Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (3)

Saya bangun pagi-pagi, duduk bermalas-malasan di teras sambil memperhatikan anak-anak melintas di bawah hendak berangkat sekolah. Mereka mengobrolkan soal hp dengan logat Melayu kental yang membuat saya ingin tersenyum. Sepeda motor lalu lalang dari orang-orang yang hendak berangkat kerja. Cerecau rekaman walet masih bising bersahutan. Matahari berpendar. Kehidupan baru dimulai. Tempat ini memang membosankan. Tapi orang-orang tetap menjalani hidup dengan riang. Mungkin kami hanya perlu membiasakan diri saja. Meski saya juga merasa bersyukur, tidak harus tinggal lama di sini.

Sekitar pukul 7, kami pergi ke Kantor Kecamatan. Bangunan baru yang cukup layak. Sudah buka, tapi belum ada orang. Kami mampir ke rumah camat di belakang, ternyata tak ada juga.

Kami ke rumah seorang pejabat kecamatan. Bergegas karena kami harus mengejar kapal pukul 8.  Si Bapak masih ada tamu dan sepertinya belum mandi. Tamunya ternyata orang yang mau ngukur tanah untuk kebun sawit yang baru akan dibuka... nha...info bagus. Lalu kami menjelaskan kedatangan kami, blabla...apa ada data? Di kantor...data per suku tak ada...sudahlah. Kami sedikit mengorek info hutan. Ada hutan lindung, tapi SK-nya hilang, lokasinya ditengah pulau, dekat kebun yang akan dibuka. Hmm...

Kami pamit. Merasa menyesal karena dikejar waktu. Seharusnya kami bisa cari-cari informasi lebih mendalam jika punya lebih banyak waktu. 

Menuju Selat Panjang -DumaiKetika sampai pelabuhan, suasana sudah ramai. Kami beli tiket ke Selat Panjang dan rencananya, dari Selat Panjang melanjutkan ke Dumai. Udara terasa menyengat. Kapal belum datang. Karena tak sempat sarapan, saya membeli makanan ringan di toko seberang dermaga. Pemiliknya keturunan Tionghoa dan sama seperti di Tanjung Batu maupun Alai, warungnya penuh sesak dengan aneka jajanan dan hampir semuanya produk Malaysia. Yah, begitulah. Agaknya orang-orang di pulau ini selalu dicekoki makanan produk negeri tetangga sejak kecil. Mungkin karena lebih dekat sehingga lebih murah.

Udara terasa panas berkeringta. Agak lama baru fery datang. Cukup nyaman dan besar. Lebih besar daripada kemarin yang dari Tanjung Batu. Sejak kemarin, saya menandai bahwa transportasi di lautan ini tak mengecewakan. Semuanya cukup layak dan nyaris selalu tepat waktu. Jauh lebih tepat waktu daripada di darat karena terlambat kadang berarti harus menunggu hingga hari berikutnya. Yang saya agak heran adalah melihat cukup banyak di antara mereka yang selalu menenteng tas besar hingga koper ketika bepergian.

Perjalanan ke Selat Panjang tak terlalu nyaman. Fery terus berguncang-guncang, sepertinya agak kandas menyusuri pinggiran. Berhenti sebentar-sebentar di dermaga-dermaga kecil pulau-pulau sekitar, menurun-naikkan satu dua penumpang. Hmm, jadi seperti itulah sepertinya kehidupan di pulau...

Sekitar dua jam kami sampai di Selat Panjang. Selat Panjang merupakan ibu kota Kabupaten Meranti, kabupaten yang terbilang baru, pemekaran dari Bengkalis. Kotanya cukup ramai, banyak-banyak kapal yang bersandar. Sayang, kami tak ada alasan untuk menyinggahi pulau ini dalam waktu agak lama. Turun dari feri kami langsung ditodong tukang becak motor dan ojek untuk ke pelabuhan besar mencari kapal ke Dumai. Kami memutuskan naik becak saja, becak mesin. 15 ribu. Ketika melintasi pusat kota, suasana kota ini terlihat cukup menyenangkan.

Pelabuhan Selat Panjang cukup besar, bahkan memiliki pelabuhan internasional. Sayang, suasananya kumuh dan pengap. Toiletnya juga buruk dan jorok. Bayar pula. Seperti di terminal lah.

Kapal agak terlambat beberapa menit. Kami menunggu dengan perut lapar. Tapi tak tahu bagaimana mengakses makanan, karena khawatir terlambat jika keluar.

Kapal menuju Dumai yang akan kami tumpangi adalah kapal dari Batam. Jenis Jet Foil yang cukup besar dan nyaman. Kursinya empuk dan terkesan bersih, tapi sepertinya ada masalah dengan AC karena ruangan terasa panas.

Perjalanan dari Selat Panjang menuju Dumai sekitar dua jam.Saya tak terlalu menikmati perjalanan karena didera lapar. Memang ada penjual makanan yang menjajakan nasi goreng, nasi ayam dan popmie, tapi semuanya tak mengundang selera. Pengalaman dari membeli makan di perjalanan seperti ini seringkali rasanya sangat pas-pasan dan kadang basi juga.
Dumai yang industrialis

Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kami sampai di Dumai. Pelabuhannya besar dan penuh kapal-kapal besar yang bersandar. Kami tanya-tanya dimana mencari kapal untu ke Rupat?
    "Biasanya kapal bisa dipanggil kesini," kata abang-abang di dermaga. Apalagi berbarengan dengan kami dari Bengkalis adalah beberapa orang berseragam, pejabat dari Bengkalis sepertinya. Ketika boat datang, kami berdesakan masuk. Kami tak mendapat tempat duduk. Banyak penumpang lain yang juga tak mendapat tempat duduk. Dilihat di peta, Dumai-Rupat tak terlalu jauh jadi saya pikir 1 jaman sudah akan sampai, jadi tak masalah berdiri. Ternyata, sekitar 3 jam baru sampai di Rupat! 

Akhirnya, Pulau Rupat: Titi Akar
Kami turun di pemberhentian terakhir, Titi Akar. Dermaga yang kecil dan sepi. Berdasarkan hasil mengobrol di kapal, disarankan kalau kami menemu Pak Batin jika ingin mencari informasi tentang Suku Akit. Dalam perjalanan mencari rumah Pak Batin, kami singgah di warung bakso yang kebetulan ada di pinggir jalan, untuk mengisi perut. Sembari makan, kami mengajak ngobrol si ibu pemilik warung yang bicara dalam logat Melayu kepulauan yang kental.
    "Ombaknya sedang besar sekarang." Katanya. "Biasanya halus saja."
    Saya memandang sekolahan di depan kami. Sebuah bangunan SD seperti pada umumnya. Ramai oleh anak-anak bermain bola. Saya ingat tulisan di sebuah buku yang saya baca, yang ditulis para anak muda dari kota yang dikirim ke pelosok-pelosok untuk mengajar. Salah satunya di tempat ini dan bagaimana dalam buku tersebut digambarkan bahwa tempatnya begitu terpencil dan bagaimana anak-anak Suku Akit mengalami banyak diskriminasi. Pemandangan di depan saya langsung membuyarkan bayangan saya.
Add caption

Seorang abang-abang berpakaian rapi muncul, mengajak si Ibu berbahasa Jawa. Saya dan teman saya langsung berbagi pandang. Jadi dia ibu itu ternyata orang jawa? Nah, lho...

Si Abang lalu bercerita kalau dia orang Bengkalis, tapi istrinya orang Jawa jadi dia belajar bicara Bahasa Jawa. Dia seorang guru di Hutan Samak. Tempat ini juga pernah  saya dengar di buku yang saya baca.
    "Apakah tempatnya terpencil?" tanya saya. Dari cerita si mas, ternyata sepertinya tidak. Meski kesana harus menyebrang pakai perahu setiap pagi.
    "Bagaimana akses pendidikan di sini?" tanya saya lagi.
    "Di Sempur. Tapi ada kelas jauh di sana." ujarnya. Lalu setelah ngobrol ini itu, kami bertanya dimana bisa menginap. Si Abang menyarankan agar kami pergi saja ke rumah Kades, karena ada penginapan desa untuk tamu-tamu yang datang. Tapi lapor ke Kades dulu.

Usai makan, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Batin. Eh, ternyata ketemunya malah rumah Pak Kades duluan. Ya sudah. Kebetulan Pak Kadesnya juga sedang ada di rumah, sekalian saja kami singgah. Kami dipersilakan masuk dan saya mengamati suasana rumah dengan banyak ornamen Tionghoa. Ruang tamunya penuh foto-foto yang dibingkai.

Suku Akit, Mereka Yang Bertugas Membuat Rakit
Pak Kades keluar menyambut kami. Seorang lelaki berkulit coklat dan mata agak sipit, tapi garis wajahnya lebih Melayu daripada keturunan. Keramahannya bercampur kegusaran yang wajar dikunjungi tamu tak dikenal seperti kami. Kami pun segera menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia tampak paham dan tanpa banyak kami tanya, mulai mulai cerita tentang sejarah Suku Akit. Tanpa berputar-putar seperti orang-orang yang kami temui sebelumnya, dia dengan penuh percaya diri mengaku bahwa dirinya adalah Suku Akit. Sepertinya, beliau cukup bangga dengan identitas dirinya. Dan ini melegakan. Kami pun jadi lebih leluasa untuk bertanya.

Leluhurnya, Suku Akit konon adalah sekelompok orang yang ditugaskan untuk membuat rakit oleh Kerajaan Siak dulu. Selain itu ada juga Ia bercerita tentang Batin Panjang yang merupakan salah satu tokoh yang ikut berperan melawan penjajahan Belanda. Dia mengatakan bahwa banyak Suku Akit yang kemudian menikah dengan pendatang keturunan Tionghoa, dan kemudian ikut memeluk agama Budha. Termasuk dirinya.

Seperti yang dikatakan si Abang di warung bakso, kami ditawari menginap di Wisma desa. Dia menelpon bawahannya untuk mengantar kami ke penginapan karena hari beranjak petang. Dia menyarankan agar besok saja kami ke Pak Batin, karena malam-malam tak ada listrik. Listrik sedang bermasalah. Kami setuju dan pamit.

Kami diantar ke penginapan oleh seorang gadis remaja berwajah sangat oriental yang agak malu-malu tapi ramah. Namanya Ros, baru kelas 2 SMP. Kami berjalan bersisian dan rambutnya menguarkan aroma dupa. 

Penginapan yang dimaksud adalah bangunan besar, bertingkat dan tertutup. Dari luar, terkesan kurang artistik. Tapi ketika masuk, ternyata kamarnya sangat layak. Berlantai keramik, bersih dengan kamar mandi dalam pula. Di dekat pintu masuk, ada guratan tulisan Cina dan jumlah uang dalam ringgit. Ternyata itu nama-nama penyumbang bangunan ini. Kenapa dalam ringgit? Saya tak sempat bertanya. Apapun, penginapan itu cukup mewah untuk sebuah penginapan desa. Konon ini berakaitan dengan rencana menjadikan Titi Akar sebagai salah satu daerah tujuan wisata.

Setelah meletakkan barang-barang, kami keluar untuk melihat suasana di dermaga menjelang petang. Ada bangku-bangku kayu di sana. Dari situ, kami bisa melihat matahari yang hampir tenggelam di balik pulau dan suasana terasa begitu permai. Rasa penat menempuh perjalanan seharian sedikit menguar. Saya merasa bersyukur karena mendapat kesempatan mengunjungi tempat yang demikian indah seperti ini.
Dermaga di tepi selat tempat bisa menikmati senja

Malam datang. Kami diundang untuk makan malam di salah satu rumah perangkat desa. Sebuah keluarga muda pasangan Melayu-Jawa. Kami disuguhi hidangan makan malam sederhana tapi cukup lezat. Ditambah lagi tuan rumah yang ramah. Kami mengobrol panjang lebar. Sang istri lebih ramah sementara suaminya meski juga cukup ramah tapi lebih pendiam. Kedua-duanya adalah guru SD. Mereka bercerita tentang Orang Asli.     "Mereka biasa saja, seperti orang luar." Ujar si Ibu. Tapi memang ada juga stigma ‘primitifisme’ terutama dari ornag luar. Si Ibu pernah pernah mengajak salah satu muridnya yang merupakan Suku Akit dan banyak orang yang terkejut mengetahui bahwa ternyata Suku Akit sama saja dengan anak-anak kebanyakan.

Sang Suami yang walaupun keturunan Jawa tapi sudah lahir di Rupat, menceritakan ketika ia kecil dan berteman dengan anak-anak Suku Akit. Mereka kala itu juga sudah sekolah tapi pakaian mereka agak aneh dan tas mereka dari plastik. Itu tak penting. Banyak anak dari suku mayoritas di daerah terpencil juga berpakaian alakadarnya. Tapi yang jelas anak-anak Suku Akit ini sejak 30 tahunan yang lalu sudah mengenal sekolah. Tak urung saya pun membandingkan dengan Suku Orang Rimba yang baru beberapa mulai diperkenalkan dengan sekolah akhir-akhir ini.

Bagaimana dengan di sekolah? Diskriminasi dari anak-anak lain? Kata si Bapak sih biasa-biasa saja. Juga si Ibu yang sekarang mengajar banyak anak-anak Suku Akit.

Setelah cukup lama mengobrol, kami pamit untuk pulang ke penginapan. Saya membersihkan badan yang lengket oleh keringat dan istirahat. Udara terasa sangat panas dan bunyi mesin diesel begitu berisik. Tapi untungnya ada kipas angin yang membuat saya bisa tidur nyenyak. Namun, tengah malam saya terbangun. Listrik sudah dipadamkan dan tubuh saya kuyup oleh keringat.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar