Laman

Rabu, 24 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (I)

25 Desember 2012: Welcome to Bangkok

Yeah, Bangkok, akhirnya. Setelah tertunda lebaran lalu akhirnya terlaksana juga.Dari jauh-jauh hari sudah melototin Airasia. Tiketnya mahal terus, nyaris di atas satu jutaan di akhir tahun. Jadi ketika ternyata ada yang di bawah satu juta, langsung booking meski waktunya nggak terlalu sip: tanggal 24-28 Desember. Sebenarnya ingin sampai tahun baru, tapi usai tahun baru tiket pulangnya sudah mahal.

Kami berangkat bertiga dari Medan tanggal 25 Desember. Saya, Vince dan Mbak Tyas. Sebuah insiden bodoh dan menjengkelkan menghanguskan tiket kami tanggal 24 dan kami terpaksa beli tiket keesokan harinya karena cuma ada satu penerbangan sekali dalam sehari Medan-Bangkok. Sebuah pelajaran berharga untuk selalu berhati-hati dan untuk sebisa mungkin ontime datang 2 jam sebelum keberangkatan untuk check-in.

Kami menukar rupiah di bandara. Kala itu nilai tukar rupiah sedang turun. 1 bath: Rp.330 dan USD 1: Rp.9670. Untuk dollar, sebenarnya cukup rendah, tapi sayangnya saya sudah nukar duluan di bank dengan harga cukup mahal: USD 1 hampir 10 ribu. Jadilah saya cuma nukar bath, 1000 bath saja. Dari hasil baca-baca, katanya biaya hidup di Bangkok itu cukup murah. Saya memperkirakan, 3000 bath saja cukup.

Perjalanan Medan-Bangkok memakan waktu 1 jam 45 menit. Sore cerah ceria ketika kami menginjakkan kaki di Don Mueang Airport. Bandaranya kecil saja, tampak sepi dan sederhana tapi terkesan bersih dan lengkap.Kami antri di imigrasi yang tak terlalu ramai. Seorang mbak-mbak berseragam mengingatkan kami untuk mengisi tempat tujuan selama di Bangkok di kartu imigrasi. Aku sudah mengisinya, asal-asalan saja karena memang belum booking penginapan. Dan itu cukup. Tak ada lagi pertanyaan di imigrasi. Stempel, selesai. Sawadikab...heih. Saya menandai orang Thailand memang mirip orang Indonesia, tapi kulitnya lebih terang dan mata lebih sipit.

Ke Khaosan: Kereta Api, Mas Eddiyanto & Ditolak Naik Bus
Tujuan pertama kami: Khaosan Road, karena konon di sana penginapannya murah-murah. Saya mendapat info soal transportasi dari Don Mueang-Khaosan bisa ditempuh dengan: 1. taksi. 2. kereta api sampai Hualamphong saja (semacam pusat kota) dan 3. Bus Kota tapi mungkin turunnya nggak pas di tempat yang kami tuju.

Pilihan pertama tentu paling efesien karena kami bisa langsung minta diantar ke tujuan. Tapi berdasar info, cukup mahal. Sekitar 350 bath, belum lagi kalau terjebak macet. Konon, Bangkok mirip-mirip Jakarta yang rawan macet. Pilihan kedua, mungkin kami akan sedikit bingung di Hualamphong tapi bisa lebih murah. Ketiga, juga hampir sama dengan yang kedua.

Karena hari masih siang, kami berniat naik kereta api. Stasiunnya ada di luar agak ke bawah. Ternyata kami harus menunggu sejaman lagi kalau mau ke Hualamphong. Kami berpikir itu akan terlalu sore, takutnya kemalaman di jalan. Padahal saya suka disorientasi kalau sudah malam. Jadilah kami memutuskan batal naik kereta api.
    'Mau kemana?' tanya mas-mas yang sepertinya juga batal mau naik kereta api.
    'Hualamphong.' sahut saya. Dia bilang juga mau ke Hualamphong dan ngajak bareng. Eh, setelah ngobrol ternyata dia orang Indonesia juga. Tadinya saya pikir orang Thailand yang bahasa Indonesia karena logatnya aneh. Tapi dia bilang, itu karena dia lama di Hongkong. Namanya juga Indonesia banget" Eddiyanto. Hihi.

Kami berpikir untuk naik taksi saja, tapi kemudian lihat sign ‘bus’ jadi kepikiran untuk mencoba. Dengan bertambahnya rombongan, saya merasa menjadi lebih percaya diri. Dan si Mas pun sepertinya begitu. Kami jalan keluar bandara untuk mencari bus. Melintasi pelataran, di bawah jalan layang ada petugas dan kami nanya. Karena logatnya asing, saya nggak terlalu mudeng apa yang dia omongin. Tapi kami kira-kira artinya begini: naik jembatan penyeberangan, ke kanan. Memang ada jembatan penyeberangan di depan kami dan kami menyeberang. Tapi pas sampai di seberang, nanya orang, ternyata yang arah Khaosan  atau Hualamphong yang di seberangnya. Hadeh...salah menerjemahkan petunjuk. Kami pun balik lagi. Cukup ngos-ngosan karena jembatannya lumayan tinggi.

Halte bus di sini sangat alakadarnya. Tak ada papan petunjuk seperti di Singapura, yang ada cuma nomer-nomer bus saja. Kami bisa naik bus No. 29 untuk menuju Hualamphong.

Ternyata ada tulisan tentang rute bus di halte. Kecil saja. Dari kertas biasa dengan tulisan tangan: dalam bahasa Inggris dan Perancis. Nomor bus lengkap dengan rutenya. Dugaan saya, ini dilakukan oleh turis baik hati yang mungkin merasakan kebingungan yang sama untuk turis asing seperti kami. Ternyata bisa kami bisa naik bus No 59 ke Sanam Luang, dekat Khaosan, jadilah kami urung naik 29 dan berpisah dengan si Mas.

Kami naik bus dengan sedikit ketar-ketir karena kami tak punya recehan. Hanya ada pecahan 1000 bath. Padahal kubaca ongkosnya cuma sekitar 6 bath per orang. Waduh...Kondektur, seorang perempuan paruh baya berseragam dan mengenakan masker wajah, menghampiri kami. Khaosan Road? Tanya saya. Sepenglihatan saya dia melihat lembar 1000 bath di tangan teman saya dan menggoyangkan tangannya tanda tidak. Eh? Kami bingung. Di halte berikutnya, kami disuruh turun. Kami benar-benar bingung. Setelah dipikir-pikir, mungkin dia nggak mau bawa kami karena kami nggak punya uang kecil. 1000 bath jumlah yang sangat besar untuk ongkos bus yang ternyata ternyata nggak sampai 20 bath untuk kami semua. Pelajaran pertama, siapkan recehan kalau mau naik angkutan umum!

Taksi yang Murah ke 'Khaosan Lod'
Akhirnya kami mutusin nyegat taksi saja. Bermeter? tanya saya pada taksi pink yang kami stop. Si sopir taksi, bapak tua dengan rambut putih yang tampangnya mirip Abah Kkurdi di Keluarga Cemara mengangguk.
    'Khaosan road'
    'Khaosan lod?' ulangnya. 'Yeah.' Kami pun naik. 'Khaosan lod?' Ulangnya sekali lagi. Sepertinya tak ada 'r' dalam logat orang Thai. 'Ya.'jawab saya.'Soi Rambuttri.' tambah saya, memastikan bahwa jurusan yang kami tuju benar. Dia mengangguk. Kemudian saya mencoba mengajaknya mengobrol pakai Bahasa Inggris.Tapi dia menggoyangkan tangannya. Nggak ngerti. Dia nggak bisa Bahasa Inggris. Wih, susah juga. Tapi percaya sajalah. Taksi melaju. Jalanannya lebar-lebar. Di kiri kanan, landscapenya mirip di Indonesia, dengan ceceran sampahnya, kelusuhan debunya...pemukiman kumuh di sepanjang pinggir selokan...sangat Indonesia. Tapi kemudian kami sadar, ada beberapa yang berbeda: trotoar teduh dan lebar yang terlihat nyaman untuk pejalan kaki...nggak terlalu bersih, tapi cukup bersih. Macet juga, tapi cukup tertib. Tulisan-tulisan keriting dari baliho dan papan nama yang bertebaran...

Saya memperhatikan argo taksi. Dimulai dari angka 35, lalu 100an...katanya sih sekitar 350an. Malah bisa sampai 400an kalau kejebak macet...jauh kah? Ternyata tanda2 Khaosan Road sudah nampak dan argo masih 100-an. Soi Rambuttri, kata saya mengingatkan. Sepertinya si Bapak cukup paham.

Soi Rambuttri, tak setenang kelihatannya, lho..
Soi Rambuttri: Tak Seperti yang Saya Bayangkan
Kami masuk area Khaosan. Sekilas mirip Jalan Malioboro-nya Jogja, dengan stan-stan pinggir jalannya. Lalu...Soi Rambuttri! Karena jalannya kecil dan padat, si Bapak mengatakan sebaiknya kami turun di situ saja karena sulit untuk masuk. Saya pikir juga begitu karena kami belum tahu mau menginap di mana. Argo 190 bath. Teman saya kasih 1000 bath. Pak sopir menolak. Kami pun ke minimarket Seven. Kami beli air mineral dan hand body. Uang pun pecah. Bayar taksi 200 bath. Cuma 200 kok, siapa bilang 350? Pelajaran kedua, kalau mau naik taksi dari bandara, cari taksi yang di pinggir jalan raya karena sepertinya mereka nggak perlu bayar fee bandara! Tapi yang berargo ya ;)
Khaosan Road yang semarak

Saya merasa sedikit pusing menjejakkan kaki di Soi Rambuttri. Alasan saya memilih Soi Rambuttri untuk cari penginapan karena saya baca tempat ini lebih lengang daripada Khaosan Road. Saya membayangkan tempatnya memang benar-benar sepi, ternyata masuk mulut jalan, kami langsung disambut keriuhan kafe-kafe terbuka yang dipenuhi bule...Whoa! Apanya yang sepi? Saya mulai membuka peta print-printan dari hasil browsing internet, lengkap dg nama-nama penginapan berikut harganya di sepanjang Soi Rambuttri. Sawasdee...ramai banget ternyata, Rambuttri Inn Village...ramai juga. Kami jalan saja. Suasananya benar-benar di luar bayangan dan membuat kami sedikit keder. Jalan terus...akhirnya nemu penginapan yang agak sepi ; Baan Sabai. Saya buka peta, harganya mulai dari 190 bath. Kami memutuskan untuk mampir.

Baan Sabai & Insiden Patah Kunci
Untuk kamar double dengan private bahtroom dan ac harganya 500 bath. Bed tambahan 100 bath. Totalnya 600 bath. Kalo dikurs-in sekitar Rp. 150.000. Kami bagi tiga. Murah kan? Ada yang 300 bath, tapi kamar mandinya sharing. Saya pikir itu harga yang masuk akal, lagipula kami sudah capek dan ingin istirahat. Kami memutuskan untuk melihat kamarnya. Di lantai dua. Kamarnya dilorong yang sempit, meski agak gelap tapi kesannya nggak sumpek. Tapi pas mau buka kamar, kuncinya mleyot-mleot dan...patah!

Kami turun ke bawah. Minta maaf. Si resepsionis, mas-mas berkacamata terdiam sejenak, kemudian ngasih kunci yang lain: 310. Waduh! Naik lagi. Tapi kami merasa nggak enak karena sudah matahin kunci, jadi berpikir untuk ambil kamar disini saja.
Kamar mandi luar yang bersih dan banyak

Posisi kamarnya sama kayak di lantai dua. Lorong-lorongnya panjang dan suram tapi bersih sekali. Kamarnya kecil saja, dengan dua bed, kamar mandi dan ac serta jendela yang menghadap keluar, ke jalanan Soi Rambuttri. Cukup nyaman dan bersih. Kami ambil semalam saja dulu, berpikir besok mungkin bisa cari tempat lebih baik.

Makan Malam yang Berempah
Usai mandi, kami keluar untuk cari makan. Di depan penginapan banyak penjual makanan. Warung-warung tenda yang kondisinya sama kumuhnya kayak di Indonesia. Tadinya agak khawatir harganya mahal ternyata antara 40-an bath. Sekitar 12 ribu. Ada tom yam, pad thai, nasi goreng...Saya pesan pad thai, teman saya pesan semacam tom yam dan nasi goreng. Pad thai ternyata mi goreng dengan campuran rasa asam. Tidak terlalu istimewa. Tomyamnya teman saya yang enak: pedas dan penuh aroma rempah. Kalau nasi gorengnya berasa jagung.
Rempahnya terasaaa
Hingar Bingar-nya Malam di Khaosan
Usai makan kami mutusin muter-muter mengenal sekitaran. Ternyata ada lorong-lorong kecil tempat penginapan-penginapan nyempil. Lalu kami sampai di Khaosan Road. Semarak oleh pasar malam. Kami mulai agak kalap dengan berbagai pernik. Niat mau beli ini beli itu. Akhirnya beli kaos lucu seharga 120 bath sama mas-mas alay yang sibuk pakai lipgloss. Harga barang-barangnya antara 100 sampai 250 bathan. Teman saya tertarik nyobain kalajengking goreng ada juga ulat kecil-kecil goreng. Kami beli 20 bath dicampur. Ternyata sedikit banget.
Kuliner legendaris, hihi

Muter dari ujung ke ujung. Jalanan sangat semarak. Khaosan memang sepertinya benar-benar surga backpacker. Turis-turis berkeliaran, kongkow di kafe, ketawa keras-keras, musik berdentum...entah dari belahan dunia mana saja orang-orang ini. Apa sebenarnya yang mereka cari? Apa juga yang kami cari?

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar