Laman

Senin, 29 Desember 2014

Malang: Wisata Pantai

Ke Malang tapi bosan dengan obyek wisata daratan? Jangan khawatir. Meskipun merupakan daerah dataran tinggi yang dikelilingi banyak gunung dan pegunungan, beberapa bagian Malang (daerah selatan) merupakan daerah berpantai. Berikut adalah beberapa pantai di Malang yang layak untuk dikunjungi:

* Pantai Balekambang

Pantai Balekambang terletak sekitar 57 km dari Kota Malang. Tepatnya terletak di Desa Srigonco, Kecamatan Bantur. Ini merupakan salah satu wisata pantai unggulan di daerah Malang yang memiliki pemandangan unik. Di sekitar pantai, terdapat tiga pulau kecil yang saling berdekatan. Salah satunya adalah Pulau Ismoyo, yang di atasnya dibangun sebuah kuil Hindu. Setiap tahun, umat Hindu melakukan ritual dan upacara Jalanidhipuja dan juga acara Suran (Tahun Baru Jawa). Sebagai daerah yang sudah dijadikan daerah tujuan wisata, di sekitar pantai sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum seperti area parkir, warung, penginapan, hingga toko suvenir.
Pantai Balekambang

Untuk pergi ke pantai ini, bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi umum dari Kota Malang. Dengan jalur Malang – Kepanjen – Pantai Balekambang atau Malang – Gondanglegi – Pantai Balekambang.

* Pantai Kondang Merak
Pantai Kondang Merak terletak di dekat Pantai Balekambang. Meski begitu, tak seperti Balekambang, pantai ini masih sepi pengunjung. Namun tentu saja akan menjadi menarik bagi mereka yang tak terlalu suka suasana yang riuh.

* Pantai Sendang Biru
Pantai Sendang Biru berada di Kecamatan Sumber Manjing Wetan, berjarak sekitar 69 km ke arah selatan dari kota Malang. Pantai ini merupakan pantai nelayan dan tempat pelelangan ikan. Selain itu, sekali setahun diadakan upacara larung sesaji Petik Laut, oleh warga sekitar.

Transportasi ke Sendang Biru:
Transportasi paling praktis tentu saja dengan menggunakan kendaraan pribadi atau sewa sepeda motor (banyak penyewaan sepeda motor di Malang). Namun jika ingin merasakan petualang ala backpacker, bisa menggunakan angkutan umum. Dari Kota Malang, bisa mencari angkot ke Terminal Gadang (angkot dengan huruf "G", ongkos angkot Rp. 4000 paska kenaikan bbm). Dari Terminal Gadang, dilanjutkan angkot tujuan Pasar Turen (Rp.5000, dulu) dan dari Pasar Turen dilanjutkan dengan angkutan umum berikutnya (biasanya berupa L300) tujuan Sendang Biru. Mobil biasanya akan cukup lama ngetem menunggu penumpang penuh, jadi harap bersabar karena biasanya memakan waktu yang lebih dari 1 jam :) Perjalanan dari Turen ke Sendang Biru sendiri hanya sekitar 1,5 jaman. 

*Pulau Sempu

Pulau Sempu bisa ditempuh dengan menyeberang dari Pantai Sendang Biru, merupakan sebuah pulau kecil tak berpenghuni dan merupakan salah satu cagar alam yang dilindungi. Luasnya hanya sekitar 877 ha.
Dan karena merupakan daerah cagar alam, untuk masuk ke pulau ini, diperlukan ijin dari Perum Perhutani, sebagai pengelola kawasan. Biaya ijin Rp, 25000/ grup (mungkin sekarang sudah naik). Pihak Perum Perhutani biasanya juga akan ditawarkan guide jika memang ingin ditemani guide. Di sini juga disediakan penyewaan tenda dan berbagai perlengkapan berkemah. 
Pantai Segara Anakan, Pulau Sempu

Untuk mencapai pulau ini, bisa ditempuh dengan menyeberang menggunakan perahu dari Pantai Sendang Biru dengan biaya sewa sekitar Rp. 100-an ribu (PP) dan jarak tempuh sekitar 10 menit dan kapal akan berhenti di Teluk Semut. Perjalanan selanjutnya dilanjutkan dengan jalan kaki menyusuri hutan kecil menuju Segara Anakan  (sekitar 1 jam).

Aktivitas yang bisa dilakukan di pulau ini adalah berkemah sambil menikmati suasana pulau dan pantai Segara Anakan yang indah dan berair kehijauan.


* Pantai Bajulmati

Pantai ini berjarak sekitar 60 km dari Kota Malang, tepatnya di Kecamatan Gedangan. Pantai ini memang belum sepopuler Pantai Balekambang atau Sendang Biru, namun keindahannya tak kalah. Seperti halnya di Sendang Biru, di pantai ini juga rutin diadakan riutal Larung Sesaji pada H+7 Hari Raya Idul Fitri (hari raya ketupat). 

Bajul Mati sendiri berarti "Buaya Mati", dinamakan demikian konon karena adanya gugusan bukit di seberang pantai yang  terlihat seperti buaya (bajul).

Untuk sampai ke pantai ini, bisa ditempuh melalui Pantai Sendang Biru melintasi Jalan Lintas Selatan. Mungkin cukup sulit jika menggunakan transportasi umum karena pastinya harus menyambung-nyambung, karenanya alternatif transport terbaik adalah menyewa sepeda motor/mobil dari Kota Malang.

Pantai Goa Cina

* Pantai Goa Cina.

Pantai ini terletak di tengah-tengah antara Pantai Sendang Biru dan Pantai Bajulmati (sekitar 10 menit dari Pantai Sendang Biru dengan kendaraan). Nama Goa Cina sendiri berasal dari lubang kecil yang berada di pulau kecil di pinggir pantai tersebut. Konon, dulu tempat itu merupakan tempat persembunyian seorang keturunan Cina dari kejaran tentara Belanda.

Aktivitas yang bisa dilakukan adalah menikmati keindahan pantai berpasir putih dan berkarang-karang.

* Pantai Tamban
Pantai ini berada di sebelah timur Pantai Sendang Biru. Aksesnya masih memadai sehingga tidak terlalu ramai dikunjungi. Kegiatan yang bisa dilakukan ini, selain menikmati keindahan pantai yang berpasir, juga membeli ikan.

 * Pantai Sipelot
Pantai yang terletak di Malang Selatan ini juga masih sepi karena letaknya agak tersembunyi. Hal yang menarik dari pantai ini adalah adanya air terjun Coban Sipelot (sekitar 10 meter).

* Pantai Ngliyep

Pantai Ngliyep merupakan pantai dengan banyak batu karang yang berpadu dengan hamparan pasir putih, tebing-tebing dan juga hutan.

(dari berbagai sumber)

Rabu, 24 Desember 2014

Malang: Tempat Menarik di Kota Batu dan Sekitarnya

Jika bosan mengelilingi kota Malang, tenang saja, karena masih ada tempat yang worthed untuk dikunjungi. Pertama, tentunya adalah Kota Batu. Kota Batu bisa ditempuh kurang dari 1 jam dari Kota Malang, merupakan kota kecil yang berada di dataran tinggi berhawa sejuk. Dengan kendaraan umum, bisa ditempuh dengan angkot dari Terminal Landung Sari (bisa naik angkot dengan ujung "L" dari terminal Arjosari seperti: AL atau ADL. Atau bisa juga naik angkot ke arah Singsosari dan turun di pertigaan Karang Lo, kemudian cari saja angkot yang ke arah Batu.

Kota Batu sendiri sepertinya memang dikonsepkan sebagai kota wisata sehingga fasilitas dan atraksi wisata bisa dibilang cukup lengkap. 

Tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi di sini:
Jatim Park (sumber foto: http://www.wikipedia.org/)

- Jatim Park

Jawa Timur Park atau Jatim Park, merupakan tempat yang menyediakan aneka wahana permainan. Tak tanggung-tanggung, di sini ada Jatim Park 1 dan Jatim Park 2. Tiket masuk (sebelum kenaikan BBM), Jatim Park 1 Rp 50.000 (Senin-Kamis) atau Rp 60.000 (Jumat-Minggu). Wahana permainan yang ada di Jatim Park 1 adalah Secret Zoo, Tree Hotel, dan Museum Satwa. Sedangkan Jatim Park 2 tiketnya Rp 60.000 (hari biasa) dan Rp 75.000 (akhir pekan), harga tiket ini merupakan harga tiket terusan.

- Agrowisata Kusuma.
Seperti namanya, ini memang sebuah perkebunan, tepatnya perkebunan sayur dan buah-buahan seperti apel, strawberry jambu, buah naga, jeruk.Tiket masuknya antara Rp 60.000 - Rp 100.000 (tergantung fasilitas yang diminta). Sembari melihat-lihat dengan ditemani pemandu, pengunjung diperkenankan mengambil sayuran atau memetik buah-buahan (tentu dalam jumlah yang dibatasi).
Alun Alun Kota Batu yang asri

- Alun-Alun Batu
Meskipun 'hanya' alun-alun, tapi alun-alun Kota Batu ditata sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi. Berada di dataran tinggi, membuat tempat ini sebagai salah satu tempat melihat pemandangan. Apalagi ada Ferris Whell si Kincir Raksasa untuk melihat pemandangan Kota Batu dari ketinggian.
Salah satu sudut Songgoriti

- Taman Wisata Songgoriti.
Songgoriti merupakan tempat wisata bernuansa alam, dengan pohon-pohon hijau nan rindang, merupakan tempat yang cocok untuk kegiatan outbound. Salah satu atrasksi wisatanya adalah pemandian air panas dimana pengunjung bebas berenang. Tiket masuk ke tempat ini Rp. 10.000,-.

- Selecta
Selecta, merupakan wisata alam yang menawarkan banyak permainan seperti flying fox, wahana outbound, kolam renang, dan taman bermain keluarga. Tiket masuknya sekitar Rp. 15.000,-

- Batu Night Spectacular (BNS)
Seperti namanya, tempat ini hanya dibuka pada malam hari. Atraksi wisata yang disajikan adalah aneka lampu dengan beragam bentuk dan warna, memberi pemandangan yang 'spectacular'. Selain itu, juga dilengkapi dengan berbagai macam wahana permainan. Tiket masuknya Rp 12.500/ orang.

Beberapa air terjun:
- Air Terjun Coban Sewu
Air terjun ini terletak di Desa Bendosari, Kec. Pujon, tak terlalu jauh dari Kota Batu (arah Kediri). Letaknya juga hanya sekitar 100 m dari jalan raya. Airnya jernih dan suasana sekitarnya hijau dan asri. Konon, air terjun ini juga dipercaya memiliki khasiat penyembuhan aneka penyakit.

- Air Terjun Coban Rondo.

Masih di Kec. Pujon, Coban Rondo terletak 12 km dari Kota Batu. Dikelilingi oleh hutan pinus. Ada mitos yang melatarbelakangi nama Coban Rondo. Konon, dulu ada sepasang pengantin bernama Dewi Anjarwati dan Raden Baron Kusuma. Usia pernikahan mereka tak bertahan lama karena Raden Baron meninggal setelah melawan Joko Lelono yang ingin merebut Dewi Anjarwati. Dewi Anjarwati pun menjadi janda (rondo) dan tinggal di sekitar air terjun tersebut. Di sekitar air terjun juga terdapat kebun binatang mini yang memelihara binatang seperti rusa, landak dan monyet. Tiket masuk ke air terjun Rp. 10.000,-


(Dari berbagai sumber)

Jumat, 19 Desember 2014

Malang: Tempat-Tempat Menarik di Kota Malang

Malang, akhirnya saya menyinggahi kota ini. Entah bagaimana, kota ini masuk dalam list to visit saya sejak dulu. Namanya melekat di kepala saya, dan akhirnya  tangan takdir seolah 'mendamparkan' saya di kota ini.

Malang kota kecil yang nyaman, itulah bayangan saya tentang Malang sebelumnya. Dan anggapan itu tak sepenuhnya salah ketika akhirnya saya tiba di kota ini. Di kelilingi oleh pegunungan, menjadikan Malang kota yang cukup sejuk. Ada Gunung Kawi, Gunung Butak, Gunung Kelud, Gunung Welirang dan Arjuna di sebelah utara, dan tentu saja Gunung Bromo -Semeru yang terkenal itu. Pada bulan-bulan musim penghujan, udara Malang memang sangat sejuk, bisa cukup dingin malah, tapi kalau musim kemarau sih sama panasnya dengan kota-kota lain.

Memasuki kota, kesan pertama saya adalah kota ini bersih dan asri. Hijau pepopohonan menaungi jalan-jalan utama dan tidak hanya itu, karena trotoarnya juga cukup lebar dan bersih, sehingga cukup ramah terhadap pejalan kaki, meski di banyak bagian kadang tak rata. Tidak semua memang, tapi beberapa sudut cukup teduh, sehingga jalan kaki cukup menyenangkan di kota ini.
Suasana sekitar Alun-Alun yang hijau

Menurut saya, suasana kota ini mirip dengan Jogja, karena ada banyak universitas besar di sini. Selain Universitas Brawijaya, ada Universitas Negeri Malang, Universitas Muhamadiyah Malang, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Islam Malang, Institut Teknologi Malang... Menjadikan kota ini dipenuhi dengan orang-orang muda, sebagian besar pendatang dari berbagai penjuru tanah air. Kafe-kafe yang terkesan cozy sebagai tempat nongkrong tersebar di seluruh sudut kota. Dan karena konsumennya adalah mahasiswa, tidak usah terlalu risau soal harga. Harga-harga makanan di kota ini relatif murah-murah, meski tentu saja, ada saja yang harganya mahal.

Bedanya dengan Jogja, mungkin aura "nyeni" nya yang memang tak kentara di kota ini.  Berbagai pertunjukan seni gratisan atau setidaknya murah seperti di Jogja, cukup sulit dijumpai. Ada sih pada event-event tertentu seperti acara ulang tahun Kota, sementara untuk hari-hari biasa paling musik-musik modern lah. Mungkin juga, karena seperti kebanyakan daerah di Jawa Timur, nuansa Islami (NU) nya cukup kental. Masjid atau musholla bertebaran dan cukup rutin mengadakan pengajian yang mungkin bagi yang tak terbiasa, akan sedikit menggangu karena disiarkan keras-keras melalui pengeras suara.

*Tempat-tempat Menarik


- Bangunan-Bangunan Tua

Malang sendiri merupakan 'kota tua' maksudnya sudah ada sejak jaman pra kemerdekaan, bahkan lebih lama dari itu karena beberapa situs peninggalan sejarah zaman kerajaan ditemukan di beberapa lokasi di sekitar Malang. Tak heran jika kemudian nama salah seorang raja jaman itu dijadikan nama universitas paling besar di kota ini, Universitas Brawijaya.

Sementara untuk jaman penjajahan, tentu saja kota ini adalah kota yang nyaman untuk tinggal orang-orang Belanda. Jejaknya bisa dilihat dari berbagai bangunan tua yang tersebar di berbagai sudut kota Malang. Meski beberapa tentu saja, seperti kebanyakan tempat di negeri ini, sudah dirombak. Namun beberapa masih terpelihara dengan baik terutama bangunan-bangunan yang digunakan sebagai pusat pemerintahan.

Bangunan-bangunan tua tersebut antara lain:
- Stasiun Kota Malang. Stasiun Kota Malang memang tak bisa dibilang megah dan kecil saja, tapi tetap memiliki kesan antik dan tua.
Balai Kota Malang

- Balai Kota dan Tugu Malang. Letaknya hanya sekitar 200 m  dari depan Stasiun Kereta Api Malang. Balai Kota ini masih digunakan sebagai kantor balai kota hingga sekarang. Bagi yang hobi foto-foto, ini adalah salah satu spot menarik, karena di depan balai kota adalah taman kecil dengan kolam yang ditanami banyak teratai, memberi pemandangan yang asri, terutama di pagi hari ketika bunga-bunga teratai bermekaran. Suasana malam di sekitar tempat ini juga tak kalah indah karena dihiasi lampu warna-warni.

Sekitar 1 km ke arah belakang Balai Kota adalah seputaran alun-alun kota Malang (Jl. Merdeka --Barat/Timur/Utara/Selatan) yang dikitari beberapa bangunan tua seperti:
Toko Oen

- Toko Oen, terletak di Jl. Basuk Rahmat, dekat perempatan Jl. Merdeka. Merupakan toko bernuansa putih-hijau yang terkesan klasik. Konon toko ini didirikan sekitar tahun 1930-an. Menu andalannya adalah es krim, juga menyediakan anek kue, bistik dan makanan lainnya. Karena merupakan tempat yang ditujukan bagi turis, harganya memang relatif agak mahal meski menurut saya masih terjangkau. Untuk es krim, harganya dimulai dari sekitar Rp. 15.000-an, sementara untuk kue-kue sekitar Rp. 9000.
Gereja Kayu Tangan

- Gereja Hati Kudus Yesus (gereja Kayu Tangan). Merupakan gereja tua berarsitektur gotik yang berada tepat di seberang Toko Oen.
Gereja GPIB Immanuel

- Gereja GPIB Immanuel, juga merupakan gereja tua yang berada sekitar 200 m dari Toko Oen/ Gereja Kayu tangan. Merupakan gereja yang terlihat sama megahnya meski ukurannya lebih kecil dari Gereja Kayu tangan.
Mesji Jami' yang megah

- Mesjid Agung Jami' di Jl Merdeka Barat, terletak hanya beberapa meter dari Gereja Immanuel, menjadikanya pemandangan yang unik bagaimana dua rumah ibadah dari agama yang berbeda ini tampak harmonis berdampingan. Masjid Jami' merupakan masjid tua , berdiri tahun 1890. Arsitekturnya unik, perpaduan Jawa dan Arab dengan langit-langit dari kayu yang tampak antik.

- Kantor Pos Besar
Terletak di dekat Mesjid Jami'. Seperti umumnya tatakota kolonial, kantor Pos selalu terletak di sekitar alun-alun kota. Bangunannya hampir sama dengan kantor pos-kantor pos tua pada umumnya.
Ijen Boulevard yang asri

- Ijen Boulevard/ Jl Besar Ijen
berupa jalan lebar yang asri, kanan kirinya ditanami pohon palem yang berjajar rapi dan entah sudah berapa puluh tahun umurnya dan di belakangnya adalah perumahan bernuansa kolonial Belanda. Di salah satu sudut adalah Gereja Ijen Katedral yang juga merupakan gereja tua.

- Museum Brawijaya.
Terletak di kawasan Jl Ijen. Didirikan tahun 1968, yang menyimpan koleksi barang-barang bersejarah.
- Museum Benteol di Jl. Wiromargo, berisi koleksi sejarah rokok Bentoel milik keluarga Ong.

Bagi bukan penggemar sejarah, mungkin tak bisa menemukan tempat yang terlalu menarik di kota Malang karena memang tak ada tempat wisata yang spesial. Tapi kota ini menyediakan cukup banyak ruang publik yang cukup nyaman. Alun-alun kota, misalnya,meskipun kecil saja, tapi cukup teduh dan bersih. Beberapa taman-taman juga dibangun di banyak sudut kota.
Alun-alun kota yang rindang

- Taman Senaputra, di Jl. Kahuripan, tak jauh dari Balai Kota. Merupakan taman kecil yang cukup teduh dengan pohon-pohon yang rindang.
- Taman Rekreasi Kota (Terekot), terletak di Jl. Majapahit, tepatnya di belakang Gedung Balai Kota. Taman ini dibangun pada tahun 2002, dan menyediakan berbagai fasilitas rekreasi keluarga seperti sarana bermain anak-anak, kolam renang, dan taman.
- Pasar Minggu. Merupakan pasar yang diadakan setiap hari Minggu di sekitar Ijen Boulevard, mirip-mirip pasar kaget di banyak tempat yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari (terutama kebutuhan anak kost) dan makanan.

Masih belum puas? Tenang saja, masih banyak tempat menarik di sekitar Malang, kok mulai dari situs-situs sejarah (Candi), Pantai hingga daerah pegunungan. (Bersambung)

Selasa, 14 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (5-Habis)

Pagi yang cerah dan kami bangun dengan bersemangat. Rencananya, seharian ini kami akan keliling Belitong dengan sepeda motor. Ketika kami bersiap, Bapak berlogat Sunda mengetuk kamar, menyajikan beberapa potong kue basah dan teh manis untuk sarapan. Wah, kue lapisnya enak sekali!

Kami kemudian menyewa sepeda motor di resepsionis. Tarifnya: Rp. 60.000 untuk 24 jam! Tak seperti kemarin di Bangka, kali ini prosudernya sangat tak ribet. Pilih motor, kasih kunci, selesai. Tingkat kepercayaan orang di pulau sepertinya sangat bagus. Yah, kalau dipikir-pikir, kemana juga orang mau mencuri dan bisa lari tanpa ketahuan karena jalan satu-satunya keluar dari pulau ini ya laut. Hihi...
Laskar Pelangi' Monument
Pantai Tanjung Tinggi
Tujuan pertama kami: Pantai Tanjung Tinggi yang katanya recommended banget. Jalan ke Tanjung tinggi sama saja jalanan di Bangka, halus mulus. Perumahan di kanan kiri jalan juga mirip suasana di bangka. Tapi di sini lebih sepi dan lengang sehingga bisa mengatur kecepatan senyaman mungkin. Udaranya meski panas tapi terasa segar.

Sekitar satu jam, kami sampai, disambut terik matahari dan hamparan laut yang membiru. Pantainya sepi, ada beberapa orang dan warung-warung sederhana yang juga tampak lengang. Batu-batu granit seperti yang di gambar-gambar bertebaran di sepanjang pantai. Di dekat celah sempit batu granit, berdiri prasasti tempat syutingnya film Laskar Pelangi yang tersohor itu.
Pantai Tanjung Tinggi yang memang luar biasa

Nggak ada fasilitas apa-apa kecuali sebuah villa yang sepertinya sepi saja, mungkin karena letaknya kurang sip. Di pinggir jalan. Alih-alih langsung menghadap ke laut, villanya langsung menghadap ke jalan raya. Jalannya memang terlalu merapat ke laut sehingga mungkin agak susah melakukan pembangunan di pinggir pantai. Sayang banget padahal pantainya tenang dan menyenangkan.

Kami foto ke sana sini, melompati batu-batu granit, airnya jernih banget dan dangkal, enak buat mandi-mandi tapi kami nggak bawa baju ganti :( Meski begitu, menikmati pemandangan pantai ini serasa tak ada puasnya. Setiap berjalan,menemukan celah-celah di batu granit yang menakjubkan dan membuat kami gila berfoto. Semakin ditelusuri, pantai ini semakin terlihat indah. Ada sudut-sudut sepi dan teduh oleh perdu yang nyaman untuk menyepi. Keren lah pokoknya.
Pantai Tanjung Tinggi

Sayang langit tiba-tiba sangat mendung dan beraroma hujan, di sisi lain, kami juga sudah kelaparan, jadi kami memutuskan untuk meninggalkan pantai. Baru beberapa meter keluar pantai, hujan deras benar-benar turun. Karena tak membawa mantel, kami memutuskan berteduh di warung kosong pinggir jalan. Sambil terkantuk-kantuk menunggu hujan, menatapi rumah-rumah papan yang dilatari pepohonan kelapa berbalut kelabu warna hujan, entah bagaimana, hal itu membuat saya teringat salah satu adegan di Laskar Pelangi, ketika ayah Lintang pamit hendak melaut, salah satu adegan yang membuat saya berkaca-kaca.

Pantai Tanjung Kelayang
Hujan lama sekali reda. Benar-benar menyebalkan karena masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi dan kami juga ingin mengisi perut yang keroncongan. Setelah hampir satu jam dan hujan sudah menjadi rintik-rintik, kami nekad jalan lagi. Pertama, kami singgah di Pantai Tanjung Kelayang, pantai terdekat dari Tanjung Tinggi. Tanjung Kelayang pantainya lebih kecil dan sederhana. Banyak fasilitas dibangun tapi terbengkelai. Katanyas sih ini lokasi Indonesian Sail kemarin, tapi ternyata nggak ngaruh apa-apa terhadap fasilitas. Saya cari toilet, toiletnya hancur-hancuran nggak terurus meski sepertinya baru dibangun. Parah.
Pantai Tanjung Kelayang

Tanjung Kelayang adalah pantai nelayan dan karenanya banyak kapal-kapal nelayan bersandar. Kami keliling-keliling sebentar untuk cari spot menarik buat foto. Ada granit-granit juga, tapi tak semenakjubkan di Tanjung Tinggi.

Langit masih mendung ketika kami meninggalkan Tanjung Kelayang. Kami memtuskan mengambil jalan yang berbeda dari waktu berangkat, lewat Tanjung Binga. Saya yakin tak akan tersesat di pulau kecil begini. Desa Tanjung Binga berada di sepanjang pinggir pantai. Dari jalan, kelihatan pantai di belakang rumah-rumah penduduk.

Gangan yang Lezat
Ketika melintasi sebuah rumah makan yang tampak bersih kami memutuskan untuk singgah. Gayanya sih akayak kafe tapi sepertinya jarang dikunjungi orang, mungkin karena lokasinya yang tak terlalu strategis. Di sini juga menyewakan kapal ke pulau yang ada di seberang. Satu kapal 350 katanya. Cukup mahal. Saya tanya, ada apa di pulau? Cuma ada mercusuar saja. Wah, 350 ribu untuk sebuah mercusuar rasanya tak masuk akal. Mungkin kalau berombongan sih bisa murah.

Pemilik kafe ini cukup ramah. Ada bapak-bapak tua yang menyapa kami dan langsung menebak kalau saya dari Jogja. Hmm, saya sih lebih karena kebetulan saja. Bahkan kami kemudian disuguhi sisa kue hari raya sembari menunggu pesanan.

Kami pesan gangan, semacam woku kalau di daerah timur, berupa ikan dengan kuah berempah dan ikan goreng. Ikannya ikan bulat. Rasanya lumayan. Ikannya enak dan masih segar. Kami makan dengan rakus. Harganya juga nggak terlalu mahal. Sama minum 62 ribu saja. Perut kenyang, kami jalan lagi.

Bukit Berahu
Persinggahan berikutnya adalah ke Bukit Berahu. Sempat kelewatan karena plank-nya terlalu kecil. Untuk ke Bukit Berahu, kami harus melewati pemukiman penduduk yang cukup padat. Awalnya saya mengira kalau bukitnya akan mirip-mirip Gundaling di Berastagi tapi ternyata Bukit Berahu kecil saja, dan yang menyedihkan adalah bahwa bukit ini ditanami akasia! Masuknya pakai retribusi, kalau nggak salah 1000 perak. Di atas ada restoran dan cottage yang kayaknya dikelola sama keturunan Tionghoa. Sepi saja. Dari atas memang bisa lihat lautan biru di bawah, tapi nggak ada fasilitas apa-apa karena sepertinya sudah dikelola perorangan. Duduk-duduknya di kursi cottage jadinya merasa nggak nyaman.
Bukit Berahu

Ada tangga curam yang dibuat menuruni bukit menuju ke pantai. Di pinggir pantai, di bangun cottage dari kayu. Mungkin cocok untuk berbulan madu. Haha. Tapi sayangnya pengelolaanya masih jauh dari asri. Merasa agak kecewa, kami segera pulang.

Pantai Tanjung Pendam & Griya UMKM
Karena masih sekitar pukul empatan, kami singgah di Pantai Tanjung Pendam, pantai yang berada di pinggir kota Tanjung Pandan.Pantainya lebih semarak karena pinggir kota mungkin tapi nggak bisa dibilang asri juga meski ada usaha penataan taman. Langit mendung sehingga kami tak bisa melihat sunset.

Sebelum pulang ke penginapan, kami mampir dulu di Griya UMKM di sebelah penginapan. Berbagai souvenir khas Belitong ada di sini. Mulai dari makanan sampai souvenir ada, tapi relatif mahal-mahal karena sepertinya terbatas. Ada kaos Laskar Pelangi, gantungan kunci, gelang akar bahar, dan batu satam yang terkenal itu. Saya berpikir untuk membeli, tapi begitu melihat harganya langsung urung. Secuil batu satam sebesar kerikil dan belum dibentuk saja dihargai 30 ribuan. Yang sudah jadi cincin di atas seratus ribu sampai 300 ribu.

Akhirnya saya memutuskan beli kain yang diklaim khas Belitong bermotif binatang laut. Motifnya sederhana tapi terlihat cukup menarik. Harganya sebenarnya cukup mahal: 175 ribu untuk katun dan 350 ribu untuk semi sutra. Saya beli yang katun. Kami juga beli beberapa bungkus abon ikan untuk oleh-oleh.

Selesai beli oleh-oleh, kami memutuskan untuk cari tiket pesawat di travel agent, kalau-kalau ada tiket pesawat murah. Jujur, saya masih agak trauma dengan perjalanan kapal kemarin. Ternyata mahal banget. 1,3 juta sampai ke Jambi. Tiket Tanjung Pandan-Jakarta sedang naik karena sedang peak season terkait dengan upacara sembahyang arwah bagi warga keturunan Tionghoa yang memang cukup mayoritas di sini.
 
Karena harga tiketnya terasa tak 'masuk akal' kami urung pulang naik pesawat. Tanjung Pandan - Palembang juga mahal. Ya sudah lah, mau tak mau baik kapal lagi dan berharap cuaca cerah sehingga ombaknya tak sekeras kemarin.

Pujasera Tanjung Pendam
Malamnya, kami berniat mencari seafood. Ada beberapa daftar restoran seafood dari cacatan panduan yang saya bawa, tapi kami cari-cari tak ketemu. Entah dimana. Kami tanya-tanya juga tak ada yang tahu. Kami memutuskan makan chinese food di depan penginapan kemarin, tapi antriannya luar biasa. Kami muter-muter, tapi ban motor kempes. Cari tambal ban nggak ada. Kami baru sadar, ternyata kota ini kecil sekali. Akhirnya kami ke pantai saja.
Gangan, sayang tak menemukan yang mak nyus :(

Ada rumah makan yang ramai banget. Karena ditulis ada seafoodnya kami ke sana. Berdesak-desakkan. Karena banyak orang yang datang, kami kira enak. Ternyata...standar sekali rasanya. Jauh lebih enak makan siang kami di Tanjung Binga. Karena masih penasaran sama gangan, saya pesan lagi, Tapi rasanya parah, ikannya juga nggak segar. Harganya cukup mahal 25 ribu per porsi. Teman saya pesan sop seafood, rasanya juga alakadarnya.

Usai makan, kami langsung pulang karena takut bannya tambah kempes. Nggak lucu kan kami pulang mendorong sepeda motor? Aish, menyebalkan juga karena kami tak berhasil mendapat seafood yang mantap sejauh ini.

Pulang, kami beli tiket kapal di travel agent. Katanya nggak ada lagi tiket yang transit (maksudnya tiket langsung ke Palembang). Jadi kami cuma beli yang sampai Pangkal Pinang. Berangkat pukul 7 pagi esok. Ohya, tak lupa juga kami beli satu pack kantong kresek. Untuk jaga-jaga kalau mabuk lagi seperti kemarin.

Saya tak bisa tidur nyenyak. Meski sudah menyalakan alarm, tapi saya agak paranoid. Saya sampai pada pemikiran bagaimana kalau ternyata jamnya salah, alarmnya rusak dan bangun kesiangan? Karena kapal ke Pangkal Pinang cuma sekali sehari, saya benar-benar tak ingin sampai ketinggalan.

Goodbye Belitong :(
Pagi-pagi, Pak Penginapan mengetuk pintu, menyajikan sarapan. Kali ini dua piring mie goreng. Dia tahu bahwa kami akan pulang pagi ini dan sepertinya ingin memberi sarapan yang mengenyangkan. Sayangnya saya agak bermasalah dengan asam lambung, khawatir kalau makan mie justru membuat mual perut jadi saya makan sedikit saja.

Sekitar setengah tujuh kami keluar penginapan, naik ojek ke pelabuhan. Lima ribu rupiah saja.

Pelabuhan sudah cukup ramai dengan orang mengantri tiket. Belum ada tanda-tanda akan berangkat. Saya bayar pas dulu. Cukup mahal, tertera 6 ribu per orang.Tapi dimintai 8 ribu sama petugas. Sempat terpikir mau tanya untuk apa? Tapi malas berdebat jadi diam saja meski masih menyimpan gondok. Dua ribu dikali sekian orang. Berapa dia dapat sehari?  Menyebalkan memang pungutan-pungutan nggak jelas di negri ini.
Pelabuhan Belitong yang bersih dan lengang

Kami menunggu agak lama. Ruang tunggunya sih kecil saja, tapi lumayan bersih, karena sepertinya baru dibangun. Sekitar setengah 8-an baru jalan. Kami dapat tempat yang kemarin juga. mudah-mudahan sih kali ini nggak mabuk, karena cuaca terlihat begitu cerah. Dan benar saja, memang ombakanya kali ini nggak kenceng. Kami bisa tiduran di kapal dengan nyaman. kecuali bahwa ac-nya dingin minta ampun. Sudah pakai jaket dan syal masih menggigil juga. Dan perjalanan di kapal untuk waktu yang cukup lama selalu terasa membosankan karena nggak tahu mau ngapain selain tidur.

Sekitar 4 jam kemudian, kami sampai di Pangkal Pinang. Sempat was-was, terkejar kapal  ke Palembang nggak ya? Rute perjalanan darat ini benar-benar terasa tak efesien karena harus nyambung-nyambung.

Ketipu Sopir Angkot di Pangkal Pinang
Turun dari kapal di Pangkal Pinang, agak bingung juga turun dari kapal,kemana ya? Kirain ada travel kayak di Muntok, tapi yang ada angkot pada parkir di depan. Ada bus kapal juga, tapi katanya khusus penumpang transit. Rencananya pengin nanya ke petugas dulu biar dapat info yang pas, tapi seorang tukang angkot berhasil memperdaya kami untuk naik angkotnya. Dia meyakinkan kalau nggak ada travel di sini. Harus ke terminal nyarinya. Dia bakal nganterin. Dari awal sudah curiga sih dia pasti maunya dicarter. Dia minta 30 ribu. Aku sih mikirnya biar ngejar kapal di Muntok, jadi pengin cepat-cepat jadi nerima saja.

Ternyata eh ternyata, dia minta 60 ribu. 30 ribu itu untuk satu orang! Bahkan kutawar 50 ribu nggak mau dia. Kami dongkol bukan main, merasa sudah dibodohi. Saya pikir, seharusnya tadi saya nanya dulu pada bis kapal untuk penumpang transit. Katanya sih untuk yang sudah punya tiket transit saja,  tapi kalau dipikir-pikir kan sama saja ya? Kami juga calon penumpang? Aduh, menyesal.

Kami naik minibus. Dari awal sudah dibilang ongkosnya 25 ribu sampai Muntok. Waduh, murah banget, pikir saya. Apa juga dibilang ibu-ibu tempo hari naik bis 50 ribu dari Muntok-Pangkal Pinang?

Busnya mengingatkan saya sama bus Srandakan-Jokteng yang dulu sering saya naiki semasa kuliah. Penumpangnya nggak banyak. Melaju kencang. Ya, dengan jalan sebagus dan selengang ini di sini, nggak ada alasan berkendaraan nggak kencang di sini. Perjalanan cukup membosankan karena pemandangannya ya begitu-begitu saja. Badan juga sudah terasa pegel. Panas terik di luar sana, mengembuskan udara yang kering. Penumpang naik turun di perjalanan.

Kami singgah di rumah makan yang waktu berangkat tapi sebelahnya. Katanya sih menyajikan makanan khas Bangka, begitu masuk ya makanan standar lah dengan rasa standar. Harganya lumayan murah. Berdua hanya habis 30 ribu.

Jalan lagi. Tertidur dan terbangun. Perjalanan benar-benar tak kurang dari 3 jam. Tapi saya tak lagi terlalu risau dengan ketinggalan kapal. Kalau ketinggalan ya nginap di Muntok lah. Si abang angkot penipu itu sempat bilang kapal terakhir jam 4 atau jam 5, tapi saya tak yakin. Saya pikir dia nggak punya cukup pengetahuan soal itu.

Menjelang Muntok, si kernet minta tambahan 15 ribu untuk diantar pe pelabuhan. Waduh. Ini ternyata yang bikin jadi nggak murahnya. 40 ribu juga ujungnya. Jelas mending naik travel kan? Tapi ya sudahlah. Pengalaman. Apalagi kami sempat diajak muter2 kota Muntok sebentar dan dari terminal ke pelabuhan ternyata memang cukup jauh.

A Little Luck
Sepi banget waktu kami sampai di pelabuhan. Ada dua orang abang-abang barengan kami yang juga mau nyeberang.  Kata petugas pelabuhan tinggal ada fery jam 4. Tiketnya murah banget: 46 ribu, tapi perjalanannya 9 jam! Sampai Palembang besok pagi. Whatz!?

Nggak ada kapal cepat? tanya saja. Sudah jalan, katanya. Saya kepikiran antara ingin beli atau lihat ke dalam untuk memastikan. Untungnya si petugas cukup baik dan menyuruh kami lihat ke dalam dulu. Kami bergegas. Loket penjualan tiket sudah sepi. Ruang tungu sudah sepi. Tinggal ada beberapa orang yang saya kira di awal penumpang telat juga. Tapi dua bocah perempuan  yang sepertinya anak-anak dekat situ yang sedang bermain, menanyai kami. Sebenarnya iseng saja ketika saya tanya kalau kapalnya dah nggak ada ya?

Coba tanya abang baju merah, kata bocah perempuan itu. Kami lihat abang baju merah tiduran di kursi. Gayanya tak meyakinkan. Teman saya yang tanya. Kapal cepat? ujarnya. Itu mau berangkat! tunjuknya ke arah dermaga. Ada kapal Bahari Express masih bersandar dan siap segera melepas sauh.

Kami berlari cepat-cepat. Untunglah. Kenapa nggak naik bus transit dari pangkal pinang tadi? tanya petugas sambil memberi kami tiket. Penumpangnya sedikit kok. Nggak tahu sih, ujar saya agak malu. Agak menyesal juga. Tiket  ke Palembang 220 ribu. Karena si abang baju merah merayu2 kami untuk kasih uang rokok karena udah bantu ngejarin, padahal sih nggak dibantu kejar juga nggak apa2, akhirnya saya kasih 10 ribu, yah yang penting kami bisa nyeberang. Bisa mendapat kapal benar-benar melegakan.

Perjalanan muntok-palembang 3 jaman. Cuaca masih cerah dan pelayaran tenang. Di kapal, ada yang nawarin tiket travel Palembang-Jambi, tapi harganya 140 ribu. Bweuh, mahal banget. Saya sempat berpikir: apa nggak boleh travel masuk ke pelabuhan? Tapi ternyata ketika saya telepon travel yang sudah cukup saya kenal dan minta jemput di pelabuhan, mereka mau saja. Harganya juga normal: 110 ribu saja.

Tadinya saya berpikir untuk jalan-jalan sebentar di Palembang karena berpikir akan sampai di Palembang sebelum petang. Saya berpikir untuk ke Jembatan Ampera dan makan di restorannya Tantowi Yahya di atas Sungai Musi. Tapi ternyata sudah gelap waktu kapal memasuki pelabuhan Boom Baru. Saya juga tak terlalu familiar dengan kota ini, yang konon cukup rawan. Jadi kami memutuskan untuk menunggu jemputan travel saja dan langsung pulang ke Jambi.

Kembali ke "Habitat"
Kami berangkat sekitar jam 8 malam dari Palembang. Dapat kursi paling belakang, Belum apa-apa rasanya sudah dibanting-banting. Sopirnya agak error memang. Seruduk sana seruduk sini. Waduh, jantungan juga dibuatnya. Mana penumpang lain diam saja semuanya. Nyaris nggak ada obrolan kecuali penumpang di depan yang sibuk menelpon. Mau tidur juga nggak nyaman karena agak jantungan.

Jam duaan sudah memasuki jambi dan rasanya sudah tenang. Agak takjub juga melihat jalanan jambi jam segitu masih cukup ramai oleh orang yang melintas. Warung2 pinggir jalan juga masih pada buka. Mungkin karena malam minggu? Entahlah. Saya tak pernah berkeliaran di Jambi selarut ini. Sampai di kosan, senang rasanya. Ah, selalu menyenangkan pulang ke ‘rumah’ usai dari perjalanan yang panjang dan melelahkan. Alhamdulillah segalanya berjalan lancar. Bukan liburan yang terlalu berkesan, tapi not bad lah. Finally, i’ve been in Babel...:)
Itenerary
Jambi – Palembang                : Rp. 65.000 (IMI, 110.00: travel), ± 6 jam
Palembang (BoomBaru)-Bangka (Muntok)    : Rp. 220.000 (exe, jetfoil Express Bahari, ± 3 jam)
Muntok – Pangkal Pinang            : Rp. 60.000 (travel), Rp. 40.000 (bus) ± 3 jam
Pangkal Pinang –Belitong (Tj Pandan)        : Rp. 180.000 (± 4,5 jam)
Penginapan                     : ±  RP. 160/ malam utk 2 orang
Sewa motor                     : Rp. 60.000/hari

Note:

- Kalau mau efesien,saya sarankan kalau mau ke Babel, mending pakai pesawat saja. Dari Jakarta ada penerbangan langsung ke Pangkal Pinang (Bangka) atau ke Tanjung Pandan (Belitong). Dari Palembang juga ada. Tapi kalau ke Tanjung Pandan sepertinya baru pesawat perintis saja yang harganya lumayan mahal (sekitar sejutaan). Lewat jalur darat cukup ribet dan makan waktu, belum lagi kalau ketinggalan kapal dari Pangkal Pinang - Tanjung Pandan. Dari segi ongkos juga jatuhnya nggak terlalu jauh, malah bisa lebih murah karena lebih bisa menghemat waktu. Tapi kalau memang niat mau sedikit bertualang dan punya cukup waktu, jalur darat memang layak dicoba! :)


Kamis, 02 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (4)

Perjalanan yang Memabukkan!
Kapal mulai bergerak sekitar pukul 2-an. Langit tiba-tiba mendung. Dan baru beberapa menit meninggalkan dermaga, kapal sudah terasa guncangannya. Menit berikutnya, jangan ditanya. Kapal seperti mau jungkir balik. Jantungan rasanya.  Hentakan demi hentakan.Saya ingat cerita si Ibu di rumah makan, kalau perjalanan ini bisa sampai  7 jam. Waduh. Tujuh jam seperti ini? Pikiran-pikiran buruk menghinggapi benak. Bagaimana kalau tiba-tiba kapal terbalik diseret ombak? Dalam keadaan begini, saya baru ingat kalau bahkan saya nggak pamit sama kedua orangtua (karena saya nggak ingin berdebat ini itu jalan-jalan seperti ini). Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi apa-apa? Tapi cerita si Ibu juga menandakan bahwa keadaan seperti ini berarti sudah biasa terjadi. Kapal setiap hari pulang dan pergi. Saya menoleh ke kiri kanan, ke penumpang lain yang nampak tenang-tenang saja. Saya merasa agak lega.

Dua jam berlalu, kapal masih terus berguncang-guncang. Hampir dari seluruh penjuru kapal, suara huek-huek mulai terdengar. Mabok. Mbak dan ibu2 di belakang kami yang sepertinya sudah biasa dengan perjalnanan ini, tahu-tahu juga sudah huek-huek. Kepala saya sudah berputar-putar. Mana belum makan nasi sejak pagi lagi. Meski sudah coba melahap bekal makanan ringan yang dibawa, tapi rasanya belum nendang di perut. Teman saya sepertinya juga sudah merasa 'tak baik-baik saja.'

Rasa mual mulai merambati juga. Saya sudah nyiapan plastik kresek kalau sewaktu-waktu isi perut tak tertahankan lagi. Saya coba mejam-mejamin mata untuk mengalihkan pikiran.Tapi justru makin mual. Teman saya sudah menyerah dan huek-huek. Abang2 di kursi seberang yang sedari tadi nampak tangguh juga sudah muntah duluan. Satu-satunya yang  membuat saya merasa tenang di atas semua itu adalah suara seorang bocah lelaki yang terus mengoceh riang. Juga ketika kapal oleng dan terlihat daratan di sisi kanan. Artinya ini nggak terlalu di tengah lautan, jadi bukan laut dalam. Entah bagaimana tiba-tiba saya mulai merasa relaks. Saya mencoba memejamkan mata, mengalihkan pikiran dengan mendengarkan musik dari MP3: berhasil! Saya ketiduran. Entah berapa lama. Rasanya menyenangkan bisa membunuh waktu. Dan ketika terbangun, saya sudah merasa tak mual lagi.

Di luar terlihat sudah gelap di luar. Belum ada tanda2 mau sampai. Tapi guncangan mulai memelan.  Sejam, dua jam kemudian...

Tanjung Pandan, Akhirnya...
Tanjung Pandan. Pelabuhan kecil. Temaram. Meski ada beberapa orang menunggu di dermaga, tapi terasa lengang. Sebelum turun, si Abang Palembang menyarankan kami menginap di hotel langganannya, Hotel Citra. Jalan Sriwijaya, depan KFC. Katanya sih nggak terlalu jauh jalannya. Oke. Trims.
sumber peta: http://yuliacahang-student-esaunggul.ac.id

Sebenarnya sih kami ingin nginep di hotel dekat2 pantai, tapi menoleh ke kanan kiri nggak ada tanda-tanda suasana pantai dengan  hotel-hotelnya seperti yang saya bayangkan.

Jalan keluar pelabuhan gelap. Tukang ojek terus menawarkan jasa. Karena kami belum yakin mau kemana, kami memutuskan jalan. Nanya orang di warung. Ada hotel di seberang jalan, katanya. Mendanau hotel. Kami menyeberang jalan. Ada got menganga membelah jalan. Nampak kumuh dan bau. Dan hotel Mendanau ada di belakangnya. Jadi hotel ini menghadap got, pemandangan di seberangnya bangunan ruko. Kelihatannya sih cukup hotelnya cukup mewah, tapi saya pikir bukan tempat yang menyenangkan. Sudah kelihatan mahal, pemandangannya menyedihkan lagi.

Kami sudah terlalu letih dan lapar dan memutuskan untuk mengikuti saran si Abang di kapal mencari penginapan langganannya.

Kami jalan, sampai di pusat jalan sepertinya , sebuah bundaran yang semarak. Dikelilingi muara jalan, mungkin ada 7 atau 6 muara jalan yang bermuara di bundaran itu. Suasana yang membuat saya kagum. Lampu lampu masih menyala dari toko toko di kanan kiri jalan. Sepertinya ini pusat kotanya. Bayangan saya akan kota Tanjung Pandan yang klasik segera menguar. Kota ini lebih terlihat sebagai kota kecil yang baru menggeliat daripada sebuah kota kecil yang klasik.

Akhirnya kami menemukan Hotel Citra yang dimaksud. Awalnya agak ragu karena di depannya nggak tertulis hotel atau penginapan, cuma penjualan tiket dan warnet. Tapi ketika kami tanya, ternyata memang menyediakan penginapan. Kami diketemukan dengan pemiliknya, lelaki kecil  paruh baya yang berlogat kental Sunda. Harga penginapan 100 ribu berdua untuk kipas, 165 ribu berdua untuk yang ac. Nggak ada tivi. Tivinya di ruang tamu doang. Agak mahal sih untuk fasilitas segitu, tapi kami sudah lelah untuk cari penginapan lain jadilah kami memilih yang ber-ac karena kamar mandinya di dalam. Kami di antar ke kamar. Kamarnya kecil tapi bersih dan terasa nyaman. Lumayanlah.

Seafood yang Mengecewakan
Usai mandi, kami memutuskan cari makanan di sepanjang jalan. Penginnya sih seafood. Tapi nggak ada. Ada chinese food depan penginapan, ramai banget dan yang jualan berjilbab. Kayaknya enak. Kami niat kesana, tapi ternyata kata si mbak penjualnya sudah habis. Hmmm..kami jalan lagi.  Yang ada bakso2an, penyetan....bosan. Tapi karena terbaca ada ikan lain selain lele, kami memutuskan makan di sana. Warung sederhana saja. Demi menuntaskan hasrat akan seafood, saya pesan kerapu asam manis, teman saya pesan kepiting.

Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan datang. Rasanya: tak memuaskan karena sepertinya kualitas bumbunya rendah sekali. Dan yang lebih mengerikan adalah harganya, untuk menu alakadarnya begitu kami harus membayar 88 ribu! Kepitingnya ternyata dihargai 50 ribu! Waks...apa itu memang harga wajar atau harga untuk pendatang? Tapi tentu saja kami nggak bisa protes. Kami pulang, istirahat.
(Bersambung)

Menengok Negeri Laskar Pelangi (3)

Kami bangun pagi-pagi dan bersiap mencari sewaan sepeda motor. Ibu penginapan menyarankan kami untuk ke Penginapan Mutiara di dekat Mesjid Jami’.

Penginapan Mutiara adalah penginapan kecil yang terkesan klasik. Tempelan bermacam jasa layanan tertempel di kaca. Mulai dari penjualan tiket hingga jasa pengiriman. Di meja resepsionis yang sangat alakadarnya, seorang bapak tua yang berwajah ramah sedang sibuk dengan bukunya. Kami tanya tentang sewa motor. "Enam puluh ribu sehari." Katanya. "35 kalau setengah hari." Oke, kami ambil setengah hari. Ketika kami mengatakan bahwa kami mau ke Belitong, beliau cerita kalau penumpang kapal yang kemarin dari Palembang ke Belitong yang ketinggalan kapal kemarin diinapkan di tempatnya.

Kami dipersilahkan memilih motor. Pilihan kami motor Honda Helmin' yang masih baru. Sambil menunggu si Bapak menyelesaikan administrasi (yang cukup lamban), kami sekalian tanya-tanya tempat yang kira-kira bisa kami kunjungi. Ada pantai terdekat. Tapi sepertinya tak menarik. "Kalau Belinyu?" "2 jaman. Pas kalau pulang jam 12." Tapi saya pikir terlalu mepet. "Kalau ke Sungailiat?" "Sejaman. Banyak pantai bagus di sana."

Biking ke Sungali Liat
Oke, kami memutuskan ke Sungai Liat. Si bapak sempat menggambarkan peta untuk kami. Tapi petanya ruwet. Ketika kami mencoba mengikuti peta itu, kami malah kesasar,hihi.
Jalanan ke Sungai Liat yang mulus dan lebar

Jalan ke Sungailiat sama saja dengan jalanan kemarin dari Muntok, halus mulus. Cukup ramai sih kendaraan yang hilir mudik. Panas membakar. Bagusnya di Bangka ini papan petunjuk jalan nyaris selalu ada di persimpangan, meski sayangnya nggak pernah dikasih jarak tempuhnya. Kami ikuti saja petunjuk jalan.

Ternyata pemilihan motor baru nggak terlalu menguntungkan karena bensinnya boros banget. Baru kami isi dua liter menjelang berangkat, belum apa-apa sudah menunjukkan batas dasar. Akhirnya kami isi lagi di pom bensin dua liter lebih.

Kami sampai di Sungailiat. Agak kebingungan karena petunjuk tiba-tiba kabur. Kami ikuti feeling saja, muter-muter. Mana perut lapar lagi. Rumah makan yang ada di kanan kiri jalan terlihat tak menarik. Yang agak besar paling rumah Makan Padang. Aduh, jauh-jauh ke Bangka masa cuma makan di rumah Makan Padang? Enggak banget.
Suasana perkampungan warga keturunan Tionghoa

Kota Sungailiat terlihat cukup besar dan rapi. Jalannya lebar dan dua jalur. Kesannya rapi. Sayang trotoarnya tetap nggak nyaman untuk pejalan kaki karena sempit dan banyak yang rusak.

Ketika kami memutuskan untuk balik, ternyata kami dapat petunjuk jalan lagi lokasi ke arah pantai. Ke arah pantainya melewati perkampungan gitu. Kesannya sih sudah desa urban ya. Rumah-rumahnya terlihat layak. Jalannya sama saja bagusnya. Di pertigaan ada tulisan 3 pantai: Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai dan Pantai Matras.

Pantai Batu Berdaun, indah sih tapi tak terawat :(
Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai  & Pantai Matras
Pantai pertama, Batu Bedaun. Ada plang kecil di belakang rumah warga. Jalannya juga jalan kecil meski sudah di aspal kasar. Sekitar 300 meter ke dalam sudah ketemu pantai. Pantainya: menyedihkan. Sepi tak terawat. Hamparan ilalang terlihat mengering kekuningan, mungkin habis disemprot racun gulma. Pohon -pohon kelapa berjejer di pinggiran. Tak ada jejak kalau sering dikunjungi orang ramai. Mungkin hanya penduduk sekitar.  Kami foto-foto sebentar, dan karena merasa takut meninggalkan motor lama-lama di pinggiran, lalu jalan lagi.

Berikutnya: Pantai Parai. Ternyata sudah jadi resort. Sempit saja, tapi terlihat terawat. Ada cottage-nya segala.
Pantai Matras

Kami lanjut ke Pantai Matras. Jalannya sepi. Di kanan kiri vegetasi khas pantai, perdu-perdu dengan warna hijau terang, terbakar di sana-sini. Bebatuan granit yang menjulang. Saya bertanya-tanya, tempat ini dulunya pegunungan atau laut?

Pantai Matras juga terbengkelai kesannya, tapi sepertinya cukup sering dikunjungi orang. Ada warung-warung makanan dan gazebo-gazebo  meski sangat alakadarnya. Warungnya juga nggak ada yang buka. Mungkin hanya di akhir pekan atau hari libur. Ada beberapa orang di seberang jalan, sepertinya anak kuliahan yang sedang ospek. Gundukan pasir  bertumpuk di sepanjang bibir pantai, mungkin mau dibangun apa gitu, tapi jadi memberi kesan tak indah. Karena takut kesiangan, setelah berfoto, kami memutuskan untuk pulang.

Pantai Rebo
Di perjalanan pulang, kami membaca plang Pantai Tanjung Pesona dan berpikir untuk singgah, eh, tiba-tiba di tikungan petunjuk arahnya sudah menghilang lagi. Ujung-ujungnya kami singgah  di Pantai Rebo. Jadi dalam perjalanan Sungai Liat - Pangkal Pinang ini ada banyak pantai-pantai yang bisa disinggahi sepanjang jalan.
Pantai Rebo

Ternyata ke Pantai Rebo, masuk ke dalamnya cukup jauh dari jalan utama. Melewati pemukiman pecinan. Bangunannya sih nggak khas.Cuma ada lampion dan kuburuan di kanan kiri. Kalau nggak salah waktu itu sedang menjelang upacara sembahyang arwah atau apa gitu. Di depan rumah mereka membuat sesajian, ada juga yang di bawah pohon. Kuil-kuil semarak oleh patung besar berwajah buruk.

Pantai Rebo terkesan terbengkelai. Padahal, kami baca, katanya pantai yang indah dengan bukit-bukit. Nyatanya: terlihat tak terurus, ada warung-warung kecil, sepertinya warung nelayan. Ada kuil kecil dan orang-orang sedang menyiapkan perayaan. Kapal-kapal nelayan sedang bersandar. Suasananya sih sejuk, mungkin karena ada dua baris tanaman pinus di sebagian pinggiran.

Mengejar Kapal ke Belitong
Karena lapar dan keletihan kami agak lama di sini sebelum akhirnya pulang karena tahu-tahu sudah pukul 11. Nyari makan sepertinya nggak sempat lagi. Jadi pulang langsung balikin motor. Si bapak  bilang kalau penumpang transit kapal yang nginap di tempatnya sudah jalan ke pelabuhan dan kami sebaiknya segera pergi agar tak ketinggalan kapal lagi.

Kami buru-buru ke penginapan buat check out. Mau beli tiket kapal di agen seberang penginapan, tapi mereka menyarankan untuk beli di pelabuhan saja karena sudah mau berangkat.

Kami ke pelabuhan naik angkot. Agak ketar-ketir juga karena angkotya sempat singgah nganterin penumpang. Tapi ternyata pelabuhannya nggak terlalu jauh jadi sebentar saja kami sudah sampai.

Kami tergesa beli tiket dan masuk. Pelabuhannya nggak terlalu ramai. Lusuh dan nggak ada pertanda apapun. Orang mondar mandir sesukanya. Mungkin karena cuma ada satu pelayaran sehingga orang sini nggak ada bingung-bingungnya. Kapalnya sudah sandar. Kami naik saja. ternyata dapat di dek bawah, kacanya terlalu tinggi  sehingga nggak bisa lihat laut.

Cukup ramai. Kami liat si Ibu di rumah makan kemarin. Kami juga ketemu Si Abang yang kemarin ketemu di Palembang.
(Bersambung)

Senin, 29 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (2)

Menuju Pangkal Pinang
Sekitar 3 jam kami sampai di pelabuhan Tanjung Kelian, Muntok, Bangka (orang lokal biasa melafalkannya: Mentok). Pelabuhannya lengang saja. Kami agak bingung. Kami memutuskan bertanya kepada petugas pelabuhan, yang kemudian mencarikan kami mobil.

Si Abang sopir meminta ongkos: Rp 120.000, artinya Rp. 60.000 per orang. "Ke Belitong?" tanya saya. "Pangkalan Balam." jawab si Abang. Karena tarif dan tujuannya sama seperti yang saya baca di panduan, jadi aku naik  saja. Tapi di kepala, sejujurnya saya masih agak bingung: kami kan mau ke Tanjung Pandan Belitong, bukan Pangkalan Balam? Lalu saya tanya ke mbak-mbak yang duduk di sebelah: "Ke belitong juga ya?" "Pangkal pinang." Sahutnya pendek. "Berapa jam?" "Nggak tahu." Ternyata dia juga baru pertama ke sini. Hmmm.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Bangka. Vegetasi yang terbentang di kanan kiri jalan: tanah kekuningan yang nampak tandus, perdu dan tanaman paku warna hijau muda hingga kemerahan karena terpapar matahari dan kekurangan nutrisi tanah rumah-rumah kecil tapi cukup layak, kebun karet, kebun sawit, hutan kelabu di kejauhan... Semakin ke dalam, suasananya makin terasa hijau. Tak ubahnya seperti suasana pulau-pulau besar. Jauh berbeda dengan pulau-pulau kecil di sekitar Riau dan Kepri yang pernah saya kukunjungi. 'Peradaban' sepertinya berlangsung sudah cukup lama di pulau ini dan kehidupan cukup ‘normal’ seperti layaknya orang-orang di pulau besar. Pendeknya, pulau ini sepertinya cukup nyaman untuk ditinggali.

Di tengah jalan, kami diguyur hujan. Perjalanan saya baca akan memakan waktu sekitar 3 jam. Itu cukup lama. Si Abang Sopir berbaik hati beberapa kali menanyakan tujuan kami. Dan dia sepertinya punya cukup koneksi tentang kapal ke Belitong. Kami sempat singgah di rumah makan yang ramai. Hidangannya prasmanan dan lauknya beraneka ragam. Ada kepiting dan aneka hidangan laut. Rasanya sih standar dan harganya lumayan: 25 ribu per porsi. Saat makan kami sempat ngobrol sama ibu-ibu yang juga mau ke Belitong. Katanya kapal kemungkinan sudah berangkat. "Berapa lama ke belitong?" tanya saya.  "4.5 jam," katanya. Tapi pernah dia sampai 7 jam ketika cuaca buruk. Waduh. Agak miris juga mendengarnya.

Usai makan, si abang sopir memberitahu kami kalau kapalnya sudah nggak terkejar. Berarti si Ibu tadi benar. "Nanti bermalam saja di Pangkal Pinang." sarannya. "Sudah punya tiket?" "Belum." Jawab saya. Usut punya usut, kalau sudah beli tiket terusan, akan disediakan penginapan ternyata. Hmm, saya pikir itulah sebabnya tiket terusan Palembang-Belitong di batasi karena sering kejadian ketinggalan kapal begini. Tentu saja pihak kapal bakal bangkrut kalau harus menanggung penginapan semua penumpang kalau terjadi penundaan begini. 

Perjalanan ke Pangkal Pinang memang tak kurang dari 3 jam. Jalannya mulus dan lengang. Tapi hujan terus membuat saya ketar-ketir: kalau hujan terus begini, bisa jadi kami tak bisa kemana-mana. Untunglah, waktu kami sampai Pangkal Pinang, ternyata cuaca cerah di sana.

(Gagal) Berburu Seafood di Pangkal Pinang
Si abang berbaik hati mengantarkan kami ke dekat penginapan  di Jalan Mesjid Jami. Ada sebuah penginapan yang nampak kumuh, Penginapan Srikandi. Tapi karena yang menyambut kami seorang ibu-ibu, jadinya kami berpikir untuk menginap di situ saja. Suasananya seperti kos-kosan. Rp. 160 ribu per malam untuk dua orang. Ternyata itungannya per orang bukan perkamar. Cukup mahal juga karena kamarnya kecil saja. Agak lusuh. Meski kamar mandi dalam, tapi kamar mandinya sangat alakadarnya. Fasilitas lainnya AC tua dan tivi tabung tua. Cukuplah untuk beristirahat.

Setelah istirahat 1 jam melepas penat, kami jalan-jalan ke luar. Infonya dari ibu pemilik penginanapan: tempat nongkrong di Lapangan Merdeka. Nggak terlalu jauh. Kami jalan pelan-pelan saja, menelusuri trotoar emperan pertokoan. Suasananya khas kota kecil. Ada penjual otak-otak dan mpek-mpek yang menguarkan aroma cuka yang khas, penjual oleh-oleh yang dipenuhi kerupuk ikan bergelantungan...

Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya kami sampai di Lapangan Merdeka. Sebagaimana umumnya lapangan kota, lapangan ramai oleh anak-anak yang bermain dan penjual makanan gerobak. Saya sempat berpikir ini seperti Merdeka Walk-nya Medan atau semacam pujasera, ternyata ya lapangan kota biasa. Tapi suasananya cukup nyaman dan petang cukup cerah. Kami duduk-duduk hingga gelap dan memutuskan untuk cari rumah makan seafood tapi bingung dimana. Kami tak punya peta sama sekali.
Lapangan Merdeka,Pangkal Pinang


Lalu sambil jalan, kami nanya ke orang-orang yang kami temui dimana kami bisa makan seafood. Ibu-ibu penjual jajanan mengatakan kalau  kami bisa ke Puncak, di dekat ujung jalan. Puncak adalah semacam mall kecil. Kami langsung mikir, pasti fast food-fast food-an deh. Lalu kami tanya satpam bank di pinggir jalan. Seafood di belakang Lapangan Merdeka atau di seberang Barata (nama sebuah toko) katanya. Keduanya sudah kelewatan. Tapi Barata belum terlalu jauh, jadi kami memutuskan kesana. Tapi sampai disana, restorannya tutup. Mau balik ke Lapangan Merdeka enggan karena kaki sudah mulai capek. Ya sudah, kami balik, menyelusuri kompleks pemukiman yang ternyata padat.

Kami jalan pulang. Di sudut jalan yang kami lalui siang tadi, ada warung-warung yang tampak semarak. Menunya: mpekmpek-tekwan, sate dan sejenisnya. Sepertinya kultur Sumatera Selatan masih kuat di sini. Karena tak tahu mau kemana lagi dan sudah lapar, kami pun memutsukan singgah di salah satu warung. Saya pesan tekwan, teman saya pesan sate. Rencana wisata kuliner gagal.

Kami pulang ke penginapan. istirahat sambil menyiapkan tenaga esok hari. Rencananya kami akan jalan-jalan setengah hari karena kapal ke Belitong baru berangkat pukul 1 siang. Artinya kami harus bangun pagi-pagi agar punya cukup waktu untuk jalan-jalan. Mungkin ke pantai atau ke Belinyu yang katanya Kampung Pecinan.
(Bersambung)

Minggu, 28 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (1)

Jambi-Palembang
sumber: indonesia-tourism.com


Yeah, Babel, finally. Kesempatan itu akhirnya tiba: mengunjungi salah satu tempat yang masuk dalam list to visit. Karena kapal Palembang-Bangka hanya berangkat pagi, jadi saya dan Sasa, teman saya, memutuskan untuk berangkat dari Jambi malam hari, agar tak perlu menginap di Palembang. Perjalanan Jambi-Palembang, normalnya ditempuh 6-8 jam dengan travel. Ada banyak travel yang malayani rute ini. Demi mengirit budget kami memilih travel IMI yang murah meriah. Bayangkan, dengan fasilitas nyaris sama, kami cuma harus membayar Rp. 65000, sedangkan untuk travel biasa harganya Rp. 110.000. Kalau mau lebih murah lagi, sebenarnya bisa naik bus, (kalau nggak salah Rp. 55.000), tapi kami khawatir kalau bus jalannya lebih lambat, dan kami bisa ketinggalan kapal.

Perjalanan Jambi-Palembang cukup lancar. Si Abang Sopir sepertinya pasang gas terus sepanjang jalan dan tahu-tahu kami sudah sampai di Palembang. Di luar masih gelap, saya melirik jam: jam 2 pagi! Whuah...artinya kami masih harus menunggu lama hingga pagi menjelang.

Terdampar di Loket
Begitu turun di loket, abang-abang ojek langsung riuh menawarkan jasa. Sangat menggangu karena bahkan sampai kami duduk di bangku loket, mereka masih terus memburu kami dengan pertanyaan: mau kemana? Kami memilih diam saja. Saya sering mendengar bahwa di Palembang ini banyak orang-orang yang suka mencari-cari kesempatan. Kami khawatir kalau-kalau kami kelihatan tak tahu menahu nanti malah dikerjai.

Loket, seperti umumnya loket-loket transportasi darat di negeri ini, tak nyaman dan sangat alakadarnya. Tapi untung ada beberapa kursi butut yang dihamparkan di teras yang suram dan lusuh. Bersama kami, ada beberapa orang juga yang sepertinya harus menunggu pagi untuk meneruskan perjalanan. Kami memutuskan untuk tidur saja. Tapi ini pun tak terlalu nyaman karena tidur dalam posisi duduk membuat punggung pegal, belum lagi nyamuk yang berdengung-dengung.

Ketika terang menyergap, hujan rintik-rintik mulai turun. Semakin terang bertambah deras. Karena berdasar info kapal biasanya berangkat pukul 7 pagi, setidaknya kami sudah harus berangkat dari loket pukul 6. Tapi bagaimana kesananya ya? Kami bertanya pada ibu-bapak, sepertinya sepasang suami istri, yang juga menunggu bersama kami.

Si Bapak dengan antusias memberi kami arahan bagaimana caranya kami bisa ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Bangka. Tapi belum apa-apa, beliau sudah wanti-wanti supaya kami hati-hati, jangan tanya orang di sini karena itu akan menyusahkan. Waduh, saya mengerutkan kening. Keder. Sepertinya si Bapak memahami kekhawatiran kami, dan memutuskan untuk mengantarkan kami ke loket besar IMI. Menurutnya, di sana biasanya ada bus yang mengantarkan ke pelabuhan.

Loket besar hanya berjarak beberapa meter dari loket yang kami singgahi. Suasananya ramai tapi kumuh, khas tempat dimana kehidupan berlangsung selama 24 jam, penuh dengan orang-orang berwajah lusuh dan kuyu kurang tidur. Bis ke Bangka sudah mau berangkat. Tiketnya: Rp.220.000 untuk kelas ekonomi. Eksekutif sudah habis. Mahal sekali? Menurut info yang kubaca cuma 170-an ribu. Harga lebaran, kata abang penjaga loket acuh sambil mengulurkan kuitansi. Saya mengeluarkan uang Rp. 440.000 sambil meringis. 

Ke Pelabuhan Boom Baru
Kami dibawa dengan mobil kecil dan penuh sesak menuju sebuah kompleks pertokoan, dan berhenti di depan sebuah gedung bertuliskan nama perusahaan penyeberangan yang melayani rute Palembang-Muntok-Tanjung Pandan. Sopir dari loket turun untuk membeli tiket.  dan kemudian membagikannya kepada kami. Saya masih penasaran dengan harga tiket yang menurut saya cukup mahal. Jadi iseng saya masuk dan melihat harga daftar tiket: Rp. 190.000 untuk kelas ekonomi, 220 untuk eksekutif! Wah, sialan. Agak keterlaluan juga mereka mengambil untung untuk jarak sedekat ini: 30 ribu. Inilah penyakit orang-orang di negeri ini yang kadang membuat tak nyaman. Hmmh...

Abang yang tadi menyopiri mobil kami keluar dan membagikan tiket. Ketika sadar tak ada nama tertera, seorang bapak protes: bagaimana kalau terjadi kecelakaan? Tapi sepertinya si penjual tiket cuek saja. Ah, Indonesia!

Shuttle bus membawa kami ke pelabuhan Boom Baru. Pelabuhan itu kecil dan kumuh. Seharusnya kalau kami lebih berani, kami bisa  saja kami langsung cari tiket ke sini tadi, dengan harga normal tentunya. Tapi sudahlah.

Tak ada petunjuk apa-apa di pelabuhan dan orang-orang sepertinya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Petugas cuma mondar-mandir tanpa memberi bantuan apa-apa, malah ada yang sibuk jualan tiket travel dari Muntok. Saya sedikit bingung. Ke arah mana nih ruang tunggunya? Mana penumpang banyak sekali. Kami memutuskan mengikuti ibu-ibu dan dua anaknya yang tadi semobil sama kami karena dia tampaknya orang Bangka. Alih-alih menunggu di ruang tunggu yang memang kecil, penumpang berjubel di koridor keberangkatan.

Ada dua kapal yang sedang sandar. Tenryata yang satu ke Batam dan satunya ke Bangka tapi kapal pagi. Kapal kami yang jam 7 belum datang. Suasana benar-benar tak nyaman dan tak ada yang bisa diperbuat mengenai hal itu.

Setelah beberapa waktu, kapal muncul. Jetfoil berukuran sedang. Belum apa-apa saya sudah miris: apa muat penumpang sebanyak ini? Begitu pintu ke dermaga di buka, penumpang berjubel saling mendahului. Meski kami berada di antrian tengah, pada akhirnya kami menjadi yang paling belakang karena tak bisa cukup agresif bersaing dengan penumpang lain yang terus merangsek ke depan.  Ketika kami menoleh ke belakang, di belakang kami sudah kosong. Agak menyesal juga karena kami harus ikut berdiri berdesakan tadi. Kenapa tak duduk saja dan menyusul belakangan? Hihi...

Kapal yang Overload
Masalah belum selesai begitu memasuki dermaga. Lagi-lagi orang berebut ingin mendahului karena sepertinya kapal tak akan mampu mengangkut semua penumpang. Saya teringat pengalaman di Batam dulu: tiket sudah dibeli bukan berarti jaminan dapat berangkat. Waktu itu sih tiket bisa dikembalikan. Tapi di sini?  Dengan pelayaran yang sepertinya cuma sekali? Apa kami harus menunggu kapal besok pagi? Mengecewakan sekali. Tapi memaksakan masuk juga mengerikan. Banyak kejadian kapal tenggelam karena kelebihan muatan. Miris ketika melihat petugas kapal terus saja memasukkan penunumpang. Dua petugas pelabuhan yang berdiri di tangga diam saja. Apa mereka secuek itu terhadap keselamatan manusia?

Untunglah, beberapa waktu kemudian, petugas kapal mulai mencegah orang masuk kecuali pemegang tiket VIP. Tapi beberapa orang nekad masuk. Suasana mulai agak panas. Lalu seorang lelaki berwajah oriental berseragam kapal memerintahkan untuk menghentikan penumpang masuk. Mungkin dia pemiliknya. Ketika tangga ditarik, beberapa orang berteriak emosi: barang kami! Petugas berteriak balik: ini menyangkut keselamatan!  Pintu ditutup. Meski rasanya cukup kasar, tapi saya pikir lebih baik begitu daripada mengorbankan keselamatan.

Penumpang yang tertinggal masih cukup banyak. Tak ada kejelasan akan diapakan kami. Tapi saya pikir, pihak kapal tak akan tak bertanggung jawab juga karena ini menyangkut kepercayaan. Kemungkinan diikutkan di kapal berikutnya, karena dengar-dengar, sepertinya ada yang jam 12. Sedikit kecewa sih karena artinya kami tak akan bisa langsung ke Belitong hari ini. Konon kapal Bangka-Belitong berangkat jam 2 siang. Tak apalah.

Untunglah, kami ternyata tak harus menunggu lama, karena beberapa menit kemudian, kapal cadangan yang lebih kecil datang. Kami juga diuntungkan karena meski tiket kami tiket ekonomi, kami bebas memilih tempat duduk. Kami memilih duduk di kursi di belakang nahkoda. Waktu kami naik, si nahkoda sedang sibuk merayu seorang cewek berbaju merah. Saya dan teman saya cekikikan melihatnya. Apalagi melihat si cewek sepertinya menikmati digoda si cowok. Mungkin merasa keren digodain nakhoda kapal. Haha.

Kami berangkat sekitar jam setengah sembilanan. Menyusuri Sungai Musi yang berair jernih, lebar dan sepertinya cukup dalam karena nyatanya bisa dilayari kapal sebesar ini, dan juga kapal-kapal lain yang cukup besar banyak yang bersandar. Mencoba membayangkan di masalalu, zaman kejayaan Sriwijaya dulu, ketika kapal-kapal dari berbagai pelosok dunia singgah di sini...Syukurlah sungai ini masih terjaga ‘kualitas’nya hingga kini, karena biasanya kebanyakan sungai besar di masalalu, mengalami pendangkalan sehingga tak bisa dilayari lagi. Tapi Sungai Musi agaknya pengecualian dan semoga akan tetap begitu.

Kami melayari sungai cukup lama. Kanan kiri kebanyakan adalah pepohonan pinggir sungai. Membosankan. Saya tertidur. Sekitar 2/3 perjalanan adalah menyusuri sungai dan 1/3 nya baru memasuki lautan. Meski cuaca agak mendung, tapi ombak cukup tenang. Kapal melaju dengan tenang.
(Bersambung)

Sabtu, 27 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (IV-habis)

28 Desember, Au Revoir bangkok!

"Menjajal" MBK
Ini hari terakhir di Bangkok, tapi kami masih punya waktu hingga jam 4 sore. Setidaknya, kami masih bisa jalan-jalan setengah harian. Saya ngajuin opsi: jalan-jalan di sekitar Khaosan atau ngemall ke MBK yang konon favoritnya turis Indonesia itu? Tapi ujung-ujungnya saya tambahin: kalau cuma seputaran Khaosan bosen. Jadi sebenarnya bukannya ngasih opsi. Dan kami pun sepakat ke MBK.

Biar praktis, kami sekalian check out. Agak ribet juga sih kalau jalan-jalan dengan tas yang sudah makin berat. Tapi kami juga nggak mau ambil resiko terlambat ke bandara.


Kami nanya ke petugas hotel, kalau ke MBK naik tuk-tuk berapa? Karena dari kemarin belum jadi-jadi nyobain tuk-tuk, jadi masih penasaran. Tapi si mas resepsionis nyaranin kami untuk lebih baik naik taksi saja. Hmm, benar juga. Naik tuk-tuk bisa-bisa kami diajak muter-muter nggak jelas. Oke. Kami jalan keluar untuk cari taksi. Bye soi rambuttri, bye Baan Sabai. Bukan penginapan yang sangat berkesan tapi cukup memuaskan. Nggak tahu kenapa penginapan ini sepi-sepi saja padahal tarifnya cukup murah. Mungkin faslitiasnya yang kurang lengkap.

Kami naik taksi di pinggir jalan besar. Kali ini sopirnya bapak-bapak tua berwajah sangat Thailand, sedikit bisa Bahasa Inggris dan ramah. Seperti biasa dia nanya kami dari mana. Ketika kami bilang dari Indonesia, dia bilang ternyata orang Indonesia sama saja sama orang Thailand. Lalu kami terlibat obrolan basa basi sepanjang jalan. Bapaknya ramah banget. Pas turun dia ngajak kami salaman segala. Naik taksi sampai MBK 100 bath.

Masih terlalu pagi ketika kami sampai dan MBK belum buka. Di daerah ini ternyata berkerumun pusat-pusat perbelanjaan seperti halnya Pratunam. Ada Jim Tomson Jewelry yang kesohor itu, Siam Paragon...
Jajanannya mirip sama yang di Indonesia

Sambil nunggu mall-nya buka, kami nyoba cari makan tapi yang buka cuma McD. Kami nyeberang jalan, nemu penjual kue-kue basah seperti jajanan pasar di Indonesia. Kami membeli semacam kue bugis yang dibungkus daun pisang. Ternyata di situ ada juga penjual nasi yang dibungkus sterofam. Banyak orang-orang yang berlalulalang singgah untuk beli. Sepertinya mereka para pekerja di toko-toko situ. Nasi sama ikan 40 bath. Karena nggak ada tempat duduk, kami cuek saja makan di emperan toko yang belum buka. Orang-orang acuh saja, sepertinya itu bukan hal yang tak biasa.

MBK  baru buka jam 10. Para pekerja yang sudah datang sejak beberapa menit dan berkerumun di koridor jembatan penyeberangan, berhamburan masuk begitu pintu dibuka.

MBK mirip pusat perbelanjaan di Pratunam, tapi lebih besar. Kalau jualannya sih nyaris sama, baju-baju, souvenir, kain-kain Thailand. Harganya lebih miring daripada di pinggir jalan. Nyesel juga baru tahu terakhir-terkahir. Kalau tahu begini mending kami beli oleh-oleh di sini. Lebih nyaman tentu saja karena adem dan  bersih.

Karena kami tinggal punya beberapa bath dan oleh-oleh juga sudah terbeli, kami hanya lihat-lihat saja. Tapi tas yang menempel di punggung terasa makin berat, jadi kami pun menyerah meski rasanya masih terlalu pagi kalau ke bandara. Terakhir, pas jalan ke tempat nunggu taksi, lihat layar iklannya MBK dan disitu disebutin kalau ternyata ada tempat penitipan barang di lantai atas. Coba kami tahu sejak awal, tentu kami bisa bersantai ria window shopping.
Lanskap jalanan menuju bandara.
Don Mueang dan Sopir Taksi yang Nyentrik
Kami nyari taksi di luar. Dibantuin nyetop taksi sama satpamnya MBK. Ke Don Mueang, 400 bath. Nggak pakai argo. Kami males kalau nggak pakai argo. Mungkin sih jatuhnya akan segitu juga, tapi rasanya nggak sreg kalau nggak ber-argo. Akhirnya kami menyetop taksi berikutnya. Kali ini berargo. Yang bawa Bapak-bapak berwajah Chinese yang terlihat begitu necis, tapi cukup ramah. Sambil melajukan taksi, dia langsung muterin CD lagu Barat oldies. Pas banget dengan penampilannya. Hihi, lucu sih liat si bapak. Sepanjang jalan, dia ngajak ngobrol dengan Bahasa Inggris sederhana.

Taksi melaju. Nggak terlalu macet. Masuk jalan tol bayar 50 bath. Mirip-mirip jalanan ke bandara Soetta dengan gedung menjulang di kanan kiri dan tentu saja foto raja yang terpampang di semua sudut. Pemujaan yang terlihat total dari rakyat untuk rajanya.


Akhirnya sampai di Don Mueang. Argo menunjuk angka 200 bath-an. Tapi si Bapak minta tambahan 60 bath buat fee bandara atau apa gitu. Pokoknya totalnya 350an. Saya pikir, meski nggak sengaja, ide mencegat taksi di luar bandara waktu kami datang tempo hari adalah hal yang tepat. Kami dapat ongkos yang murah karena sepertinya nggak pake fee bandara segala macam.

Karena kami datang terlalu awal, counter check in kami belum buka. Untung ruang tunggu di luarnya cukup nyaman, meski sederhana saja. Kami tidur-tiduran menunggu waktu bersama penumpang-penumpang lain yang datang dan pergi. Rasa lapar menggerogoti lagi. Mau jajan di swalayan, harganya mahal-mahal semua. Mengalihkan rasa lapar dengan membaca dan mendengarkan musik. Ingat, barang yang tak boleh ketinggalan ketika melakukan perjalanan adalah buku dan pemutar musik!

Sekitar jam 2, check in dibuka. Antriannya minta ampun. Tapi kemudian saya ingat kalau kemarin waktu di Medan saya sempat check in di counter self check in dan boarding pass BKK-MDN sudah ter-print. Langsung saja ke waiting room, ujar si petugas. Kami pun melenggang ke bagian imigrasi. Plak2. Paspor kami distempel. Selesai. Kami menunggu di ruang tunggu yang lumayan mewah tapi terkesan hangat.

Au Revoir, Bangkok...
Pesawat agak terlambat beberapa menit. Tapi semuanya lancar. Meski semua fasilitas tambahan berarti nambah uang, tapi menurut saya pelayanan Air Asia cukup memuaskan. Crew-crew-nya lumayan ramah. 'MC' pesawatnya (hihi, apa sih itu namanya yang ngomong-ngomong di pesawat?) suara mas-mas yang terdengar empuk dan bikin meleleh. Hmm, kangen dengar orang ngomong pakai Bahasa Indonesia. Menurut saya, Bahasa Indonesia itu salah satu bahasa yang sangat indah buat didengarkan. Hehe,narsis.

Di belakang kami, ada turis Thailand yang mau wisata ke Medan. Paket turnya 20000 bath. Sekitar 6 juta. Lumayan murah ya. Sekitar satu jam kemudian, kami suara mas-mas yang menghanyutkan itu mengumumkan kalau kami akan segera mendarat di bandara Polonia. Tak ada perbedaan waktu antara Medan dan Bangkok, cuaca Medan berawan...Pesawat mendarat. Kami menjejakkan kaki di Polonia. Alhamdulillah. Liburan akhir tahun yang cukup menyenangkan. Sampai jumpa di petualangan berikutnya...:P

**(all photo credited to Mbak Tyas Augerah)


Catatan:

Pengalaman berharga dari perjalanan kali ini adalah:
- jangan sampai telat check in. Counter check in Air Asia biasa tutup 45 menit sebelum terbang. Di beberapa bandara, mereka sangat ketat terhadap aturan ini, terutama pada peak season. Untuk Air Asia, kalau ada yang bilang mau bantu, pastikan dia pakai seragam Air Asia. Terutama di bandara Polonia, banyak calo yang menyaru dan kadang memanfaatkan kelengahan kita. Be careful!

- Peta sangat penting buat memperhitungkan jauh dekat dan alternatif transportasi.

- Buku dan pemutar musik penting untuk membunuh waktu kalau tiba-tiba terjebak dalam situasi menunggu yang membosankan.

- Siapkan uang lokal pecahan sebelum keluar bandara. Ini penting banget kalau mau naik angkutan umum yang tarifnya murah meriah. Kalau kebetulan ada swalayan di bandara, jangan segan-segan mecahin duit disana. Dengan beli air mineral, misalnya.

-Terutama untuk cewek, pakai pakaian yang tak terlalu terbuka kalau mau mengunjungi tempat-tempat wisata di Bangkok. Kalau nggak suka pakai rok, bawa saja kain panjang buat jaga-jaga kalau nggak boleh masuk karena mengenakan celana.