Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (5-habis)

Menuju Bengkalis
Kami bangun pagi-pagi karena harus mengejar kapal pukul 7. Abang becak semalam sudah menunggu. Kami di antar ke loket di seberang jalan. Beli tiket. Ternyata ada shuttle busnya dari loket, tapi sudahlah, rejeki si Abang Becak.

Udara pagi tak terlalu segar di Dumai. Mungkin karena banyak pabrik di sini. Ada Wilmar di dekat pelabuhan, asapnya hitam dan menguarkan aroma busuk. Entah seperti apa kadar pencemaran udara dan air di tempat ini.

Kami sampai di pelabuhan, bergegas. Ternyata ada dua kapal, pukul 7 dan 7.15. Kami milih yang paling cepat. Kali ini ada nomor kursinya. Ferinya juga lebih besar dan bersih serta ac-nya bekerja dengan baik. Saya bahkan agak kedinginan sepanjang perjalanan.

Perjalanan Dumai-Bengkalis memakan waktu 2 jam saja. Sampai di Bengkalis, pelabuhannya cukup besar tapi sangat lengang. Kami keluar, cari becak motor. Tujuan pertama kami adalah kantor BPS. Ongkosnya Rp. 15.000.

Sampai di BPS, kami disambut dengan cukup hangat oleh pegawainya dan langsung di bawa ke pihak yang bersangkutan. Pegawai lelaki muda yang cukup welcome. Tanpa banyak tanya, dia langsung ngasih saja apa yang kami butuhkan. Dari obrolan basabasi, kami ketahui kalau ternyata kampung halamannya berdekatan dengan tempat tinggal saya di Bantul sono.

Usai dari BPS kami mencari makan di warung makan khas Melayu. Menunya masih segar dan rasanya juga lumayan sehingga kami makan dengan lahap.

Kami kemudian singgah ke Kantor Dinas Sosial, hendak menemui Kasi KAT-nya tapi ternyata sedang tak ada di tempat. Sama pegawainya kami suruh nelpon sendiri, tapi ternyata si Kasi tak akan kembali ke kantor padahal hari belum lagi tengah hari. Alasannya, karena waktu itu menjelang long weekend. Nah, lho apa hubungannya? Menyebalkan sekali. Padahal katanya semua data sama dia. Ini persoalan klise kalau mengunjungi kantor pemerintahan. Rasanya jengkel sekali karena orang-orang itu dibayar oleh pajak masyarakat dan seharusnya memberi pelayanan yang maksimal bukannya sok elit begitu.



Tujuan Berikut: Pulau Padang
Kami kemudian naik becak motor ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Pulau Padang. Udara Bengkalis terasa begitu menyengat kulit. Tapi orang-orang di pulau itu, mungkin karena sudah terbiasa, tampak santai saja.

Kami sampai di dermaga. Dermaganya kecil saja dan terkesan apa adanya. Kami membayar 50 ribu untuk menyeberang. Kami naik ke atas boat. Satu per satu penumpang lain berdatangan. Orang-orang pulau yang mungkin berbelanja ke Bengkalis ini.

Agak lama baru boat berangkat. Melewati perairan selat yang agak bergelombang. Sebentar saja sudah menyusuri pingiran pulau. Dermaga-dermaga kecil yang lengang yang masih dilingkupi semak belukar. Sepertinya pulau ini jauh lebih ‘terbelakang’ di banding pulau-pulau yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Ironis juga karena pulau ini justru letaknya lebih dekat dengan pulau besar Sumatra. Pulau-pulau yang lebih dekat dengan negara tetangga sepertinya justru lebih ramai dan maju. Pantas saja kalau orang-orang pulau ini nasionalismenya kurang.

Pemberhentian kami di dermaga Bendol. Nama yang aneh. Dermaganya agak lebih ramai dari dermaga-dermaga sebelumnya yang kami lewati. Seorang bapak menwari kami ojek, tapi karena tujuan kami belum terlalu jelas, kami memutuskan istirahat dulu di warung sembari mencari-cari informasi.

Setelah kapal pergi, dermaga benar-benar sepi. Barisan ruko di depan dermaga terlihat tutup. Hanya ada satu dua warung-warung reot yang menjual makanan alakadarnya. Kami singgah di warung penjual miso dan es campur. Kami mulai ngobrol-ngobrol. Suku Asli konon banyak tinggal di Selat Akar, bagian belakang pulau ini. Lalu beberapa lelaki datang, ikut nimbrung cerita tentang Suku Asli. Ada juga seorang lelaki berkulit gelap yang mengaku keturunan Suku Asli. Dia berceloteh panjang pendek tentang Suku Asli yang tinggal di pulau seberang, Pulau Rangsang. Konon, di pulau itu adat istiadat mereka masih kuat. Tapi setelah dikorek-korek, sepertinya mereka sudah cukup maju juga.

Suku Asli di Selat Akar
Setelah beberapa saat, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Selat Akar. Cuaca mendung seolah mau hujan. Kami menelusuri jalan coran seperti di Penyalai meski kondisinya jauh lebih bagus. Kanan kiri jalan juga mirip di Penyalai, semak dan berawa. Agak lama juga baru sampai Selat Akar.

Kami berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan tulisan "balai gendong,". Belakangan, kami tahu bahwa itu semacam sanggar untuk belajar tari gendong, tari tradisional Suku Asli. Nuansa tradisionalnya cukup kental di sini. Tapi seperti di pulau lain, mereka sudah terasimilasi ke budaya Tionghoa yang tampak dari tempelan-tempelan di depan pintu rumah mereka.

Pak Batin sedang pergi, jadi kami diketemukan dengan adiknya, lelaki tua berkulit gelap dengan wajah yang cukup khas. Kami diajak ke rumahnya, rumah panggung sederhana dengan berbagai tempelan tionghoa tentunya. Anak-anak bermain di halaman rumah itu, sepertinya cukup heran dengan kehadiran kami. Saya memperhatikan mereka, wajah mereka tak terlalu khas. Sama halnya dengan anak-anak keturunan Melayu pada umumnya.

Kami mengobrol sekilas dan karena si Bapak sepertinya kurang memahami pertanyaan kami, kami kemudian ke rumah Pak D, perangkat kampung  yang berada di seberang jalan. Rumah Pak D ini kuat sekali kesan Tionghoa-nya dan anak-anak yang ada di depan rumah itu juga berwajah keturunan. Lalu Pak D muncul. Seorang lelaki kurus kecil dengan gigi ranggas, seperti banyak orang yang kami temui di pulau ini. Pastilah karena buruknya air bersih di pulau ini.

Mitos 3 Dunia ala Pak D
Pak D sangat cerewet meski isinya tak jelas. Saya bertanya tentang asal-usul orang asli, dia antusias menjawab. Tadinya saya pikir dia sungguh-sungguh dan bagi saya ini menarik karena sejauh ini belum ada yang bisa cerita soal itu dengan gamblang.
    "Jadi begini," Pak D mulai cerita. "Ada 3 dunia. Dunia pertama, ada kakak adik, sumbang. Kemudian dunia dileburkan. Lalu ada dua beruang, kakak adik, kalau siang mereka mencari rotan... Sumbang, dileburkan..." Lantas apa hubungannya? Pak D mengulang ceritanya tentang dunia pertama dileburkan. Lalu bagaimana dengan dunia kedua dan dunia ketiga? Tapi sepertinya dia tak bisa melanjutkan ceritanya seperti yang saya harapkan. Dan saya mulai pusing mendengarnya. Sepertinya dia hanya membual saja. Sialan, padahal saya  sudah serius mencatat.

Di tengah obrolan, datang lelaki muda bertubuh agak tambun dengan kulit gelap, cenderung legam. Dia cukup komunikatif dan bahasanya juga mudah dicerna. Namanya Pak A. Dia mengaku sebagai Suku Asli, meski ibunya keturuan Tionghoa. Hal yang membuat saya agak tak percaya. Apakah matahari pulau ini sudah membakar pigmennya? Dia juga cerita kalau ayahnya itu dari Rupat. Suku Akit. Tapi dia sendiri sepertinya enggan menyebut Suku Akit. Dia ngotot dengan sebutan Suku Asli. Menurutnya, Suku Asli lebih jelas asal-usulnya, sementara Suku Akit tidak.

Dia juga cerita kalau baru mengadakan pertemuan Suku Asli di Bengkalis dan akan mengadakan semacam festival Suku Asli. Ada bantuan pemerintah terkait pengembangan kesenian ini Suku Asli meski konon jumlahnya sangat sedikit.  Cuma 2.5 juta pertahun kalau tak salah.

Anehnya, pemerintah sendiri sepertinya lebih mementingkan tetek bengek kecil seperti itu daripada memperhatikan kesejahteraan hidup Suku Asli ini. Mereka mengaku bermasalah secara ekonomi. Pak D berapi-api bicara soal lahan mereka sedikit, ada yang tak punya lahan malah. Seperti seperti kebanyakan suku-suku kecil di Sumatera ini, di masa lalu mereka agaknya menjalankan pola hidup semi nomaden sebagai pengambil hasil hutan saja tanpa ada semacam hak ulayat. Ketika sekeliling mereka sudah terbuka seperti sekarang ini, banyak orang luar berdatangan dan memiliki kebebasan mengolah lahan kosong di mana saja, siap mengambil setiap jengkal tanah di pulau ini. Padahal para pendatang ini umumnya lebih ulet dan agresif. Bisa dipahami kemudian jika Suku Asli akhirnya justru tak memiliki apa-apa di tanah sendiri. Idealnya sih pemerintah lebih memperhatikan hal-hal yang lebih penting seperti ini, memberi perlindungan hak-hak hidup Suku Aslim misalnya, daripada sekadar mengurusi soal menghidupkan kesenian Suku Asli. Tapi yah... seperti biasa, selalu tak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah negeri ini.

Dari obrolan dengan Pak D dan Pak A sendiri, tak ada kesan bahwa karena mereka sebagai Suku Asli lantas mereka berhak mendapat lebih atau memperjuangkan hak mereka. Bagus juga sih karena mereka ‘cinta damai’, begitu terbuka terhadap pendatang, tapi kasihan juga karena pada akhirnya mereka menjadi minoritas marjinal yang tergusur di tanah sendiri.

Setelah ngobrol panjang lebar, kami pamit. Minta tukang ojek untuk membawa kami mengitari desa sebentar. Kami melintasi tempat yang ditunjuk sebagai tempat tinggal Suku Asli yang masih suka pindah-pindah, membangun pondok-pondok kayu sederhana. Kalau dipikir-pikir, agak unik juga karena pulau ini kecil saja sehingga pindahnya ya di situ-situ saja. Jalan-jalannya sendiri sudah cukup bagus dan suasana  perkampungan di sekitar tampak semarak. Ada panglong--tempat pembakaran arang yang umumnya dikelola para Keturunan Tionghoa, rumpun sagu, jajaran pohon bakau, pemukiman tepi pantai yang diisi orang-orang Melayu, tampak lengas dan kumuh... Saya tak terlalu bisa menikmati perjalanan karena tersiksa menahan buang air kecil.

Kami kembali ke warung semula. Saya buru-buru minta ijin numpang ke kamar mandi. Kamar mandinya adalah ruang kecil terpisah di bagian belakang rumah. WC-nya sangat praktis, lantai kayu yang dilobangi dan langsung bisa melihat air laut di bawah sana. Jika buang air, otomatis akan langsung nyemplung ke laut. Agak geli karena rumah panggung ini cukup tinggi sehingga ketika saya buang air kecil, suaranya cukup berisik ketika jatuh ke dasar. Tak terbayangkan jika buang air besar. Hihi.

Lanjut ke Sungai Dua
Setelah beristirahat sebentar, kami memutuskan untuk ke pulau seberang, Sungai Dua, yang konon selain dihuni Suku Asli, juga ada Suku Hutannya. Kami pergi ke dermaga di sisi lain pulau, untuk menyeberang ke Sungai Dua. Kami menyeberang dengan perahu mesin, sekitar 15 menit saja.

Dermaga Sungai Dua adahal hamparan kayu yang cukup luas dan bersih. Menyenangkan rasanya membayangkan berbaring-baring di sana menikmati udara laut sore hari. Tapi tentu saja, kami harus bergegas. Di kanan kiri dermaga adalah rumah-rumah kayu dengan tiang-tiang tinggi yang tampak agak kumuh. Kami sempat mendapat cerita tadi, kalau di Sungai Dua ini konon banyak kriminalnya. Dan mungkin karena cerita itu, saya jadi merasa agak was-was. Tapi suasana sekitar dermaga sendiri tampak biasa saja. Beberapa anak-anak dengan rambut kemerahan dan kulit gelap tampak asyik bermain. Kami bertanya pada kerumunan lelaki yang sedang membuat kapal di dekat dermaga tentang Pak N, orang yang konon tahu banyak tentang Suku Asli. Meski wajah mereka terkesan keras, tapi mereka cukup ramah. Salah satu bahkan mau mengantar. Yah, soal kriminalitas itu hanya stigma dari orang di seberang saja.

Kami melintasi jalan tanah yang lonyot di sana sini, di sisi kanan kiri adalah semak belukar pinggiran pantai dan genangan air gambut yang kecoklatan dan muram.

Kami sampai di rumah Pak N. Rumah beton sederhana dengan warung kecil di depan rumahnya. Ada anak-anak kecil berkumpul di sana. Mereka cukup ramah pada kami, selayaknya anak2 pada umumnya. Agak lama kami menunggu Pak N yang masih voli. Istrinya, yang ternyata orang Batak, kurang ramah pada kami. Mungkin sedikit curiga karena kedatangan kami yang tiba-tiba dan wajah kami yang pastinya sudah lusuh.

Menjelang petang baru Pak N pulang. Orangnya cukup komunikatif dan terkesan berwawasan, meski sepertinya masih menjaga jarak pada kami. Seolah dia masih tak yakin kami orang yang bisa dipercaya atau tidak. Tapi itu wajar mengingat kami baru bertemu, dari LSM pula yang mungkin di mata banyak orang sering dianggap sebagai pekerjaan tak jelas.

Pak N asli keturunan Suku Asli. Dia bercerita tentang kehidupan sukunya di masalalu. Ketika ia masih kecil dulu, bagiamana ‘terbelakangnya’ kehidupan mereka sebelum kemudian datang seorang pastor dari Italia, Pastor Vellaro. Si Pastor mengajari cara hidup bersih dan memperkenalkan pendidikan. Pak N menjadi semacam asistennya. Terlepas dari ajaran agama, saya semakin berpikir bahwa itu adalah hal yang baik. Misionaris adalah cara yang efektif untuk menjadikan hidup orang-orang yang kurang terakses menjadi ‘lebih baik’ kehidupannya. Apakah itu dibilang melanggar hak asasi segala macam, tapi saya yakin orang-orang itu, si pelaku, merasa beruntung dengan intervensi semacam itu.

Pak N mengatakan kalau Suku Asli itu konon nenek moyangnya berasal dari Siak, sebuah desa di muara Sungai Siak. Tapi ia tak bisa menjelaskan tentang mereka yang di Rupat. Sepertinya mereka memang tak punya hubungan lagi dengan sesama suku asli dari satu pulau dan pulau lainnya.

Setelah merasa cukup mendapat informasi, kami berpikir untuk kembali ke Bengkalis. Tadinya kami berpikir untuk menginap di Sungai Dua dan besok pagi baru ke Bengkalis, tapi dari obrolan kami mengetahui kalau kapal ke Pekan Baru dari Bengkalis berangkat pagi-pagi.

Pak N kemudian membantu kami mencarikan ojek. Seorang lelaki tua penjual sayur, orang Batak, tampak agak takjub mendengar kami mau ke Bengkalis malam-malam. Ia bahkan mengatakan bahwa perjalanan ke Bengkalis agak rawan karena lewat hutan-hutan. Gelap dan jalannya juga tak terlalu bagus. Jujur saya agak keder. Tapi mau bagaimana lagi?

Menuju Bengkalis dan Celotehan Bang Acin
Tukang ojek yang saya tumpangi adalah abang-abang keturunan Tionghoa, sebut saja Bang Acin. Seperti yang dibilang Pak Sayur, jalanan memang gelap dan beberapa bagian masih hutan, tapi pemukiman juga cukup banyak. Sebagian besar kondisi jalan buruk, aspal rusak yang cukup membuat tubuh terguncang-guncang. Menyiksa sekali, ditambah lagi, saya kebelet pipis dan lapar sekali. Ingin minta berhenti pipis di pinggir jalan, saya belum sepenuhnya percaya dengan Bang Acin.

Menghalau siksaan, saya mencoba mengobrol sama Bang Acin. Ternyata dia sangat senang bercerita. Logatnya adalah campuran antara logat Melayu dan Tionghoa yang terdengar berlagu. Dia cerita kalau ibunya keturunan Suku Asli dan ayahnya yang Tionghoa. Dia adalah salah seorang keturunan yang dianugerahi kemampuan untuk bisa mengobati orang, karena dia dirasuki semacam dewa yang ada di keluarganya. Pasiennya siapa saja dan bisa dari agama apa saja, termasuk orang Muslim.

Menurutnya, orang yang punya kemampuan seperti itu harus berhati bersih dan dia merasa senang karena 'dipilih' untuk emmilikinya. Dia berpikir, mungkin Dewa Cina lebih memilih dia daripada orang Cina asli karena hatinya yang lebih baik. Orang Cina asli terlalu materialistis, pelit, sementara dia sebagai keturunan, punya sifat lebih tanpa pamrih membantu orang lain yang diwarisi dari darah keturunan orang Asli. Saya tertawa saja mendengar ceritanya. Dan sepertinya dia sangat antusias cerita tentang kemampuannya ini, karena 2/3 perjalanan kami isinya adalah cerita dia hal itu.

Saya iya-iyain saja, meski rasanya sudah agak pusing dan mual menahan sakit di perut. Di perjalananan,kami melintasi rumah yang tengah mengadakan upacara kematian orang Tionghoa yang penuh lampion putih, kami berpapasan dengan orang-orang yang mengangkuti kayu malam-malam. Menurut Bang Acin, itu karena orang-orang itu mencuri kayu tersebut, yang sebenarnya di larang oleh Kehutanan. Kami melintasi hamparan ladang terbuka yang luas: sawit, semak belukar, kebun buah naga...

Itu milik para pejabat dari Bengkalis, kata Bang Acin. Lalu ada rumah dengan pesta pernikahan orang Tionghoa yang bernuansa merah, rumah-rumah keturunan Tionghoa yang tampak sederhana... kami sampai di jalan besar dengan kondisi jalan yang bagus. Saya menghela napas lega, sedikit siksaan berkurang dan bahkan sebentar lagi penderitaan ini akan segera berakhir.

Kami sampai di Bengkalis, langsung singgah di kedai makan. Tapi abang-abang ojek menolak makan dan hanya minum kopi saja. Kami membayar ojek, 200 ribu mengucap terimakasih dan berpisah. Mereka harus segera kembali ke Sungai Dua sebelum terlalu larut. Kami mencari penginapan untuk bermalam. Jatah uang kami sudah terbatas sehingga kami harus mencari penginapan yang benar-benar murah.

Penginapan Ala Pak Haji di Bengkalis
Kami tak memiliki referensi soal penginapan di kota ini, jadi kami jalan saja tanpa petunjuk yang jelas. Kami jalan ke arah pasar, yang ada hotel yang terkesan mahal. Jalan lagi dan akhirnya menemukan bangunan kayu sederhana bertuliskan 'penginapan'. Ada beberapa lelaki duduk-duduk sambil minum kopi. Seorang lelaki tua berpeci mendekati kami. Suami istri? Bukan. Dan belum apa-apa dia sudah menceramahi kami: dari masuk kamar sampai besok pagi, tak boleh saling menginjakkan kaki di kamar yang lain! Tentu saja tak masalah, tapi yang menjadi masalah kemudian adalah karena harus berbagi kamar mandi dengan penghuni lain. Yang benar saja. Itu lebih mengerikan daripada sekedar menginjakkan kaki di kamar lawan jenis karena saya menduga para penginap di sini adalah para pesinggah mungkin ABk yang jujur membuat saya berprasangka.

Kemudian dia menyarankan kami ke wisma di seberang, milik temannya, katanya, Pak Haji S. Dari luar, penginapannya agak lumayan bersih. Tarifnya ada yang 50 ribu, ada yang 100 ribu. Saya pilih yang 100 ribu karena kamar mandi dalam. Begitu masuk ke kamar, saya mendapati kamar yang lembab dan berbau apak, belum lagi kamar mandinya yang usang dan airnya bau karat. Tapi sudahlah. Saya berusaha mengabaikan semua itu dan tidur dengan nyenyak.

Menyusuri Sungai Siak, Menyusuri Jejak Kejayaan Masalalu
Pagi-pagi kami naik becak ke pelabuhan. Tukang becaknya menawarkan harga 15 ribu, kami tawar 10 ribu. Dia setuju, tapi merengut saja sepanjang jalan. Kami tanyai jawabya ogah-ogahan. Kami jadi merasa agak sebal. Kalau memang tak mau ya sudah, kok sewot tapi tetap ngantar.

Kami mencari tiket speed ke Pekan Baru. Ternyata satu kapal sudah penuh. Satu lagi tinggal satu bangku dan satu lagi di cap. Kami ambil saja. Harganya 145 ribu. Speednya kecil saja meski keadannya cukup bagus dan ac-nya dingin. Speed meluncur menyusuri Sungai Siak yang berair pekat. Di sebelah saya duduk seorang perempuan berdandan heboh, ketika saya ajak beramah tamah, dia tampak tak terlalu tertarik.

Karena bosan, saya berusaha tidur, tapi tak bisa tenang karena salah satu tujuan kami memilih perjalanan ini adalah karena ingin melihat Istana Siak, yang terletak di pinggir sungai. Saya lihat di peta, sedianya itu di pertengahan, tapi saya sendiri tak tahu dimana tepatnya jadi terus berjaga-jaga. Mengusir bosan saya memperhatikan 3 anak keturunan Tionghoa yang cantik-cantik, sibuk membaca majalah anak-anak sepanjang perjalanan. Mereka tampak sangat manis dan menikmati semua itu.

Perjalanan sekitar 3 jam. Pas di istana siak ternyata berhenti karena ada dermaga yang cukup besar. Tampak mesjid Siak yang megah dan beberapa bangunan sisa kerajaan yang bercorak khas Melayu. Sisa peradaban masa lalu. Tak urung saya pun membayangkan, betapa riuh rendahnya mungkin kehidupan sungai jaman kerajaan-kerajaan dulu.

Tak berapa lama, kami sampai di Pekan Baru. Mencari sarapan di warung makan depan pelabuhan sambil mendiskusikan tentang transportasi air. Jujur saya cukup terkesan dengan perjalanan barusan, dan juga perjalanan demi perjalanan yang telah kami tempuh beberapa hari ini. Perjalanan air, meski agak membosankan karena tak banyak yang bisa dilihat selama perjalanan, tapi kami sepakat bahwa transportasi air jauh lebih efektif. Tanpa macet, tak perlu biaya pemeliharaan jalan yang mahal. Bahwa negri ini dulunya dibangun oleh tranportasi air karena memang nyaris di setiap kota memiliki sungai-sungai besar. Lalu kenapa semua itu sekarang ditinggalkan? Pembangunan transportasi darat lah yang gencar dibangun, sementara transportasi air semakin ditinggalkan. Proyek para pembesar? Hmm, entahlah.

Usai makan, kami naik angkutan umum ke pusat kota untuk melanjutkan perjalanan ke tempat semula. Meski badan terasa penat karena terus bergerak kesana kemari selama beberapa hari ini, tapi ada rasa puas yang tak terperi. Menyinggahi pulau-pulau, melihat bagaimana kehidupan orang-orang di sana, bertemu dengan orang-orang baru, selalu memberi pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga. (***

* Perjalanan ini dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar