Laman

Jumat, 26 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (II)

26 Desember: Bangkok City Tour

Mencoba Transportasi Sungai Chao Praya
Bangun pagi dengan badan lebih segar. Rencana pagi ini, ke tempat-tempat wisata di Bangkok, Grand Palace dkk. Saya ngajuin opsi: mau naik boat, tuk tuk atau taksi? Dari info yang saya baca, naik tuk-tuk bisa 50 bath-an.  Mahal, tapi nggak ada salahnya nyobain transport lokalnya Bangkok ini. Tapi akhirnya kami milih nyobain boat aja, apalagi dermaganya (pier) juga nggak jauh.

Kami cukup jalan kaki keluar gang kecil dekat Penginapan Bella Bella, lalu menyeberang ke dekat Navalai Hotel, nha, dermaga boat ada di gang kecil di sebelahnya. Awalnya kami ragu, karena gangnya begitu kecil dan ada beberapa bapak-bapak berseragam kayak tukang ojek. Ini dermaga apa pangakalan ojek? Tapi kemudian ada papan petunjuk kecil yang membuat kami yakin bahwa di situlah dermaganya.

Gangnya kecil banget, nyaris kumuh, penuh bendera-bendera plastik yang digantung. Bendera Thailand dan bendera kuning,  bendera kerajaan. Ketika kami melintasi bapak-bapak berseragam ojek itu, mereka cuek saja. Hmm, ini bedanya Indonesia sama Bangkok. Kalau di Indonesia pasti orang-orang seperti itu sudah reseh nanya ini itu. Tapi mungkin juga karena mereka mengira kami orang lokal, hihi..

Di depan kami terhampar Sungai Chao Phraya berlatar gedung-gedung perkotaan yang menjulang. Airnya terlihat cukup jernih dan bersih, mengingatkan saya pada Sungai Musi di Palembang. Tapi tetap saja, anyir.

Ada peta dekat dermaga yang nggambarin line boat. Tapi tulisannya keriting, pakai huruf Thai. Hadeh. Apa maksudnya? Dermaga sepi. Ada Ibu-Ibu sama Mas-Mas yang lagi mau buka lapak, sepertinya tempat jual tiket atau apa. Kami bertanya: Gimana beli tiketnya? Boatnya yang mana? menjelaskan dalam Bahasa Inggris sambil nunjuk peta. Saya bingung dengan logatnya yang belibet. Untung teman saya yang katanya terbiasa dengan logat Inggris Asia, bisa menangkap kata-katanya: beli tiket di boat, no sekian. Ooh...

Kami menunggu beberapa waktu. Kapal penuh sesak. Orang-orang berebut naik. Kami agak ragu, nanya ke kondektur kapal. Wat Arun? Iya katanya. Kami naik. Berdesakan. Sepertinya kapal salah satu transport umum masyarakat sini. Salut sih, karena ini angkutan praktis yang bebas macet. Kota-kota besar di Indonesia hampir semuanya di belah Sungai Besar, sayangnya jarang yang manfaatin buat jalur transportasi. Pemerintah sibuk menggalakkan tranportasi darat yang rentan macet. Sedih.

Kondektur mulai beredar buat nagihin ongkos. Wat Arun. Ujar saya sambil menyerahkan lembaran bath. Lupa saya berapa harga karcisnya. Tapi seingat saya lebih mahal dari ongkos bis. Kapal melaju.

'Nyasar' ke Wat Pho
Pas sampai di dermaga yang dimaksud kami turun. Dermaga kayu sederhana saja, nyaris reyot. Di seberang sungai, terlihat stupa kuil menjulang. Wat Arun? Loh ternyata masih di seberang toh? Sepertinya kami harus naik boat lagi ke seberang, tapi kami memutuskan jalan keluar dermaga saja. Ada pasar kecil yang tampak sangat tradisional. Dan di ujung jalan, ada Wat Pho yang megah. Saya membaca memang Wat Pho, Wat Arun dan Grand Palace berdekatan, tapi saya tak menduga sedekat ini. Kami memutuskan untuk ke Wat Pho.
Gerbang Wat Pho


Di pelataran, ternyata ramai sekali. Banyak remaja berseragam sekolah. Mungkin mereka lagi study tur. Juga ada beberapa turis mandar-mandir. Di dekat pintu masuk, ada loket penjual tiket yang memasang tarif masuk 100 bath atau 200 bath gitu. Lebih mahal dari yang saya baca di info internet yang kalo nggak salah cuma 50 bath. Tadinya kalau 50 bath saya mau saja, tapi 100 bath agak terlalu mahal dan kurang worthed. Saya pikir kuil ya begitu-begitu saja, kecuali bahwa di sini ada patung Buddha tidur, katanya. Kami urung masuk.
Jus buah delima yang menggiurkan :P

Ada banyak pedagang kaki lima di trotoar depan wat. Ada penjual rebus-rebusan: kacang rebus, ubi rambat rebus, kedeleai rebus...itu mah banyak di Indonesia. Yang agak beda penjual jus delima yang terlihat menggiurkan. Kami beli satu botol. 40 bath. Agak mahal, karena botolnya kecil saja. Kami foto-foto sebentar kemudian ke Grand Palace yang cuma di seberang jalan.

'Menggemporkan' Kaki di Grand Palace
Well, memang seberang jalan, tapi dikitari tembok dan kami harus berputar cukup jauh untuk sampai ke pintu masuknya. Mana matahari panas menyengat. Mengira bahwa bulan Desember, cuaca di Bangkok akan seperti di Indonesia, musim hujan adalah salah besar. Di sini Desember adalah kemarau.

Di pintu masuk Grand Palace, ada penjaga yang siaga di depan. Lucu dan kasihan melihat mereka harus berdiri tegak setiap hari begitu. Bersamaan dengan kami, rombongan turis berjubel. Mulai dari serombongan turis berwajah oriental, hingga bule-bule. Belum lagi rombongan anak-anak sekolah. Benar-benar ramai luar biasa.

Teman saya, Vince, sempat di tahan petugas karena pakai celana pendek. Beberapa orang yang berpakaian minim juga ditahan. Ternyata itu hal yang dilarang ketika masuk Grand Palace. Nggak boleh pakai celana pendek, rok pendek, celana yang terlalu ketat, baju yang terlalu terbuka...tapi tenang saja, pihak pengelola Grand Palace akan meminjami sehelai kain panjang yang bisa dipakai untuk rok dengan memberi deposit 200 bath. Nanti uang itu bisa diambil ketika mengembalikan kain. Di satu sisi, ini kesannya konservatif dan terlalu mencampuri urusan orang berpakaian, tapi di sisi lain saya pikir itu bagus buat negasin sikap 'dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.' Belakangan, saya dengar cerita teman saya yang mengunjungi beberapa tempat di Thailand ada peraturan nggak boleh pakai bikini atau pakaian terlalu terbuka buat turis-turis. Kalau di Indonesia dibuat aturan seperti itu, tentu nggak akan ada orang yang reseh kalau ada bule-bule setengah telanjang.

Untuk masuk ke Grand Palace, kami harus beli tiket seharga 400 bath! Ini juga lebih mahal dari yang kubaca yang cuma 350 bath. Apa karena ini musim turis atau memang beneran sudah naik? Tapi kali ini, bagi saya cukup worthed. Grand Palace adalah ikonnya Bangkok. Rugi kalau sudah jauh-jauh ke sini nggak masuk ke dalam.

Pas di pintu masuk, ternyata ada pintu khusus buat orang Thai yang free. Saya iseng bilang ke teman saya, kalau kita cuek lewat pintu itu, mungkin orang akan percaya saja. Tapi teman saya bilang, nanti kita bisa kehilangan lebih besar hanya karena nggak mau bayar jumlah yang kecil. Saya juga percaya hukum karma semacam itu.
Hmm, megah ya?

Grand Palace benar-benar terkesan megah. Sepuhan warna keemasannya berkilauan di timpa cahaya matahari. Saya teringat Candi Borobudur. Dulu saya sering berpikir, Candi Borobudur adalah mahakarya. Tapi di Grand Palace, saya akhirnya sadar bahwa ada banyak mahakarya di dunia ini.

Museum Ratu Sirikit: Sederhana tapi Terjaga
Area Grand Palace luas betul. Selain kuil, ada museum senjata yang penuh beraneka macam senjata mulai dari tombak, kujur, pedang...lagi2 nggak boleh foto-foto di sini. Lalu di dekat pintu keluar ada Museum Tekstil Ratu Sirikit, istrinya Raja Bumibhol. Penasaran, kami iseng-iseng masuk. Sekalian manfaatin tiket karena sudah bayar mahal-mahal rugi rasanya kalau disia-siakan. Adem banget di dalam.

Di dalam museum, ada koleksi bajunya Ratu dan ruang diorama yang memperlihatkan perjalanan Sang Ratu waktu melakukan kunjungan-kunjungan penting dengan baju-bajunya. Lagi-lagi nggak boleh ambil foto di sini. Menurut saya sih sih nggak terlalu istimewa. Pakaian tradisional Indonesia jauh lebih kaya dan indah. Tapi saya pikir bukan di situ intinya. Ini adalah bagaimana negara ini begitu mencintai dan bangga dengan produk negerinya. 

Setelah ngadem dan melihat-lihat, kami turun. Pas di bawah, petugas mempersilakan kami masuk ke ruang eksibisi. Disana boleh foto-foto, katanya. Hmm, boleh juga. Kami kira ruang apa, ternyata ruang kecil dengan gambar-gambar proses pembuatan sutra. Meski boleh foto, tapi obyek fotonya terbatas. Pendeknya, segala sesuatu di sini sederhana saja, tapi dikemas dengan begitu rapi dan wah.
Lapangan di sekitar Grand Palace yang teduh dan asri

Kami keluar, disambut matahari tengah hari. Lapar mendera. Dimana kami bisa mencari makan? Kami menyeberang ke lapangan yang cukup teduh dengan rerimbunan pohon. Ada beberapa penjual kaki lima di pinggiran. Pilihannya ada nasi dengan ikan dan ada yang dengan daging babi. Satu porsi 40 bath. Saya ambil yang pakai ikan sambal. Rasanya standar. Sebenarnya masakan Thailand nggak terlalu berbeda dengan masakan Indonesia, tapi saya merasa ada bumbunya lebih kuat sehingga agak membuat eneg kalau terlalu banyak.

Menunggu Bus No. 70
Perjalanan selanjutnya, ke Vinanmek Mansion. Ke sana kami bisa masuk gratis dengan modal tiket terusan dari Grand Palace. Kami tanya ke tourist center yang ada di dekat situ. Mas penjaga menjawab dengan logat Thai yang belibet. Intinya, tunggu aja di halte dekat situ dan naik bus no 70. Oke. Thanks. Kami berjalan ke halte dan menunggu. Semenit, 5 menit, 15 menit, setengah jam...bus yang kami tunggu tak juga lewat. Kami mulai merasa jenuh. Jangan-jangan kami salah informasi. Mungkin kami nyobain tuk-tuk aja kali ya? Teman saya mberhentiin tuk-tuk: 100 bath. 50? tawar kami. Tidak mau. Kami garuk-garuk kepala. Tak tahu seberapa jauh Vinanmek.


Ibu-ibu di sebelah kami yang sepertinya juga nunggu bus dari tadi, bertanya dengan ramah:
    'Mau kemana?'
     'Vinanmek.'
    'Coba saya tanya, bus nomor berapa. Tolong jaga barang-barang saya, ya?' ujarnya, meninggalkan barang-barangnya. Sepertinya dia baru belanja.
    'Naik bus no 70,' ujarnya, beberapa waktu kemudian setelah kembali. Hmm, kalau itu sih kami juga tahu, Bu. 'Nanti naik bareng saya saja, saya juga naik no 70,' tambahnya. Ibu itu benar-benar ramah. Dia mengaku hanya bisa Bahasa Inggris sedikit-sedikit, tapi dia berusaha mengajak kami mengobrol. Wajahnya sederhana seperti kebanyakan ibu rumah tangga, dengan beberapa noda kehitaman terbakar matahari di wajahnya. Tapi dia terlihat cukup pintar.

Setelah beberapa waktu dan bus tak kunjung datang, si Ibu menyarankan kami naik taksi saja. Nggak terlalu mahal, katanya. Kami hampir saja menuruti saran si Ibu, tapi kemudian bus No 70 datang. Si Ibu mengajak kami bergegas naik. Dia juga yang memesankan pada kondektur dimana kami akan turun. Ongkosnya, 6 bath.
Busnya tua, tapi bersih


Busnya tua dan kusam tapi ternyata didalamnya cukup bersih dan segar. Jendelanya dibiarkan terbuka setengah semua dan nggak ada yang merokok. Jadi cukup nyaman. Sayang, jalanan macet dan hawa panas menguar. Setelah terkantuk-kantuk sekitar setengah jaman, kami sampai di Vinanmek. Say good bye dan berucap terimakasih sama si Ibu. Si Ibu tampak senang dan mengucapkan have anice time sama kami. Uuuh, baik banget ya si ibu.

Vianmek Mansion: Syarat Masuk yang Ribet
Masuk Vinanmek lebih ribet. Nggak boleh pakai celana pendek juga dan kali ini kainnya harus beli, nggak bisa sewa kayak di Grand Palace. Harganya 50-100 bath. Tergantung jenis kainnya. Teman saya memilih nggak masuk daripada beli karena corak kainnya tidak menarik. Tas, kamera hp, harus dititipkan di loker. Katanya sih free, tapi ternyata kuncinya bayar 20 bath. Kami jalan ke bangunan bercat kehijauan, Vinanmek Mansion. Eh, belum. Alas kaki juga harus dilepas. Pokoknya kami masuk dengan tangan kosong. Ada petugas yang siap siaga memeriksa di pintu masuk. Teman saya, Mbak Tyas, ternyata lupa mengeluarkan hp-nya dari saku celana. Nggak boleh dibawa. Padahal itu hp odong-odong, nggak ada kamera, nggak ada fasilitas recording...terpaksa dia balik lagi buat nitip di loker. Duh...

Rumah Vianmek adalah rumah panggung kayu dengan didominasi cat hijau muda. Foto-foto hitam putih tua terpajang di dinding. Keterangannya, semua dalam tulisan Thai yang keriting. Nggak ngerti. Mungkin itu foto si Vinanmek waktu kecil dan muda. Tampangnya khas Melayu. Mungkin dia anak bangsawan atau apa. Saya belum sempat membaca sejarahnya. Di ruangan sebelah, ada beberapa petugas berseragam sibuk membersihkan karpet. Ada banyak sekali petugas berseragam di rumah ini. Dan saya berpikir, mereka akan membersihkan setiap sudut rumah ini setiap waktu karena sepertinya tak ada sebutir debu pun dibiarkan menempel. Luar biasa. 

Segerombolan anak sekolahan berjilbab menyeruak masuk. Ada guide dengan Bahasa Thai. Lalu masuk rombongan lagi. Ruangan jadi penuh. Saya merasa tak nyaman. Teman saya tak muncul-muncul. Saya mutusin jalan sendiri, menyusuri bentangan karpet merah yang dihamparkan sepanjang koridor. Bersih dan lembut.  Mengitari ruang demi ruang. Ada berbagai perabot antik dan mewah. Ada piano tua. Semuanya hanya bisa dilihat dari balik kaca. Semuanya terlindung. Hawanya dingin oleh pendingin ruangan. Ternyata rumahnya cukup besar. Ada banyak ruangan. Saya terus bertanya-tanya dalam hati, seberapa berharganya rumah ini sehingga dijaga sedemikian rupa?

Keluar saya bertemu teman saya dan dia mengeluh karena harus bayar lagi 20 bath. Wah, pintar memang orang di sini. Masuknya gratis tapi bayar ini itu.
Ananta Throne Hall yang megah
Ananta Throne Hall: Sama Ribetnya
Dari Vinanmek, kami jalan. Kami berniat ke Ananta Throne Hall yang menjadi bagian komplek ini, sebuah bangunan serupa kastil di negeri-negeri dongeng. Tiket Grand Palace juga masih berlaku di sini. Tapi syarat masuknya lebih ribet: harus pakai kain panjang. Celana panjang tak bisa. Dan harus beli, 50 bath. Sebenarnya sih bukan jumlah yang besar, tapi kainnya kain polos biasa saja. Kalau kainnya bermotif sih saya mau saja beli. Di sisi lain, dompet kami titipkan di luar jadi harus jalan keluar lagi untuk ambil uang. Kaki sudah pegal bukan main. Akhirnya kami memutuskan untuk batal saja. Mbak-mbak berseragam bicara dalam Bahasa Thai, saya bingung. Saya bilang saya bukan orang Thai dan harus ngambil uang diluar. Dia baru ngeh. Kami keluar dan memutuskan pulang saja. Ribet.

Bapak Baik Hati
Kami berniat ke pasar malam, Suam Lum Night Bazaar di daerah Lumphini. Kami keluar, nanya ke orang-orang bagaimana cara kesana, tapi pada bingung. Lalu Bapak-Bapak berwajah Chinese menghampiri kami dan dengan ramaha bilang, kalau kami bisa naik bus 70 lalu turun di victory monument, terus naik 49 atau berapa gitu. Karena dilihatnya kami bingung, akhirnya dia bilang,
    'Bareng saya saja. Saya temenin.' Maksudnya dia nemenin kami? Aduh. Kok jadi merepotkan. Tapi mudah-mudahan maksudnya cuma bareng saja, sekalian.

Seperti halnya ketika kami hendak kesini tadi, menunggu bus 70 memang lama. Kami mikir untuk naik taksi. Tapi mungkin terlalu jauh dan mahal. Setelah mungkin sejaman menunggu, bus baru nongol, si bapak ngajak kami naik. Setetalh beberapa waktu,  si bapak ngajak kami turun. Lalu dia ngajak kami cari bus berikutnya. Istrinya ternyata bareng dia, terseok-seok di belakang dan akhirnya disuruh nunggu. Dia sepertinya memang khusus turun untuk mengantar kami. Dia bawa kami nyeberang dan kasih catatan dalam tulisan Thai beserta no bus yang harus kami naiki.
    'Ini nanti kasih aja ke kondektur,' ujar dia sebelum kami berpisah. Kami mengucap banyak terimakasih. Ya ampun...baik banget! Benar2 mengharukan kebaikan orang Thailand ini!

Ketika bus datang, seperti pesan si Bapak, kami kasih catatan ke kondektur dan dia ngangguk-ngangguk. Bus melaju menyusuri jalanan Bangkok yang cukup padat. Lalu lintas ramai dan macet.  Suara bus menderu-deru, tapi lajunya tak terlalu kencang. Saya terkantuk-kantuk, pengin banget tidur, tapi takut kalau tidur kelewatan. Lewat Siam Mall, lewat Chulalongkorn...kemarin hingga siang ini saya  berpikir kalau nggak ada gedung pencakar langit di Bangkok kayak di jakarta, ternyata dugaan saya salah. Semakin ke tengah kota, terlihat gedung-gedung menjulang dimana-mana. Udara juga mulai terasa pengap oleh polusi. 

Terdampar di Lumphini & Seafood yang Yummy
Matahari sore jingga bersinar. Perjalanan sepertinya cukup jauh. Saya khawatir jangan-jangan si kondektur lupa mengingatkan kami. Ternyata nggak. Dekat Lumphini dia mendekat dan bertanya:
    'Lumphini?'
    'Ya.' Dan turunlah kami di Lumphini. Daerah pertokoan dengan trotoar penuh pedagang aneka makanan dan souvenir. Dimana pasar malamnya? Nha lho, nggak ada tanda-tanda. Kami menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Masih tak ada tanda-tanda. Akhirnya nanya ke Ibu-Ibu berseragam (mungkin PNS) yang lagi ngobrol dengan penjual makanan pinggir jalan. Dia ramah, tapi jawabnya pakai bahasa Thailand. Yah, bagaimanapun sepertinya cukup sulit membedakan kami dari Orang Thailand kebanyakan karena memang berasal dari ras yang sama.  Ketika akhirnya saya tanya Suam Lum Night, dia bilang,
    'No-no,' Saya agak bingung. Maksudnya nggak ada lagi ya? Dan memang begitu kenyataannya: pasar malam di Lumphini sudah tidak ada lagi.
Nemu kedai seafood yang nyam-nyam


Oke, karena sudah terlanjur sampai di sini dan lapar, kami memutuskan untuk mencari makan. Kami mneyusuri emperan toko yang penuh pedagang kaki lima. Banyak makanan serupa jajanan pasar, tapi kami butuh sesuatu yang bisa mengganjal perut. Akhirnya masuk ke gang yang nampak semarak. Tapi kebanyakan makanan yang dijual bermenu babi. Ketika lewat penjual seafood yang nampak segar menggiurkan, kami memutuskan untuk mampir. Ada aneka sup ikan dan jamur. Hmmm...saya pesan sup jamur pakai ikan, si Vince pesan sup jamur dan Mbak Tyas seafood. Dimakan selagi panas, rasanya menyegarkan dan memuaskan perut. Penjualnya sepasang suami istri yang ramah. Harganya 50-60 bath. Sepertinya jualan itu cukup laris karena banyak pelanggan datang dan pergi.

Kembali ke Khaosan
Usai makan, kami jalan menuju stasiun MRT untuk ke Hualamphong. Tiketnya 20 bath. Stasiun sepi banget, sepertinya jarang orang yang naik MRT. Mungkin karena MRT cuma menjangkau beberapa spot dan juga ongkosnya lebih mahal.

Dari Hualamphong kami keluar stasiun dan mencari bus no 53 jurusan Khaosan Road. Setelah beberapa menit menunggu, bus datang. Bus membelah jalanan malam kota Bangkok yang gemerlap. Pas lewat China Town, saya melongokkan kepala. China Town tampak semarak dengan lampion-lampion merahnya. Orang-orang yang berjubel di pinggir jalan. Sepertinya ada banyak kuliner enak disini. Agak nyesel juga, coba tadi ke situ aja?
Chinatown


Lalu lewatin pasar bunga yang penuh bunga. Sepertinya bunga jadi komoditi utama di sini karena orang-orang butuh buat sesaji. Hampir di semua sudut ada sesajen bunga-bunga di sini. 

Lokasi itu sudah dekat Khaosan. Tapi pas mau turun kami agak disorientasi. Ini bus lewat sebelah mana ya? Sebaiknya turun dimana? Akhirnya, daripada kelewatan kami turun di halte yang agak jauh saja. Yah, lumayan untuk memperparah pegel di kaki :)

Sampai di penginapan, kami menyempatkan diri singgah sebentar di travel agent di dekat meja resepsionis untuk pesan tur buat ke floating market besok pagi. Berdasar info panduan, kalau mau wisata ke pasar terapung, mending lewat travel agent saja daripada jalan sendiri karena jatuhnya bisa lebih mahal. Lagipula lebih simple meski mungkin unsur petualangannya jadi kurang. Tokh kami juga nggak punya banyak waktu disini.

Si mbak menawarkan dua paket ke floating market Damnoen Saduak: setengah hari ke floating market saja, 300 bath. Seharian sampai ke Tiger Temple 500 bath. Saya usul ke teman-teman, kalau masih mau belanja-belanja, mending setengah hari saja. Semua setuju. Jadi kami ambil yang setengah hari. Besok mulai jam 7 pagi. Oke. Jam 7 kurang 10 sudah disini. Oke.

Sebenarnya, 300 bath mungkin agak mahal karena yang saya baca bisa 250 bath. Tapi kami sih mikir praktisnya saja.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar