Laman

Jumat, 26 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (III)

27 Desember: Pasar Terapung Damnoen Saduak, Shopping-Shopping

Jemputan yang Jam Karet
Kami bangun pagi-pagi dan bersiap. Ternyata lumayan berat juga bangun pagi-pagi. Salut juga dengan warung seberang jalan yang sepertinya tak pernah tutup.

Jam 7 kurang 10 kami sudah standby. Ternyata belum ada tanda-tanda jemputan. Jalanan masih lengang. Aroma masakan dari kedai makan di depan penginapan sudah menguar. Kami berniat beli sarapan, tapi tak ada yang menarik karena kebanyakan menunya pakai babi. Dua orang biksu dari kuil seberang berkeliling untuk mengambil sedekah. Matahari pagi berpendar di antara dahan-dahan ketepeng. Jalanan tampak basah, sepertinya hujan semalam. Suasana itu terasa begitu menenangkan.
Pagi yang tenang di Soi Rambuttri


Kami menunggu cukup lama. Ternyata sama saja kayak di negeri sendiri, jam karet. Hampir setengah 8 ketika mobil datang. Masuk ke mobil, kami disambut dua orang penumpang --mungkinsepasang suami istri--yang memperkenalkan diri bernama Julie dan Josh dari Malaysia. Lalu mereka mengajak kami mengobrol dalam Bahasa Melayu yang fasih. Katanya mereka sudah pernah bepergian kemana-mana. Ke Korea, ke New Zealand...Sepertinya mereka pasangan yang seru. Meski sudah terlihat cukup berumur, tapi terlihat masih mesra dan romantis. Lihat saja bagaimana kompaknya mereka pakai kaos pink-pink :)

Kami masih menjemput beberapa penumpang yang lain. Ada dua cewek dari Brazil, satu cewek dari Inggris, dan pasangan paruh baya dari Australia...

Mobil meluncur menelusuri jalanan mulus dan nggak macet.  Si guide, seorang perempuan muda, memperkenalkan diri bernama Phi. Dia menjelaskan bahwa perjalanan ke Damnoen Saduak memerlukan waktu sekitar dua jam. Hanya itu. Setelah itu dia nggak cerita-cerita lagi. Malah tidur kayaknya. Mungkin ini pekerjaannya setiap hari dan dia sudah bosan.

Pemandangan di kanan kiri hanya pemukiman-pemukiman yang tak terlalu khas. Semakin ke pinggir, bentang alamnya benar-benar sama dengan di Indonesia. Agak tandus, mirip-mirip daerah pinggiran pantai.

Sekitar dua jam kemudian, kami sampai di Damnoen Saduak,  floating market. Mobil berhenti di pinggir sungai kecil dengan boat-boat kecil yang berisik. Suasananya riuh rendah karena banyak turis. Setelah mengantri boat beberapa waktu, kami naik.
Pemukiman di sepanjang sungai menuju Damnoen Saduak. Bersih ya?

Damnoen Saduak: "Pasar Turis Terapung"
Boat meraung-raung, melaju menelusuri sungai kecil berair coklat dan anyir. Kanan kiri adalah rumah2 penduduk, rumah-rumah kayu panggung sederhana. Benar-benar mirip kayak perkampungan pinggir sungai di Indonesia.

Akhirnya terlihat tulisan 'selamat datang di Damnoen Saduak.'  Tapi mana pasarnya? Dari foto-foto yang pernah saya lihat, saya membayangkan sebuah pasar dengan para penjual bersampan, tapi ternyata ternyata kebanyakan kios-kios berdiri di daratan juga. Banyak boat, tapi bukan pedagang melainkan turis.

Sebelum menyebar, kami diterangin sama Phi. Di sini kami bisa tur gajah atau lihat cobra show. Kalau mau tur gajah atau liat pertunjukan ular, kumpul jam 10.30. Tapi bayar lagi. Untuk tur gajah kalau nggak salah 500 bath. Tapi kalau nggak mau ikut dua tur itu, bisa kumpul di sini jam 11.15. Di dalam, kalau mau naik sampan bayar 150 bath per orang. Oke. Kami sendiri tak berminat ikut dua tur yang lain. Sepertinya nggak terlalu worthed.

Kami masuk ke dalam. Padat sekali. Meskipun tak terlalu berminat, kami akhirnya memutuskan untuk naik sampan. Pendayungnya seorang ibu paruh baya yang cerewet. Sepanjang waktu dia terus teriak-teriak dengan bahasa yang tak kami pahami.
Damnoen Saduak yang super crowded

Sampan dikayuh, menghampiri penjual-penjual souvenir di pinggiran, ada yang pakai sampan juga. Sungai benar-benar padat. Bukan oleh pedagang, melainkan oleh sampan turis. Pedagang di sampan cuma beberapa, menjajakan makanan tentu juga untuk turis: buah-buahan segar yang terlihat menggiurkan, kelapa muda, kue-kue...Saya tak tahu, apa memang sekarang Damnoen Saduak memang sudah jadi atraksi turis semata atau memang ada pasarnya beneran. Seandainya ada, dugaan saya pagi-pagi sekali. Mungkin para pedagang-pembeli di sini sengaja memilih waktu yang tak akan terganggu oleh keriuhan turis.

Di tengah jalan, terjadi kemacetan. Sampan saling bertabrakan. Para pendayung saling teriak dengan bahasa yang melengking-lengking. Berisik. Turis-turis sibuk berfoto di atas sampan, tak terusik oleh keriuhan itu. Panas menyengat. Saya mulai merasa bosan. Perut juga mulai lapar. Akhirnya kami di ajak balik. Ya begitu lebih baik. Mending nyari-nyari souvenir menarik di pinggiran saja. Dan itu yang kami lakukan sekalian nyari makan.

Kami beli beberapa souvenir yang harganya cukup murah. Untuk tas-tas bercorak Thai, dihargai 300-400 bath, tapi akhirnya bisa ditawar 150-200 bath. Saya pikir harga di sini sedikit lebih murah daripada di Khaosan. Penjualnya juga ramah, dan lagi-lagi mengira kami orang Thailand juga.
Buah-buah segarnya menggiurkan :)

Karena kelaparan, kami cari makanan. Ada penjual mie kuah di pinggiran. Tapi sepertinya pakai babi, jadi batal beli. Akhirnya beli sesisir pisang, 20 bath, 5 potong ala kue serabi seharga 20 bath dan satu kantong jambu air yang merah menggoda seharga 50 bath. Tapi masih belum nendang rasanya kalau belum makan nasi. Eh, pas jalan keluar lihat rumah makan yang penjaganya berjilbab, mutusin mampir lah. Dia ngajak bicara bahasa melayu. Mungkin dari Malaysia atau Thailand Selatan. Kami makan, menunya ikan dengan bumbu kental. Satu orang 30 bath. Tak terlalu enak, tapi cukup menenangkan perut :)

Sekitar pukul 11 kami ke tempat bus. Setelah menunggu beberapa waktu, penumpang yang lain datang. Kami pun beranjak pulang. Beberapa didrop untuk lanjutin ke Tiger temple, termasuk pasangan Julie-Josh. Cuma kami dan pasangan tua Australia yang kembali ke Bangkok.

Saya tak terlalu tertarik lagi dengan pemandangan di jalan, jadi memutuskan untuk tiduran saja meski nggak bisa tidur. Damnoen Saduak tak terlalu mengesankan. Mungkin karena sudah terlalu populer jadi lebih sebagai tempat turis daripada pasar betulan.

Kami diturunkan depan Soi Rambuttri. Kami memutuskan pulang ke penginapan dulu karena ribet dengan barang-barang yang kami beli tadi. Hari masih siang,kami masih punya waktu sesorean untuk cari oleh-oleh.

Belanja-Belenji di Pratunam
Setelah istirahat sejenak melepas penat, kami berniat cari oleh-oleh ke Pratunam. Dari Khaosan kami naik bus no 2. Sampai di Pratunam bingung liat dept store di kanan kiri. Bayangan saya semacam pasar, ternyata pusat perbelanjaan modern. Celingak celinguk akhirnya mutusin masuk ke salah satu mall, City Center. Ternyata penuh sama penjual pakaian, jual baju yang cukup murah-murah dengan kualitas bagus: 200-300an bath. Di bawah 100 ribu. Kalau beli 3 lebih murah. Teman saya agak kalap. Saya sendiri tak terlalu tertarik untuk membeli pakaian. Sebenarnya masih pengin liat-liat, tp ternyata jam 7 sudah tutup. Kami segera keluar.

Pratunam

Di luar, masih banyak yang jualan. Kaos tipis yang kami beli di Khaosan seharga 120 bath kemarin, ternyata disitu cuma dihargai 100 bath. Kami masuk ke lorong yang semarak. Ternyata ada night bazaarnya meski barangnya nggak terlalu khas. Tapi di sini memang lebih murah. Ada kaos bertuliskan Thailand dengan bahan yang cukup bagus cuma 100 bath. Beberapa souvenir satu paket berisi 5 buah, juga dihargai 100 bath. Untunglah persediaan bath kami sudah tipis sehingga tak bisa lebih kalap belanja. Kami segera memutuskan untuk pulang. Eh, disorientasi arah lagi. Kami salah arah menunggu bus, jadi harus jalan lagi cukup jauh. Pegel.

Eh, sampai Khaosan pakai acara salah salah turun lagi. Kami nyasar masuk ke lorong kecil yang lengang dan suram. Ternyata itu rumah penduduk. Kumuh dan sempit, tapi cukup bersih.  Saya menyempatkan melongok ke dalam rumah-rumah yang berhimpitan. Cuma ambin-ambin dengan perabot sederhana. Mungkin mereka kaum miskin kota. Ironis juga sih ditengah dunia hingar bingar Khaosan road ada kehidupan seperti itu. Tapi yah, that’s life. Kami ikuti lorong makin nyasar. Akhirnya nanya cowok manis yang sedang mbersihin motor. Nyebrang, kata dia. Benar saja. Begitu menyebrang jalan, kami langsung disambut hingar bingarnya Khaosan.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar