Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (4)

Paginya, kami bersiap untuk menemui Pak Batin, semacam tetua adat. Kami keluar penginapan sekitar pukul 7, lalu mencari sarapan di warung dekat dermaga, milik keturunan Tionghoa. Kami sarapan nasi goreng yang sangat berminyak. Tapi cukuplah untuk mengisi perut.

Udara pagi di pulau ini ternyata tidak tak ada sejuk-sejuknya. Belum apa-apa tubuh terasa lembab berkeringat. Saya tak tahu apa memang begitu udara di Rupat yang memang daerah dataran rendah di tepi pantai, atau hanya pada musim-musim tertentu saja kelembaban begitu tinggi seperti ini. Tapi orang-orang sepertinya santai saja dengan udara seperti itu.

Kami jalan kaki ke rumah Pak Kades untuk menemui anak Pak Kades yang sedianya akan jadi pemandu kami. Seorang pemuda berwajah sangat Chinese dan cukup ramah. Kami dipinjami sepeda motor RX King untuk ke tempat Pak Batin, yang ternyata tak terlalu jauh.

Menimba Ilmu dari Pak Batin
Pak Batin tinggal di rumah kayu sederhana. Beliau sudah cukup tua, berkulit gelap dengan tatapan mata tajam dan garis wajah kuat. Bisa dibilang dia masih punya wajah yang ‘khas’. Beliau agak canggung menyambut kami, tapi ketika mulai mengobrol dia mulai terlihat rileks. Kami bertanya ini itu. Tentang ada istiadat Suku Akit. Ia kemudian menunjukkan sebuah buku tua yang berisikan sekelumit sejarah dan adat istiadat Suku Akit.

Kemudian kami mulai mengobrolkan tentang hutan. Hutan Samak merupakan perkampungan yang ditinggali oleh mayoritas Suku Akit dan sekarang sedang ada konflik dengan sebuah HTI yang akan menggusur lahan penduduk. Selain itu ada dua PT lagi, sawit dan akasia. Tapi konon tak berkonflik dengan masyarakat. Meski begitu, agak mengerikan juga membayangkan di pulau kecil seperti ini dipenuhi kebun sawit dan akasia yang kurang ramah lingkungan itu..
Hutan Samak
Usai dari Pak Batin, kami ke Hutan Samak. Sedikit terburu-buru karena harus mengejar speed ke Dumai pukul 1 siang nanti. Kami menyeberang meggunakan perahu mesin ke Hutan Samak di temani Pak Wakil Batin yang pendiam. Perjalananannya cuma 5 menitan karena memang hanya dipisahkan oleh laut selat yang kecil saja.

Kami sampai di Hutan Samak. Jangan bayangkan ‘seseram’ namanya, karena melibatkan kata "hutan", karena Hutan Samak adalah perkampungan biasa yang cukup ramai. Kami disuguhi pemandangan rumah-rumah kayu  dengan tempelan-tempelan jimat bernuansa Tionghoa, beberapa ornag duduk2 di depan rumah, menatap kedatangan  kami dengan sedikit heran. Tapi tatapan mereka adalah keheranan yang ramah.

Pak Wakil mengajak kami singgah di sebuah rumah kayu sederhana beratap rumbia. Di sini tinggal seorang nenek tua yang konon generasi tertua Suku Akit yang masih hidup di sini. Umurnya sekitar 80 tahun meski dari wajahnya dia tak terlihat setua itu. Seringkali, orang-orang jaman dulu tak terlalu tahu persisnya kapan lahir dan mengira-ira saja.

Wajahnya wajah melayu pada umumnya. Dia cukup ramah meski Bahasa Indonesianya terbatas. Kami mengobrol alakadarnya. Sebenarnya kami berharap bisa ke hutannya yang terletak di belakang kampung, tapi katanya cukup jauh ditambah cuaca panas menyengat yang membuat enggan.

Lalu kami berjalan-jalan masuk ke kampung. Melintasi jalan desa yang terik. Di salah satu rumah tampak keramaian kecil; ada pesta pernikahan. Suasananya ya pesta hajatan seperti di desa-desa umumnya. Orang-orang berkumpul, memasak, anak2 ramai...

Kami sampai di sekolah. Sudah sepi. Hanya ada gemuruh suara genset yang dinyalakan. Tapi tak ada orang. Sekolahnya sendiri sudah sangat layak. Sudah siang dan kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Panas semakin menyengat.

Kami sebenarnya ingin ke tempat orang Akit yang lain, di Selat Morong, dekat Batu Panjang, tapi ternyata tak ada ojek yang bisa mengantar kami. Jadilah kami berpikir untuk ke Dumai saja dulu berhubung logistik sudah mau habis dan tak ada ATM di sini. Rencananya dari Dumai kami akan menyeberang lagi ke Batu Panjang yang memang lebih dekat.

Kembali ke Dumai
Kami sempat makan siang di sebuah warung. Menunya lontong, milik seorang mbah-mbah berwajah Jawa. Tapi ketika saya ajak bicara Jawa, ia tak tak menanggapi meski sepertinya mengerti. Mbah ini sering menggumam-gumam sendiri, khas perempuan tua, tapi dia cukup komunikatif.

Karena Kades dan perangkat desa lain sedang ada acara di Kecamatan karena ada acara dengan bupati, kami pun hanya pamit lewat telepon.

Lalu kami menunggu boat di warung nasi goreng. Boat datang. Tak terlalu penuh dan boatnya lebih buruk dari yang kemarin, terkesan lebih tua dan rapuh tanpa ac, tapi tak buruk juga. Boat melaju, berguncang-berguncang menghantam  ombak yang lumayan tinggi.

Ternyata boat singgah dulu ke Medang, kota kecamatan, untuk mengambil penumpang. Medang adalah pelabuhan kecil dengan beberapa boat yang bersandar. Boat bersandar sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan, kembali terguncang-guncang. Beberapa kali boat berhenti di dermaga kecil untuk mengambil penumpang. Sekitar 2 jaman, kami sudah sampai Dumai.

Kami turun di pelabuhan kecil yang sepertinya khusus untuk boat-boat. Kusam dan kumuh. Kami keluar dengan tanpa petunjuk apapun, mendapati jalan raya kota Dumai panas dan berdebu. Kami memutuskan singgah di rumah makan karena teman saya merasa belum puas belum makan nasi. Kami singgah di warung Padang yang tampak tak terlalu bersih. Sembari makan, kami mencari informasi bagaimana cara ke Batu Panjang atau ke Bengkalis. Di kapal tadi, kami menimbang-nimbang untuk ke Bengkalis saja daripada kembali ke Rupat karena terkait tenggat waktu dan juga logistik. Tapi si pemilik warung mengaku tak tahu dan kami disarankan untuk ke loket penjualan tiket kapal saja. Dan itulah yang kemudian kami lakukan.

Kami naik angkot ke kantor penjualan tiket kapal Dumailine.Ternyata kapal ke Bengkalis adanya hanya besok pagi, pukul 7, harganya Rp. 70.000/orang. Ke Batu Panjang juga katanya tinggal ada yang besok pagi. Padahal harapannya kami bisa ke Batu Panjang sore ini, dan besok lanjut ke Bengkalis. Tapi sepertinya tak memungkinkan seperti itu. Seorang Bapak di loket menyarankan kami naik travel saja ke Bengkalisnya. Setiap saat ada, katanya. Perjalanan cuma 3 jam. Saya pikir itu ide yang masuk akal, karena saya pikir bermalam di Dumai dan menunggu waktu hingga besok pagi hanya buang-buang waktu.

Kami kemudian diantar ojek ke loket travel. Karena tahu kami pendatang, dia seenaknya saja pasang tarif Rp.10.000, padahal jaraknya ternyata tak sampai lima menit. Ternyata juga si tukang ojek tak terlalu paham loket travel karena yang ada hanya mobil charteran dan kami tak mungkin mencharter mobil ke Bengkalis. Karena tak memiliki banyak informasi, akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja. Kebetulan di dekat-dekat situ lumayan banyak penginapan karena dekat pelabuhan. Dari luar sih kelihatan cukup layak, tapi ternyata setelah di lihat dalamnya banyak yang kumuh dan bernuansa 'mesum.'

Setelah melihat-lihat beberapa penginapan, akhirnya kami memutuskan menginap di sebuah penginapan sederhana tapi cukup bersih seharga Rp. 75.000 per kamar. Kamarnya sederhana sekali tapi cukup layaklah meski aku masih dibayangi ketidaknyamanan di kota ini.
Menikmati Malam yang Semarak di Dumai
Setelah mandi kami memutuskan keluar untuk mencari makan dan warung internet karena ada beberapa hal yang harus di cek di email.

Kami jalan kaki saja tanpa tujuan yang jelas. Dumai di malam hari terasa lebih ramah. Saya memutuskan singgah di warung mie Aceh pinggir jalan yang kami lintasi. Warungnya berada di sudut kecil yang terkesan cukup hangat tapi ketika disajikan, ternyata mi-nya biasa saja. Sangat berlemak dan rasanya dominan penyedap rasa. Kami juga sempat mencobai air akar yang dijual bapak tua dengan gerobak kayunya. Minuman yang dijualnya di kemas dalam botol-botol sehingga terlihat sangat khas. Namanya air akar. Saya penasaran. Setelah diminum ternyata: cincau! Bedanya hanya dicampur susu dan es.

Kami jalan lagi, mampir ke warnet sebentar. Warnetnya merangkap sebagai game online, yang isinya anak-anak muda yang main game, membunyikan sound sekeras-kerasnya, berbau rokok dan keringat cowok. Sama sekali bukan tempat yang nyaman. Kami cuma sebentar saja, lalu tanya-tanya pusat keramaian kota ini. Ada satu tempat namanya Ombak, kata pramuniaga toko. Karena sudah mulai lelah jalan kaki, kami pun memutuskan naik becak. Ongkosnya Rp. 10.000.

Tukang becaknya bapak-bapak yang belum terlalu tua dan enak diajak ngobrol. Dia mengaku dari Bangkinang, lama dia di Malaysia kerja bangunan. Konon dia terlibat dalam pembangunan KLCC dulu.
    "KLCC itu dibangun oleh orang-orang Indonesia," ujarnya. Saya sempat surprise tapi kemudian berpikir, apa itu patut dibanggakan? Jadi buruh di negri orang? Kita jadi arsiteknya itu hebat, tapi jadi buruh kasarnya? Hmm...

Dia lama di sana, lama di sini, pokoknya fasih dia cerita. Dia cerita kalau di Ombak ada swalayan yang menjual makanan-makanan Malaysia, sembari menyebut merek-mereknya, seolah aneka makanan itu memiliki gengsi tersendiri...

Ternyata Ombak lumayan jauh dan kami merasa ongkos 10 ribu yang Bapak itu pasang terlalu murah. Merasa kasihan, kami tambah 5 ribu dan dia tampak senang. Dia menyarankan agar nanti kalau kami hendak pulang untuk naik dia lagi dan dia memberi nomor ponselnya.

Ombak, tak seperti yang kami bayangkan berupa Pujasera atau semacamnya. Itu adalah sebuah jalan memanjang yang di kanan kiri adalah penjual makanan. Makanannya pun tak khas, jajanan PKL pada umumnya: martabak bangka, mie rebus, mie goreng, nasi goreng, sate... ada satu dua seafood itu pun penuh sesak. Jalanannya juga tak nyaman. Bercampur dengan toko-toko kelontong, tambal ban, dan tak ada trotoar sehingga tak nyaman untuk pejalan kaki. Tak ada yang terlalu menarik. Kami memutuskan untuk singgah ke swalayan mencari beberapa makanan ringan. Teman saya kemudian makan sate.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar