Laman

Minggu, 31 Agustus 2014

Berjibaku dengan Debu dan Beku di Mahameru

Mahameru, akhirnya. Yah. Salah satu gunung yang masuk daftar 'wajib daki.' Bukan karena saya ikut-ikutan demam film '5 cm' karena saya sudah membuat daftar itu jauh-jauh hari sebelum film itu dibuat. Meski tak bisa dipungkiri, ketika banyak diberitakan bahwa demam film itu kemudian menginspirasi banyak orang untuk mendaki Semeru, saya menjadi semakin percaya diri untuk mendaki Semeru. Bagaimanapun, Semeru dinobatkan sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa, dan hal itu membuat saya agak miris. Saya bukan pendaki profesional, tidak pernah ikut klub khusus pendakian, tidak memiliki perlengkapan mendaki yang memadai dan juga pengetahuan soal pendakian saya pas-pasan saja. Modal saya hanyalah bahwa saya pernah mendaki beberapa gunung (Merapi, Lawu, Sinabung, Sibayak). Belum lagi kenyataan bahwa beberapa orang pernah meninggal ketika mendaki Semeru, tak kurang dari Soe Hok Gie, yang sealin aktivis juga anak mapala.

Gugusan gunung di sekeliling Mahameru

Saya juga pernah mendengar bahwa medan Semeru cukup sulit. Maka ketika saya membaca banyak pemberitaan (setelah film '5 cm'), ratusan bahkan mungkin ribuan pendaki membanjiri Semeru, saya menjadi semakin bersemangat. Para pendaki yang demam film itu, saya yakin kebanyakan bukanlah pendaki profesional juga, mungkin lebih parah dari saya, anak mall dan mungkin tak punya pengalaman mendaki sama sekali. Jadi kalau mereka saja bisa, kenapa saya tidak?

Pada bulan Agustus (waktu yang tepat untuk mendaki karena biasanya musim kemarau), iseng saya browsing di internet. Tripnya berlangsung antara tanggal 16-19 Agustus, artinya, bertepatan dengan peringatan 17-an. Dan artinya, kemungkinan pengunjung akan banyak sekali. Di satu sisi, keramaian menyenangkan karena menghadirkan perasaan lebih aman, tapi di sisi lain juga tidak nyaman karena mungkin terlalu riuh. Setelah berhasil 'meracuni' seorang teman, saya pun mendaftar trip itu.

Tumpang-Ranu Pani
Perjalanan dimulai dari Terminal Tumpang, Malang. Pesertanya 38 orang, berasal dari berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Jogja, Medan, hingga Kalimantan. Perempuan 7 orang dan selebihnya laki-laki. Saya pikir ini kondisi yang agak menguntungkan. Bukan saya seksis, tapi dalam perjalanan seperti ini, seringkali laki-laki lebih bisa diandalkan.

Kami dibagi dalam tim-tim yang akan membawa tenda dan logistik. Satu tim terdiri dari 3-4 orang. Tim saya, 3 orang, perempuan semua: saya dan teman saya, ditambah seorang dari Jakarta yang ingin mendaki Semeru karena film '5 cm.'

Kami berangkat dari Terminal Tumpang sekitar jam 1 siang dengan menyewa angkot hingga pos masuk kawasan Taman Nasional Semeru Tengger. Angkot tidak boleh masuk hingga ke Ranu Pani, mungkin juga tidak akan kuat karena jalanan yang mendaki. Selanjutnya, kami harus melanjutkan perjalanan dengan jeep dan truk. Karena saya perempuan, saya mendapat 'hak istimewa' duduk di kursi depan jeep bersama dua teman tim saya.  

Jalanan menuju Ranu Pani adalah jalan berplester kasar yang menanjak dan menikung di sana sini. Sekelilingnya dikelilingi oleh jurang dan perbukitan yang tampak hijau oleh pepohonan yang lebat. Melihat hutan lebat, saya selalu merasa senang dan berharap, mereka terus bertahan, tak terusik ketamakan manusia. Tapi pemandangan yang agak miris juga terlihat di beberapa sudut. Bukit-bukit yang dirambah untuk lahan pertanian. Takjub melihat bagaimana orang-orang nekad memanfaatkan tanah di tempat yang demikian curam seperti itu.

Sambil menikmati perjalanan, kami mengobrol dengan sopir Jeep, seorang lelaki tegap berkulit gelap dan bertato yang usianya mungkin di pertengahan 30-an atau mungkin awal 40-an. Teman baru saya, antusias bertanya  tentang bagaimana pendakian ke Semeru. Si sopir mengaku bahkan dia belum pernah mendaki Semeru, paling banter hanya sampai Ranu Kumbolo. Teman saya tampak surprise. Bagaimana ada orang yang begitu dekat dengan Semeru tapi malah belum pernah mendaki? Saya diam saja. Tentu saja tak perlu heran. Si Bapak yang lahir dan seumur hidup tinggal di daerah itu, mungkin tak melihat ada sesuatu yang istimewa dengan gunung. Dia mungkin juga selalu disibukkan dengan hidup yang penuh kerja keras. Untuk apa menambah 'penderitaan' lagi dengan mendaki gunung?


Sekitar jam 3, kami sampai di Ranu Pani. Rumah-rumah beton mungil yang dikelilingi kebun-kebun sayuran yang tampak telanjang dan berdebu. Sekali lagi saya merasa takjub, bagaimana setelah melintasi hutan dan jurang-jurang curam, ada sebuah kehidupan yang semarak. Luar biasa membayangkan bagaimana orang-orang pertama dulu, menemukan tempat ini dan membangun peradaban di sini.

Di Ranu Pani, sang panitia sibuk mengurus surat ijin masuk untuk kami. Kami cukup beruntung karena tadi saya bertemu serombongan anak muda yang batal naik Semeru gara-gara kuota yang dibatasi, hanya 500 orang per hari. Sementara panitia mengurus simaksi, kami mengisi perut karena sedari siang tadi belum makan. Warung-warung makanan, mulai dari nasi rames, rawon hingga bakso yang berderet di Ranu Pani. Rasanya? Standar lah.

Menuju Ranu Kumbolo
Sekitar setengah empat, baru kami beranjak. Di pintu pos pendakian pertama, kami dihadang beberapa orang berkaos hitam yang menamakan diri volunteer Semeru. Mereka bertanya pada kami bahwa kami sudah seharusnya membawa perlengkapan yang memadai seperti sleeping bag, matras dan tenda. Bahkan ada kesan mereka akan membongkari tas kami, meski itu tak mungkin mereka lakukan. Mereka berpesan dengan nada agak emosi, agar kami jangan sampai meninggalkan sampah di Semeru, jangan buang air besar sembarangan. Lalu ia juga mengingatkan bahwa kemungkinan kami tidak akan diperbolehkan sampai di puncak karena kondisi Semeru yang belum stabil. Pernyataan ini membuat kebanyakan dari kami ciut.

Setelah sekitar 15 menit, kami boleh melanjutkan perjalanan. Saya dan tim saya merasa agak kecewa demi mendengar bahwa kemungkinan kami tak bisa sampai puncak. Meskipun ketika berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun, harapan kami kembali muncul karena mereka mengatakan sudah sampai puncak.
Matahari pagi yang membelah bukit di Ranu Kumbolo


Sedianya, kami akan bermalam di pos 4, Ranu Kumbolo. Perjalanan ke Ranu Kumbolo memakan waktu sekitar 4 jam. Jalanannya cukup landai. Dan meskpun jalan setapak, tapi cukup bersih dan lebar, pertanda begitu sering dilewati. Pengalaman dari mendaki beberapa gunung, saya pikir jalanan ini termasuk paling mudah. Saya membatin, wajar juga kalau tim 5 Cm 'mampu' syuting di Semeru. Meski begitu saya tak ingin takabur, masih panjang perjalanan yang harus ditempuh dan saya tak tahu seperti apa kondisi medan selanjutnya.

Meski cukup landai, tapi rute ke Ranu Kumbolo sepertinya cukup panjang karena hingga malam menjelang, belum ada tanda-tanda bahwa kami akan segera sampai. Penyesalan berikutnya saya alami karena perlengkapan yang tidak memadai. Saya tidak membawa head lamp, dan senter tangan ternyata cukup merepotkan karena seringkali tangan harus berpegangan pada tebing atau akar-akaran. Belum lagi udara dingin yang mulai menusuk tulang. Meski tubuh saya masih terasa hangat, tapi tangan dan wajah saya terasa kaku dan kebas. Satusatunya penghiburan adalah hamparan langit yang bertabur ribuan bintang. Indah sekali. Inilah salah satu hal yang saya rindukan dari gunung.

Sekitar jam 8, akhirnya kami melihat titik terang. Pendaran cahaya dari lampu-lampu tenda yang seperti suasana pasar malam. Pos 4,Ranu Kumbolo. Saya sudah tak sabar membayangkan berbaring dan mendekam di dalam tenda. Melepas penat dan menghangatkan badan.

Karena beberapa teman satu tim masih tertinggal di belakang, kami memutuskan untuk menununggu di pos yang agak hangat. Bergabung dengan rombongan mas-mas yang sedang memasak nasi, numpang menghangatkan diri. Si Mas dari Surabaya, mengaku sudah beberapakali ke Semeru, tapi seringnya ia hanya bermalam di Ranu Kumbolo. Alasannya, ia selalu tak pernah bosan melihat matahari terbit di antara celah bukit di Ranu Kumbolo. Saya pun jadi penasaran, memang seindah apa?

Mas-mas itu berbaik hati menawari kami untuk meminjamkan peralatan masaknya agar kami bisa memasak mi instan, karena kami memang sudah kelaparan. Dan itulah yang kami lakukan. Makan mi instan dalam keadaan perut kosong sama sekali bukan ide yang bagus dan tak akan saya lakukan dalam keadaan normal. Tapi kami tak punya pilihan. Saya menyesal karena tak sempat membeli beberapa roti yang lebih bermanfaat mengganjal perut.

Sembari memasak, kami mengobrol dengan si mas-mas. Saya tanya, apa selalu seramai ini orang yang ke Semeru? Tidak. Hanya bulan-bulan tertentu saja.Utamanya Agustus dan Tahun Baru. Dan si Mas mengeluhkan betapa tarif Semeru sekarang begitu mahal. Dulu hanya Rp. 10.000, cukup sekali membayar untuk sekali masuk. Sekarang, sudah naik, dihitung per hari pula (ongkos saat pendakian ini Rp. 17.500/hari).

Tak berapa lama, tim lain datang. Dalam keadaan menggigil kami membangun tenda, di tanah melandai di pinggiran danau. Cukup ramai di sana, Mungkin ada 50an tenda. Belum termasuk yang di seberang danau yang juga terlihat lebih ramai. Saya pun paham tentang pemberitaan bahwa berduyun-duyun orang ingin mendaki Semeru.

Malam yang Beku di Ranu Kumbolo
Begitu tenda selesai, kami langsung menutup pintu dan bersiap mendekam di dalam tenda. Penyesalan berikutnya, saya dan teman saya tak membawa matras dan sleeping bag. Beberapa kali mendaki saya memang tak pernah membawa alat-alat itu karena tak ingin keberatan beban. Selama ini, jaket tebal saja cukup. Tapi agaknya tidak dengan Semeru. Lantai tenda terasa dingin bukan main dan meski saya sudah mengenakan dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki dan sarung andalan, rasa dingin tetap menembus sendi dan tulang saya.  Saya memang sempat membaca bahwa suhu di Semeru pada musim kemarau seperti ini bisa sampai minus. Saya mulai cemas, bagaimana bisa tidur dalam kondisi sedingin ini? Saya merasa iri dengan teman dari Jakarta yang tampak nyaman dengan matras dan sleeping bag-nya. Saya iri membayangkan kehangatan. Dia memang masih pemula tapi justru lebih waspada. Dia mengaku menyewa semua perlengkapan mendakinya dalam paket lengkap.

Setelah bertarung melawan dingin, akhirnya saya bisa terlelap meski sebentar-sebenatar terjaga karena terpaan dingin yang tak tertahankan. Keramaian masih terdengar di sekeliling. Orang-orang yang tertawa dan bercanda, tapi anehnya, tak terdengar satu denting gitar pun, suara yang biasanya mewarnai suasana pendakian seperti ini. Mungkin karena udara yang terlalu dingin sehingga membuat orang enggan menyanyi. Atau mungkin juga ada aturan untuk tak bernyanyi-nyanyi karena bisa menganggu ketenangan satwa yang beristirahat?
Ranu Kumbolo yang permai

Agaknya, bukan saya seorang yang merasa kedinginan, karena beberapakali terbangun saya mendengar gigil dari tenda-tenda sekitar. Meski ada juga dengkur pulas yang lagi-lagi membuat saya iri.

Entah bagaimana akhirnya saya bisa terlelap menjelang dini hari dan terbangun oleh keriuhan pagi. Di luar, masih remang-remang. Saya teringat cerita mas-mas semalam, tentang matahari terbit yang membuatnya kecanduan. Tapi rasa dingin mengalahkan rasa penasaran saya untuk beranjak dari tenda. Saya tak sanggup membayangkan dingin seperti apa di luar sana.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar