Jalan-jalan ke
luar negeri? Angan-angan itu memang ada sejak lama, tapi saya sendiri tak
terlalu yakin bisa mewujudkannya. Pertama, tentu saja biayanya yang pasti tak
sedikit. Kedua, jujur saya tidak punya banyak rasa percaya diri untuk bepergian
ke luar negeri. Berbagai kekhawatiran menghinggapi benak saya: bagaimana saya
berkomunikasi? Bagaimana saya bersikap? Bagaimana saya menggunakan alat-alat di
sana? Tidak semua memang, tapi setahu saya, kebanyakan negara-negara di luar
negeri, sudah lebih maju dari negara ini. Teknologi transportasi, misalnya. Kalau
saya tersesat atau kenapa-napa, minta tolong siapa? Belum apa-apa saya sudah
paranoid. Maklumlah, saya lahir dan besar di kampung. Sekalinya ke kota, hanya
kota-kota kecil saja. Jadilah impian saya untuk jalan-jalan ke luar negeri saya
timbun saja.
Hingga suatu
hari, pada musim liburan hari raya tahun 2011, seorang teman mengajak saya
untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tidak jauh-jauh memang, hanya di negera
tetangga, Malaysia dan Singapura. Kata teman saya, sedang ada promo dari
AirAsia, tiketnya murah. Lebih murah daripada ke Bali atau apalagi ke Papua. Tinggal
urus paspor, sekitar dua ratusan ribu. Tentu saja, saya mulai tergiur dengan
ajakan teman saya ini. Apalagi waktu itu saya sudah mulai bekerja, sehingga punya
sedikit uang lebih. Kekhawatiran saya soal biaya sedikit banyak terjawab. Tapi
bagaimana dengan ketakutan saya yang lain? Benar kedua negara itu mirip-mirip
dengan Indonesia. Baik dari segi iklim maupun budaya. Tapi juga lebih maju di
beberapa hal dan tetap saja pasti berbeda. Namun, saya mencoba berpikir jernih:
meski berbeda, tokh kita sama-sama manusia dan juga tinggal di semesta yang
sama, kan?
Jadilah kami
melakukan perjalanan itu selama 4 hari 3 malam. Benar memang ada beberapa hal
yang berbeda (terutama sistem transportasi yang rapi) dan di awal-awal membuat
saya canggung dan bingung. Tapi, ternyata juga bukan sesuatu yang rumit. Jika
tak mengerti, selalu ada tempat dan orang-orang yang bisa ditanyai. Soal
bahasa, meski tak selalu bisa dimengerti, tapi anehnya tetap bisa dipahami.
Perjalanan itu juga
membuka mata saya tentang satu hal. Waktu itu, ada banyak pemberitaan yang
kurang mengenakan terkait hubungan negara kita dengan kedua negara tetangga
itu. Tak urung hal itu mempengaruhi cara saya memandang. Tapi setelah menjejakkan
kaki di sana, bertemu orang-orang di sana, mata saya mulai sedikit terbuka.
Selama saya di sana, saya bertemu dengan orang-orang yang baik dan ramah. Dalam
posisi itu, saya tak bisa melihat hanya dalam posisi saya orang negara A dan
mereka orang dari negara B, tapi bahwa kami adalah sama-sama manusia. Ada
orang-orang jahat dan berpikiran picik, tapi di belahan manapun di dunia ini,
selalu ada orang-orang seperti itu. Seperti halnya orang-orang baik dan ramah
juga ada dimana-mana. Dan bertemu orang-orang seperti itu, sungguh
menyenangkan.
Itu pengalaman
pertama jalan-jalan saya ke luar negeri. Dan sejak itu, semakin banyak tempat dan negara yang ingin saya kunjungi.
Saya tak lagi terlalu cemas dengan berbagai perbedaan yang mungkin akan
membingungkan. Karena saya kemudian sadar, bahwa perbedaan justru membuat saya
belajar banyak hal.
Kadang, ada
pertanyaan bernada sumbang di sekitar saya: untuk apa jalan-jalan ke luar
negeri? Tidakkah lebih baik menjelajah negeri sendiri? Saya setuju saja. Saya
juga ingin menjelajah dan mengetahui lebih banyak tentang negeri ini. Tapi
kedua-duanya bagi saya sama berharganya. Mengunjungi negara lain, melihat
bagaimana kehidupan di sana, seperti melongokkan kepala keluar jendela. Melihat
hamparan dunia yang begitu berwarna, berbeda tapi juga indah. Dan Air Asia telah membuat saya mampu
mewujudkannya. Belum seberapa memang, tapi saya berharap kelak akan lebih
banyak lagi warna dunia yang saya lihat. Terimakasih Air Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar