Laman

Jumat, 29 Agustus 2014

Melongok Jendela Dunia Bersama Air Asia

Jalan-jalan ke luar negeri? Angan-angan itu memang ada sejak lama, tapi saya sendiri tak terlalu yakin bisa mewujudkannya. Pertama, tentu saja biayanya yang pasti tak sedikit. Kedua, jujur saya tidak punya banyak rasa percaya diri untuk bepergian ke luar negeri. Berbagai kekhawatiran menghinggapi benak saya: bagaimana saya berkomunikasi? Bagaimana saya bersikap? Bagaimana saya menggunakan alat-alat di sana? Tidak semua memang, tapi setahu saya, kebanyakan negara-negara di luar negeri, sudah lebih maju dari negara ini. Teknologi transportasi, misalnya. Kalau saya tersesat atau kenapa-napa, minta tolong siapa? Belum apa-apa saya sudah paranoid. Maklumlah, saya lahir dan besar di kampung. Sekalinya ke kota, hanya kota-kota kecil saja. Jadilah impian saya untuk jalan-jalan ke luar negeri saya timbun saja.

Hingga suatu hari, pada musim liburan hari raya tahun 2011, seorang teman mengajak saya untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tidak jauh-jauh memang, hanya di negera tetangga, Malaysia dan Singapura. Kata teman saya, sedang ada promo dari AirAsia, tiketnya murah. Lebih murah daripada ke Bali atau apalagi ke Papua. Tinggal urus paspor, sekitar dua ratusan ribu. Tentu saja, saya mulai tergiur dengan ajakan teman saya ini. Apalagi waktu itu saya sudah mulai bekerja, sehingga punya sedikit uang lebih. Kekhawatiran saya soal biaya sedikit banyak terjawab. Tapi bagaimana dengan ketakutan saya yang lain? Benar kedua negara itu mirip-mirip dengan Indonesia. Baik dari segi iklim maupun budaya. Tapi juga lebih maju di beberapa hal dan tetap saja pasti berbeda. Namun, saya mencoba berpikir jernih: meski berbeda, tokh kita sama-sama manusia dan juga tinggal di semesta yang sama, kan?

Jadilah kami melakukan perjalanan itu selama 4 hari 3 malam. Benar memang ada beberapa hal yang berbeda (terutama sistem transportasi yang rapi) dan di awal-awal membuat saya canggung dan bingung. Tapi, ternyata juga bukan sesuatu yang rumit. Jika tak mengerti, selalu ada tempat dan orang-orang yang bisa ditanyai. Soal bahasa, meski tak selalu bisa dimengerti, tapi anehnya tetap bisa dipahami.

Perjalanan itu juga membuka mata saya tentang satu hal. Waktu itu, ada banyak pemberitaan yang kurang mengenakan terkait hubungan negara kita dengan kedua negara tetangga itu. Tak urung hal itu mempengaruhi cara saya memandang. Tapi setelah menjejakkan kaki di sana, bertemu orang-orang di sana, mata saya mulai sedikit terbuka. Selama saya di sana, saya bertemu dengan orang-orang yang baik dan ramah. Dalam posisi itu, saya tak bisa melihat hanya dalam posisi saya orang negara A dan mereka orang dari negara B, tapi bahwa kami adalah sama-sama manusia. Ada orang-orang jahat dan berpikiran picik, tapi di belahan manapun di dunia ini, selalu ada orang-orang seperti itu. Seperti halnya orang-orang baik dan ramah juga ada dimana-mana. Dan bertemu orang-orang seperti itu, sungguh menyenangkan.

Itu pengalaman pertama jalan-jalan saya ke luar negeri. Dan sejak itu, semakin banyak  tempat dan negara yang ingin saya kunjungi. Saya tak lagi terlalu cemas dengan berbagai perbedaan yang mungkin akan membingungkan. Karena saya kemudian sadar, bahwa perbedaan justru membuat saya belajar banyak hal. 

Kadang, ada pertanyaan bernada sumbang di sekitar saya: untuk apa jalan-jalan ke luar negeri? Tidakkah lebih baik menjelajah negeri sendiri? Saya setuju saja. Saya juga ingin menjelajah dan mengetahui lebih banyak tentang negeri ini. Tapi kedua-duanya bagi saya sama berharganya. Mengunjungi negara lain, melihat bagaimana kehidupan di sana, seperti melongokkan kepala keluar jendela. Melihat hamparan dunia yang begitu berwarna, berbeda tapi juga indah.  Dan Air Asia telah membuat saya mampu mewujudkannya. Belum seberapa memang, tapi saya berharap kelak akan lebih banyak lagi warna dunia yang saya lihat. Terimakasih Air Asia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar