Laman

Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (3)

Tersesat di KLCC
Hari ini adalah full day tour. Rencananya, kami akan ke KLCC pagi-pagi. Menurut informasi yang saya baca, pengunjung diperbolehkan naik ke menara Petronas secara cuma-cuma tapi harus mengantri karena jumlah yang diperbolehkan terbatas. Saya sendiri tak terlalu berminat naik ke menara. Apa menariknya coba? Naiknya juga pakai lift, dan di atas cuma lihat pemandangan kota: atap-atap gedung. Tapi untuk melengkapi petualangan di Kuala Lumpur, ya tak apalah.

Kami berniat naik monorail ke KLCC, naiknya dari Pasar Seni tapi kami malah nyasar ke stasiun Mesjid Jamek yang agak lebih jauh.

Kami turun di KLCC dan melihat penumpang lain berjalan bergegas. Saya tebak mereka juga turis yang ingin ngantri tiket naik menara, jadi kami ikuti. Tapi memasuki Suria (pusat perbelanjaan), melewati stand roti boy, mengingat kami belum sarapan, kami memutuskan untuk beli makanan dulu.
Menemukan sudut menarik untuk melihat KLCC

Ketika kami berniat untuk mencari tempat antrian, kami kehilangan petunjuk. Kami ikuti saja petunjuk jalan yang kira-kira mengindikasikan kesana, tapi tahu-tahu kami malah nyasar ke tempat pameran yang masih belum buka. Karena memang setengah hati, kami memutuskan keluar saja, ke taman KLCC yang cukup luas dan sejuk karena banyak pepohonan. Dari situ, kami bisa foto-foto dengan latar belakang menara Petronas dengan angel yang cukup bagus. Yah, paling nggak sudah bisa jadi bukti pernah mengunjungi menara Petronas, haha.

Setelah puas foto-foto, kami masuk ke KLCC untuk mampir ke toko buku Kinokuniya. Nggak tahu kenapa, meskipun suasananya nyaris sama saja, tapi saya selalu penasaran untuk menyinggahi toko buku di mana pun.
Cuma bisa mupeng di Kinokuniya :(

Karena dana terbatas dan kursnya juga memang membuat harga lebih mahal, saya tak punya niatan untuk membeli.Tapi ketika menemukan buka klasik-nya J.D Salinger, The Cathcer in the Rye, saya tergoda untuk membeli. Saya sudah membaca versi terjemahan Indonesianya, dan saya selalu penasaran ingin membaca versi aslinya, jadi saya memutuskan membeli. Ada dua edisi terbitan Pinguin. Saya memilih edisi termurah seharga RM 32.

Kesiangan di FRIM
Usai makan siang di foodcourt KLCC, kami melanjutkan petualangan ke FRIM: Forest Research Institute of Malaysia. Saya baca kalau di sana kita bisa jalan-jalan di hutan dan naik canopy brigde. Sepertinya cukup menarik.

Kami naik monorail ke KL Sentral, untuk selanjutnya naik KTM ke Kepong. Saya menduga tempat itu cukup jauh karena harga tiketnya agak lebih mahal dari tiket-tiket sebelumnya. Lagipula karena yang akan kami kunjungi adalah hutan, saya yakin lokasinya agak di pinggiran.
Kepong yang lengang

Dan benar saja, Kepong memang daerah pinggiran. Stasiunnya tampak sepi sekali dan daerah sekilingnya terasa gersang. Mana hutannya? Saya melihat warna kelabu pepohonan di kejauhan. Kelihatannya cukup jauh. Kami memutuskan untuk bertanya pada penjaga kounter tiket, seorang perempuan muda yang tampak bosan. Dia bilang kalau sebaiknya kami naik taksi di luar stasiun di seberang sana.
    "Apa tak ada angkutan umum?" Tanya saya.
    "Tidak."
    Kami mengucap terimakasih, yang disambut wajah acuh perempuan itu. Hmm, tentu saja dia mungkin mati bosan harus bekerja di tempat selengang ini.

Stasiun ini agak mirip-mirip stasiun kecil di Indonesia. Nampak lengang, agak berantakan dan ada penjual kaki lima di pojokan yang menjual air mineral dan snack. Saya kebelet ingin buang air kecil. Untuk ke toilet, harus bayar 50 sen pada ibu penjual air. Sebelum saya, ada seorang perempuan masuk dan mungkin tanpa sengaja mengunci pintu. Padahal di dalam ada dua kamar mandi. Si Ibu langsung ngamuk-ngamuk sambil gedor-gedor pintu. Tapi mungkin si pengguna toilet tak dengar. Si Ibu dengan kasar menyuruh anaknya mengambilkan kunci. Sambil membuka pintu, si Ibu terus mengomel, memaki si perempuan pengguna toilet. Dan ketika si perempuan itu keluar, ia memaki dengan kasar.     ‘He, Dongok! Kenapa kau kunci pintu!’ ya, ampun, si Ibu ini benar-benar kasar. Dan dia bilang ‘dongok?’ apa itu makian yang umum di Malaysia? Atau jangan-jangan dia saudara setanah air...wah memalukan sekali kalau memang benar orang sekasar itu.

Kami keluar stasiun untuk mencari taksi. Setelah berjalan sekitar 100 meter, kami menemukan jalan besar yang dilalui banyak mobil. Begitu ada taksi melintas, kami langsung menyetop.
    "FRIM," ujar saya. Sopirnya seorang kakek-kakek keturunan Tionghoa.  Saya tanya apa taksinya bermeter? Maksudnya pakai argo. Dia bilang iya. Kami masuk. FRIM? Tanya dia sekali lagi. Ya, jawab saya. Dan saya baru sadar, pak sopir itu benar-benar terlihat sudah begitu renta. Tubuhnya kecil dengan rambutnya tipis dan sudah putih semua. Sudah setua itu kok masih nyopir taksi ya? Apa tidak membahayakan kesehatannya atau juga malah membahayakan keselamatan penumpang?

Mendekati FRIM, dia tanya: mau masuk atau di luar saja. Dia pakai Bahasa Melayu logat China yang membuat saya butuh beberapa waktu untuk mencernanya. Saya sendiri kurang paham soal masuk atau di luar ini. Karena kurang nyambung, si bapak terdengar mulai emosi. Weuh, sudah tua galak pula! Akhirnya saya bilang: di luar saja. Dan kami berhenti di depan gerbang masuk. Di argo tertera angka RM 6,5. Kami memberi RM 7  dengan agak kesal.
Sudah terlalu siang di FRIM :(

Kami turun dan membeli karcis masuk FRIM seharga RM 2 per orang. Kami diberi peta dan kami pun memulai perjalanan. Sekitar jam 2 siang. Cuaca terasa terik. Meski pohon besar di sana-sini, tapi tetap terasa terik. Baru beberapa langkah kami merasa lemas. Kami ingin ke canopy bridge, tapi sampai di tempat penjualan tiket canopy bridge sudah tutup. Di situ tertera kalau cuma sampai jam 2 siang. Setelah jalan agak jauh, kami memutuskan pulang saja. Sebenarnya saya masih ngganjel karena belum sampai ke ujung, tapi energi benar-benar terasa terkuras dan kaki serasa mau patah. Pelajaran hari ini: seharusnya kalau mau jalan-jalan di FRIM, pagi-pagi!

Kami kembali naik taksi sampai di stasiun KTM Kepong. Karena terjebak macet kecil, tiketnya jadi RM 8. Kami menunggu KTM cukup lama karena kereta mengalami keterlambatan.
Kereta juga sangat penuh sesak.

Ketika akhirnya saya dapat tempat duduk dan karena kursi agak longgar, saya tawarin ke teman saya untuk berbagi. Tapi ibu-ibu keturunan India di sebelah saya langsung nyolot karena teman saya sedikit menduduki pahanya. Saya lupa apa yang dia bilang, tapi maksudhnya kira-kira dia suruh teman saya itu duduk di pangkuan saya. Nadanya galak banget dan teman saya pun memilih berdiri. Ibu ini memang sepertinya super galak karena ketika hendak turun pun dia dengan kasar teriak-teriak untuk memberinya jalan keluar.

Sampai di KL Sentral, stasiun benar-benar ramai. Tampak orang-orang menunggu dengan koper-koper besar. Agaknya ini berkaitan dengan selesainya libur lebaran. Sepertinya orang Malaysia juga punya budaya mudik Lebaran juga.

Pasar Seni

Persinggahan kami berikutnya adalah Pasar Seni, yang letaknya memang berdekatan dengan Petaling. Kami naik monorail ke Pasar Seni. Tak seperti KTM yang penuh sesak, monorail masih normal-normal saja. Mungkin karena rutenya lebih pendek dan tarifnya juga agak lebih mahal.

Suasana Pasar Seni terlihat semarak. Trotoar dengan stan-stan jualan bermacam cinderamata berderet rapi. Tapi lokasi utamanya ada di dalam gedungnya. Suasananya mirip-mirip pasar Beringharjo di Jogja, tapi di sini lebih teratur serta bersih dan yang jelas adem karena ber-AC. Souvenir yang dijual adalah souvenir yang umum di tempat-tempat wisata: gantungan kunci, pulpen dengan tulisan Malaysia, aneka kerajinan tangan...tak terlalu istimewa. Satu pak berisi 4 pulpen berlabel Malaysia dilekati harga RM 18. Mahal,pikir saya. Tapi kemudian iseng saya nyeletuk: 8 Ringgit. Si Mbak yang berwajah Melayu langsung bilang iya. Waduh, jangan-jangan saya terlalu ketinggian nawarnya. Seharusnya saya bilang RM 5 atau RM 7 kali. Apalagi setelah saya perhatikan, pulpennya biasa aja. Tapi karena sudah terlanjur, ya saya terpaksa beli.

Kami muter-muter lagi meski kaki sudah mulai gempor. Di lantai atas adalah stand pakaian, klaimnya batik. Karena punya cerita kurang mengenakan berkaitan dengan batik, kami tak terlalu antusias. Terlihat beberapa batik motif Indonesia yang dijual, tapi ada juga batik yang saya pikir motif lokal. Saya sih nggak terlalu antipati. Tapi saya tak tertarik untuk beli karena saya pikir batik motif Indonesia lebih variatif dan bagus-bagus dan harganya juga pasti lebih terjangkau.

Saya agak mengerutkan kening ketika melintasi toilet umum yang tampak artistik, di dekat pintu masuk dipajang wayang kayu motif batik khas Indoensia. Bukannya itu tokoh wayang Indonesia? Kenapa? Entahlah. Mungkin mereka ngefans sama budaya Indonesia :)

Warteg ala KL
Karena makan siang yang kurang memuaskan, meski masih sore, saya sudah merasa kelaparan. Akhirnya kami mampir ke warung makan Melayu di ujung Jalan Petaling. Suasananya mirip-mirip warung pinggir jalan di Indonesia lah. Agak jorok dan berantakan. Seorang perempuan berjilbab menanyakan menu pada kami. Saya melihat daftar menu, hanya ada nama tanpa harga. Ada bakso, mi goreng... Saya makan nasi campur lauk tempe goreng saja yang disajikan prasmanan. Minumnya, segelas teh tarik.

Saya makan dengan lahap. Rasanya menurut saya cocok sekali di lidah. Benar-benar serasa makan di warung makan dekat kosan jaman kuliah dulu. Harganya juga sangat murah: 4 RM saja!

Dataran Merdeka
Setelah mandi dan istirahat sebentar di penginapan, malamnya kami jalan-jalan ke Dataran Merdeka, yang juga tak terlalu jauh dari Petaling. Dalam perjalanan, kami singgah sebentar di Pasar Seni untuk melihat pementasan wushu. Memang di Pasar Seni ini, konon setiap akhir pekan diadakan pertunjukan kecil di panggung terbuka depan gedung. Karena pertunjukannya tak terlalu menarik, kami segera melanjutkan perjalanan.
Gedung-gedung berarsitektur kolonial di Dataran Merdeka

Dataran Merdeka merupakan kompleks perkantoran pemerintah yang arsitekturnya bergaya jadul karena memang konon dibangun pada masa kolonialisasi. Pada bangunan-bangunan ini dipasang lampu warna-warni sehingga memberi pemandangan malam yang cukup menarik. Di tengah kompleks ada lapangan luas tempat anak-anak bermain. Kami duduk-duduk di sana, foto-foto. Tak ada yang terlalu istimewa. Selain anak-anak bermain, beberapa pedagang asongan mondar-mandir menjual air mineral, juga gelandangan...yah, sejak kemarin, di beberapa sudut jalan saya menjumpai orang-orang yang tertidur di trotoar. Dari penampilannya sih mereka sepertinya bukan gelandangan yang benar-benar gelandangan. Sepertinya mereka ini adalah pekerja-pekerja kasar yang mungkin didatangkan secara ilegal. Saya berpikir: apa mereka orang Indonesia? Akh...

Menikmati Keramahan di Kedai Makan India
Setelah bosan, kami pulang dengan kaki setengah diseret saking sudah capeknya. Ketika melintasi kedai India Muslim dekat Pasar Seni, teman saya menunjukkan tungku pembakaran kue Naan. Saya iseng memotret. Para pegawai di kedai itu, para lelaki dengan ramah mempersilakan kami ambil foto. Lalu teman saya mengusulkan kalau kami ingin mencicipi kue Naan itu. Karena saya pikir pembuatannya cukup unik, saya setuju. Kami memesan dua roti naan dan ayam bakar berbumbu mereka (saya lupa istilahnya apa).

Dua orang pegawai yang bertugas membuat roti dengan cekatan menguleni adonan tepung, membuatnya menjadi bulat pipih lalu ‘plok’ melemparkannya ke dinding tungku. Setelah beberapa saat diambil dengan menggunakan besi panjang.

Kami mulai menikmati roti Naan yang masih hangat. Dicocol dengan bumbu kari, ditambah irisan ayam. Selain bumbu karinya yang khas, rasa roti Naan sendiri tak terlalu istimewa. Menurut saya sih berasa gandum, apalagi tak ada tambahan rasa apa-apa. Kami makan dengan lahap, lebih karena lapar. Pegawai kedai bersiap hendak tutup karena sudah hampir pukul 12 malam. Tapi tak ada kesan mereka terganggu dengan kehadiran kami. Di sudut lain, tampak beberapa lelaki masih asyik mengobrol, seolah tak peduli kalau kedai hendak tutup.

Ini kali kedua saya singgah di rumah makan India dan saya punya kesan yang menyenangkan. Rumah-rumah makan India selalu terasa hangat dan semarak. Dekorasinya umumnya cerah dan meriah (umumnya didominasi warna kuning), cukup bersih dan selalu hangat. Hangat oleh kepulan asap dari tungku masakan, juga hangat oleh para pegawainya yang terlihat selalu murah senyum dan komunikatif.

Para pegawai ini sepertinya sudah selesai berberes.Sembari menunggu para pelanggan pergi, mereka berdiri menunggu sambil mengobrol. Salah seorang dari mereka masih memegang besi roti Naan dan tebak apa yang dilakukannya? Ia menggunakan besi itu untuk iseng mencongkel-congkel tanah! Nah, lho... meski kami merasa geli dan sebal melihatnya, tapi tetap menghabiskan roti Naan dengan lahap. 

Keluar dari kedai, trotoar Pasar Seni juga sudah sepi. Stan-stan sudah tutup. Tinggal dua petugas kebersihan yang sedang tekun bekerja. Mereka menyirami trotoar dan sesekali mencongkeli celah-celah trotoar yan mungkin diselipi sampah. Wah, salut lah untuk tingkat kebersihan kota ini!

Ketika sampai di Petaling lagi-lagi keramaian sudah berakhir. Kami segera masuk ke penginapan, disapa ramah oleh bagian resepsionis. Kali ini lelaki yang berbeda, tapi sama tuanya. Saya jadi berpikir:apakah penginapan ini dikelola oleh para kakek-kakek ?

Sesampainya di kamar, lagi-lagi kami langsung terkapar. 

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar