Laman

Minggu, 31 Agustus 2014

Berjibaku dengan Debu dan Beku di Mahameru (2)

Ranu Kumbolo yang ramai oleh para pendaki
Hari beranjak terang, saya memutuskan untuk mencuci muka dan gosok gigi di Ranu Kumbolo. Danaunya membiru, tampak tenang dan permai tapi airnya dingin membekukan. Dan meski masih tergolong bersih, tapi juga tidak sangat bersih. Saya pikir, efek dari banyaknya pengunjung.

Ranu Kumbolo & Visualisasi yang Salah Kaprah
Sembari mencuci muka, saya mencuri dengar obrolan penjual nasi--yah, ternyata ada penjual nasi dan gorengan pagi-pagi--dan beberapa pendaki tentang film 5 Cm. Seperti diketahui, Ranu Kumbolo adalah danau yang dianggap suci oleh Suku Tengger. Jadi tidak boleh seenaknya dikotori, termasuk untuk mandi. Tapi dalam adegan film itu, digambarkan kalau tokoh-tokohnya mandi dan berenang di Ranu Kumbolo. Menurut si Bapak Penjual Nasi, mereka sudah ijin (saya pikir dengan kompensasi uang juga) dan mandinya juga hanya di pinggiran saja. Si Bapak yang tak paham teknik visual effect, merasa heran, bagaimana di film kemudian bisa diubah terlihat dalam.

Tapi menurut saya bukan itu masalahnya. Seharusnya kru film itu tak perlu memasang adegan itu kalau memang sebenarnya itu sesuatu yang tabu hanya karena alasan visualiasasi yang elok. Menurut saya, itu sama saja dengan memberi pemahaman yang keliru tentang Ranu Kumbolo. Apa salahnya misalnya mereka menyebutkan kalau Ranu Kumbolo itu disucikan dan tak boleh mandi-mandi di situ? Dengan begitu, masyarakat yang menonton justru akan mendapat pengetahuan sehingga ketika mengunjungi Ranu Kumbolo, jadi lebih berhati-hati. Film seharusnya tidak semata mementingkan komersialitas,tapi juga menjadi penyampai pesan ke masyarakat tentang menghargai budaya sebuah suku.
Tanjakan Cinta yang bikin ngos-ngosan
Terengah-engah di Tanjakan Cinta
Sekitar jam 9 kami berkemas. Tujuan berikutnya, Kalimati. Tantangan pertama adalah Tanjakan Cinta yang berada di seberang Ranu Kumbolo. Tanjakan setinggi sekitar 30 meter, yang cukup curam. Disebut tanjakan cinta konon karena dulu ada sepasang kekasih yang salah satunya meninggal di sana. Ada mitos konon bagi orang yang sedang jatuh cinta, ketika melewati tanjakan ini tanpa berhenti dan tanpa menoleh ke belakang kisah cintanya akan berakhir bahagia. Tapi dengan beban di punggung--bahkan tanpa beban sekalipun, perlu usaha ekstra untuk tidak berhenti setiap beberapa langkah karena dada seakan mau meledak. Ngos-ngosan.

"Mengarungi" Oro-Oro Ombo
Setelah Tanjakan Cinta adalah hamparan padang rumput dan lavender yang luas, Oro-Oro Ombo. Pemandangannya menakjubkan. Sayang, karena musim kemarau, lavendernya mengering. Meski begitu, tetap menyajikan pemandangan yang memukau. Kami agak berlama-lama di situ, puas berfoto-foto padahal matahari sudah mulai terasa terik. Di Pos 1 kami diberi pesan bahwa diusahakan melintasi tempat ini pada siang hari karena akan berbahaya jika malam hari. Tempat ini dianggap angker, selain itu, juga banyak terdapat satwa liar. Keberadaan orang pada malam hari akan mengganggu satwa-satwa tersebut.

Cemoro Kandang
Di penghujung Oro-oro ombo adalah Pos Cemoro Kandang berupa barisan hutan pinus yang cukup teduh, tapi sayangnya agak kotor. Pesan di pos pertama untuk tidak membuang sampah sembarangan agaknya tidak dihiraukan oleh beberapa pendaki. Belum lagi jika berjalan ke semak-semak di bawah pohon pinus, penuh ranjau kotoran manusia!
Oro Oro Ombo

Kami beristirahat agak lama di Cemoro Kandang. Beberapa pedagang makanan memajang dagangannya: nasi bungkus, aneka gorengan, air mineral dan semangka. Harganya agak mahal, tapi cukup terjangkau. Untuk gorengan dan semangka, Rp. 5000: 2 potong. Nasi: Rp. 15000 satu bungkus. Air mineral ukuran 1500 ml: Rp. 25.000. Menurut saya itu harga yang masuk akal, mengingat para penjual ini harus berjalan kaki dari bawah setiap hari dengan membawa aneka jualan itu. Jadi, jika malas membawa logistik, bisa dijamin tetap tak akan kelaparan mendaki Semeru.

Perjalanan dari Cemoro Kandang ke Jambangan sebenarnya pendek saja, tapi cukup melelahkan. Jalannya menanjak dan sangat berdebu. Selain ramai orang yang mendaki, ramai juga orang yang turun. Dan debu berhamburan di tengah udara yang panas. Belum lagi rasa lelah sisa perjalanan kemarin belum sepenuhnya tuntas. Kami benar-benar merasa kelelahan, berhenti setiap beberapa langkah untuk melepas lelah dan mengatur napas. Perjalanan terasa lambat.

Jambangan Yang Bak Lukisan
Sekitar jam 2 siang, kami sampai di Jambangan. Pos ke-6. Penderitaan untuk sementara berakhir di Jambangan karena medannya yang landai dan cenderung menurun hingga ke Kalimati. Jambangan menyajikan pemandangan yang juga menakjubkan, hamparan padang rumput, rerimbunan perdu dan juga lereng Semeru yang tampak garang dan kerontang. Sementara jalan ke Kalimati sendiri adalah hutan pinus yang teduh. Benar-benar teduh sehingga sejenak saya lupa kalau tengah berada di ketinggian gunung karena suasananya seperti perkebunan saja.
Puncak Mahameru dari Pos Jambangan

Pos Terakhir: Kalimati
Kalimati juga ramai. Kami mendengar bahwa udara di Kalimati justru lebih hangat daripada di Ranu Kumbolo. Mungkin karena vegetasinya yang masih rimbun. Kami melepas lelah, masak-masak dan beristirahat untuk menyiapkan energi karena malam nanti adalah 'perjalanan yang sesungguhnya': mendaki puncak Mahameru!

Kami memutuskan untuk tidur begitu petang menjelang. Udara memang tak terlalu dingin sehingga kami bisa tidur dengan cukup nyaman, kecuali bahwa beberapa penghuni tenda sebelah begitu riuh mengobrol keras-keras sehingga membuat saya beberapa kali terjaga.

Rencananya, pendakian akan dimulai sekitar jam 10 malam. Tapi karena persiapan ini itu akhirnya molor hingga jam setengah sebelas. Tenda-tenda sudah sepi karena pendaki lain sepertinya sudah banyak yang berangkat. Panitia hanya mengingatkan kami untuk membawa banyak persediaan air putih dan senter.

Menuju Puncak: Berjibaku dengan Debu
Debu, itulah yang pertama kali menyambut begitu kami menapaki langkah pendakian menuju puncak. Dan debu ini semakin ke atas, semakin tebal, bercampur dengan pasir dan kerikil. Apalagi kemudian kami salah jalur, yang seharusnya melewati Arcopodo yang lebih familiar.

Perjalanan berjalan lambat. Teman saya sudah menyerah di belakang bersama panitia dan Teman Jakarta saya sebentar-sebentar terengah dan harus beristirahat. Anggota tim yang lain juga mulai banyak mengeluh. Entah satu jam entah dua jam, saya tak ingat ketika kami sampai di batas vegetasi dan sekeliling sepenuhnya hanya gundukan bebatuan, pasir dan kerikil. Saya berpikir bahwa batas vegetasi adalah setengah perjalanan, tapi ternyata batas vegetasi sama saja dengan baru dimulainya 'perjuangan.' Medannya yang berupa pasir, kerikil dan bebatuan, merosot setiap kali diinjak. Untuk menjaga keseimbangan, tak jarang kita harus merangkak dan ini juga harus hati-hati, jangan sampai berpegangan pada batu yang mudah goyah karena akan membahayakan teman di belakang kita. Belum lagi hamburan debu yang membuat kita harus menutup wajah dengan masker, padahal oksigen semakin menipis.

Kami melangkah dan terus melangkah dengan langkah-langkah yang semakin memberat. Di atas, tampak kerlip lampu dari pendaki lain yang sudah duluan, memberi harapan bahwa puncak mungkin tak terlalu jauh lagi. Namun ketika langkah demi langkah terus ditempuh, lelah mulai mendera dan puncak belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera digapai, rasa putus asa mulai menggerogoti. Di hamparan langit yang jernih, bulan setengah lingkaran yang agak mencong, menyembul tampak gilang gemilang bersama bintang-bintang. Nun jauh di bawah sana, lampu-lampu dari pemukiman dan kota-kota. Sementara di sini, puluhan mungkin ratusan kerlip lampu terus bergerak, berpadu dengan derap kaki dan lenguhan napas. Saya mulai membayangkan tempat tidur yang hangat dan nyaman dan merasa absurd dengan semua ini. Apa yang sebenarnya dicari orang-orang ini? Apa yang sebenarnya saya cari?

Nun di ufuk, batas langit mulai kelihatan, menandakan fajar yang akan segera menjelang. Saya tak tahu, entah berapa lama hingga sampai ke puncak. Saya sudah membuang harapan untuk melihat sunrise dari puncak. Itu tak penting lagi. Bisa sampai di puncak saja saya pikir sudah luar biasa.
Warna langit yang memukau menjelang matahari terbit

Dan matahari benar-benar menyembul dari balik gunung. Merah merona, berbinar-binar. Menakjubkan. Udara perlahan menghangat. Saya hanya berharap saya bisa berjalan lebih cepat karena konon, jika hari sudah terlalu siang, arah angin akan berubah, menebarkan gas beracun yang sangat berbahaya. 

'Pencapaian'
Terang begitu cepat dan tahu-tahu panas matahari menyengat. Orang-orang masih merangkak-rangkak menyusuri tebing. Beberapa orang turun menghamburkan debu. Saya benar-benar mulai merasa loyo, tenaga seolah terkuras. Satu langkah, dua langkah, terengah. Dan agaknya saya tak sendirian, karena orang-orang di sekitar juga tampak loyo dan terengah. Wajah-wajah kuyu dan menghitam oleh debu. Saya pikir, kondisi saya masih agak mending. Beberapa orang terlihat mulai gemetaran, tertatih, terhuyung-huyung, terseok-seok, terjatuh, tapi tampak tetap berusaha. Dan hal itu, kembali membuat semangat saya yang sudah mulai timbul tenggelam muncul perlahan-lahan.

Saya teringat cerita Sisiphus yang merangak menaiki gunung dalam kesiasiaan. Saya teringat Mahabarata. Ketika para pandawa usai mengalahkan kurawa, mendaki Puncak Meru untuk mencapai moksa. Dalam keadaan seperti itu, saya mencoba mencari makna dari semua usaha keras ini. Menganggap bahwa mendaki gunung adalah sebentuk heroisme seperti yang dikisahkan film '5 cm', menurut saya terlalu berlebihan. Heroisme untuk apa? Mendaki gunung tidak akan merubah apapun. Saya juga tidak setuju dengan istilah 'menakhlukkan gunung.' Ungkapan itu terlalu angkuh. Tak ada yang mampu menakhlukkan alam. Pecinta alam? Hmm, menurut saya juga terasa kurang tepat karena kebanyakan pendaki justru memberi dampak buruk (sampah, pencemaran) daripada hal-hal yang baik. Penikmat atau pengagum alam, mungkin? 

Saya pikir, mendaki gunung, berjuang untuk mencapai puncak adalah sebuah pengalaman yang sangat individual. Ini adalah perjuangan antara kita mengalahkan diri kita sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kita terpacu untuk menguji, sejauh mana kekuatan kita, bukan hanya fisik tapi juga mental. Ini adalah tentang ketekadan diri, sejauh mana tekad kita mampu bertahan di tengah kondisi yang sulit. Sejauh mana kita bertahan untuk mewujudkan keinginan kita ketika godaan untuk berhenti dan menyerah terus berdengungan di kepala. 
Mahameru, akhirnya!!!

Bersama matahari yang semakin meninggi dan hamburan debu yang semakin pekat, dengan langkah berat dan napas yang kian memendek, saya menekadkan hati untuk tidak menyerah. Saya harus sampai puncak. Harus. Dan saya yakin saya mampu melakukannya. Lalu, akhirnya saya melihatanya: hamparan tanah kering pucat berdebu dan melandai, dilatari langit yang membiru dan matahari yang menyilaukan mata. Mahameru. 3676 meter dari permukaan laut. Puncak tertinggi di Pulau Jawa. Atap Pulau Jawa, tempat bersemayamnya dewa-dewa dalam cerita pewayangan yang menghiasi waktu-waktu tidur di masa kecil saya.  Wow! Saya telah berhasil menapaki puncaknya dan di atas semua itu, saya telah berhasil mengalahkan satu sudut kerdil dalam diri saya. Rasanya: menakjubkan!

(27 Agustus 2014)

Catatan:
- Jika ingin bepergian secara mandiri, ada angkutan dari Tumpang-Ranu Pani dengant tarif Rp. 25.000, per orang
Ojek juga tersedia, ongkosnya Rp. 50.000 satu orang (tapi perseorangan dilarang mendaki, lho)

- Usahakan membawa perlengkapan yang memadai: carrier, sleeping bag, matras, tenda, jaket, sarung tangan, kaos kaki, sepatu yang nyaman...

- Jika malas membawa logistik, banyak porter yang siap membawakan barang-barang kita selama pendakian. Tarif porter Rp. 150.000 per hari (kemungkinan bisa ditawar).

- Konon juga ada porter yang bertugas 'mendorong-ndorong' jika kita merasa kesulitan mendaki puncak Semeru. Tarifnya kalau nggak salah sekitar Rp. 300.000,-

- Banyak penjual makanan di sepanjang pendakian (Ranu Kumbolo, Cemoro Kandang & Kalimati) jadi sebenarnya meskipun kita tidak membawa bekal makanan yang cukup, kemungkinan tidak akan kelaparan, kecuali barang dagangan keburu habis :)

- Selain rute yang umum, untuk ke Ranu Kumbolo, yakni rute ayak-ayakan. Rute ini katanya lebih pendek, tapi membelah bukit karenanya separo turunan dan separo tanjakan. Enaknya separo rutenya bisa ditempuh dengan naik ojek dengan tarif Rp. 50.000 per orang. Tapi pada musim panas sangat berdebu sementara kalau musim penghujan bisa dipastikan berlumpur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar