Laman

Rabu, 28 Januari 2015

Pulau Berhala, Surga Kecil Yang Menenangkan (3-Habis)

Cuaca Buruk dan Insiden Terdampar di "Pulau Lumpur"
Kami bangun pagi-pagi. Mendapati langit yang mulai terang. Tapi angin masih menderu. dan ini agak mengkhawatirkan. Tentu bukan ide yang baik mengarungi lautan dengan angin sekencang itu. Datuk mengatakan bahwa kami harus menunggu laut tenang untuk pulang. Kami pun menunggu dengan agak gelisah. Bagaimana kalau cuaca semakin buruk dan kami terjebak tak bisa pulang? Meski kalau dipikir-pikir, tak terlalu buruk juga karena tokh kami berdekatan dengan pemukiman penduduk.

Masih menunggu air tenang, kami jalan-jalan ke bukit di belakang Pendopo. Di situ ada makamnya Datuk Berhala, orang yang namanya melegenda sebagai nenek moyangnya raja-raja Jambi. Tadinya kami tak terlalu berminat untuk menziarahinya, karena kuburan kan begitu-begitu saja, ya?

Menaiki beberapa puluh anak tangga, kami sampai di makam. Bangunan kecil dilapis keramik yang retak-retak dan dikelilingi semak-semak. Di atas makam, tertulis kalau Datuk Berhala ini umurnya ratusan tahun. Benarkah? Entahlah. Banyak orang yang membangun mitos untuk menunjukkan powernya bukan?


Sekitar pukul 10 air mulai surut. Angin masih riuh, tapi sudah mulai tenang. Air laut juga masih bergolak, tapi matahari terik bersinar. Kami mulai mengarungi lautan biru. Kali ini, saya tak mulai merasa tenang dan sedikit tertawa ketika speed terlonjak-lonjak. Hingga di tengah lautan, tiba-tiba si Datuk terlihat panik. Ternyata dia salah arah!

Kami mulai ketar-ketir. Waduh, bukannya dia sudah berpengalaman? Tapi, yah manusia bisa saja membuat kesalahan. Boat melaju, menghantam gulungan ombak. Saya menggumam doa. Daratan belum juga tampak, padahal 1 jam sudah lewat. Apakah kami akan terdampar? Apalagi menoleh kiri kanan, tak ada kapal yang melintas.
Terdampar di "Pulau Lumpur" :D

Hingga beberapa waktu kemudian, akhirnya dataran mulai terlihat, saya benar-benar merasa lega. Apalagi ketika kami mulai menyusuri air yang tenang. Eits, tunggu dulu, karena ternyata ini adalah awal yang benar-benar buruk: boat kami kandas di genangan air berlumpur dan tak bisa dinyalakan. Entah bagaimana, si Datuk enggan berputar balik untuk cari jalan lain, malah menyuruh kami turun dan mendorongnya. Awalnya terasa amazing dalam kondisi seperti itu tapi ketika setengah jam berlalu dan kami terus mendorong sementara yang terlihat di depan mata hanya hamparan air, kami pun mulai kelelahan. Akan sampai dimana harus mendorong?

Tiba-tiba langit mendung, dan tanpa bisa dicegah byuuur....hujan turun. Kami masih terdampar di tengah genangan air dan lumpur. Lapar melanda. Tak ada bekal makanan yang memadai. Hanya tersisa popmie. Karena saking laparnya, teman saya nekad merendamnya dengan air dingin. Hahaha.

Nipah Panjang, Dua Jam Kemudian...
Dua jam kemudian, setelah basah kuyup bermandikan lumpur dan air hujan, akhirnya kami sampai di air agak dalam dan boat pun mulai bisa berjalan. Sampai di Nipah Panjang disambut hujan deras sederas-derasnya. Sempat ngeri membayangkan perjalanan sungai yang masih harus kami tempuh. Tapi setelah melewati lautan yang keras, rasanya perjalanan sungai bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Seperti perjalanan ketika berangkat, kami naik boat sampai di Suak Kandis, kemudian disambung dengan mobil sampai Jambi. Menjelang petang kami sampai di Jambi. Karena kelaparan, kami tempat pertama yang kami cari adalah tempat makan. Akhirnya kami memutuskan makan di warung penyetan. Meski rasanya biasa saja, kami makan dengan rakus. Sepanjang sisa perjalanan, kami tak henti tertawa mengenangkan kejadian yang telah kami lewati. Terdampar di lautan lumpur, mendorong kapal, didera hujan benar-benar terasa konyol tapi juga mengesankan. Hmmm, liburan yang menyenangkan! :D ***

Catatan:


* Pada tahun 2011 Pulau Berhala yang dalam status quo. Selama menunggu kepastian, dilarang dilakukan pembangunan di pulau ini oleh kedua belah pemprov. Namun konon Kepri terus melakukan pembangunan dan menurut saya masuk akallah karena memang disana ada penduduk yang bermukim. Keputusan Mendagri nomor 44 tahun 2011, menyebutkan Pulau Berhala masuk wilayah Jambi (Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Timur), namun hal ini kemudian digugat oleh pemerintah Kepulauan Riau dan dimenangkan di MK. Yah, apapun, tokh masih dalam wilayah satu negara. Di bawah provinsi manapun, semoga selalu dilakukan yang terbaik untuk masyarakat di sana.


Rute Jalan dari Jambi-ke Pulau Berhala:

1. naik angkot ke suak kandis (di depan Ramayana): Rp.25.000 (sekitar dua jam)
suak kandis-nipah panjang: naik boat sekitar dua jam (25.000)
nipah panjang-berhala : sewa boat: 1,5-2 juta pp.

2. naik boat dari ancol (belakang ramayana) - nipah panjang: 50-60 ribu sekali jalan.
nipah panjang-berhala: sewa boat: 1,5-2 juta pp.

- Berangkat pagi dari jambi kalau nggak mau nginap di nipah panjang. Untuk penyewaan boat, bisa cari-cari info di belakang WTC. Yang jelas, semakin banyak orang semakin murah.
- Bisa juga naik mobil dari Jambi ke Muara Sabak (ibukota kab. Tanjung Jabung Timur), perjalanan sekitar 2 jam, terus dari Muara Sabak baru nyeberang. Berapa lama dan berapa biaya, saya kurang paham karena belum nyoba dan rute ini juga nggak terlalu populer

*Perjalanan ini dilakukan pada pertengahan tahun 2011. Sekitar dua tahun saya mendengar tentang rencana penyediaan transportasi untuk wisata ke Pulau Berhala oleh Pemkab Tanjabtim, tapi dengan berubahnya keputusan bahwa Pulau Berhala kemudian masuk Kepri, saya nggak tahu apa rencana ini jadi terealisasi atau tidak.



Pulau Berhala, Surga Kecil Yang Menenangkan (2)

Menuju Pulau Berhala
Masih pagi benar ketika kami dibangunkan oleh Datuk (kami tak menyangka bahwa dia akan menjadi guide kami mengingat usianya yang terlihat sudah cukup uzur). Di luar masih gelap. Kami diminta bersiap, karena kita akan berangkat pagi-pagi. kata si Datuk. Meski di perjanjian awal kami sepakat untuk tak disediakan makan, sebagai konsekuensi pengurangan harga, ternyata si Bapak sepertinya tak tega melihat kami dan usai mandi, tahu-tahu kami sudah disiapkan masing-masing seporsi nasi uduk.

Matahari muncul dengan berbinar-binar ketika kami sampai di dermaga. Kehidupan pinggir sungai terasa eksotis sekali di saat seperti itu. Boat melaju, mengarungi sungai. Kali ini saya merasa lebih tenang karena boatnya sedikit lebih besar, dan juga disediakan pelampung. Di sisi lain, mungkin saya juga mulai terbiasa melihat air. Sekitar 15 menit kemudian, terhampar air yang seolah tak berbatas. Laut.
Biarpun cengengesan di depan kamera, sebenarnya sudah ketar-ketir

Laut terlihat tenang tapi semakin ke tengah, saya mulai gelagepan. Boat mulai bergoncang hebat ketika menghantam air beriak. Saya miris membayangkan ketika tiba-tiba boat terbalik dan bluppp....kami terlempar ke tengah lautan yang entah berapa dalamnya. Meski ada pelampung, saya tak tahu seberapa 'ampuh' benda itu bisa melindungi dari kegelapan air. Di tengah hamparan lautan yang seolah tak berbatas, saya benar-benar selalu merasa kecil dan tak berdaya.

Pulau Berhala: Tanah Datuk Berhalo Yang Menjadi Sengketa
Saya menarik nafas lega, ketika satu jam kemudian, terlihat bayangan kelabu sebuah pulau. Pulau Berhala, pulau yang kami tuju. Tadinya saya pikir butuh waktu sekitar 2 jam ke sana, tapi ternyata baru satu jam sudah sampai.


Dalam beberapa menit kemudian, kami sudah melihat hamparan hijau air laut yang tenang dan bebatuan yang bertebaran juga dermaga kayu yang sepi. Kami sudah sampai, disambut pemandangan berupa hamparan daratan yang ditumbuhi alang-alang dan semak, beberapa pohon kelapa yang  menjulang dan bangunan yang terbengkelai. Suasananya terkesan sunyi dan tak terawat. 

Seorang lelaki datang, cukup hangat menyambut kami dan membawa kami ke sebuah bangunan terbuka, semacam pendopo yang memang disediakan untuk para tamu. Di belakang pendopo, ada beberapa rumah kayu yang tampak lengang. Seorang mbak-mbak, istri si lelaki yang kemudian kami ketahui sebagai orang Sunda, ikut menyambut kami. Dari cerita-cerita sambil melepas lelah, kemudian kami ketahui kalau rumah-rumah kayu itu disediakan oleh pemda Jambi untuk mereka yang diharapkan menjadi penghuni pulau ini. Mungkin ada sekitar 10 rumah. Tapi sekarang, hanya tinggal satu yang berpenghuni. Keluarga si Mbak yang tetap bertahan.
Beberapa fasilitas yang dibangun dan terbengkelai

Bisa dimaklumi, tentu berat bagi orang yang terbiasa hidup di Pulau Besar untuk tinggal di pulau kecil nan sunyi dan terisolir begini. Di sisi lain, ada juga beberapa penghuni yang memilih pindah ke bagian lain pulau ini, perkampungan kecil yang disediakan oleh Provinsi Kepri yang menyediakan lebih banyak fasilitas.

Yah, Pulau Berhala memang menjadi sengketa dua Provinsi: Jambi dan Kepri. Saling klaim kepemilikan. Ketika perjalanan ini saya lakukan, pulau masih dalam status quo tapi setelah sebelumnya masuk Prov. Jambi. Secara akses pulau ini memang lebih dekat ke Jambi dan adanya Makam Datuk Berhalo juga menjadi salah satu legitimasinya. Namun menurut peta yang dibuat jaman Belanda, wilayah pulau ini konon masuk ke Kepri. Selama masa status quo, kedua belah pihak dilarang melakukan pembangunan. Namun Kepri gencar menyediakan fasilitas seperti listrik, sekolah dan puskesmas untuk Kampung Kepri. Dan tahun 2013 lalu, akhirnya Kepri memenangkan gugatan di MK. Pulau Berhala pun masuk ke Kepri. Aneh rasanya melihat persengkataan ini, mengingat sama-sama masih dalam satu negara. Saya sendiri tak paham, apa sebenarnya potensi yang tersimpan di pulau ini sehingga terjadi perebutan semacam itu.

Menikmati 'Surga Kecil" yang Menenangkan
Suasana pulau benar-benar terasa tenang ditambah lagi cuaca sangat cerah. Kekhawatiran kami bahwa pulau ini akan ramai ketika musim liburan, ternyata tak terbukti. Sepertinya kamilah satu-satunya rombongan yang berwisata ke sana saat itu.
Pulau Berhala dengan hamparan pantai berair biru kehijauan

Meski matahari pagi sudah begitu terik bersinar, kami segera berkeliling menyusuri pinggir pantai yang sedang surut, melompat dari batu ke batu. Bernarsis ria di depan kamera. Sesekali kami berteduh di balik gundukan karang sambil menikmati ketenangan pantai. Di ujung, ada gundukan bebatuan yang kokoh menjulang, dan berdiri di sana, rasanya menakjubkan. Nyaman sekali duduk di sana berlama-lama, menatap lautan luas yang terasa begitu menenangkan. Saya membayangkan, menyenangkan mungkin menghabiskan beberapa waktu di sini, bermalasan, menatap lautan, menatap langit biru, merasakan hembusan angin beraroma laut, membaca, menulis...hmm...Rasanya benar-benar luar biasa!

Surga kecil yang tenang

Kami kemudian mengelilingi pulau yang memang hanya perlu waktu tak lebih dari dua jam (luas pulau ini hanya 2,5 Km persegi). Kami melewati perkampungan Kepri yang jaraknya cuma beberapa meter dari pendopo Jambi. Suasananya terlihat semarak dan hidup, sebagai umumnya perkampungan nelayan. Kontras dengan bagian Jambi yang terbengkelai.
Lelah berkeliling, kami mampir ke rumah penduduk untuk mencari kelapa muda. Penduduk di sini cukup hangat dan enak diajak bicara. Senang mendengar logat bicara Melayu mereka yang begitu kental.
(Foto oleh Bang Nopri H)

Menikmati kelapa muda yang baru dipetik dari pohon di tengah siang yang terik benar-benar terasa nikmat. Dan karena perut sudah mulai lapar, kami memutuskan untuk kembali ke pendopo yang selanjutnya menjadi penginapan kami. Lagi-lagi, ternyata si Datuk sudah menyediakan makan. Alih-alih menjadi guide, dia justru bak datuk sungguhan bagi kami, memperlakukan kami seperti cucu-cucunya saja.

Kenyang dan kelelahan kami ketiduran.

Sore, air mulai bergerak pasang. Kami memutuskan untuk main air. Mandi-mandi di pinggiran karena saya tak berani ke tengah karena takut tenggelam :(. Kami teriak-teriak, main ciprat-cipratan, lempar-lemparan pasir...bener-bener holiday!
Yeah, it's HOLIDAY!!

Usai mandi sedianya ingin melihat sunset, tapi sunset ada di belakang pulau dan cuaca mendung. Pasti sunsetnya tak akan terlalu bagus. Saya pun memutuskan tinggal di pendopo sementara sebagian dari kami tetap ingin melihat sunset.

Saya dan teman saya kemudian mencari ikan di Kampung Kepri untuk dibakar malam-malam. Sayang tak ada ikan yang cukup bagus, karena yang bagus sudah dijual ke seberang. Tapi cukuplah.

Menjelang malam, ternyata angin bertiup semakin kencang. Langit juga sangat mendung. Kami mulai agak kecewa karena sudah membayangkan alan menikmati malam yang cerah di pinggir laut sambil main api unggun.
Acara bakar-bakar ikan yang alakadarnya karena cuaca buruk

Meski begitu, di tengah angin yang tak henti menderu-deru, kami tetap nekad membakar ikan di celah-celah batu agar apinya tak padam. Usai bakar-bakar, hujan benar-benar mulai turun. Kami menyantap makan malam kami dengan menu ikan bakar ala kadarnya. Rasanya kurang memuaskan, ditambah lagi cuaca yang benar-benar mulai tak kondusif membuat kami memutuskan untuk istirahat cepat-cepat. Apalagi suasana nyaris gelap gulita karena kami hanya mengandalkan penerangan dari lilin (sebenarnya ada genset yang disediakan untuk pengunjung, tapi harus membayar jika ingin menyalakannya). Rencana tidur di tenda juga batal, karena setiap kali tenda di pasang, angin kencang bertiup dan siap menerbangkannya.
(Bersambung)


Pulau Berhala, Surga Kecil Yang Menenangkan (1)

Sulitnya Informasi
Waktu itu, long weekend (Kamis-Minggu) dan suntuk mau bagaimana mengisinya. Rencana pertama memang ke pulau berhala, tapi maju mundur karena minimnya informasi yang berhasil kami dapatkan. Meski namanya cukup populer bagi masyarakat Jambi, tapi ternyata tidak demikian dengan akses ke sana. Satu-satunya cara kesana adalah dengan mencarter speed boat, tapi beberapa teman yang sudah pernah kesana, kerena berombongan tak terlalu paham detailnya. Baik kontak yang menyewakan maupun harganya.

Saya pun kemudian coba browsing di internet, karena berpikir bahwa apa sih zaman sekarang yang nggak ada di internet? Ternyata eh ternyata, sangat sedikit informasi yang tersedia. Paling lebih pada berita tentang sengketa Pulau Berhala atau sejarahnya, tapi bukan tentang bagaimana cara kesana. Dari informasi yang sedikit itu, saya nemu blog yang sangat sederhana, berisi info penyewaan kapal kalau mau ke Pulau Berhala.

Iseng saya telpon, ternyata langsung nyambung.
    "Iya penyewaan kapal ke Berhala," kata Bapak-bapak penerima di seberang. Saya langsung tanya harganya berapa? Setelah penjelasan yang panjang dan terasa bertele-tele ia memberikan harga yang cukup membuat saya ingin segera menutup telepon:
    "Kemarin kita habis bawa juga, untuk rombongan, 50 orang, 27 juta!" Apa?! 27 Juta?! Kepala saya langsung kliyeng-kliyeng. Harga yang gila.
    "Tapi kami cuma 5 orang," Ujar saya. Dan setelah ngomong ini itu, dia berjanji mau mencarikan paket untuk jumlah yang kecil. Meski begitu, saya tetap pesimis bisa dapat harga yang cukup masuk akal setelah penyebutan angka yang fantastis itu.

Peta Pulau Berhala (gambar diambil dari www.fotografer.net)

Persiapan yang 'Mendadak Dangdut'
Saya dan teman-teman kemudian berusaha mencari-cari informasi lagi. Ada seorang kenalan, tapi keteika dihubungi tak diangkat. Kami nyaris menyerah, ketika pagi-pagi, ternyata si Bapak menelpon lagi. Dia menawarkan harga Rp. 800.000,- per orang. Totalnya: Rp. 4000.000. Tetap jumlah yang terasa   terlalu besar bagi kami. Kami pikir, setidaknya Rp. 500 ribu lah per orang. Setelah tawar menawar, akhirnya disepakati harga 650 ribu/orang. Alasannya, mereka harus menyewakan boat yang cukup mahal. Dari paket yang saya baca di internet, biaya sewa boat sebenarnya hanya sekitar 1,5-2 juta, ditambah transport dari Jambi ke Nipah panjang sekitar 150.000 pp. Dan meski harga yang yang disepakati itu mahal, tapi karena kami benar-benar merasa antusias untuk ke Pulau Berhala, kami merasa tak keberatan dengan harga itu.

Kami janjian berangkat pukul 2 siang. Cukup panik mempersiapkan ini itu dalam waktu sesingkat itu. Dalam bayangan kami, Pulau Berhala adalah pulau terpencil yang nggak ada apa-apa. Jadi kami harus mempersiapkan banyak barang, terutama bahan makanan dan tenda.

Menuju Suak Kandis-Nipah Panjang
Kami bertemu Si Penyenggara di depan mall WTC,  pukul 2 lewat karena agak kelamaan di angkot. Langsung diangkut mobil menuju Suak Kandis (sekitar 3 jam). Begitu turun di Suak Kandis, kami disambut abang-abang dan dibawa ke speed boat.

Beberapa menit kemudian kami sudah terguncang-guncang di atas speed boat kecil, mengarungi hamparan sungai Batanghari. Hal yang membuat nyali saya ciut karena tidak ada pengaman (pelampung) dan saya tak bisa berenang. Sepanjang jalan, saya hanya merem-melek sambil berdoa dan berpikir, lain kali, saya harus membawa pelampung sendiri kalau hendak melakukan perjalanan air.
Nipah Panjang, perkampungan nelayan yang berbatasan langsung dengan Selat Berhala (foto oleh Bang Nopri H.)
Dua jam yang menyiksa akhirnya berakhir di Nipah Panjang, tempat perhentian terakhir. Sampai dermaga yang disandari banyak speed dan perahu, kami sudah dijemput ojek dan dibawa ke penginapan: sebuah rumah keluarga yang ternyata rumah keluarganya Bapak yang menjual paket ke kami. Cukup menyenangkan karena kami jadi bisa berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain, bukan seperti suasana sebuah penginapan. Si Bapak tua, yang kami panggil Datuk saja, pemilik rumah sangat antusias menyambut kami, mengajak kami mengobrol dengan hangat.

Malamnya, usai diajak makan malam bersama, kami mencoba melihat-lihat suasana malam di Nipah Panjang. Nipah Panjang merupakan kota kecamatan. Tadinya saya sempat membayangkan sebagai daerah antah berantah yang terisolir, tapi kenyataannya adalah kota kecil yang terlihat begitu semarak. Listrik, sinyal hp, saluran teve, toko-toko kecil... tak ada bedanya dengan kota-kota kecil di tempat lain.
(bersambung)

Minggu, 25 Januari 2015

Jalan-Jalan Kemana Kalau ke Kota Medan?


Meski saya tak suka tata kota Medan yang seakan demikian semrawut, tapi saya senang dengan pluralisme yang hidup subur di kota ini. Berbagai agama dan suku hidup rukun di kota ini. Hal ini tercermin dari tempat-tempat ibadah yang didirikan di berbagai sudut kota. Yang memberi warna lain selain gedung-gedung modern yang akhir-akhir ini terus bertambah.

Medan bukan kota wisata, tapi lebih sebagai persinggahan ke destinasi wisata Danau Toba atau Berastagi. Meski begitu, tetap ada tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi di Kota Medan. Yah, jika yang suka shopping sih mall bejibun, tapi dimana-mana, mall ya begitu-begitu saja kan? Nah, berikut beberapa tempat wisata yang bisa dikunjungi di Kota Medan:

* Istana Maimun & Mesjid Raya Medan.
Mesjid Raya Al Mashun yang megah

Kedua bangunan ini terletak dalam satu kompleks. Merupakan bangunan yang menyisakan kejayaan masalalu Kerajaan Melayu Deli, dengan arsitektur khas Melayu tentunya. Mesjidnya, yang dibangun tahun 1906, masih terawat dengan baik karena memang masih aktif digunakan untuk bersembahyang, tapi tidak demikian dengan istananya. Meski cukup asri dan megah, tapi ada kesan kalau bangunan ini tak dirawat dengan baik. Selain itu, juga tak ada atraksi yang disajikan sehingga terasa kurang menarik. Sayang memang :(

Istana Maimun

Transportasi:

Untuk mencapai tempat ini juga sangat mudah karena dilintasi banyak angkot. Bisa turun di Jl. Sisingamangaraja (dekat Yuki Simpang Raya) atau Jl. Brigjend Katamso

* Kuil Sri Mariamman (Shri Mariamman Hindu Temple)

Merupakan kuil tua yang dibangun tahun 1881, merupakan tempat ibadat umat Hindu keturunan India di Medan. Berlokasi di Kampung Madras (dulu dikenal sebagai Kampung Keling). Sebagai kebanyakan bangunan tua, kesan antik dan arsitekturnya yang artistik (bergaya India) membuat bangunan ini terlihat menarik. Terakhir saya berkunjung, saya merasa agak sedih melihat bangunan ini menjadi begitu kontras dan serasa "terabaikan" dikepung bangunan-bangunan baru dan bahkan disandingkan dengan mall dan apartemen yang megah menjulang.

Tranportasi:
Karena lokasinya yang berada di tengah-tengah kota, cukup mudah untuk mencapai tempat ini karena dilintasi banyak angkot.

* Vihara Gunung Timur
Bangunan ini juga sudah cukup tua, konon dibangun tahun 1962.. Dan ketika masuk ke dalamnya, kesan tua memang sangat terasa. Berada di dalamnya, saya merasakan suasana yang khidmat di antara kepul asap dupa, ornamen serba merah dan antik. Bangunan ini cukup terlindung, berada di pinggiran Sungai Babura dengan suasananya yang tenang dan rindang. Tapi kontras yang lain, hanya berjarak beberapa meter dari vihara, adalah taman kota tempat banyak anak muda yang dengan bebas memadu kasih.

Saya punya kisah yang agak lucu ketika mengunjungi tempat ini. Dulu, pertamakali berkunjung kesana, dalam rangka study tur sekolah dan belum jamannya kamera digital alias kamera yang masih menggunakan klise. Guru saya mengatakan untuk tidak mengambil foto di sana karena ada kepercayaan yang berkesan mistis dan membuat foto pasti akan terbakar, jadi kami pun tak ada yang berani mengambil foto. Terakhir, saya berkunjung lagi sambil membawa kamera digital dan memfotonya, penasaran ingin membuktikan omongan guru saya tersebut dan tentu saja, tak ada masalah. Saya pun berpikir, mungkin mitos itu dibuat agar pengunjung jangan sampai menggangu oran-orang yang sedang menjalankan sembahyang dengan foto-foto. Yah, sejauh tidak sampai menganggu sih menurut saya tak masalah ya?

Berlokasi di Jl. Hang Tuang, bangunan ini hanya berjarak sekitar 500 meter dari Kuil Shri Mariamman.

* Rumah Tjong A Fie (Tjong A Fie Mansion)

Merupakan rumah mewah milik pengusaha kaya raya keturunan Tionghoa, Tjong A Fie (1860-1921) yang didirikan tahun 1900. Rumah ini memadukan gaya arsitektur Tionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco.

Terletak di Jalan Kesawan (beberapa meter dari Lapangan Merdeka), sangat mudah mencapai tempat ini.

* Bangunan Tua
Masih di Jalan Kesawan, terdapat jejeran bangunan tua yang  juga menarik untuk dikunjungi. Selain rumah Tjong A Fie, berhadapan dengannya adalah kafe TipTop yang konon sudah ada sejak jaman Belanda. Dulu sewaktu jaman sekolahan, saya merasa segan ke kafe ini karena berpikir bahwa harganya tak terjangkau dan yang biasa nongkrong di sana adalah bule-bule, ternyata harganya cukup terjangkau. Tapi selain karena bersejarah, saya sendiri kurang bisa merasakan keistimewaan kafe ini. Es krimnya enak, tapi tak bisa sampai disebut luar biasa. Dan yang menyebalkan bagi saya adalah pelayananya yang kurang ramah (sebenarnya banyak tempat umum di Medan seperti itu).
Bangunan tua di Jl Kesawan

Menelusuri Kesawan cukup menyenangkan. Apalagi kalau jalanan sedang tak terlalu ramai. Melihat sudut-sudut dengan banyak bangunan tua meninggalkan kesan yang menyenangkan. Sayang, banyak bangunan tua sudah dipugar dan diganti dengan bangunan yang lebih modern.

Bangunan tua lain berlokasi di dekat Lapangan Merdeka yang merupakan kompleks pemerintahan yang merupakan tata kota khas Belanda. Ada Kantor Pos Besar, Balai Kota, Bank Indonesia Hotel Deli dan Stasiun Kereta Api.

* Merdeka Walk.

Tak jauh dari kawasan Kesawan adalah Merdeka Walk di sepanjang pinggiran Lapangan Merdeka. Suasananya sangat semarak di sore hari. Meski kafe-kafe yang ada kebanyakan adalah kafe cepat saji seperti yang banyak di temui di mall-mall. Menurut saya, akan lebih menarik kalau lebih banyak yang menyajikan makanan tradisional. Tapi untuk menikmati suasana, cukup lah. Apalagi kadang ada live music-nya.

* Vihara Meitreya.
Sebenarnya ini bangunan baru yang dibanguan sekitar tahun 2000-an. Konon ini adalah vihara terbesar di Asia Tenggara. Saya tak tahu apa memang benar demikian. Berada di tengah perumahan yang kebanyakan penghuninya adalah etnis Tionghoa. Dari luar, ornamen-ornamen vihara terlihat jelas tapi begitu masuk, saya tidak terlalu merasakan aura religius karena sebagian bangunan adalah restoran.
Vihara Meitreya yang megah

Tapi menghabiskan sore-sore di sekitar vihara cukup menyenangkan. Suasananya tenang, dan bisa melihat gerombolan burung-burung putih yang kembali ke sarang. Warga sekitar berkumpul untuk menikmati beberapa penganan yang dijual pedagang asongan, mulai dari rujak sampai pecel. Jika mau yang lebih berkelas, ada kafe-kafe bermacam seafood dan chinesefood yang buka di sepanjang jalan masuk.

Lokasi:
Jl Cemara Boulevard, Komplek Perumahan Cemara Asri
Seingat saya, tak ada angkot yang melintasi tempat ini sehingga harus naik becak motor dari jalan utama.

* Gereja Grha Maria Annai Velangkanni
Gereja yang selesai dibangun pada tahun 2005 ini unik karena ornamennya bernuansa India dengan patung-patung bercorak India pula. Penuh warna yang semarak. Gereja ini terbuka untuk umum, tapi berfoto-foto hanya diperbolehkan di depan gereja, tapi tidak di dalam. Dan jangan coba-coba nekad ya karena akan langsung kena tegur para suster yang sepertinya selalu mengawasi gerak-gerik kita.

Lokasi:
Taman Sakura Indah, Jl. Sakura III No. 10, Tanjung Selamat – Medan (tak terlalu jauh dari Pajak Melati). Meski agak di daerah pinggiran, tempat ini bisa dijangkau dengan angkot. Tapi saya sendiri lupa angkot nomor berapa :(

* Crocodile Farm/Peternakan Buaya Asam Kumbang
Obyek ini berada di daerah Sunggal, sekitar 10 km ke pinggiran Kota Medan. Konon, ini merupakan penangkaran buaya terbesar di Asia. Di tempat ini, bisa melihat bagaimana buaya diternakkan dan ganasnya mereka ketika dikasih makan. Atraksi lain yang bisa dinikmati adalah berfoto bersama buaya. Tentu saja buayanya akan dijinakkan terlebih dahulu oleh sang pawang, sehingga tak perlu takut digigit atau diserang. Selain itu, pengunjung juga diperkenankan memberi makan buaya dengan membeli ayam atau bebek yang dijual oleh pengelola. Jujur, saya tidak suka buaya sehingga kurang menyukai tempat ini :D

Transportasi:
Jika menggunakan kendaraan umum, bisa naik angkot no 64 dan turun di Kampung Lalang. Kemudian bisa mencari angkot arah Sunggal di sekitar Terminal Pinang Baris.

Kamis, 22 Januari 2015

Medan: Air Terjun Dua Warna

Kami--saya dan teman saya, E, --naik kendaraan jurusan Medan-Berastagi-Kabanjahe di Simpang Kuala, Padang Bulan. Setelah sekitar setengah jam menunggu dan kami sudah bosan, barulah bis berangkat.

Bis yang kami tumpangi adalah bis tua dengan badan bis berwarna meriah serta kursi-kursinya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nyaris tak ada ruangan yang tak dimanfaatkan untuk menampung penumpang. Penuh sesak kami dijejalkan dalam kotak tua itu. Suaranya meraung-raung gahar meski lajunya tak terlalu kencang. Karena musim liburan, jalanan cukup padat. Untunglah Si Abang Sopir tanpa rasa takut salip sana salip sini sehingga kendaraan yang kami tumpangi tak perlu ikut terjebak macet. Tak berlebihan kiranya kalau istilah 'sopir Medan' terkenal. 

Sibolangit

Hampir pukul 12 ketika kami sampai di Bumi Perkemahan Sibolangit. Di perkemahan ini, kami berharap akan ada papan petunjuk atau semacamnya, harus ke arah mana kami berjalan untuk menuju air terjun. Tapi begitu menjejakkan kaki turun dari bis, kami kebingungan karena tak ada petunjuk apapun. Sambil menyusuri jalan masuk beraspal, kami menengok ke kanan-kiri, mencari-cari siapa kiranya yang bisa ditanyai.Kami kemudian  memutuskan untuk singgah di warung makan, makan siang sekaligus mencari informasi di sana.


Informasinya sendiri agak simpang siur, karena informan kami adalah ibu-ibu penjaga warung yang pastinya belum pernah menginjakkan kaki ke air terjun. Ada yang menyebut butuh waktu 1 jam, ada yang 4 jam... ada yang menyarankan pakai guide saja...

Saya mulai agak bimbang. Perkiraan saya, perjalanan sekitar 2 jam. Pulang pergi, 4 jam. Dan tentu saja, perlu istirahat setidaknya 1 jaman. Hari sudah cukup siang, sehingga saya khawatir kami akan kemalaman di jalan. Sementara kami tak membawa perlengkapan apapun. Namun karena teman saya begitu bersemangat, saya pun ikut saja.

Guide
Usai makan, kami melanjutkan perjalanan ke ujung Bumi Perkemahan menelusuri jalan mulus beraspal. Karena saya tak tahu sampai mana batas jalan beraspal, sempat terpikir di benak saya jika jalannya sebagus ini, kenapa nggak ada ojeg saja ya? Kami pun mulai ragu dan setelah mulai lelah berjalan, memutuskan bertanya di sebuah warung.
    'Mau ke air terjun?  Kesana,' dia menunjuk hutan perbukitan di kejauhan. 'Berdua saja?' Abang yang kami tanyai tampak tak yakin. 'Lebih baik pakai guide saja.'
    'Memang jalannya susah ya, bang?'
    'Susah sih tidak, tapi karena banyak orang kesana, suka bikin jalan sendiri jadi kalau belum biasa bisa tersesat. Tadi malam kami baru mencari orang sesat,  jam 2 baru ketemu.' tak ada nada menakut-nakuti dalam nada suara Si Abang, tapi nyali kami pun tiba-tiba ciut.
    'Lebih baik pakai guide.' si abang mengulang.
    'Mahal nggak, bang?' tanya kami ragu. 
    'Ya itu bisa ditanya nanti. Biar saya hubungi.' dan tanpa menunggu persetujuan kami, si abang menelpon entah siapa. Setelah bicara beberapa saat, ia kemudian memanggil ke arah seberang, pada seseorang di dekat tenda di bawah pohon pinus.  Seorang lelaki muda berkulit gelap dan kepala plonthos mendekat. Si Abang menerangkan kalau kami mau ke air terjun. Kami langsung bertanya soal harga. Si Abang plonthos berpikir sejenak.
    'Biaya masuk per orang 22.500.' dia berpikir lagi. 'Kalian kasih lah semuanya 100.000.'
    'Dua orang 100.000?' kami menegaskan. Si Abang mengangguk. Kami berpikir sejenak. Sebenarnya jumlah itu cukup murah dari yang saya bayangkan. Saya sempat berpikir bahwa satu orang 100.000 atau malah 200.000.
    'Nggak bisa dikurangi lagi ya?' kami bertanya, mencoba menawar.
    Si Abang hanya tersenyum.'Itu sudah murah. Biasanya lebih mahal dari itu.' Saya pikir juga begitu. Dan kami pun sepakat dengan harga itu.

Perjalanan
Kami langsung berangkat. Kabut mulai turun di perbukitan dan ada tanda-tanda hujan akan turun. Kami tak bawa mantel atau apapun.

Setelah berjalan sekitar setengah jam menyusuri jalan beraspal, kami mulai masuk jalan tanah setapak yang dikelilingi pepohonan, lalu menyusuri sungai berair jernih dan dingin bukan main, lalu jalan tanah lagi, menanjak, lembab, licin, dan ditumbuhi akar-akaran. Di kanan kiri jalan, di bawah kerindangan pepohonan, banyak tenda-tenda orang yang sedang berkemah. Dan seperti itulah sepanjang jalan menuju air terjun. Sesekali kami berpapasan dengan serombongan orang-orang yang juga baru dari air terjun dan mereka bertanya heran:
    'Baru berangkat? Balik malam ya?'
    'Iya,' Jawab Si Abang santai. Kemudian dia berpesan pada kami, 'Kita berangkat jalannya cepat ya, nanti kalau balik baru kita santai-santai,' Ok!
Jalan setapak menuju telaga Dua Warna dengan vegetasi pepohonan hutan dataran tinggi

Semakin ke atas, udara semakin dingin dan jalanan semakin basah. Saya memperhatikan sekeliling, pada barisan pepohonan  dan membandingkan dengan hutan dataran rendah di Jambi,  yang sering saya masuki. Berbeda memang. Berjalan di hutan dataran rendah, saya pasti sudah mandi keringat dan diserbu pacet. Di bawah pohon-pohon besar juga lebih semak. Di sini, pepohonan lebih kecil-kecil, dan di bawahnya hanya beberapa perdu yang tumbuh. Saya juga tak menemukan pacet sepanjang perjalanan.

Kami berjalan cepat-cepat dan tak terlalu banyak bicara. Si Abang tak bicara kalau tak tak ditanya. Tapi dia terlihat cukup bertanggung jawab dan profesional. Namanya Aman, aslinya orang Banten tapi lahir dan besar di Berastagi. Dari logat bicaranya tentu tak akan ada yang menyangka kalau ia orang Banten karena sudah sangat Karo. Saya bertanya hal-hal formal saja, seperti:
    'Apa ada organisasi untuk guide-guide di sini?'
    'Dulunya ada, tapi sekarang sudah pecah karena ada orang-orang yang mau masuk dan berani bayar mahal, jadinya sekarang sendiri-sendiri saja,'
    'Kalau uang masuknya itu untuk apa? Siapa yang mengelola?'
    'Itu untuk orang sini saja. Untuk keamananannya lah.'
    'Oh, jadi bukan pungutan resmi dari kehutanan atau apa, gitu?'
    'Nggak, nggak. Nggak ada untuk kehutanan. Sebenarnya kalau nggak bayar ya nggak apa-apa, tapi kalau ada apa-apa ya mereka tak mau membantu,'
    'Ooh. Apa ada orang luar yang dulu membuka lahan di hutan?'
    'Dulu ada. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah dibuat aturannya.'
    'Kalau ngambil kayu?' ah, sepertinya saya jadi sedikit latah soal kehutanan.
    'Kalau ngambil kayu ada. Kemarin baru ada yang ditangkap.'
    'Sering penangkapan begitu?'
    'Ya lumayan sering lah,'
Sebagian perjalanan menyusur sungai dengan batu-batu yang berlumut dan licin

Agaknya jalan kami cukup cepat karena beberapa kali kami berhasil menyalip rombongan yang sudah berangkat sejak pagi. Kebanyakan adalah anak-anak muda berpasang-pasangan. Sedikit geli melihat rombongan yang kami salip ini karena umumnya mereka mengenakan pakaian yang kurang cocok untuk kegiatan outdoor: celana hot pants dan sandal berhak, laiknya mau jalan-jalan ke mall saja. Di medan seperti itu, tentu saja mereka jadi kesulitan berjalan. Saya berpikir, pasti sangat tak nyaman dan melelahkan. Entah disengaja atau memang mereka tak berpengalaman. Meski begitu, saya merasa  kagum, walaupun gaya mereka anak mall tapi terlihat begitu bersemangat untuk bertualang.

Air TerjunNan Indah Permai!
Setelah berjalan selama 2,5 jam, akhirnya kami sampai. Saya ternganga melihat pemandangan di depan mata saya dan hanya satu yang keluar dari mulut saya: 'Wow!' dan saya mengulang kata itu berkali-kali 'wow!  wow!...' menakjubkan! sangat menakjubkan. Air terjun setinggi kira-kira 100 m (hmm, saya tak tau persis. saya payah soal ukur-ukuran). Airnya berwarna kehijauan, terlihat begitu indah permai. Dan jika kita sentuh, airnya dingin bukan main. Di  seberang air terjun itu, ada air terjun lebih pendek, mungkin hanya sekitar 2 m. airnya berwarna putih bening dan lebih hangat. Dua warna itu menyatu dalam sebuah aliran sungai, berkelok-kelok di antara bebatuan berlumut hijau, aakh...GORGEOUS!!!
Air terjun kehijauan yang indah permai!

Rasa letih selama perjalanan sepertinya menjadi tiada artinya. Saya merasa...entahlah, sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Saya hanya berpikir, kelak, semoga ada kesempatan lagi untuk kesana. Cuma satu yang saya sayangkan, sampah plastik yang berserakan!
Ari terjun yang lebih pendek dengan air berwarna putih dan lebih hangat

Kami berfoto-foto sepuasnya. Dan karena hari sudah beranjak sore kami memutuskan untuk pulang, takut kemalaman di jalan. Apalagi langit juga sudah mulai gelap dan rintik hujan turun. Begitu memasuki hutan, jalanan sudah gelap dan kabut turun. Padahal jam baru menunjukkan pukul 3 sore. Kami berjalan cepat-cepat dan melupakan rencana pulang dengan lebih santai.


 Pulang & Bang Aman
Menjelang petang kami sampai di Sibolangit. Mungkin karena kelelahan, perjalanan pulang ini terasa lama. Bang Aman menawari kami untuk minum atau makan dulu sebelum menunggu kendaraan, dan itu juga yang kami pikirkan.

Kami diajaknya singgah di rumah makan di mana kami makan siang tadi. Karena kurang berselera makan, kami hanya memesan minuman hangat saja. Bang Aman bilang kalau pemilik warung itu adalah adik ibunya. Usai minum, ia bilang biar dia yang membayar. Sebenarnya saya merasa tak enak karena seharusnya kami yang mentraktirnya tapi juga tak bisa menolak.
Bumi Perkemahan Sibolangit menjelang petang

Kami pikir, kami akan berpisah dengan si Abang usai minum, tapi ternyata dia mengantar kami hingga menungu mobil. Bahkan dia yang mencegatkan mobil untuk kami. Kami bersalaman sebelum berpisah. Kami sempat terlibat obrolan hangat dan merasa lucu karena merasa akrab justru ketika hendak berpisah.  Tadinya, saya pikir, dia sama sekali tak peduli siapa kami. Dia seorang guide, pekerjaannya adalah menemani orang-orang yang butuh bantuannya. Setiap saat ia bertemu dengan orang-orang baru dan mungkin tak penting lagi baginya mengenal orang-orang itu, karena setelah pekerjaannya selesai, hubungan pun akan terputus. Begitulah yang saya pikirkan. Tapi melihat kebaikannya, membuat saya terharu.

Kekita mobil yang kami tumpangi melaju, saya berpikir, saya merasa sedikit menyesal: Mungkin kami seharusnya lebih ramah kepadanya. Saya juga merasa sedikit sedih mengingat mungkin hanya itulah kesempatan kami bertemu dan setelah itu kami akan saling melupakan satu sama lain. Tapi itulah kehidupan, kadang kita bertemu seseorang hanya sekejap dan kemudian saling melupakan.

Jalanan padat sekali dan kendaraan merambat pelan. Bisa dipahami karena jalan yang kami lalui adalah jalur wisata dan ini hari libur. Rasa lapar bercampur letih membuat perjalanan terasa membosankan. Meski si Abang sopir sudah berusaha menerabas setiap celah yang ada, tetap saja susah menghindari kemacetan. Karena penat, akhirnya saya tertidur dan terbangun ketika sudah sampai di kota Medan, disambut keriuhannya yang seperti tak pernah mati. ***

How to get there?

- Cari mobil jurusan Medan-Berastagi/Kabanjahe di Padang Bulan - Bilang sama Abang Sopir untuk turun di Bumi Perkemahan Sibolangit (kanan jalan)
- Ikuti jalan masuk dan tanya saja pada masyarakat di situ
- Lebih baik pakai guide
- Perjalanan ke air terjun kira-kira 2 jam jalan kaki, jalanan biasanya lembab dan licin, jadi pakai sepatu senyaman mungkin. Saya pakai sendal gunung eiger dan cukup nyaman
- Bawa baju ganti kalau mau mandi-mandi
- Jaga kebersihan di lokasi!

Catatan: Saya mengunjungi tempat ini di awal tahun 2010. Karenanya saya yakin sudah banyak berubah, meski kalau saya baca-baca perubahannya tidaklah signifikan karena wilayahnya yang memang masuk hutan lindung sehingga tak memungkinkan adanya pembangunan massif.

Rabu, 21 Januari 2015

Jakarta: Kota Tua, Monas, Taman Suropati

Tugu Monas

Saya kembali mendapat kesempatan menyinggahi Jakarta. Jika biasanya agak terburu-buru karena berbagai keperluan, kali ini saya memiliki waktu yang cukup longgar sehingga bisa menyempatkan diri untuk 'menikmati' sejenak keriuhan ibu kota. Karena saya kurang bisa menikmati suasana pusat-pusat perbelanjaan, ya alternatifnya harus mencari tempat yang bukan sejenis itu, yang sayangnya tak banyak. Pilihan pertama jatuh ke Monas, karena saya baru ngeh, meski sudah beberapakli menyinggahi Jakarta tapi belum pernah sekalipun ke Monas.

Sekilas, rasanya bukan tempat yang terlalu menarik, tapi kalau dipikir-pikir kok rasanya belum afdol juga kalau seumur-umur belum pernah mengunjungi ikon-nya ibu kota ini. Akhirnya saya putuskan 'mampir' ke Monas pada suatu siang menjelang sore pertengahan Januari yang lalu, dengan ditemani teman saya, Vince.
Monas yang tampak gagah meski berlatar mendung (foto oleh Vince H.)

Karena hari Sabtu, Monas cukup ramai ketika kami datang. Cuaca agak mendung sehingga terasa cukup nyaman ketika kami menyeberangi pelataran Monas yang luas dan diembusi angin. Setelah foto-foto dengan badut boneka yang banyak mengais rejeki di sana, kami segera ke loket yang ada di terowongan untuk membeli karcis masuk. Tiketnya cukup murah, Rp. 5000, untuk dewasa, Rp. 3000 untuk mahasiswa dan Rp 2000 untuk pelajar dan anak-anak.

Mengikuti jalan terowongan, kami sampai di lantai dasar Monas berupa ruangan luas dengan jajaran diorama pembentukan negara RI. Suasananya sangat ramai oleh beberapa rombongan anak TK yang berlarian.

Dari ruang diorama, kami sedikit bingung: ini bagaimana kalau mau naik ke puncak Monas? Karena tak ada petunjuk apapun. Akhirnya kami keluar dan menemukan antrian. Pun tak ada petunjuk dan kami harus bertanya pada bapak-bapak satpam berseragam dan mengatakan kalau itu antrian ke puncak. Yang ternyata sudah tutup karena sudah sore. Pagar pembatas sudah dipasang.

Sedikit kecewa, kami pun memutuskan untuk duduk-duduk saja, karena di luar hujan deras sekali. Ketika duduk, kami memperhatikan beberapa orang yang baru datang masuk ke dalam antrian. Masih boleh? Kami pun nekad ikut mengantri dan si bapak petugas diam saja. Dua orang pengunjung di belakang kami kena tegur, tapi mereka beralasan sudah datang jauh-jauh. Si bapak mengomel bahwa jam kerja mereka sudah habis. Waktu itu memang sudah pukul 15.30, sedangkan saya lihat tulisan tentang waktu berkunjung hanya sampai pukul 15.00 saja. Meski begitu, si bapak kemudian diam saja dan beberapa pengunjung masih menyusup antrian di belakang kami.

Di tengah antrian seorang bapak-bapak yang sepertinya juga petugas setempat menhampiri kami. Dia minta kami menunjukkan tiket dan mengatakan kalau tiket kami hanya sampai cawan saja, jadi kalau mau naik ke atas harus tambah Rp.10.000/orang. Dengan agak bingung kami membayarnya. Bukan jumlah yang terlalu mahal sebenarnya, tapi yang membuat kami heran karena si Bapak tak memberikan kami karcis lagi sehingga membuat kami bertanya-tanya, sebenarnya ini pungutan legal atau nggak sih? Bagaimana perhitungannya secara pengelolaannya milik negara? Atau karena kami peserta tambahan sehingga mereka semacam mencari 'uang tambahan'? Entahlah. Tapi hal-hal seperti itu mengesankan ketidakprofesioanalan dan sedikit menyebalkan.

Setelah mengantri beberapa menit, kami naik lift ke puncak ditemani seorang petugas penjaga lift. Saya berpikir, Bapak penjaga lift itu  luar biasa karena dari hari ke hari, menjaga lift naik turun monas.
Kota Jakarta dari Puncak Monas (foto oleh Vince H.)

Puncak monas sendiri tak seperti yang saya bayangkan. Memang bisa melihat sekeliling Jakarta dari ketinggian. Tapi karena sekilingnya dipagari cukup rapat, rasanya kurang puas. Tapi, yah saya paham ini pastilah sebagai antisipasi keamanan.

Setelah berfoto-foto sebentar, kami turun. Hujan sudah reda dan kami berniat pulang dengan naik busway. Tapi teman saya salah arah. Sembari celingak-celinguk, kami melihat ada halte untuk bus City Tour. Saya sempat membaca kalau tur ini gratis dan iseng kami ikut antrian di halte. Ternyata beneran gratis. Naik bus tingkat yang bersih dan nyaman kami dibawa berputar-putar melewati Bundaran HI hingga ke Pasar Baru dan penumpang diperbolehkan turun naik di halte-halte tertentu. Lumayanlah untuk menikmati suasana sore Jakarta.

Transportasi ke Monas:
Paling praktis naik busway atau komuter line dan turun di Stasiun Juanda. Keluar dari stasiun, puncak monas sudah kelihatan menjulang di kejauhan. Tapi kami masih harus jalan kaki sekitar 500-an meter untuk sampai ke Monas.

Kota Tua
Bangunan tua selalu terasa nostalgis dan romantis. Sebenarnya saya pernah mengunjungi Kota Tua beberapa tahun silam tapi karena memang tak banyak pilihan tempat yang bisa dikunjungi selama di Jakarta, saya menerima ajakan teman saya untuk menikmati suasana malam di Kota Tua.
Kota Tua yang dibasuh hujan (foto oleh Vince H.)

Sialnya, begitu kami sampai, hujan mulai turun. Pedagang sibuk berteduh demikian juga para pemain musik. Yah, tentu saja tak ada yang bisa dinikmati di tengah hujan seperti itu. Setelah makan mie ayam dan berteduh, kami akhirnya memutuskan pulang.

Tranportasi:
Naik komuter line dan turun di stasiun Jakarta Kota, keluar dari stasiun tinggal jalan kaki sekitar 300 m dan sampailah di kota tua.

Taman Suropati.
Masih memiliki waktu di Jakarta dan bingung henak kemana. Dari browsing-browsing akhirnya nemu nama Taman Suropati. Terletak di Jl Taman Suropati, sekitar Jl.Pegangsaan. Merupakan tamankota kecil yang asri dan teduh. Meski mungkin agak biasa saja, tapi di tengah kota besar Jakarta keberadaannya terasa berarti.

Sore-sore cukup ramai orang-orang yang menhabiskan waktu sambil jogging atau menemani anak-anaknya. Biasanya, suasana semakin semarak oleh beberapa orang yang latihan main musik. Bisa duduk-duduk menikmati udara segar sambil foto-foto atau menikmati aneka jajanan kaki lima.
Salah satu spot foto-foto yang menarik di Taman Suropati

Transportasi:
- Naik bus dari Blok M-Senen (no 67)
- Naik bus dari Kampung Melayu-Grogol (no 213), nanti bilang saja ke keneknya turun di Suropati
- Bisa naik komuter line dan turun di stasiun Cikini. Tapi masih harus jalan kaki lagi sekitar 300 m

Selasa, 13 Januari 2015

Probolinggo: Suatu Hari di Pulau Gili

Sekitar pukul 7.30 pagi ketika kami sampai di pelabuhanTanjung Tembaga, pelabuhan lautnya Probolinggo. Tadinya kami--saya dan teman saya--cukup terburu-buru, khawatir ketinggalan perahu. Nyatanya, perahu sepertinya berangkat setiap saat ada cukup penumpang. Melihat dermaganya, cukup membuaat saya agak kecewa.

Pelabuhan Probolinggo sebenarnya lumayan besar, mengingat banyaknya perahu motor serta kapal-kapal barang serta kapal pencari ikan yang bersandar. Namun, jangan bayangkan ini adalah pelabuhan dengan dermaga yang megah. Kapal-kapal, termasuk perahu motor yang hendak kami tumpangi, hanya bersandar di sodetan kecil. Bahkan tak ada jembatan penghubung yang layak untuk naik ke perahu, melainkan hanya sekeping papan yang dibongkar pasang bersama datang perginya perahu. Seorang lelaki tua, membantu menarik tangan penumpang  yang hendak naik agar tak terjatuh. Bagi saya, ini agak aneh mengingat jembatan permanen seharusnya adalah kebutuhan mengingat ramainya lalu lintas pelabuhan.
Pelabuhan Probolinggi. Ini perahu yang digunakan untuk menyeberang ke Pulau Gili

Untuk menyeberang ke Pulau Gili, ongkosnya kala itu Rp. 7000,- per orang. Setelah menunggu sekitar lima belas menit dan perahu nyaris penuh (perahu mampu mengangkut sekitar 30-an penumpang), perahu pun meninggalkan pelabuhan. Kebanyakan penumpang adalah orang-orang yang baru pulang berbelanja di Kota Probolinggo, atau juga pegawai pemerintahan yang bertugas di Pulau Gili. Para penumpang menempati bagian atas perahu yang berlantaikan papan, sementara bagian bawah perahu diperuntukkan untuk barang-barang. Tak ada pagar pembatas atau apapun di pinggir perahu, sehingga membuat saya yang phobia air agak miris. Dan tentu saja, seperti kebanyakan transportasi air jarak dekat, tak ada fasilitas keamanan air berupa pelampung.

Kemirisan saya bertambah begitu perahu sampai di lautan lepas yang mulai berombak. Cuaca memang sedang kurang bersahabat dan ombak, meski tak terlalu tinggi, tak henti bergulung-gulung, berulangkali mengguncangkan perahu. Saya terus-menerus berpegangan pada tiang perahu, khawatir jika ombak tiba-tiba mengempaskan kapal. Jika kapal sampai terempas dan miring, kemungkinannya adalah penumpang yang akan terlontar dari perahu.
Pulau Gili

Yah, mungkin saya agak terlalu paranoid. Karena di belakang saya, para penumpang lain, termasuk di antaranya para ibu-ibu dan anak kecil, tampak tenang-tenang saja. Tentulah ini adalah perjalanan rutin bagi mereka, dan memikirkan hal itu, membuat saya lega. Ditambah kenyataan bahwa pulau yang akan kami kunjungi memang tak tak terlalu jauh, terhampar kelabu di depan sana.

Dan begitulah, sekitar satu jaman, perahu akhirnya sampai di Pulau Gili Ketapang. Kali ini, ada dermaganya, tapi juga alakadarnya.

Pulau Gili Ketapang bukanlah tempat wisata, sehingga memang tak ada destinasi wisata di tempat ini. Niat kami memang hanya ingin melihat keadaan pulau ini sembari menikmati udara laut. Tak seperti yang saya bayangkan tentang pemukiman di pulau kecil (apalagi begitu dekat dengan pulau besar), yang biasanya tak terlalu padat, Pulau Gili Ketapang justru sebaliknya sangat padat. Rumah-rumah dibangun nyaris berhimpitan, tentu ini karena terbatasnya lahan. Dengan luas pulau yang hanya 68 ha, penduduk pulau ini konon mencapai 8000-an jiwa. Padat banget, kan?

Pinggir pantai yang banyak diseraki sampah :(

Tempat pertama yang hendak kami kunjungi adalah Goa Kucing. Teman saya yang sudah pernah kesana, ternyata lupa arah jalannya dan kami malah nyasar ke pemukiman penduduk. Di sepanjang jalan, kami berpapasan dengan penduduk setempat. Sekilas beberapa dari mereka tampak acuh, mungkin terbiasa dengan kedatangan orang luar, tapi begitu ditanya atau diajak bicara, mereka akan menjawab dengan hangat dan ramah. Meski kadang, agak sulit memahami mengingat bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Madura. Yap, mayoritas penduduk pulau ini memang Suku Madura dan mereka rata-rata bermatapencaharian sebagai nelayan.

Lorong-lorong pemukiman yang tampak rapi dan bersih

Kami berjalan melintasi lorong-lorong pemukiman. Meski padat, tapi lorong-lorong dan halaman-halaman rumah tampak bersih dan terawat, hal yang sedikit kontras dengan pinggiran pantai yang banyak sampah plastik. Kebanyakan rumah-rumah yang dibangun juga terlihat cukup mewah, berupa rumah-rumah permanen berdinding tembok dan berlantai keramik. Warung-warung yang menjual aneka bahan makanan bertebaran di sana-sini. Kambing-kambing, yang sepertinya adalah peliharaan utama penduduk pulau ini, berkeliaran di jalan. Meski tidak ada rerumputan, tapi kambing-kambing itu terlihat cukup gemuk dan sehat-sehat. Saya amat-amati, ternyata kambing-kambing itu memakani sampah, bahkan plastik pun kadang dikunyah-kunyahnya...

Dari pemandangan itu, saya berpikir bahwa penduduk pulau ini sepertinya cukup makmur. Saya tak tahu, tapi mungkin penghasilan dari melaut cukup menjanjikan.

Di tengah jalan, kami berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang terlihat ramah. Bapak ini kemudian mengantarkan kami hingga ke goa kucing dan menjelaskan ini itu dengan ramah, meski Bahasa Indonesianya campur-campur dengan Bahasa Madura.
Goa Kucing

Tadinya, saya pikir Goa Kucing adalah goa sungguhan, tapi ternyata semacam sumur yang dianggap memiliki mitos dan dikeramatkan. Konon, sumur itu merupakan petilasan Syeh Maulana Ishaq, seorang ulama penyebar Islam di pulai itu. Sumur itu juga konon dihuni oleh seekor kucing gaib. Bersebelahan dengan goa kucing adalah makam sang Syeh dan di depannya dibangun masjid kecil. Tempat ini cukup terawat dan pada hari-hari tertentu, cukup ramai dikunjungi orang yang ingin melakukan ziarah. Bahkan di dekat masjid juga dibangun pondokan kecil, untuk orang yang ingin bermalam ketika melakukan ziarah.

Di belakang makam, terdapat pohon besar yang tumbuh menembus atap makam. Kata si Bapak, itu adalah pohon Sentaki, dan merupakan tongkat Sang Syekh yang ditancapkan dan kemudian tumbuh seperti itu.
Hutan kecil yang ditumbuhi pohon jeren dengan daun hijau mudanya yang tampak menyegarkan mata

Usai dari Goa Kucing, kami berjalan-jalan ke bagian belakang pulau. Ada barisan pohon jeren (pohon jaran) yang membentuk hutan kecil dengan daun-daunnya yang rimbun dan berwarna hijau muda, memberi kontras yang menarik pada pemandangan pulau. Di bagian belakang, air laut lebih tenang dan disanalah kebanyakan kapal-kapal nelayan bersandar. Penduduk pulau terutama ibu-ibu, tampak menghabiskan waktu di pinggir pantai, mengobrol atau mencari kerang. Beberapa perempuan penjaja jajanan mondar-mandir, menjajakan jualan mereka. Segerombolan bapak-bapak tengah memperbaiki jala dan mereka menjawab sapaan kami dengan ramah... Suasana terasa begitu hidup dan semarak.

Menjelang siang, kami memutuskan untuk pulang karena langit tiba-tiba sangat mendung dan udara kencang bertiup. Si Bapak berpesan agar kami jangan sampai kesorean karena kondisi ombak sedang tinggi.

Di dermaga, beberapa perahu dari Probolinggo datang menurunkan para penumpang. Beberapa tampak datang dengan menyandang alat pancing. Kemungkinan, mereka adalah pendatang yang ke pulau itu untuk memancing.
Kehidupan kampung nelayan yang semarak

Perahu yang akan menyeberang masih harus menunggu cukup penumpang untuk berangkat. Kami pun menunggu di pinggir dermaga, menikmati udara laut yang berembus kencang. Hujan rintik-rintik turun dan air laut terlihat bergolak. Meski begitu, hal itu agaknya tak menyurutkan nyali para nelayan yang dengan perahu-perahunya, menderu-deru, hilir mudik untuk mencari tangkapan. Juga anak-anak kecil yang tampak riang gembira, saling teriak dan tertawa sembari menceburkan diri di antara gulungan ombak pinggir pantai.

Setelah menunggu hampir satu jaman, perahu akhirnya penuh dan mesin pun mulai dihidupkan. Mungkin karena terpapar udara laut dan juga terombang-ambing di atas perahu yang cukup lama bersandar, membuat kami pusing dan mual sehingga tak lagi bisa menikmati perjalanan pulang. Dan hal yang sama  agaknya dialami penumpang lain. Beberapa tampak memilih membaringkan badan di atas lantai, beberapa bahkan mulai mabuk. Untunglah, perjalanan itu sebentar saja dan begitu perahu memasuki pelabuhan kami menarik napas lega.

Pulau Gili sendiri bukanlah tempat yang luar biasa, namun entah kenapa, suasana pulau itu dan juga kehangatan penduduknya, meninggalkan kesan yang menyenangkan bagi saya :)
(perjalanan ini dilakukan pada tanggal 2 Januari 2015)

Sabtu, 10 Januari 2015

Malang: Wisata Gunung & Hutan

1. Gunung Bromo
Gunung Bromo, tentulah tempat wisata yang wajib dikunjungi karena sudah menjadi salah satu ikon wisata tanah air. Rute dari Malang merupakan rute yang cukup populer selain dari Probolinggo. Bahkan menurut informasi yang saya dapat dari seorang sopir angkot yang biasa membawa wisatawan yang ingin ke Bromo, rute dari Malang akan melewati destinasi yang lebih banyak.
Bromo dengan hamparan padang pasirnya yang memukau

Untuk ke Bromo dari Kota Malang bisa melalui pasar Tumpang. Dari sana, biasanya sudah banyak mobil-mobil jeep yang disewakan bagi mereka yang ingin menjelajahi Gunung Bromo. Jika tidak, bisa naik angkot lagi hingga pintu masuk Taman Nasional dan dari sana baru dilanjutkan dengan menggunakan Jeep. Harga carter Jeep sekitar 1 jutaan dan bisa diisi 8 orang.

Hal ini sedikit berbeda dengan rute Probolinggo. Setahu saya harga sewa jeep di sana sekitar Rp. 400.000, tapi hanya untuk 4 orang. Konon juga, karena obyek wisata yang dikunjungi lewat rute Probolinggo lebih sedikit. 

Selain melihat keindahan Bromo, pada bulan tertentu sekali dalam setahun juga bisa melihat Upacara Kasodo, upacara tradisional bagi masyarakat Suku Tengger yang bermukim di sekitar gunung Bromo (biasanya pada bulan Agustus/September).

2. Gunung Semeru
Bagi pecinta gunung, Gunung Semeru tentulah gunung yang wajib didaki mengingat gunung ini merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Untuk ke Semeru, rutenya hampir mirip dengan rute ke Bromo, karena memang masih dalam satu kawasan.
Pegunungan Semeru yang indah permai

Dari lokasi wisata Bromo, perjalanan bisa dilanjutkan hingga ke Ranu Pani, desa yang merupakan pemberhentian terakhir. Dari sini, pendaki diwajibkan melapor ke Kantor Balai Taman yang kantornya terletak di dekat pintu masuk. Belakangan, gunung ini begitu ramai pengunjung setelah boomingnya film "5 Cm," sehingga jumlah pendaki dibatasi, hanya 500 orang per hari.

Gunung ini ramai didaki terutama pada musim kemarau seperti Juli, Agustus dan September.

3. Gunung Panderman
Gunung Panderman berupa gunung 'kecil; di Kota Batu. Tingginya sekitar 2000 mdpl dan diperlukan waktu sekitar 3 jam untuk mendaki. Dari puncak gunung, bisa melihat pemandangan kota Batu dan Malang. Aktivitas yang bisa dilakukan adalah hiking dan berkemah

4. Gunung Kawi
Gunung Kawi terletak di Kecamatan Wonosari, Malang. Gunung ini adalah gunung yang cukup populer, bukan sebagai tempat wisata, tapi lebih bagi mereka yang percaya pada hal-hal magis. Di gunung ini, terdapat beberapa petilasan tempat orang melakukan tirakat untuk memohon berkat pesugihan atau kesuksesan dalam menjalankan suatu usaha.
Peziarahan Gunung Kawi

Tempat in ramai dikunjungi pada malam-malam yang dianggap keramat oleh masyarakat Jawa seperti malam satu suro atau Jumat Legi.

Tempat-tempat yang dianggap keramat adalah pohon beringin tua berakar lima, pohon dewandaru Makam Mbah Djoego dan Makam Raden Mas Iman Soedjono. Mbah Djoego atau aden Mas Soeryo Koesoemo konon merupakan buyut dari Paku Buwono I, seorang penyebar Islam yang kemudian bermukim di Desa Kesamben. Sedangkan Raden Mas Iman adalah murid Mbah Djoego yang membangun padepokan di hutan dekat Gunung Kawi.

Dari kota Malang, Gunung Kawi bisa ditempuh selama sekitar 2 jam, melewati Kepanjen. Di sepanjang jalan menuju Gunung Kawi, tampak bangunan-bangunan berarsitektur Tiongkok dan klenteng tempat beribadah umat Kong Hu Cu.

Karena merupakan tempat yang selalu ramai dikunjungi, penginapan berupa losmen atau motel dibangun untuk para peziarah yang hendak menginap.

4. Gunung Arjuno - Welirang

Gunung Arjuno memiliki ketinggian 3.339 mdpl. Bagi penggemar sandiwara radio era 90-an, Mahkota Mayangkara, nama gunung ini tentulah terasa akrab karena merupakan tempat yang dijadikan petilasannya sang ksatria di sandiwara itu, Aria Kamandanu. Hihi.

Tentu saja, itu hanyalah fiktif. Tapi konon gunung ini memang sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang ditandai dengan peninggalan sejarah berupa tempat-tempat pemujaan berwujud arca maupun situs-situs yang terdapat di sepanjang lereng gunung. Hingga kini, situs-situs itu masih sering dikunjungi para peziarah seabgai tempat bermeditasi atau berdoa.

Biasanya Gunung Arjuno dan Welirang (3156 mdpl) karena letaknya yang berdekatan, didaki bersamaan. Adapun jalur pendakian yang biasa digunakan untuk mendaki gunung ini ada beberapa, yakni Jalur Tretes, Jalur Lawang, Jalur Purwosari, dan Jalur Batu.

Waktu yang diperlukan untuk mendaki gunung ini sekitar 5-8 jam, tergantung rute yang dilewati. Jalur Purwosari merupakan jalur yang populer karena dari sini bisa melewati situs-situs keramat seperti Gua Antaboga, Petilasan Eyang Abiyasa (Kolam Dewi Kunti), Petilasan Eyang Sekutrem, Situs Eyang Sakri, Situs Eyang Semar, Wahyu Makutarama, Puncak Sepilar, Candi Wesi (terdapat 3 arca pandawa dan tempat muksanya Eyang Semar), Candi Manunggale Suci.

5.  Kebun Teh Wonosari
Kebun teh ini terletak sekitar 30 km ke arah utara Kota Malang. Merupakan hamparan kebun teh yang hijau dan asri dengan latar Gunung Arjuno.

Untuk sampai ke tempat ini juga sangat mudah. Dari Kota Malang, bisa berhenti di dekat Pasar Lawang (akan ada petunjuk jalan di sana). Kebun teh hanya sekitar 6 km dari jalan besar.
Memanjakan mata dengan hamparan hijau kebun teh

Di kebun ini juga terdapat penginapan, wahana wisata sepertu playground, tempat kemping dan juga persewaan sepeda.

6. Kebun Raya Purwodadi

Sebenarnya, kebun raya ini sudah masuk Kabupaten Pasuruan, namun jaraknya tak terlalu jauh dari Kota Malang karena berada di ruas jalan Malang-Pasuruan, tepatnya di daerah Purwosari. Kebun ini menempati area seluas 85 ha, didirikan pada tahun 1941 oleh Lourens Gerhard Marinus Baas Becking konon merupakan pemekaran dari  Kebun Raya Bogor. Pengelolaan kebun sendiri berada di bawah LIPI (Lempaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Aktivitas yang bisa dilakukan di tempat ini, tentunya menikmati suasana teduh pepohonan. Selain itu juga ada Gedung Konservasi Flora, Taman Bugenvil, hingga kolam renang untuk anak-anak. 

Kamis, 08 Januari 2015

Malang: Wisata Candi

Candi-candi di Malang memang tak semegah candi-candi di Jawa Tengah (Prambanan, Borobudur), namun tentu saja memiliki nilai seni dan terutama sejarah yang sama signifikannya. Jadi bagi pecinta wisata sejarah, wajib mengunjungi candi-candi ini. Berikut beberapa candi yang ada di sekitar Malang:

1. Candi Badut
Konon, candi ini merupakan candi tertua di Jawa Timur, didirikan pada tahun 760 M. Dan merupakan candi untuk agama Hindu. Dari berbagai sumber yang saya baca, arsitektur candi ini menunjukkan gaya peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan adalah terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur, ketika masa Dinasti Sanjaya yang terdesak oleh Dinasti Saylendra. Diduga, candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Kanjuruhan yang berpusat di Dinoyo (Malang), pada masa pemerintahan Gajayana.
Candi Badut

Candi ini berlokasi di kawasan Tidar, Kota Malang dan dikelilingi pemukiman penduduk. Bisa ditempuh dengan menggunakan angkot jurusan Tidar (angkot dengan kode "T") turun di pojok Jl. Himayala. Candi berada sekitar 300 meter ke utara, berada di kiri jalan depan TK Dharma Wanita II Karangbesuki.

2. Candi Singosari
Seperti namanya, candi ini adalah peninggalan Kerajaan Singosari, dibangun pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang menganut agama Budha Tantrayana (campuran Budha-Hindu). Candi ini terbuat dari batu andesit, dengan tinggi 15 meter dan menghadap ke Gunung Arjuno. Bentuk candi ini masuk dalam kategori candi Jawa Timur yang dicirikan dengan badan yang langsing.

Candi Singosari

Untuk mengunjungi candi ini cukup mudah. Dari Kota Malang, bisa naik angkot dan turun di Pasar Singosari. Lokasi Candi berada di Jl. Kertanegara, masuk sekitar 300 m dari Jalan Besar.

Candi  ini terlihat tak terlalu berarti dikelilingi pemukiman penduduk. Meski begitu, pemeliharaannya cukup baik. Taman di sekeliling candi terlihat bersih dan rapi. Meski tak bisa dibilang asri.

3. Candi Kidal
Candi Kidal dibangun pada tahun 1248 M, dan konon adalah ketika masa peralihan dari Kerajaan Airlangga ke Kerajaan Kediri. Konon juga, candi ini dibangun sebagai persembahan atas wafatnya Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tubuh candi terbuat dari batu andesit, dengan tinggi tubuh candi sekitar 2 m dan menghadap ke barat.
Candi Kidal dengan relief garudanya

Hal yang menarik dari candi ini adalah adanya pahatan relief kisah garuda (Gurudheya) yang konon paling lengkap dibandingkan dengan candi-candi lainnya di Jawa.

Istilah "kidal" yang berarti kiri mengacu pada relief yang diukir ke arah kiri/ tidak searah jarum jam seperti relief candi pada umumnya.

Secara adminstratif, candi ini terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar 20 km ke arah timur Kota Malang. Untuk menuju candi ini, bisa ditempuh dengan angkutan umum yang menuju ke Tumpang (dari Terminal Arjosari) turun di Pasar Tumpang. Candi masih berlokasi sekitar 7 km dilanjutkan dengan naik ojek.

4. Candi Jago


Candi Jago (Jajaghu: suci), konon merupakan tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singosari dan beraliran Siwa-Budha.

Candi ini juga terletak di Tumpang. Aksesnya sangat mudah, tinggal naik angkot dari Kota Malang ke Tumpang dan turun di Pasar Tumpang. Candi terletak sekitar 100 meter dari pasar.

Kebanyakan candi-candi itu tidak terlalu mendapat perhatian. Sangat disayangkan memang, sebuah tempat sejarah seperti ini terlihat tak terlalu digali potensinya. Pengalaman dari mengunjungi beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, potensi tempat wisata mereka kebanyakan tak terlalu menonjol tapi digarap sedemikian rupa sehingga sangat atraktif. Indonesia memiliki banyak potensi, tapi penggarapannya sepertinya tak terlalu serius ya :(