran yang saya yakin harganya tak kurang dari 8 dolar.

Kami mampir ke Mustafa sebentar. Benar-benar besar. Badan saya sudah basah oleh keringat. Cuek saja. kami memperhatikan barang-barang yang dijual adalah barang-barang yang ada di supermarket pada umumnya. Tapi benar-benar terlihat lengkap. Karena harganya cukup mahal kalau dikurs-in, saya tak berniat beli apa-apa. Tapi ketika menghampiri tempat minuman dingin, saya tertarik beli yogurt dua botol masing-masing Sin$ 1. Hal yang saya sesali kemudian karena rasa yogurt ini benar-benar parah. Tak ubahnya seperti minuman berperisa buah yang di jual di warung-warung seharga 1000 rupiah itu.

Porsi Jumbo Nasi Briyani dan Nasi Kuning

Keluar dari Mustafa, kami terus mencari kedai makan. Akhirnya nemu restoran India Muslim yang terlihat cukup sederhana. Di sana terpasang harga: nasi briyani: sin$ 5. Harga yang cukup terjangkau. Karena nasi briyani-nya pakai ayam, saya pesan nasi kuning dengan lauk ikan. Sementara teman saya pesan nasi briyani. Porsinya luar biasa besar. Saya pikir nasi kuning ini seperti nasi kuning di Indonesia, tapi ternyata teksturnya lebih lembek dan rasanya berempah. Beberapa suap saja saya sudah merasa eneg. Nasi briyani rasanya jauh lebih baik, meski juga bikin eneg kalau kebanyakan karena terlalu banyak bumbu.


Sambil makan, kami lihat-lihat peta. Saya pikir kami bisa ke Orchard atau Chinatown. Si penjual menghampiri kami: mau kemana? Tanyanya ramah. ‘Orchard.’ Saya bilang. ‘Orcard? Oh dekat sekali. Tinggal ke kiri, terus lurus: Orchard.’ Ohya? Tadi saya pikir kami harus naik MRT ke sana. ‘chinatown?’ tanya saya. ‘naik MRt’ oke. Thanks.

Tertatih Menuju Orchard Road
Mengikuti arahan mas-mas di kedai makan, kami ambil kiri dan jalan lurus menelusuri Little India. Tapi rasanya kami sudah berjalan cukup jauh dan kaki juga pegal bukan main, tulisan Orchard Road belum juga kelihatan. Katanya dekat? Yah, orang kadang punya versi berbeda soal jauh dekat.

Kami sudah nyaris menyerah dan cari MRT saja. Tapi kemudian kami melihat tulisan Orchard Road. Suasananya sih belum meyakinkan, tapi feeling saya pusat perbelanjaan itu ada di sudut lain jalan ini. Cuaca panas membuat langkah kami makin terseok-seok. Ada sebuah taman kecil di pinggir jalan yang indah dan terasa nyaman. Kami memutuskan berhenti disana. Karena suasananya nyaman saya ketiduran di bangku taman ini. Baru beberapa menit, terdengar suara ribut. Beberapa anak-anak ABG berdatangan. Mungkin mereka hendak mengerjakan tugas sekolah atau apa. Di negara yang rumah-rumahnya tak berhalaman begini, tentu public space sangat dibutuhkan. Dan agaknya Singapura paham akan hal itu.
Trotoar Orchard Road yang teduh, lebar dan bersih

Kami melanjutkan menelusuri Orchard. Semakin ke ujung, semakin terlihat bangunan-bangunan pusat perbelanjaan. Dan semakin dekat, saya paham kenapa tempat ini terkenal. Meski pusat perbelanjaan besar, tapi suasananya nyaman. Trotoarnya lebar dan teduh oleh naungan pepohonan di sepanjang jalan. Meski ramai tapi kesannya tidak crowded. Karena kami tak punya budget belanja, kami lewati saja pusat-pusat perbelanjaan dengan merek-merek terkenal itu. Sesekali berhenti di bangku untuk melepas lelah sembari memperhatikan tingkah polah orang-orang yang lalu lalang. Beberapa yang menenteng tas belanjaan bermerek, nampak begitu bangga.

City Hall: Esplanade Theater, Patung Merlion, "Mabuk" Mencari "Singa Mabuk
Teman saya ingin foto di patung singa, karena bagi dia, itu bukti kalau dia sudah ke Singapura. Saya sendiri sebenarnya tak terlalu tertarik dan juga kurang paham dimana patung itu, dan saya tak menemukan petunjuk di peta, tapi karena itu lambang Singapura, saya pikir letaknya tak jauh-jauh dari pusat pemerintahan. City Hall. Dan kami pun naik MRT ke sana. Keluar dari MRT, kami agak kebingungan karena tak ada petunjuk yang menyebut-nyebut Patung Merlion ini. Esplanade? Mungkin di sekitar itu dan saya pun mengikut petunjuk ke Esplanade. Kami sudah sampai di depan Esplanade Theater, tapi patung itu belum nampak juga. Padahal kami benar-benar sudah kelelahan.

Untunglah kemudian kami mengikuti serombongan cewek-cewek (entah China, Taiwan atau Vietnam), yang ternyata juga cari Patung Singa. Patung Singa ini memang letaknya melewati Esplanade. Dan alangkah leganya kami ketika di kejauhan, nampak si singa ini berdiri menjulang menghadap laut sambil tak henti memuntahkan air.

Hanya sebuah patung, tapi orang berkerumun di sekitarnya untuk berfoto. Benar-benar terasa konyol. Tapi suasana di sekitar patung ini sendiri memang cukup terasa nyaman. Angin laut bertiup semilir, para wisatawan bisa naik perahu di sekitar patung,udaranya terasa bersih...

Puas berfoto, karena sudah beranjak sore, kami beranjak pergi. Saya masih ingin ke Chinatown meski kaki sudah pegal. Teman saya nyaris menyerah,t api saya bilang nanggung sudah sampai di sini. Dan kami pun cari MRT untuk ke Chinatown. Untuk ke MRT, kami masih harus berjalan lagi cukup jauh. Wah pokoknya jalan jalan dan jalan deh. Untunglah ada penjual es krim kempit di pinggir jalan yang sedikit menyegarkan suasana.

Sudah Terlalu Sore di Chinatown

Chinatown terasa sangat semarak di sore hari yang cerah itu. Lampion merah yang bergelantungan, toko-toko cinderamata khas China...sayang, baterei kamera teman saya sudah habis sehingga kami harus puas foto dengan kamera hp yang juga sudah lowbat.

Barang-barang di sini rata-rata dijual 3 untuk Sin $ 10. Teman saya tertarik untuk beli syal dan saya ambil satu. Ternyata ada beberapa tempat yang bisa ditawar. Pengalaman saya, kalau pedagang China yang susah ditawar. Sementara pedagang yang berwajah Melayu (mungkin juga Thailand), bisa ditawar. Saya beli cincin dari harga 5 dolar bisa dapat harga 3 dolar. Mug yang dijual 3 10 dolar juga bisa saya tawar 3 dolar saja 1 bijinya.

Ada beberapa tempat menarik di Chinatown ini yang tertera di peta. Ada kuil, mesjid dan komplek china heritage. Saya Cuma melongok sebentar. Tak jauh beda dengan Little India. Karena tak ada kamera saya juga tak bisa memotret. Ada beberapa penginapan untuk backpacker juga di sini. Dan saya sedikit menyesal, mungkin jauh lebih nyaman kalau kami menginap di sini...

Harbourfront –Batam Centre
Dari Chinatown kami langsung ke Harbourfront untuk cari fery ke Batam. Ohya, ada dua pelabuhan di Batam, Batam Centre dan Sekupang. Kami memilih yang pertama karena lebih dekat dengan kota. Harga tiket one way sin$ 22 per orang. Petugas di sini agak jutek-jutek. Karena agak lama menunggu, saya tanya ke petugas. Eh, malah dijawab ketus sama mbak-mbaknya. Kami ambil fery yang jam 7 malam. Fery paling malam hingga jam 9. Perjananan ke batam Cuma butuh satu jam tapi cukup membosankan karena satu jam Cuma bengong-bengong.

Menginjakkan kaki di Batam Centre, atmosfer Indonesia langsung terasa. Seorang lelaki, salah satu penumpang, langsung menyalakan rokok, yang diledeki oleh penumpang yang lain, ‘Kalau di negera sendiri bisa suka-suka, ya.’

Menginjakkan kaki di negeri sendiri, entah kenapa saya merasa sedih. Meski hanya terpisah beberapa kilo meter, meski udaranya terasa sama, tapi ada sesuatu yang berbeda di tempat ini dengan tempat di seberang sana. Keteraturan, kemakmuran...akh, sudahlah. Mungkin rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau, ya :)*** (habis)


Catatan:
Perjalanan ini dilakukan pada bulan September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar