Laman

Senin, 29 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (2)

Menuju Pangkal Pinang
Sekitar 3 jam kami sampai di pelabuhan Tanjung Kelian, Muntok, Bangka (orang lokal biasa melafalkannya: Mentok). Pelabuhannya lengang saja. Kami agak bingung. Kami memutuskan bertanya kepada petugas pelabuhan, yang kemudian mencarikan kami mobil.

Si Abang sopir meminta ongkos: Rp 120.000, artinya Rp. 60.000 per orang. "Ke Belitong?" tanya saya. "Pangkalan Balam." jawab si Abang. Karena tarif dan tujuannya sama seperti yang saya baca di panduan, jadi aku naik  saja. Tapi di kepala, sejujurnya saya masih agak bingung: kami kan mau ke Tanjung Pandan Belitong, bukan Pangkalan Balam? Lalu saya tanya ke mbak-mbak yang duduk di sebelah: "Ke belitong juga ya?" "Pangkal pinang." Sahutnya pendek. "Berapa jam?" "Nggak tahu." Ternyata dia juga baru pertama ke sini. Hmmm.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Bangka. Vegetasi yang terbentang di kanan kiri jalan: tanah kekuningan yang nampak tandus, perdu dan tanaman paku warna hijau muda hingga kemerahan karena terpapar matahari dan kekurangan nutrisi tanah rumah-rumah kecil tapi cukup layak, kebun karet, kebun sawit, hutan kelabu di kejauhan... Semakin ke dalam, suasananya makin terasa hijau. Tak ubahnya seperti suasana pulau-pulau besar. Jauh berbeda dengan pulau-pulau kecil di sekitar Riau dan Kepri yang pernah saya kukunjungi. 'Peradaban' sepertinya berlangsung sudah cukup lama di pulau ini dan kehidupan cukup ‘normal’ seperti layaknya orang-orang di pulau besar. Pendeknya, pulau ini sepertinya cukup nyaman untuk ditinggali.

Di tengah jalan, kami diguyur hujan. Perjalanan saya baca akan memakan waktu sekitar 3 jam. Itu cukup lama. Si Abang Sopir berbaik hati beberapa kali menanyakan tujuan kami. Dan dia sepertinya punya cukup koneksi tentang kapal ke Belitong. Kami sempat singgah di rumah makan yang ramai. Hidangannya prasmanan dan lauknya beraneka ragam. Ada kepiting dan aneka hidangan laut. Rasanya sih standar dan harganya lumayan: 25 ribu per porsi. Saat makan kami sempat ngobrol sama ibu-ibu yang juga mau ke Belitong. Katanya kapal kemungkinan sudah berangkat. "Berapa lama ke belitong?" tanya saya.  "4.5 jam," katanya. Tapi pernah dia sampai 7 jam ketika cuaca buruk. Waduh. Agak miris juga mendengarnya.

Usai makan, si abang sopir memberitahu kami kalau kapalnya sudah nggak terkejar. Berarti si Ibu tadi benar. "Nanti bermalam saja di Pangkal Pinang." sarannya. "Sudah punya tiket?" "Belum." Jawab saya. Usut punya usut, kalau sudah beli tiket terusan, akan disediakan penginapan ternyata. Hmm, saya pikir itulah sebabnya tiket terusan Palembang-Belitong di batasi karena sering kejadian ketinggalan kapal begini. Tentu saja pihak kapal bakal bangkrut kalau harus menanggung penginapan semua penumpang kalau terjadi penundaan begini. 

Perjalanan ke Pangkal Pinang memang tak kurang dari 3 jam. Jalannya mulus dan lengang. Tapi hujan terus membuat saya ketar-ketir: kalau hujan terus begini, bisa jadi kami tak bisa kemana-mana. Untunglah, waktu kami sampai Pangkal Pinang, ternyata cuaca cerah di sana.

(Gagal) Berburu Seafood di Pangkal Pinang
Si abang berbaik hati mengantarkan kami ke dekat penginapan  di Jalan Mesjid Jami. Ada sebuah penginapan yang nampak kumuh, Penginapan Srikandi. Tapi karena yang menyambut kami seorang ibu-ibu, jadinya kami berpikir untuk menginap di situ saja. Suasananya seperti kos-kosan. Rp. 160 ribu per malam untuk dua orang. Ternyata itungannya per orang bukan perkamar. Cukup mahal juga karena kamarnya kecil saja. Agak lusuh. Meski kamar mandi dalam, tapi kamar mandinya sangat alakadarnya. Fasilitas lainnya AC tua dan tivi tabung tua. Cukuplah untuk beristirahat.

Setelah istirahat 1 jam melepas penat, kami jalan-jalan ke luar. Infonya dari ibu pemilik penginanapan: tempat nongkrong di Lapangan Merdeka. Nggak terlalu jauh. Kami jalan pelan-pelan saja, menelusuri trotoar emperan pertokoan. Suasananya khas kota kecil. Ada penjual otak-otak dan mpek-mpek yang menguarkan aroma cuka yang khas, penjual oleh-oleh yang dipenuhi kerupuk ikan bergelantungan...

Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya kami sampai di Lapangan Merdeka. Sebagaimana umumnya lapangan kota, lapangan ramai oleh anak-anak yang bermain dan penjual makanan gerobak. Saya sempat berpikir ini seperti Merdeka Walk-nya Medan atau semacam pujasera, ternyata ya lapangan kota biasa. Tapi suasananya cukup nyaman dan petang cukup cerah. Kami duduk-duduk hingga gelap dan memutuskan untuk cari rumah makan seafood tapi bingung dimana. Kami tak punya peta sama sekali.
Lapangan Merdeka,Pangkal Pinang


Lalu sambil jalan, kami nanya ke orang-orang yang kami temui dimana kami bisa makan seafood. Ibu-ibu penjual jajanan mengatakan kalau  kami bisa ke Puncak, di dekat ujung jalan. Puncak adalah semacam mall kecil. Kami langsung mikir, pasti fast food-fast food-an deh. Lalu kami tanya satpam bank di pinggir jalan. Seafood di belakang Lapangan Merdeka atau di seberang Barata (nama sebuah toko) katanya. Keduanya sudah kelewatan. Tapi Barata belum terlalu jauh, jadi kami memutuskan kesana. Tapi sampai disana, restorannya tutup. Mau balik ke Lapangan Merdeka enggan karena kaki sudah mulai capek. Ya sudah, kami balik, menyelusuri kompleks pemukiman yang ternyata padat.

Kami jalan pulang. Di sudut jalan yang kami lalui siang tadi, ada warung-warung yang tampak semarak. Menunya: mpekmpek-tekwan, sate dan sejenisnya. Sepertinya kultur Sumatera Selatan masih kuat di sini. Karena tak tahu mau kemana lagi dan sudah lapar, kami pun memutsukan singgah di salah satu warung. Saya pesan tekwan, teman saya pesan sate. Rencana wisata kuliner gagal.

Kami pulang ke penginapan. istirahat sambil menyiapkan tenaga esok hari. Rencananya kami akan jalan-jalan setengah hari karena kapal ke Belitong baru berangkat pukul 1 siang. Artinya kami harus bangun pagi-pagi agar punya cukup waktu untuk jalan-jalan. Mungkin ke pantai atau ke Belinyu yang katanya Kampung Pecinan.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar