Laman

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (1)

Awal Perjalanan: Menuju Batam
Ini semacam kebetulan. Meski saya ragu, apa ada yang benar-benar namanya kebetulan. Ketika tiba-tiba lembaga tempat saya bekerja berencana melakukan penelitian kecil-kecilan pada suku-suku Asli minoritas di Sumatera, yang tersebar di sekitar Riau dan Kepulauan Riau. Tim saya, yang terdiri dari saya dan seorang teman, ditugaskan untuk melakukan penelitian pada Suku Akit.

Saya sendiri baru mendengar nama ini dari sebuah buku. Informasinya juga sekilas saja. Tak ada gambaran jelas dimana sebenarnya kelompk terbesar suku ini bermukim. Coba-coba browsing di internet dan bertanya pada teman-teman yang bermukim di sekitar Riau, ternyata juga tak banyak membantu. Ada yang menyebutkan di Kab. Pelelawan, Riau. Ada yang mengatakan di Pulau Rupat, Bengkalis. Ada majalah lama di kantor saya yang memuat hasil penelitian tentang suku-suku kecil ini, termasuk suku Akit, beserta peta persebarannya, dan ternyata Suku Akit tak hanya terdapat di Pulau Rupat, tapi juga di pulau-pulau sekitar. Nah, lho...

Karena informasi yang masih kabur, bingung memulai dari mana, akhirnya kami sepakat untuk ke Pulau Rupat. Ada dua alternatif rute perjalanan dari Jambi: Jambi-Pekan Baru-Dumai (darat), Dumai-Rupat (laut). Rute kedua: Jambi-Batam (udara), Batam-Dumai-Rupat (laut). Dan kami sepakat mengambil rute yang kedua karena berpikir lebih efektif.

Kami mendapat info kalau kapal Batam-Dumai beroperasi dua kali sehari, pukul 7 pagi dan 2 siang. Pesawat kami pukul 12 siang dan sampai Batam pukul 1 siang, jadi kami masih bisa mengejar kapal yang pukul 2. Begitu keluar bandara, kami lekas-lekas mencari taksi ke pelabuhan.Taksinya tak pakai argo. Tarifnya: Rp. 90.000,-.Sebenarnya agak terlalu mahal karena jaraknya tak terlalu jauh. Tapi kami tak punya pilihan karena karena dikejar waktu, selain itu juga tahu informasi tentang  angkutan umum rute bandara-Sekupang.

Sampai di Sekupang, kami langsung mencari tiket kapal ke Dumai. Ini juga kedua kalinya saya menginjakkan kaki di Sekupang. Pada kesan pertama, saya tak menyukai tempat ini karena terlalu berisik dan annoying. Kali ini, ternyata sama saja. Para penjual tiket tak henti berteriak--benar-benar berteriak--ribut sekali.
    "Tak ada. Adanya cuma besok pagi, jam 7-an." jawab si penjaga loket ketika kami tanya tiket ke Dumai. Kami jadi agak bingung karena rencana semula jadi berantakan. Rasanya terlalu buang-buang waktu kalau harus menginap di Batam. Pun ketika kami tanya penginapan di dekat-dekat pelabuhan, katanya tak ada. Adanya hotel besar, itu pun agak jauh. Mengingat bahwa kapal jam 7 pagi, menginap di tempat yang agak jauh dari pelabuhan sama sekali bukan ide bagus. 

Bingung, akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung di dekat pelabuhan. Kami pesan minum dan mulai tanya-tanya. Si Ibu cukup ramah mengatakan kalau kami bisa menginap di tempatnya, alakadarnya memang. Tapi kami tak keberatan dengan penginapan alakadarnya. Kami buka-buka peta, dan berdiskusi: bagaimana kalau mengunjungi pulau terdekat? Ada Tanjung Balai di seberang sana. Sepertinya sih tak ada yang terlalu menarik, tapi lebih baik mengunjungi tempat baru daripada bengong. Apalagi setelah diperhatikan lagi, ada pulau kecil dekat Tanjung Balai yang dipeta diarsir sebagai lokasi Suku AKit, Pulau Kundur. Lalu datang abang-abang yang mungkin suami si Ibu, dan kami mulai tanya-tanya soal Suku Akit. Tapi lagi-lagi nama Suku Akit tak familiar, jadi kami tanya Suku Asli. Karena berpikir sama saja konotasinya. Kami tanya apa di Pulau Kundur ada Suku Asli? Si Abang mengiyakan, meski sepertinya tak terlalu meyakinkan.
    "Apa masih ada transport kesana?" tanya kami.
    "Masih, terakhir jam 4!" jawab si Abang. Saya melihat jam. Hampir pukul 4. Tanpa babibu, kami mengucap terimakasih dan bergegas.

Menyinggahi Tanjung Batu, Pulau Kundur
Kami membeli tiket, lalu setengah berlari ke dermaga. Sampai di dermaga, ternyata kapalnya sudah penuh. Seorang lelaki bermata sipit yang mungkin pemiliknya teriak-teriak kalau sudah penuh dan jangan ada yang naik lagi. Kapal pun segera melepas sauh. Kami bengong. Beberapa penumpang yang nasibnya sama dengan kami menggerutu. Saya merasa bingung dengan situasi itu. Bagaimana tiket sudah di tangan tapi ternyata tak bisa menjaminkan bisa berangkat? Jadi penjualan tiketnya bukan berdasar ketersediaan kursi ya? Parah.

Untunglah, ternyata bukan berarti tiket kami hangus. Kami bisa menukarkannya kembali. Beberapa orang yang bernasib sama dengan kami, menyarankan untuk mengganti tiket ke Tanjung Balai saja, mungkin dari sana masih ada kapal yang ke Pulau Kundur. Gambling sih, tapi kami ambil ide itu. Mentoknya bermalam di Tanjung Balai saya pikir tak lebih buruk daripada cuma bengong di Batam.

Teman saya menukar tiket. Kami menunggu beberapa menit dan kapal berikutnya datang. Batam-Tanjung Balai cuma memerlukan waktu dua jam dengan kapal cepat. Kondisi kapalnya lumayan, kecuali bahwa ac-nya rusak, tapi kemudian pulih di tengah jalan. Saya merasa penat dan mencoba tiduran, tapi tak bisa karena anak-anak di belakang saya berisik sekali.Sementara teman saya memilih duduk di luar karena katanya bisa mengambil foto dengan leluasa.
Tanjung Balai Karimun (photo by HA)

Tiba di Tanjung Balai, saya cukup takjub juga melihat bangunan-bangunan menjulang, menandai kota yang cukup besar. Tadinya saya kira, Tanjung Balai hanya pulau kecil saja yang membosankan, tapi ternyata terlihat cukup megah.

Di kapal, teman saya mendapat kenalan orang dari Tanjung Batu, Pulau Kundur. Mereka berombongan, katanya baru menghadiri semacam majelis Melayu begitu. Karena berombongan, mereka bisa mendapatkan kapal dan menawari kami kalau kami mau barengan. Tentu saja kami mau! Kami menunggu sekitar 15 menit, lalu datanglah speed boat berukuran sedang yang sedianya akan membawa kami ke Pulau Kundur.
Perjalanan menuju Tanjung Batu (Photo By HA)

Perjalanan ke Tanjung Balai-Tanjung Batu cuma sekitar 1 jam, melintasi laut tenang, membelah pulau-pulau kecil yang dinaungi bakau. Tampak indah permai dalam pendar matahari sore yang keemasan. It’s great! Saya pikir, saya benar-benar mulai menyukai perjalanan ini!

Sudah menjelang petang sampai di Pelabuhan Tanjung Berlian, Pulau Kundur. Saya pikir, rombongan yang bersama kami tadi akan sedikit basabasi sama kami ketika turun mengingat kami tak tahu mau kemana, tapi ternyata berpisah begitu saja dan kami harus mengandalkan diri sendiri.
Pelabuhan Tanjung Berlian, Pulau Kundur (photo by HA)

Keluar dari dermaga adalah deretan ruko berornamen Tionghoa yang berjejer di kiri kanan jalan, memanjang dan lengang karena sudah pada tutup. Kami tanya-tanya ternyata ini bukan kota utamanya. Tapi masih jauh. Sayangnya sudah tak ada kendaraan karena sudah terlalu sore. Bersama kami seorang anak muda dan ibu muda yang kemudian mengajak kami nyarter angkot. Kami setuju.

Di dalam angkot, ada bapak-bapak yang cukup ramah dan mengajak kami mengobrol ini itu. Petang sudah datang dan tak banyak yang bisa dilihat di kanan kiri jalan. Hanya jalanan yang mulus, rumah-rumah yang tak terlalu padat, hamparan pekarangan yang agak bersemak...kesan desanya kuat sekali kecuali bahwa jalan yang kami lalui sangat mulus.

Sampai tengah jalan, kilat menyambar-nyambar. Saya teringat cerita teman saya yang berasal dari Kepri. Konon petir di daerah kepulauan ini mengerikan. Mungkin seperti inilah. Kesannya langit hanya sejengkal di atas kita dan kilat menyambar. Benar-benar terasa mengerikan. Lalu hujan turun, menguarkan aroma aspal yang basah. Deras sekali kelihatannya. Kami tutup semua jendela dan pintu. Suasana di dalam angkot terasa pengap. Rasanya perjalanan cukup lama, melintasi daerah pedesaan yang membuat saya berpikir, kok mau-maunya angkot ini mengantar? Apa tak takut pulang melintasi jalan sepi dan gelap begini?

Hujan hanya sebentar saja. Ketika penumpang satu per satu turun, kami agak bingung. Tapi kami disarankan turun di kota kecamatan saja karena banyak penginapan di sana. Kota kecamatan tapi ada penginapannya? Saya penasaran juga. Seperti apa sih kotanya? Ternyata suasananya sama sekali tak seperti kota kecamatan, cukup besar untuk disebut kota kabupaten malah. Deretan toko-toko terlihat masih ramai. Ada pasar malam juga. Kami diturunkan di depan sebuah penginapan yang terlihat cukup layak. Teman saya bertanya, apa sebaiknya cek tempat lain? Tapi karena hari sudah malam dan kami buta tempat ini, saya pikir lebih baik di sini saja.

Hotel biasa saja, bernuansa usang dengan ornamen China. Kesannya, bukan hotel yang ‘bersih.’ Harganya ternyata cukup murah,untuk harga Rp. 90.000 sudah ber-ac dan ber-tv. Tak ada pertanyaan soal KTP  segala macam, langsung bayar dan dikasih kunci kamar.

Saya diantar seorang lelaki bertubuh gempal--yang sepertinya bell boy hotel itu--ke kamar di lantai dua, sementara teman saya di lantai 1. Koridor lantai dua tampak lengang dan gelap. Sepertinya tak banyak tamu. Entah bagaimana saya merasa agak ngeri juga karena atmosfer hotel ini terasa kurang nyaman.

Masuk ke kamar, ternyata kamarnya cukup luas. Ketika tadi saya berusaha menawar, resepsionisnya tadi mengatakan tidak bisa dan sebagai semacam nilai plusnya adalah karena TVnya besar, ternyata TV biasa saja, 21 inc, sudah tua pula. Sebenarnya, tak masalah bagi saya TV kecil atau besar, tapi iseng saya protes pada petugas yang mengantar saya: Mana? Katanya besar? Dia diam saja. Saya pikir dia agak tersinggung, tapi kemudian ketika dia hendak keluar, dia menggerak-gerakkan tangannya membentuk bahasa isyarat. Oh, ternyata dia tuna wicara! Meski saya tak tahu bahasa isyarat, tapi saya kira saya paham apa yang dikatakannya. Dia bertanya kenapa saya dan teman saya tak sekamar? Saya bilang kami bukan suami istri, tapi teman kerja. Dia sepertinya mengerti, tapi kemudian dia masih menggerakkan jari lagi. Saya tak paham kata-katanya, jadi hanya saya jawab: bukan-bukan. Mungkin aneh juga dua orang berjenis kelamin berbeda bepergian, bukan suami istri dan menginap di hotel begini.

Mengabaikan atmosfer tak nyaman di kamar, saya memutuskan untuk mandi karena badan terasa lengket oleh keringat. Kamar mandinya tak terlalu bagus. Airnya beraroma karat. Saya memeriksa dinding, khawatir kalau-kalau ada semacam hidden camera. Tapi sepertinya tidak dan saya pun mulai mandi.

Tanjung Batu dan Sisa Kejayaan Masalalu
Usai mandi, teman saya sms mengajak saya cari makan di luar. Kami keluar dan beberapa meter dari penginapan, mendapati hamparan pujasera yang terlihat cukup meriah. Menu-menunya sih tak ada yang terlalu khas: bakso, mi goreng, nasi goreng, miso...tapi suasananya terasa sangat hidup. Dan kami benar2 merasa surprise! Rasanya seperti sedang liburan saja!

Usai makan, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Beberapa toko sudah tutup. Jalanan cukup riuh oleh anak-anak muda yang bersliweran dengan sepeda motor menderu-deru. Maklum, malam Minggu. Selebihnya, lorong panjang pertokoan yang temaram, dengan lampion-lampion merah yang bergelantungan. Di sudut perempatan, ada wihara yang merah temaram, menambah kesan eksotik tempat itu.

Salah satu sudut kota Tanjung Batu

Kami berjalan-jalan saja, menyadari bahwa kota itu ya di situ-situ saja. Di salah satu perempatan, kami mendapati patung ibu dan dua anak di perempatan dan kami pikir itu pasti ada legendanya dan besok akan kami tanya kalau ketemu seseorang.

Kami sampai di ujung dermaga yang terbengkelai. Gelap tapi terlihat beberapa anak muda duduk-duduk disana, mojok. kami ingin pulang, tapi hujan turun, dan kami mampir di sebuah kedai makan. Ngobrol-ngobrol dengan pemiliknya yang sebenarnya sudah mau tutup. Kami tanya tentang Suku Akit, tak banyak tahu juga. Suku Asli ada, di Penyalai, pulau di seberang lagi. Teman saya pesan teh, saya makan mangga. Tanya-tanya penginapan. Katanya penginapan kami mahal, hotel lain 25-70 ribu, katanya sambil menunjuk bangunan di sebelah. Terlihat seperti asrama.

Lalu cerita melompat ke Tanjung Batu di masa lalu. Dulu katanya surga judi dan perempuan. Masa Suharto. Tiap malam orang-orang Malaysia dan Singapura berdatangan dengan kapal untuk mereguk surga dunia. Perempuan penghibur didatangkan terutama dari Jawa. Sekarang, sudah tak boleh lagi. Sepi. Saya pikir penginapan-penginapan di sini adalah sisa kejayaan masa lalu. Dimana hiburan di sini? Ada klub di sana. Ujar si Abang. Ada juga perempuannya. Tapi benar-benar sudah sepi sekarang, tambahnya.

Si Abang warung bilang akan segera tutup karena sebentar lagi lampu dimatikan. Listrik di sini tidak 24 jam. Hujan pun reda dan kami berjalan pulang. Suasana jalanan masih semarak.

Saya kembali ke kamar, nonton TV, dan tertidur. Karena kecapekan, saya tidur cukup nyenyak. Tapi di tengah malam saya terbangun dan samar-samar mendengar gemeletuk hak sepatu perempuan. Saya mendengar suara-suara...Hmmm...saya tak mau berpikir aneh-aneh dan meneruskan tidur. (Bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar