Laman

Kamis, 02 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (3)

Kami bangun pagi-pagi dan bersiap mencari sewaan sepeda motor. Ibu penginapan menyarankan kami untuk ke Penginapan Mutiara di dekat Mesjid Jami’.

Penginapan Mutiara adalah penginapan kecil yang terkesan klasik. Tempelan bermacam jasa layanan tertempel di kaca. Mulai dari penjualan tiket hingga jasa pengiriman. Di meja resepsionis yang sangat alakadarnya, seorang bapak tua yang berwajah ramah sedang sibuk dengan bukunya. Kami tanya tentang sewa motor. "Enam puluh ribu sehari." Katanya. "35 kalau setengah hari." Oke, kami ambil setengah hari. Ketika kami mengatakan bahwa kami mau ke Belitong, beliau cerita kalau penumpang kapal yang kemarin dari Palembang ke Belitong yang ketinggalan kapal kemarin diinapkan di tempatnya.

Kami dipersilahkan memilih motor. Pilihan kami motor Honda Helmin' yang masih baru. Sambil menunggu si Bapak menyelesaikan administrasi (yang cukup lamban), kami sekalian tanya-tanya tempat yang kira-kira bisa kami kunjungi. Ada pantai terdekat. Tapi sepertinya tak menarik. "Kalau Belinyu?" "2 jaman. Pas kalau pulang jam 12." Tapi saya pikir terlalu mepet. "Kalau ke Sungailiat?" "Sejaman. Banyak pantai bagus di sana."

Biking ke Sungali Liat
Oke, kami memutuskan ke Sungai Liat. Si bapak sempat menggambarkan peta untuk kami. Tapi petanya ruwet. Ketika kami mencoba mengikuti peta itu, kami malah kesasar,hihi.
Jalanan ke Sungai Liat yang mulus dan lebar

Jalan ke Sungailiat sama saja dengan jalanan kemarin dari Muntok, halus mulus. Cukup ramai sih kendaraan yang hilir mudik. Panas membakar. Bagusnya di Bangka ini papan petunjuk jalan nyaris selalu ada di persimpangan, meski sayangnya nggak pernah dikasih jarak tempuhnya. Kami ikuti saja petunjuk jalan.

Ternyata pemilihan motor baru nggak terlalu menguntungkan karena bensinnya boros banget. Baru kami isi dua liter menjelang berangkat, belum apa-apa sudah menunjukkan batas dasar. Akhirnya kami isi lagi di pom bensin dua liter lebih.

Kami sampai di Sungailiat. Agak kebingungan karena petunjuk tiba-tiba kabur. Kami ikuti feeling saja, muter-muter. Mana perut lapar lagi. Rumah makan yang ada di kanan kiri jalan terlihat tak menarik. Yang agak besar paling rumah Makan Padang. Aduh, jauh-jauh ke Bangka masa cuma makan di rumah Makan Padang? Enggak banget.
Suasana perkampungan warga keturunan Tionghoa

Kota Sungailiat terlihat cukup besar dan rapi. Jalannya lebar dan dua jalur. Kesannya rapi. Sayang trotoarnya tetap nggak nyaman untuk pejalan kaki karena sempit dan banyak yang rusak.

Ketika kami memutuskan untuk balik, ternyata kami dapat petunjuk jalan lagi lokasi ke arah pantai. Ke arah pantainya melewati perkampungan gitu. Kesannya sih sudah desa urban ya. Rumah-rumahnya terlihat layak. Jalannya sama saja bagusnya. Di pertigaan ada tulisan 3 pantai: Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai dan Pantai Matras.

Pantai Batu Berdaun, indah sih tapi tak terawat :(
Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai  & Pantai Matras
Pantai pertama, Batu Bedaun. Ada plang kecil di belakang rumah warga. Jalannya juga jalan kecil meski sudah di aspal kasar. Sekitar 300 meter ke dalam sudah ketemu pantai. Pantainya: menyedihkan. Sepi tak terawat. Hamparan ilalang terlihat mengering kekuningan, mungkin habis disemprot racun gulma. Pohon -pohon kelapa berjejer di pinggiran. Tak ada jejak kalau sering dikunjungi orang ramai. Mungkin hanya penduduk sekitar.  Kami foto-foto sebentar, dan karena merasa takut meninggalkan motor lama-lama di pinggiran, lalu jalan lagi.

Berikutnya: Pantai Parai. Ternyata sudah jadi resort. Sempit saja, tapi terlihat terawat. Ada cottage-nya segala.
Pantai Matras

Kami lanjut ke Pantai Matras. Jalannya sepi. Di kanan kiri vegetasi khas pantai, perdu-perdu dengan warna hijau terang, terbakar di sana-sini. Bebatuan granit yang menjulang. Saya bertanya-tanya, tempat ini dulunya pegunungan atau laut?

Pantai Matras juga terbengkelai kesannya, tapi sepertinya cukup sering dikunjungi orang. Ada warung-warung makanan dan gazebo-gazebo  meski sangat alakadarnya. Warungnya juga nggak ada yang buka. Mungkin hanya di akhir pekan atau hari libur. Ada beberapa orang di seberang jalan, sepertinya anak kuliahan yang sedang ospek. Gundukan pasir  bertumpuk di sepanjang bibir pantai, mungkin mau dibangun apa gitu, tapi jadi memberi kesan tak indah. Karena takut kesiangan, setelah berfoto, kami memutuskan untuk pulang.

Pantai Rebo
Di perjalanan pulang, kami membaca plang Pantai Tanjung Pesona dan berpikir untuk singgah, eh, tiba-tiba di tikungan petunjuk arahnya sudah menghilang lagi. Ujung-ujungnya kami singgah  di Pantai Rebo. Jadi dalam perjalanan Sungai Liat - Pangkal Pinang ini ada banyak pantai-pantai yang bisa disinggahi sepanjang jalan.
Pantai Rebo

Ternyata ke Pantai Rebo, masuk ke dalamnya cukup jauh dari jalan utama. Melewati pemukiman pecinan. Bangunannya sih nggak khas.Cuma ada lampion dan kuburuan di kanan kiri. Kalau nggak salah waktu itu sedang menjelang upacara sembahyang arwah atau apa gitu. Di depan rumah mereka membuat sesajian, ada juga yang di bawah pohon. Kuil-kuil semarak oleh patung besar berwajah buruk.

Pantai Rebo terkesan terbengkelai. Padahal, kami baca, katanya pantai yang indah dengan bukit-bukit. Nyatanya: terlihat tak terurus, ada warung-warung kecil, sepertinya warung nelayan. Ada kuil kecil dan orang-orang sedang menyiapkan perayaan. Kapal-kapal nelayan sedang bersandar. Suasananya sih sejuk, mungkin karena ada dua baris tanaman pinus di sebagian pinggiran.

Mengejar Kapal ke Belitong
Karena lapar dan keletihan kami agak lama di sini sebelum akhirnya pulang karena tahu-tahu sudah pukul 11. Nyari makan sepertinya nggak sempat lagi. Jadi pulang langsung balikin motor. Si bapak  bilang kalau penumpang transit kapal yang nginap di tempatnya sudah jalan ke pelabuhan dan kami sebaiknya segera pergi agar tak ketinggalan kapal lagi.

Kami buru-buru ke penginapan buat check out. Mau beli tiket kapal di agen seberang penginapan, tapi mereka menyarankan untuk beli di pelabuhan saja karena sudah mau berangkat.

Kami ke pelabuhan naik angkot. Agak ketar-ketir juga karena angkotya sempat singgah nganterin penumpang. Tapi ternyata pelabuhannya nggak terlalu jauh jadi sebentar saja kami sudah sampai.

Kami tergesa beli tiket dan masuk. Pelabuhannya nggak terlalu ramai. Lusuh dan nggak ada pertanda apapun. Orang mondar mandir sesukanya. Mungkin karena cuma ada satu pelayaran sehingga orang sini nggak ada bingung-bingungnya. Kapalnya sudah sandar. Kami naik saja. ternyata dapat di dek bawah, kacanya terlalu tinggi  sehingga nggak bisa lihat laut.

Cukup ramai. Kami liat si Ibu di rumah makan kemarin. Kami juga ketemu Si Abang yang kemarin ketemu di Palembang.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar