Laman

Minggu, 28 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (1)

Jambi-Palembang
sumber: indonesia-tourism.com


Yeah, Babel, finally. Kesempatan itu akhirnya tiba: mengunjungi salah satu tempat yang masuk dalam list to visit. Karena kapal Palembang-Bangka hanya berangkat pagi, jadi saya dan Sasa, teman saya, memutuskan untuk berangkat dari Jambi malam hari, agar tak perlu menginap di Palembang. Perjalanan Jambi-Palembang, normalnya ditempuh 6-8 jam dengan travel. Ada banyak travel yang malayani rute ini. Demi mengirit budget kami memilih travel IMI yang murah meriah. Bayangkan, dengan fasilitas nyaris sama, kami cuma harus membayar Rp. 65000, sedangkan untuk travel biasa harganya Rp. 110.000. Kalau mau lebih murah lagi, sebenarnya bisa naik bus, (kalau nggak salah Rp. 55.000), tapi kami khawatir kalau bus jalannya lebih lambat, dan kami bisa ketinggalan kapal.

Perjalanan Jambi-Palembang cukup lancar. Si Abang Sopir sepertinya pasang gas terus sepanjang jalan dan tahu-tahu kami sudah sampai di Palembang. Di luar masih gelap, saya melirik jam: jam 2 pagi! Whuah...artinya kami masih harus menunggu lama hingga pagi menjelang.

Terdampar di Loket
Begitu turun di loket, abang-abang ojek langsung riuh menawarkan jasa. Sangat menggangu karena bahkan sampai kami duduk di bangku loket, mereka masih terus memburu kami dengan pertanyaan: mau kemana? Kami memilih diam saja. Saya sering mendengar bahwa di Palembang ini banyak orang-orang yang suka mencari-cari kesempatan. Kami khawatir kalau-kalau kami kelihatan tak tahu menahu nanti malah dikerjai.

Loket, seperti umumnya loket-loket transportasi darat di negeri ini, tak nyaman dan sangat alakadarnya. Tapi untung ada beberapa kursi butut yang dihamparkan di teras yang suram dan lusuh. Bersama kami, ada beberapa orang juga yang sepertinya harus menunggu pagi untuk meneruskan perjalanan. Kami memutuskan untuk tidur saja. Tapi ini pun tak terlalu nyaman karena tidur dalam posisi duduk membuat punggung pegal, belum lagi nyamuk yang berdengung-dengung.

Ketika terang menyergap, hujan rintik-rintik mulai turun. Semakin terang bertambah deras. Karena berdasar info kapal biasanya berangkat pukul 7 pagi, setidaknya kami sudah harus berangkat dari loket pukul 6. Tapi bagaimana kesananya ya? Kami bertanya pada ibu-bapak, sepertinya sepasang suami istri, yang juga menunggu bersama kami.

Si Bapak dengan antusias memberi kami arahan bagaimana caranya kami bisa ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Bangka. Tapi belum apa-apa, beliau sudah wanti-wanti supaya kami hati-hati, jangan tanya orang di sini karena itu akan menyusahkan. Waduh, saya mengerutkan kening. Keder. Sepertinya si Bapak memahami kekhawatiran kami, dan memutuskan untuk mengantarkan kami ke loket besar IMI. Menurutnya, di sana biasanya ada bus yang mengantarkan ke pelabuhan.

Loket besar hanya berjarak beberapa meter dari loket yang kami singgahi. Suasananya ramai tapi kumuh, khas tempat dimana kehidupan berlangsung selama 24 jam, penuh dengan orang-orang berwajah lusuh dan kuyu kurang tidur. Bis ke Bangka sudah mau berangkat. Tiketnya: Rp.220.000 untuk kelas ekonomi. Eksekutif sudah habis. Mahal sekali? Menurut info yang kubaca cuma 170-an ribu. Harga lebaran, kata abang penjaga loket acuh sambil mengulurkan kuitansi. Saya mengeluarkan uang Rp. 440.000 sambil meringis. 

Ke Pelabuhan Boom Baru
Kami dibawa dengan mobil kecil dan penuh sesak menuju sebuah kompleks pertokoan, dan berhenti di depan sebuah gedung bertuliskan nama perusahaan penyeberangan yang melayani rute Palembang-Muntok-Tanjung Pandan. Sopir dari loket turun untuk membeli tiket.  dan kemudian membagikannya kepada kami. Saya masih penasaran dengan harga tiket yang menurut saya cukup mahal. Jadi iseng saya masuk dan melihat harga daftar tiket: Rp. 190.000 untuk kelas ekonomi, 220 untuk eksekutif! Wah, sialan. Agak keterlaluan juga mereka mengambil untung untuk jarak sedekat ini: 30 ribu. Inilah penyakit orang-orang di negeri ini yang kadang membuat tak nyaman. Hmmh...

Abang yang tadi menyopiri mobil kami keluar dan membagikan tiket. Ketika sadar tak ada nama tertera, seorang bapak protes: bagaimana kalau terjadi kecelakaan? Tapi sepertinya si penjual tiket cuek saja. Ah, Indonesia!

Shuttle bus membawa kami ke pelabuhan Boom Baru. Pelabuhan itu kecil dan kumuh. Seharusnya kalau kami lebih berani, kami bisa  saja kami langsung cari tiket ke sini tadi, dengan harga normal tentunya. Tapi sudahlah.

Tak ada petunjuk apa-apa di pelabuhan dan orang-orang sepertinya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Petugas cuma mondar-mandir tanpa memberi bantuan apa-apa, malah ada yang sibuk jualan tiket travel dari Muntok. Saya sedikit bingung. Ke arah mana nih ruang tunggunya? Mana penumpang banyak sekali. Kami memutuskan mengikuti ibu-ibu dan dua anaknya yang tadi semobil sama kami karena dia tampaknya orang Bangka. Alih-alih menunggu di ruang tunggu yang memang kecil, penumpang berjubel di koridor keberangkatan.

Ada dua kapal yang sedang sandar. Tenryata yang satu ke Batam dan satunya ke Bangka tapi kapal pagi. Kapal kami yang jam 7 belum datang. Suasana benar-benar tak nyaman dan tak ada yang bisa diperbuat mengenai hal itu.

Setelah beberapa waktu, kapal muncul. Jetfoil berukuran sedang. Belum apa-apa saya sudah miris: apa muat penumpang sebanyak ini? Begitu pintu ke dermaga di buka, penumpang berjubel saling mendahului. Meski kami berada di antrian tengah, pada akhirnya kami menjadi yang paling belakang karena tak bisa cukup agresif bersaing dengan penumpang lain yang terus merangsek ke depan.  Ketika kami menoleh ke belakang, di belakang kami sudah kosong. Agak menyesal juga karena kami harus ikut berdiri berdesakan tadi. Kenapa tak duduk saja dan menyusul belakangan? Hihi...

Kapal yang Overload
Masalah belum selesai begitu memasuki dermaga. Lagi-lagi orang berebut ingin mendahului karena sepertinya kapal tak akan mampu mengangkut semua penumpang. Saya teringat pengalaman di Batam dulu: tiket sudah dibeli bukan berarti jaminan dapat berangkat. Waktu itu sih tiket bisa dikembalikan. Tapi di sini?  Dengan pelayaran yang sepertinya cuma sekali? Apa kami harus menunggu kapal besok pagi? Mengecewakan sekali. Tapi memaksakan masuk juga mengerikan. Banyak kejadian kapal tenggelam karena kelebihan muatan. Miris ketika melihat petugas kapal terus saja memasukkan penunumpang. Dua petugas pelabuhan yang berdiri di tangga diam saja. Apa mereka secuek itu terhadap keselamatan manusia?

Untunglah, beberapa waktu kemudian, petugas kapal mulai mencegah orang masuk kecuali pemegang tiket VIP. Tapi beberapa orang nekad masuk. Suasana mulai agak panas. Lalu seorang lelaki berwajah oriental berseragam kapal memerintahkan untuk menghentikan penumpang masuk. Mungkin dia pemiliknya. Ketika tangga ditarik, beberapa orang berteriak emosi: barang kami! Petugas berteriak balik: ini menyangkut keselamatan!  Pintu ditutup. Meski rasanya cukup kasar, tapi saya pikir lebih baik begitu daripada mengorbankan keselamatan.

Penumpang yang tertinggal masih cukup banyak. Tak ada kejelasan akan diapakan kami. Tapi saya pikir, pihak kapal tak akan tak bertanggung jawab juga karena ini menyangkut kepercayaan. Kemungkinan diikutkan di kapal berikutnya, karena dengar-dengar, sepertinya ada yang jam 12. Sedikit kecewa sih karena artinya kami tak akan bisa langsung ke Belitong hari ini. Konon kapal Bangka-Belitong berangkat jam 2 siang. Tak apalah.

Untunglah, kami ternyata tak harus menunggu lama, karena beberapa menit kemudian, kapal cadangan yang lebih kecil datang. Kami juga diuntungkan karena meski tiket kami tiket ekonomi, kami bebas memilih tempat duduk. Kami memilih duduk di kursi di belakang nahkoda. Waktu kami naik, si nahkoda sedang sibuk merayu seorang cewek berbaju merah. Saya dan teman saya cekikikan melihatnya. Apalagi melihat si cewek sepertinya menikmati digoda si cowok. Mungkin merasa keren digodain nakhoda kapal. Haha.

Kami berangkat sekitar jam setengah sembilanan. Menyusuri Sungai Musi yang berair jernih, lebar dan sepertinya cukup dalam karena nyatanya bisa dilayari kapal sebesar ini, dan juga kapal-kapal lain yang cukup besar banyak yang bersandar. Mencoba membayangkan di masalalu, zaman kejayaan Sriwijaya dulu, ketika kapal-kapal dari berbagai pelosok dunia singgah di sini...Syukurlah sungai ini masih terjaga ‘kualitas’nya hingga kini, karena biasanya kebanyakan sungai besar di masalalu, mengalami pendangkalan sehingga tak bisa dilayari lagi. Tapi Sungai Musi agaknya pengecualian dan semoga akan tetap begitu.

Kami melayari sungai cukup lama. Kanan kiri kebanyakan adalah pepohonan pinggir sungai. Membosankan. Saya tertidur. Sekitar 2/3 perjalanan adalah menyusuri sungai dan 1/3 nya baru memasuki lautan. Meski cuaca agak mendung, tapi ombak cukup tenang. Kapal melaju dengan tenang.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar