Laman

Kamis, 02 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (4)

Perjalanan yang Memabukkan!
Kapal mulai bergerak sekitar pukul 2-an. Langit tiba-tiba mendung. Dan baru beberapa menit meninggalkan dermaga, kapal sudah terasa guncangannya. Menit berikutnya, jangan ditanya. Kapal seperti mau jungkir balik. Jantungan rasanya.  Hentakan demi hentakan.Saya ingat cerita si Ibu di rumah makan, kalau perjalanan ini bisa sampai  7 jam. Waduh. Tujuh jam seperti ini? Pikiran-pikiran buruk menghinggapi benak. Bagaimana kalau tiba-tiba kapal terbalik diseret ombak? Dalam keadaan begini, saya baru ingat kalau bahkan saya nggak pamit sama kedua orangtua (karena saya nggak ingin berdebat ini itu jalan-jalan seperti ini). Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi apa-apa? Tapi cerita si Ibu juga menandakan bahwa keadaan seperti ini berarti sudah biasa terjadi. Kapal setiap hari pulang dan pergi. Saya menoleh ke kiri kanan, ke penumpang lain yang nampak tenang-tenang saja. Saya merasa agak lega.

Dua jam berlalu, kapal masih terus berguncang-guncang. Hampir dari seluruh penjuru kapal, suara huek-huek mulai terdengar. Mabok. Mbak dan ibu2 di belakang kami yang sepertinya sudah biasa dengan perjalnanan ini, tahu-tahu juga sudah huek-huek. Kepala saya sudah berputar-putar. Mana belum makan nasi sejak pagi lagi. Meski sudah coba melahap bekal makanan ringan yang dibawa, tapi rasanya belum nendang di perut. Teman saya sepertinya juga sudah merasa 'tak baik-baik saja.'

Rasa mual mulai merambati juga. Saya sudah nyiapan plastik kresek kalau sewaktu-waktu isi perut tak tertahankan lagi. Saya coba mejam-mejamin mata untuk mengalihkan pikiran.Tapi justru makin mual. Teman saya sudah menyerah dan huek-huek. Abang2 di kursi seberang yang sedari tadi nampak tangguh juga sudah muntah duluan. Satu-satunya yang  membuat saya merasa tenang di atas semua itu adalah suara seorang bocah lelaki yang terus mengoceh riang. Juga ketika kapal oleng dan terlihat daratan di sisi kanan. Artinya ini nggak terlalu di tengah lautan, jadi bukan laut dalam. Entah bagaimana tiba-tiba saya mulai merasa relaks. Saya mencoba memejamkan mata, mengalihkan pikiran dengan mendengarkan musik dari MP3: berhasil! Saya ketiduran. Entah berapa lama. Rasanya menyenangkan bisa membunuh waktu. Dan ketika terbangun, saya sudah merasa tak mual lagi.

Di luar terlihat sudah gelap di luar. Belum ada tanda2 mau sampai. Tapi guncangan mulai memelan.  Sejam, dua jam kemudian...

Tanjung Pandan, Akhirnya...
Tanjung Pandan. Pelabuhan kecil. Temaram. Meski ada beberapa orang menunggu di dermaga, tapi terasa lengang. Sebelum turun, si Abang Palembang menyarankan kami menginap di hotel langganannya, Hotel Citra. Jalan Sriwijaya, depan KFC. Katanya sih nggak terlalu jauh jalannya. Oke. Trims.
sumber peta: http://yuliacahang-student-esaunggul.ac.id

Sebenarnya sih kami ingin nginep di hotel dekat2 pantai, tapi menoleh ke kanan kiri nggak ada tanda-tanda suasana pantai dengan  hotel-hotelnya seperti yang saya bayangkan.

Jalan keluar pelabuhan gelap. Tukang ojek terus menawarkan jasa. Karena kami belum yakin mau kemana, kami memutuskan jalan. Nanya orang di warung. Ada hotel di seberang jalan, katanya. Mendanau hotel. Kami menyeberang jalan. Ada got menganga membelah jalan. Nampak kumuh dan bau. Dan hotel Mendanau ada di belakangnya. Jadi hotel ini menghadap got, pemandangan di seberangnya bangunan ruko. Kelihatannya sih cukup hotelnya cukup mewah, tapi saya pikir bukan tempat yang menyenangkan. Sudah kelihatan mahal, pemandangannya menyedihkan lagi.

Kami sudah terlalu letih dan lapar dan memutuskan untuk mengikuti saran si Abang di kapal mencari penginapan langganannya.

Kami jalan, sampai di pusat jalan sepertinya , sebuah bundaran yang semarak. Dikelilingi muara jalan, mungkin ada 7 atau 6 muara jalan yang bermuara di bundaran itu. Suasana yang membuat saya kagum. Lampu lampu masih menyala dari toko toko di kanan kiri jalan. Sepertinya ini pusat kotanya. Bayangan saya akan kota Tanjung Pandan yang klasik segera menguar. Kota ini lebih terlihat sebagai kota kecil yang baru menggeliat daripada sebuah kota kecil yang klasik.

Akhirnya kami menemukan Hotel Citra yang dimaksud. Awalnya agak ragu karena di depannya nggak tertulis hotel atau penginapan, cuma penjualan tiket dan warnet. Tapi ketika kami tanya, ternyata memang menyediakan penginapan. Kami diketemukan dengan pemiliknya, lelaki kecil  paruh baya yang berlogat kental Sunda. Harga penginapan 100 ribu berdua untuk kipas, 165 ribu berdua untuk yang ac. Nggak ada tivi. Tivinya di ruang tamu doang. Agak mahal sih untuk fasilitas segitu, tapi kami sudah lelah untuk cari penginapan lain jadilah kami memilih yang ber-ac karena kamar mandinya di dalam. Kami di antar ke kamar. Kamarnya kecil tapi bersih dan terasa nyaman. Lumayanlah.

Seafood yang Mengecewakan
Usai mandi, kami memutuskan cari makanan di sepanjang jalan. Penginnya sih seafood. Tapi nggak ada. Ada chinese food depan penginapan, ramai banget dan yang jualan berjilbab. Kayaknya enak. Kami niat kesana, tapi ternyata kata si mbak penjualnya sudah habis. Hmmm..kami jalan lagi.  Yang ada bakso2an, penyetan....bosan. Tapi karena terbaca ada ikan lain selain lele, kami memutuskan makan di sana. Warung sederhana saja. Demi menuntaskan hasrat akan seafood, saya pesan kerapu asam manis, teman saya pesan kepiting.

Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan datang. Rasanya: tak memuaskan karena sepertinya kualitas bumbunya rendah sekali. Dan yang lebih mengerikan adalah harganya, untuk menu alakadarnya begitu kami harus membayar 88 ribu! Kepitingnya ternyata dihargai 50 ribu! Waks...apa itu memang harga wajar atau harga untuk pendatang? Tapi tentu saja kami nggak bisa protes. Kami pulang, istirahat.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar