Laman

Senin, 29 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (2)

Menuju Pangkal Pinang
Sekitar 3 jam kami sampai di pelabuhan Tanjung Kelian, Muntok, Bangka (orang lokal biasa melafalkannya: Mentok). Pelabuhannya lengang saja. Kami agak bingung. Kami memutuskan bertanya kepada petugas pelabuhan, yang kemudian mencarikan kami mobil.

Si Abang sopir meminta ongkos: Rp 120.000, artinya Rp. 60.000 per orang. "Ke Belitong?" tanya saya. "Pangkalan Balam." jawab si Abang. Karena tarif dan tujuannya sama seperti yang saya baca di panduan, jadi aku naik  saja. Tapi di kepala, sejujurnya saya masih agak bingung: kami kan mau ke Tanjung Pandan Belitong, bukan Pangkalan Balam? Lalu saya tanya ke mbak-mbak yang duduk di sebelah: "Ke belitong juga ya?" "Pangkal pinang." Sahutnya pendek. "Berapa jam?" "Nggak tahu." Ternyata dia juga baru pertama ke sini. Hmmm.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Bangka. Vegetasi yang terbentang di kanan kiri jalan: tanah kekuningan yang nampak tandus, perdu dan tanaman paku warna hijau muda hingga kemerahan karena terpapar matahari dan kekurangan nutrisi tanah rumah-rumah kecil tapi cukup layak, kebun karet, kebun sawit, hutan kelabu di kejauhan... Semakin ke dalam, suasananya makin terasa hijau. Tak ubahnya seperti suasana pulau-pulau besar. Jauh berbeda dengan pulau-pulau kecil di sekitar Riau dan Kepri yang pernah saya kukunjungi. 'Peradaban' sepertinya berlangsung sudah cukup lama di pulau ini dan kehidupan cukup ‘normal’ seperti layaknya orang-orang di pulau besar. Pendeknya, pulau ini sepertinya cukup nyaman untuk ditinggali.

Di tengah jalan, kami diguyur hujan. Perjalanan saya baca akan memakan waktu sekitar 3 jam. Itu cukup lama. Si Abang Sopir berbaik hati beberapa kali menanyakan tujuan kami. Dan dia sepertinya punya cukup koneksi tentang kapal ke Belitong. Kami sempat singgah di rumah makan yang ramai. Hidangannya prasmanan dan lauknya beraneka ragam. Ada kepiting dan aneka hidangan laut. Rasanya sih standar dan harganya lumayan: 25 ribu per porsi. Saat makan kami sempat ngobrol sama ibu-ibu yang juga mau ke Belitong. Katanya kapal kemungkinan sudah berangkat. "Berapa lama ke belitong?" tanya saya.  "4.5 jam," katanya. Tapi pernah dia sampai 7 jam ketika cuaca buruk. Waduh. Agak miris juga mendengarnya.

Usai makan, si abang sopir memberitahu kami kalau kapalnya sudah nggak terkejar. Berarti si Ibu tadi benar. "Nanti bermalam saja di Pangkal Pinang." sarannya. "Sudah punya tiket?" "Belum." Jawab saya. Usut punya usut, kalau sudah beli tiket terusan, akan disediakan penginapan ternyata. Hmm, saya pikir itulah sebabnya tiket terusan Palembang-Belitong di batasi karena sering kejadian ketinggalan kapal begini. Tentu saja pihak kapal bakal bangkrut kalau harus menanggung penginapan semua penumpang kalau terjadi penundaan begini. 

Perjalanan ke Pangkal Pinang memang tak kurang dari 3 jam. Jalannya mulus dan lengang. Tapi hujan terus membuat saya ketar-ketir: kalau hujan terus begini, bisa jadi kami tak bisa kemana-mana. Untunglah, waktu kami sampai Pangkal Pinang, ternyata cuaca cerah di sana.

(Gagal) Berburu Seafood di Pangkal Pinang
Si abang berbaik hati mengantarkan kami ke dekat penginapan  di Jalan Mesjid Jami. Ada sebuah penginapan yang nampak kumuh, Penginapan Srikandi. Tapi karena yang menyambut kami seorang ibu-ibu, jadinya kami berpikir untuk menginap di situ saja. Suasananya seperti kos-kosan. Rp. 160 ribu per malam untuk dua orang. Ternyata itungannya per orang bukan perkamar. Cukup mahal juga karena kamarnya kecil saja. Agak lusuh. Meski kamar mandi dalam, tapi kamar mandinya sangat alakadarnya. Fasilitas lainnya AC tua dan tivi tabung tua. Cukuplah untuk beristirahat.

Setelah istirahat 1 jam melepas penat, kami jalan-jalan ke luar. Infonya dari ibu pemilik penginanapan: tempat nongkrong di Lapangan Merdeka. Nggak terlalu jauh. Kami jalan pelan-pelan saja, menelusuri trotoar emperan pertokoan. Suasananya khas kota kecil. Ada penjual otak-otak dan mpek-mpek yang menguarkan aroma cuka yang khas, penjual oleh-oleh yang dipenuhi kerupuk ikan bergelantungan...

Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya kami sampai di Lapangan Merdeka. Sebagaimana umumnya lapangan kota, lapangan ramai oleh anak-anak yang bermain dan penjual makanan gerobak. Saya sempat berpikir ini seperti Merdeka Walk-nya Medan atau semacam pujasera, ternyata ya lapangan kota biasa. Tapi suasananya cukup nyaman dan petang cukup cerah. Kami duduk-duduk hingga gelap dan memutuskan untuk cari rumah makan seafood tapi bingung dimana. Kami tak punya peta sama sekali.
Lapangan Merdeka,Pangkal Pinang


Lalu sambil jalan, kami nanya ke orang-orang yang kami temui dimana kami bisa makan seafood. Ibu-ibu penjual jajanan mengatakan kalau  kami bisa ke Puncak, di dekat ujung jalan. Puncak adalah semacam mall kecil. Kami langsung mikir, pasti fast food-fast food-an deh. Lalu kami tanya satpam bank di pinggir jalan. Seafood di belakang Lapangan Merdeka atau di seberang Barata (nama sebuah toko) katanya. Keduanya sudah kelewatan. Tapi Barata belum terlalu jauh, jadi kami memutuskan kesana. Tapi sampai disana, restorannya tutup. Mau balik ke Lapangan Merdeka enggan karena kaki sudah mulai capek. Ya sudah, kami balik, menyelusuri kompleks pemukiman yang ternyata padat.

Kami jalan pulang. Di sudut jalan yang kami lalui siang tadi, ada warung-warung yang tampak semarak. Menunya: mpekmpek-tekwan, sate dan sejenisnya. Sepertinya kultur Sumatera Selatan masih kuat di sini. Karena tak tahu mau kemana lagi dan sudah lapar, kami pun memutsukan singgah di salah satu warung. Saya pesan tekwan, teman saya pesan sate. Rencana wisata kuliner gagal.

Kami pulang ke penginapan. istirahat sambil menyiapkan tenaga esok hari. Rencananya kami akan jalan-jalan setengah hari karena kapal ke Belitong baru berangkat pukul 1 siang. Artinya kami harus bangun pagi-pagi agar punya cukup waktu untuk jalan-jalan. Mungkin ke pantai atau ke Belinyu yang katanya Kampung Pecinan.
(Bersambung)

Minggu, 28 September 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (1)

Jambi-Palembang
sumber: indonesia-tourism.com


Yeah, Babel, finally. Kesempatan itu akhirnya tiba: mengunjungi salah satu tempat yang masuk dalam list to visit. Karena kapal Palembang-Bangka hanya berangkat pagi, jadi saya dan Sasa, teman saya, memutuskan untuk berangkat dari Jambi malam hari, agar tak perlu menginap di Palembang. Perjalanan Jambi-Palembang, normalnya ditempuh 6-8 jam dengan travel. Ada banyak travel yang malayani rute ini. Demi mengirit budget kami memilih travel IMI yang murah meriah. Bayangkan, dengan fasilitas nyaris sama, kami cuma harus membayar Rp. 65000, sedangkan untuk travel biasa harganya Rp. 110.000. Kalau mau lebih murah lagi, sebenarnya bisa naik bus, (kalau nggak salah Rp. 55.000), tapi kami khawatir kalau bus jalannya lebih lambat, dan kami bisa ketinggalan kapal.

Perjalanan Jambi-Palembang cukup lancar. Si Abang Sopir sepertinya pasang gas terus sepanjang jalan dan tahu-tahu kami sudah sampai di Palembang. Di luar masih gelap, saya melirik jam: jam 2 pagi! Whuah...artinya kami masih harus menunggu lama hingga pagi menjelang.

Terdampar di Loket
Begitu turun di loket, abang-abang ojek langsung riuh menawarkan jasa. Sangat menggangu karena bahkan sampai kami duduk di bangku loket, mereka masih terus memburu kami dengan pertanyaan: mau kemana? Kami memilih diam saja. Saya sering mendengar bahwa di Palembang ini banyak orang-orang yang suka mencari-cari kesempatan. Kami khawatir kalau-kalau kami kelihatan tak tahu menahu nanti malah dikerjai.

Loket, seperti umumnya loket-loket transportasi darat di negeri ini, tak nyaman dan sangat alakadarnya. Tapi untung ada beberapa kursi butut yang dihamparkan di teras yang suram dan lusuh. Bersama kami, ada beberapa orang juga yang sepertinya harus menunggu pagi untuk meneruskan perjalanan. Kami memutuskan untuk tidur saja. Tapi ini pun tak terlalu nyaman karena tidur dalam posisi duduk membuat punggung pegal, belum lagi nyamuk yang berdengung-dengung.

Ketika terang menyergap, hujan rintik-rintik mulai turun. Semakin terang bertambah deras. Karena berdasar info kapal biasanya berangkat pukul 7 pagi, setidaknya kami sudah harus berangkat dari loket pukul 6. Tapi bagaimana kesananya ya? Kami bertanya pada ibu-bapak, sepertinya sepasang suami istri, yang juga menunggu bersama kami.

Si Bapak dengan antusias memberi kami arahan bagaimana caranya kami bisa ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Bangka. Tapi belum apa-apa, beliau sudah wanti-wanti supaya kami hati-hati, jangan tanya orang di sini karena itu akan menyusahkan. Waduh, saya mengerutkan kening. Keder. Sepertinya si Bapak memahami kekhawatiran kami, dan memutuskan untuk mengantarkan kami ke loket besar IMI. Menurutnya, di sana biasanya ada bus yang mengantarkan ke pelabuhan.

Loket besar hanya berjarak beberapa meter dari loket yang kami singgahi. Suasananya ramai tapi kumuh, khas tempat dimana kehidupan berlangsung selama 24 jam, penuh dengan orang-orang berwajah lusuh dan kuyu kurang tidur. Bis ke Bangka sudah mau berangkat. Tiketnya: Rp.220.000 untuk kelas ekonomi. Eksekutif sudah habis. Mahal sekali? Menurut info yang kubaca cuma 170-an ribu. Harga lebaran, kata abang penjaga loket acuh sambil mengulurkan kuitansi. Saya mengeluarkan uang Rp. 440.000 sambil meringis. 

Ke Pelabuhan Boom Baru
Kami dibawa dengan mobil kecil dan penuh sesak menuju sebuah kompleks pertokoan, dan berhenti di depan sebuah gedung bertuliskan nama perusahaan penyeberangan yang melayani rute Palembang-Muntok-Tanjung Pandan. Sopir dari loket turun untuk membeli tiket.  dan kemudian membagikannya kepada kami. Saya masih penasaran dengan harga tiket yang menurut saya cukup mahal. Jadi iseng saya masuk dan melihat harga daftar tiket: Rp. 190.000 untuk kelas ekonomi, 220 untuk eksekutif! Wah, sialan. Agak keterlaluan juga mereka mengambil untung untuk jarak sedekat ini: 30 ribu. Inilah penyakit orang-orang di negeri ini yang kadang membuat tak nyaman. Hmmh...

Abang yang tadi menyopiri mobil kami keluar dan membagikan tiket. Ketika sadar tak ada nama tertera, seorang bapak protes: bagaimana kalau terjadi kecelakaan? Tapi sepertinya si penjual tiket cuek saja. Ah, Indonesia!

Shuttle bus membawa kami ke pelabuhan Boom Baru. Pelabuhan itu kecil dan kumuh. Seharusnya kalau kami lebih berani, kami bisa  saja kami langsung cari tiket ke sini tadi, dengan harga normal tentunya. Tapi sudahlah.

Tak ada petunjuk apa-apa di pelabuhan dan orang-orang sepertinya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Petugas cuma mondar-mandir tanpa memberi bantuan apa-apa, malah ada yang sibuk jualan tiket travel dari Muntok. Saya sedikit bingung. Ke arah mana nih ruang tunggunya? Mana penumpang banyak sekali. Kami memutuskan mengikuti ibu-ibu dan dua anaknya yang tadi semobil sama kami karena dia tampaknya orang Bangka. Alih-alih menunggu di ruang tunggu yang memang kecil, penumpang berjubel di koridor keberangkatan.

Ada dua kapal yang sedang sandar. Tenryata yang satu ke Batam dan satunya ke Bangka tapi kapal pagi. Kapal kami yang jam 7 belum datang. Suasana benar-benar tak nyaman dan tak ada yang bisa diperbuat mengenai hal itu.

Setelah beberapa waktu, kapal muncul. Jetfoil berukuran sedang. Belum apa-apa saya sudah miris: apa muat penumpang sebanyak ini? Begitu pintu ke dermaga di buka, penumpang berjubel saling mendahului. Meski kami berada di antrian tengah, pada akhirnya kami menjadi yang paling belakang karena tak bisa cukup agresif bersaing dengan penumpang lain yang terus merangsek ke depan.  Ketika kami menoleh ke belakang, di belakang kami sudah kosong. Agak menyesal juga karena kami harus ikut berdiri berdesakan tadi. Kenapa tak duduk saja dan menyusul belakangan? Hihi...

Kapal yang Overload
Masalah belum selesai begitu memasuki dermaga. Lagi-lagi orang berebut ingin mendahului karena sepertinya kapal tak akan mampu mengangkut semua penumpang. Saya teringat pengalaman di Batam dulu: tiket sudah dibeli bukan berarti jaminan dapat berangkat. Waktu itu sih tiket bisa dikembalikan. Tapi di sini?  Dengan pelayaran yang sepertinya cuma sekali? Apa kami harus menunggu kapal besok pagi? Mengecewakan sekali. Tapi memaksakan masuk juga mengerikan. Banyak kejadian kapal tenggelam karena kelebihan muatan. Miris ketika melihat petugas kapal terus saja memasukkan penunumpang. Dua petugas pelabuhan yang berdiri di tangga diam saja. Apa mereka secuek itu terhadap keselamatan manusia?

Untunglah, beberapa waktu kemudian, petugas kapal mulai mencegah orang masuk kecuali pemegang tiket VIP. Tapi beberapa orang nekad masuk. Suasana mulai agak panas. Lalu seorang lelaki berwajah oriental berseragam kapal memerintahkan untuk menghentikan penumpang masuk. Mungkin dia pemiliknya. Ketika tangga ditarik, beberapa orang berteriak emosi: barang kami! Petugas berteriak balik: ini menyangkut keselamatan!  Pintu ditutup. Meski rasanya cukup kasar, tapi saya pikir lebih baik begitu daripada mengorbankan keselamatan.

Penumpang yang tertinggal masih cukup banyak. Tak ada kejelasan akan diapakan kami. Tapi saya pikir, pihak kapal tak akan tak bertanggung jawab juga karena ini menyangkut kepercayaan. Kemungkinan diikutkan di kapal berikutnya, karena dengar-dengar, sepertinya ada yang jam 12. Sedikit kecewa sih karena artinya kami tak akan bisa langsung ke Belitong hari ini. Konon kapal Bangka-Belitong berangkat jam 2 siang. Tak apalah.

Untunglah, kami ternyata tak harus menunggu lama, karena beberapa menit kemudian, kapal cadangan yang lebih kecil datang. Kami juga diuntungkan karena meski tiket kami tiket ekonomi, kami bebas memilih tempat duduk. Kami memilih duduk di kursi di belakang nahkoda. Waktu kami naik, si nahkoda sedang sibuk merayu seorang cewek berbaju merah. Saya dan teman saya cekikikan melihatnya. Apalagi melihat si cewek sepertinya menikmati digoda si cowok. Mungkin merasa keren digodain nakhoda kapal. Haha.

Kami berangkat sekitar jam setengah sembilanan. Menyusuri Sungai Musi yang berair jernih, lebar dan sepertinya cukup dalam karena nyatanya bisa dilayari kapal sebesar ini, dan juga kapal-kapal lain yang cukup besar banyak yang bersandar. Mencoba membayangkan di masalalu, zaman kejayaan Sriwijaya dulu, ketika kapal-kapal dari berbagai pelosok dunia singgah di sini...Syukurlah sungai ini masih terjaga ‘kualitas’nya hingga kini, karena biasanya kebanyakan sungai besar di masalalu, mengalami pendangkalan sehingga tak bisa dilayari lagi. Tapi Sungai Musi agaknya pengecualian dan semoga akan tetap begitu.

Kami melayari sungai cukup lama. Kanan kiri kebanyakan adalah pepohonan pinggir sungai. Membosankan. Saya tertidur. Sekitar 2/3 perjalanan adalah menyusuri sungai dan 1/3 nya baru memasuki lautan. Meski cuaca agak mendung, tapi ombak cukup tenang. Kapal melaju dengan tenang.
(Bersambung)

Sabtu, 27 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (IV-habis)

28 Desember, Au Revoir bangkok!

"Menjajal" MBK
Ini hari terakhir di Bangkok, tapi kami masih punya waktu hingga jam 4 sore. Setidaknya, kami masih bisa jalan-jalan setengah harian. Saya ngajuin opsi: jalan-jalan di sekitar Khaosan atau ngemall ke MBK yang konon favoritnya turis Indonesia itu? Tapi ujung-ujungnya saya tambahin: kalau cuma seputaran Khaosan bosen. Jadi sebenarnya bukannya ngasih opsi. Dan kami pun sepakat ke MBK.

Biar praktis, kami sekalian check out. Agak ribet juga sih kalau jalan-jalan dengan tas yang sudah makin berat. Tapi kami juga nggak mau ambil resiko terlambat ke bandara.


Kami nanya ke petugas hotel, kalau ke MBK naik tuk-tuk berapa? Karena dari kemarin belum jadi-jadi nyobain tuk-tuk, jadi masih penasaran. Tapi si mas resepsionis nyaranin kami untuk lebih baik naik taksi saja. Hmm, benar juga. Naik tuk-tuk bisa-bisa kami diajak muter-muter nggak jelas. Oke. Kami jalan keluar untuk cari taksi. Bye soi rambuttri, bye Baan Sabai. Bukan penginapan yang sangat berkesan tapi cukup memuaskan. Nggak tahu kenapa penginapan ini sepi-sepi saja padahal tarifnya cukup murah. Mungkin faslitiasnya yang kurang lengkap.

Kami naik taksi di pinggir jalan besar. Kali ini sopirnya bapak-bapak tua berwajah sangat Thailand, sedikit bisa Bahasa Inggris dan ramah. Seperti biasa dia nanya kami dari mana. Ketika kami bilang dari Indonesia, dia bilang ternyata orang Indonesia sama saja sama orang Thailand. Lalu kami terlibat obrolan basa basi sepanjang jalan. Bapaknya ramah banget. Pas turun dia ngajak kami salaman segala. Naik taksi sampai MBK 100 bath.

Masih terlalu pagi ketika kami sampai dan MBK belum buka. Di daerah ini ternyata berkerumun pusat-pusat perbelanjaan seperti halnya Pratunam. Ada Jim Tomson Jewelry yang kesohor itu, Siam Paragon...
Jajanannya mirip sama yang di Indonesia

Sambil nunggu mall-nya buka, kami nyoba cari makan tapi yang buka cuma McD. Kami nyeberang jalan, nemu penjual kue-kue basah seperti jajanan pasar di Indonesia. Kami membeli semacam kue bugis yang dibungkus daun pisang. Ternyata di situ ada juga penjual nasi yang dibungkus sterofam. Banyak orang-orang yang berlalulalang singgah untuk beli. Sepertinya mereka para pekerja di toko-toko situ. Nasi sama ikan 40 bath. Karena nggak ada tempat duduk, kami cuek saja makan di emperan toko yang belum buka. Orang-orang acuh saja, sepertinya itu bukan hal yang tak biasa.

MBK  baru buka jam 10. Para pekerja yang sudah datang sejak beberapa menit dan berkerumun di koridor jembatan penyeberangan, berhamburan masuk begitu pintu dibuka.

MBK mirip pusat perbelanjaan di Pratunam, tapi lebih besar. Kalau jualannya sih nyaris sama, baju-baju, souvenir, kain-kain Thailand. Harganya lebih miring daripada di pinggir jalan. Nyesel juga baru tahu terakhir-terkahir. Kalau tahu begini mending kami beli oleh-oleh di sini. Lebih nyaman tentu saja karena adem dan  bersih.

Karena kami tinggal punya beberapa bath dan oleh-oleh juga sudah terbeli, kami hanya lihat-lihat saja. Tapi tas yang menempel di punggung terasa makin berat, jadi kami pun menyerah meski rasanya masih terlalu pagi kalau ke bandara. Terakhir, pas jalan ke tempat nunggu taksi, lihat layar iklannya MBK dan disitu disebutin kalau ternyata ada tempat penitipan barang di lantai atas. Coba kami tahu sejak awal, tentu kami bisa bersantai ria window shopping.
Lanskap jalanan menuju bandara.
Don Mueang dan Sopir Taksi yang Nyentrik
Kami nyari taksi di luar. Dibantuin nyetop taksi sama satpamnya MBK. Ke Don Mueang, 400 bath. Nggak pakai argo. Kami males kalau nggak pakai argo. Mungkin sih jatuhnya akan segitu juga, tapi rasanya nggak sreg kalau nggak ber-argo. Akhirnya kami menyetop taksi berikutnya. Kali ini berargo. Yang bawa Bapak-bapak berwajah Chinese yang terlihat begitu necis, tapi cukup ramah. Sambil melajukan taksi, dia langsung muterin CD lagu Barat oldies. Pas banget dengan penampilannya. Hihi, lucu sih liat si bapak. Sepanjang jalan, dia ngajak ngobrol dengan Bahasa Inggris sederhana.

Taksi melaju. Nggak terlalu macet. Masuk jalan tol bayar 50 bath. Mirip-mirip jalanan ke bandara Soetta dengan gedung menjulang di kanan kiri dan tentu saja foto raja yang terpampang di semua sudut. Pemujaan yang terlihat total dari rakyat untuk rajanya.


Akhirnya sampai di Don Mueang. Argo menunjuk angka 200 bath-an. Tapi si Bapak minta tambahan 60 bath buat fee bandara atau apa gitu. Pokoknya totalnya 350an. Saya pikir, meski nggak sengaja, ide mencegat taksi di luar bandara waktu kami datang tempo hari adalah hal yang tepat. Kami dapat ongkos yang murah karena sepertinya nggak pake fee bandara segala macam.

Karena kami datang terlalu awal, counter check in kami belum buka. Untung ruang tunggu di luarnya cukup nyaman, meski sederhana saja. Kami tidur-tiduran menunggu waktu bersama penumpang-penumpang lain yang datang dan pergi. Rasa lapar menggerogoti lagi. Mau jajan di swalayan, harganya mahal-mahal semua. Mengalihkan rasa lapar dengan membaca dan mendengarkan musik. Ingat, barang yang tak boleh ketinggalan ketika melakukan perjalanan adalah buku dan pemutar musik!

Sekitar jam 2, check in dibuka. Antriannya minta ampun. Tapi kemudian saya ingat kalau kemarin waktu di Medan saya sempat check in di counter self check in dan boarding pass BKK-MDN sudah ter-print. Langsung saja ke waiting room, ujar si petugas. Kami pun melenggang ke bagian imigrasi. Plak2. Paspor kami distempel. Selesai. Kami menunggu di ruang tunggu yang lumayan mewah tapi terkesan hangat.

Au Revoir, Bangkok...
Pesawat agak terlambat beberapa menit. Tapi semuanya lancar. Meski semua fasilitas tambahan berarti nambah uang, tapi menurut saya pelayanan Air Asia cukup memuaskan. Crew-crew-nya lumayan ramah. 'MC' pesawatnya (hihi, apa sih itu namanya yang ngomong-ngomong di pesawat?) suara mas-mas yang terdengar empuk dan bikin meleleh. Hmm, kangen dengar orang ngomong pakai Bahasa Indonesia. Menurut saya, Bahasa Indonesia itu salah satu bahasa yang sangat indah buat didengarkan. Hehe,narsis.

Di belakang kami, ada turis Thailand yang mau wisata ke Medan. Paket turnya 20000 bath. Sekitar 6 juta. Lumayan murah ya. Sekitar satu jam kemudian, kami suara mas-mas yang menghanyutkan itu mengumumkan kalau kami akan segera mendarat di bandara Polonia. Tak ada perbedaan waktu antara Medan dan Bangkok, cuaca Medan berawan...Pesawat mendarat. Kami menjejakkan kaki di Polonia. Alhamdulillah. Liburan akhir tahun yang cukup menyenangkan. Sampai jumpa di petualangan berikutnya...:P

**(all photo credited to Mbak Tyas Augerah)


Catatan:

Pengalaman berharga dari perjalanan kali ini adalah:
- jangan sampai telat check in. Counter check in Air Asia biasa tutup 45 menit sebelum terbang. Di beberapa bandara, mereka sangat ketat terhadap aturan ini, terutama pada peak season. Untuk Air Asia, kalau ada yang bilang mau bantu, pastikan dia pakai seragam Air Asia. Terutama di bandara Polonia, banyak calo yang menyaru dan kadang memanfaatkan kelengahan kita. Be careful!

- Peta sangat penting buat memperhitungkan jauh dekat dan alternatif transportasi.

- Buku dan pemutar musik penting untuk membunuh waktu kalau tiba-tiba terjebak dalam situasi menunggu yang membosankan.

- Siapkan uang lokal pecahan sebelum keluar bandara. Ini penting banget kalau mau naik angkutan umum yang tarifnya murah meriah. Kalau kebetulan ada swalayan di bandara, jangan segan-segan mecahin duit disana. Dengan beli air mineral, misalnya.

-Terutama untuk cewek, pakai pakaian yang tak terlalu terbuka kalau mau mengunjungi tempat-tempat wisata di Bangkok. Kalau nggak suka pakai rok, bawa saja kain panjang buat jaga-jaga kalau nggak boleh masuk karena mengenakan celana.


Jumat, 26 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (III)

27 Desember: Pasar Terapung Damnoen Saduak, Shopping-Shopping

Jemputan yang Jam Karet
Kami bangun pagi-pagi dan bersiap. Ternyata lumayan berat juga bangun pagi-pagi. Salut juga dengan warung seberang jalan yang sepertinya tak pernah tutup.

Jam 7 kurang 10 kami sudah standby. Ternyata belum ada tanda-tanda jemputan. Jalanan masih lengang. Aroma masakan dari kedai makan di depan penginapan sudah menguar. Kami berniat beli sarapan, tapi tak ada yang menarik karena kebanyakan menunya pakai babi. Dua orang biksu dari kuil seberang berkeliling untuk mengambil sedekah. Matahari pagi berpendar di antara dahan-dahan ketepeng. Jalanan tampak basah, sepertinya hujan semalam. Suasana itu terasa begitu menenangkan.
Pagi yang tenang di Soi Rambuttri


Kami menunggu cukup lama. Ternyata sama saja kayak di negeri sendiri, jam karet. Hampir setengah 8 ketika mobil datang. Masuk ke mobil, kami disambut dua orang penumpang --mungkinsepasang suami istri--yang memperkenalkan diri bernama Julie dan Josh dari Malaysia. Lalu mereka mengajak kami mengobrol dalam Bahasa Melayu yang fasih. Katanya mereka sudah pernah bepergian kemana-mana. Ke Korea, ke New Zealand...Sepertinya mereka pasangan yang seru. Meski sudah terlihat cukup berumur, tapi terlihat masih mesra dan romantis. Lihat saja bagaimana kompaknya mereka pakai kaos pink-pink :)

Kami masih menjemput beberapa penumpang yang lain. Ada dua cewek dari Brazil, satu cewek dari Inggris, dan pasangan paruh baya dari Australia...

Mobil meluncur menelusuri jalanan mulus dan nggak macet.  Si guide, seorang perempuan muda, memperkenalkan diri bernama Phi. Dia menjelaskan bahwa perjalanan ke Damnoen Saduak memerlukan waktu sekitar dua jam. Hanya itu. Setelah itu dia nggak cerita-cerita lagi. Malah tidur kayaknya. Mungkin ini pekerjaannya setiap hari dan dia sudah bosan.

Pemandangan di kanan kiri hanya pemukiman-pemukiman yang tak terlalu khas. Semakin ke pinggir, bentang alamnya benar-benar sama dengan di Indonesia. Agak tandus, mirip-mirip daerah pinggiran pantai.

Sekitar dua jam kemudian, kami sampai di Damnoen Saduak,  floating market. Mobil berhenti di pinggir sungai kecil dengan boat-boat kecil yang berisik. Suasananya riuh rendah karena banyak turis. Setelah mengantri boat beberapa waktu, kami naik.
Pemukiman di sepanjang sungai menuju Damnoen Saduak. Bersih ya?

Damnoen Saduak: "Pasar Turis Terapung"
Boat meraung-raung, melaju menelusuri sungai kecil berair coklat dan anyir. Kanan kiri adalah rumah2 penduduk, rumah-rumah kayu panggung sederhana. Benar-benar mirip kayak perkampungan pinggir sungai di Indonesia.

Akhirnya terlihat tulisan 'selamat datang di Damnoen Saduak.'  Tapi mana pasarnya? Dari foto-foto yang pernah saya lihat, saya membayangkan sebuah pasar dengan para penjual bersampan, tapi ternyata ternyata kebanyakan kios-kios berdiri di daratan juga. Banyak boat, tapi bukan pedagang melainkan turis.

Sebelum menyebar, kami diterangin sama Phi. Di sini kami bisa tur gajah atau lihat cobra show. Kalau mau tur gajah atau liat pertunjukan ular, kumpul jam 10.30. Tapi bayar lagi. Untuk tur gajah kalau nggak salah 500 bath. Tapi kalau nggak mau ikut dua tur itu, bisa kumpul di sini jam 11.15. Di dalam, kalau mau naik sampan bayar 150 bath per orang. Oke. Kami sendiri tak berminat ikut dua tur yang lain. Sepertinya nggak terlalu worthed.

Kami masuk ke dalam. Padat sekali. Meskipun tak terlalu berminat, kami akhirnya memutuskan untuk naik sampan. Pendayungnya seorang ibu paruh baya yang cerewet. Sepanjang waktu dia terus teriak-teriak dengan bahasa yang tak kami pahami.
Damnoen Saduak yang super crowded

Sampan dikayuh, menghampiri penjual-penjual souvenir di pinggiran, ada yang pakai sampan juga. Sungai benar-benar padat. Bukan oleh pedagang, melainkan oleh sampan turis. Pedagang di sampan cuma beberapa, menjajakan makanan tentu juga untuk turis: buah-buahan segar yang terlihat menggiurkan, kelapa muda, kue-kue...Saya tak tahu, apa memang sekarang Damnoen Saduak memang sudah jadi atraksi turis semata atau memang ada pasarnya beneran. Seandainya ada, dugaan saya pagi-pagi sekali. Mungkin para pedagang-pembeli di sini sengaja memilih waktu yang tak akan terganggu oleh keriuhan turis.

Di tengah jalan, terjadi kemacetan. Sampan saling bertabrakan. Para pendayung saling teriak dengan bahasa yang melengking-lengking. Berisik. Turis-turis sibuk berfoto di atas sampan, tak terusik oleh keriuhan itu. Panas menyengat. Saya mulai merasa bosan. Perut juga mulai lapar. Akhirnya kami di ajak balik. Ya begitu lebih baik. Mending nyari-nyari souvenir menarik di pinggiran saja. Dan itu yang kami lakukan sekalian nyari makan.

Kami beli beberapa souvenir yang harganya cukup murah. Untuk tas-tas bercorak Thai, dihargai 300-400 bath, tapi akhirnya bisa ditawar 150-200 bath. Saya pikir harga di sini sedikit lebih murah daripada di Khaosan. Penjualnya juga ramah, dan lagi-lagi mengira kami orang Thailand juga.
Buah-buah segarnya menggiurkan :)

Karena kelaparan, kami cari makanan. Ada penjual mie kuah di pinggiran. Tapi sepertinya pakai babi, jadi batal beli. Akhirnya beli sesisir pisang, 20 bath, 5 potong ala kue serabi seharga 20 bath dan satu kantong jambu air yang merah menggoda seharga 50 bath. Tapi masih belum nendang rasanya kalau belum makan nasi. Eh, pas jalan keluar lihat rumah makan yang penjaganya berjilbab, mutusin mampir lah. Dia ngajak bicara bahasa melayu. Mungkin dari Malaysia atau Thailand Selatan. Kami makan, menunya ikan dengan bumbu kental. Satu orang 30 bath. Tak terlalu enak, tapi cukup menenangkan perut :)

Sekitar pukul 11 kami ke tempat bus. Setelah menunggu beberapa waktu, penumpang yang lain datang. Kami pun beranjak pulang. Beberapa didrop untuk lanjutin ke Tiger temple, termasuk pasangan Julie-Josh. Cuma kami dan pasangan tua Australia yang kembali ke Bangkok.

Saya tak terlalu tertarik lagi dengan pemandangan di jalan, jadi memutuskan untuk tiduran saja meski nggak bisa tidur. Damnoen Saduak tak terlalu mengesankan. Mungkin karena sudah terlalu populer jadi lebih sebagai tempat turis daripada pasar betulan.

Kami diturunkan depan Soi Rambuttri. Kami memutuskan pulang ke penginapan dulu karena ribet dengan barang-barang yang kami beli tadi. Hari masih siang,kami masih punya waktu sesorean untuk cari oleh-oleh.

Belanja-Belenji di Pratunam
Setelah istirahat sejenak melepas penat, kami berniat cari oleh-oleh ke Pratunam. Dari Khaosan kami naik bus no 2. Sampai di Pratunam bingung liat dept store di kanan kiri. Bayangan saya semacam pasar, ternyata pusat perbelanjaan modern. Celingak celinguk akhirnya mutusin masuk ke salah satu mall, City Center. Ternyata penuh sama penjual pakaian, jual baju yang cukup murah-murah dengan kualitas bagus: 200-300an bath. Di bawah 100 ribu. Kalau beli 3 lebih murah. Teman saya agak kalap. Saya sendiri tak terlalu tertarik untuk membeli pakaian. Sebenarnya masih pengin liat-liat, tp ternyata jam 7 sudah tutup. Kami segera keluar.

Pratunam

Di luar, masih banyak yang jualan. Kaos tipis yang kami beli di Khaosan seharga 120 bath kemarin, ternyata disitu cuma dihargai 100 bath. Kami masuk ke lorong yang semarak. Ternyata ada night bazaarnya meski barangnya nggak terlalu khas. Tapi di sini memang lebih murah. Ada kaos bertuliskan Thailand dengan bahan yang cukup bagus cuma 100 bath. Beberapa souvenir satu paket berisi 5 buah, juga dihargai 100 bath. Untunglah persediaan bath kami sudah tipis sehingga tak bisa lebih kalap belanja. Kami segera memutuskan untuk pulang. Eh, disorientasi arah lagi. Kami salah arah menunggu bus, jadi harus jalan lagi cukup jauh. Pegel.

Eh, sampai Khaosan pakai acara salah salah turun lagi. Kami nyasar masuk ke lorong kecil yang lengang dan suram. Ternyata itu rumah penduduk. Kumuh dan sempit, tapi cukup bersih.  Saya menyempatkan melongok ke dalam rumah-rumah yang berhimpitan. Cuma ambin-ambin dengan perabot sederhana. Mungkin mereka kaum miskin kota. Ironis juga sih ditengah dunia hingar bingar Khaosan road ada kehidupan seperti itu. Tapi yah, that’s life. Kami ikuti lorong makin nyasar. Akhirnya nanya cowok manis yang sedang mbersihin motor. Nyebrang, kata dia. Benar saja. Begitu menyebrang jalan, kami langsung disambut hingar bingarnya Khaosan.

(bersambung)

Bangkok, Suatu Ketika (II)

26 Desember: Bangkok City Tour

Mencoba Transportasi Sungai Chao Praya
Bangun pagi dengan badan lebih segar. Rencana pagi ini, ke tempat-tempat wisata di Bangkok, Grand Palace dkk. Saya ngajuin opsi: mau naik boat, tuk tuk atau taksi? Dari info yang saya baca, naik tuk-tuk bisa 50 bath-an.  Mahal, tapi nggak ada salahnya nyobain transport lokalnya Bangkok ini. Tapi akhirnya kami milih nyobain boat aja, apalagi dermaganya (pier) juga nggak jauh.

Kami cukup jalan kaki keluar gang kecil dekat Penginapan Bella Bella, lalu menyeberang ke dekat Navalai Hotel, nha, dermaga boat ada di gang kecil di sebelahnya. Awalnya kami ragu, karena gangnya begitu kecil dan ada beberapa bapak-bapak berseragam kayak tukang ojek. Ini dermaga apa pangakalan ojek? Tapi kemudian ada papan petunjuk kecil yang membuat kami yakin bahwa di situlah dermaganya.

Gangnya kecil banget, nyaris kumuh, penuh bendera-bendera plastik yang digantung. Bendera Thailand dan bendera kuning,  bendera kerajaan. Ketika kami melintasi bapak-bapak berseragam ojek itu, mereka cuek saja. Hmm, ini bedanya Indonesia sama Bangkok. Kalau di Indonesia pasti orang-orang seperti itu sudah reseh nanya ini itu. Tapi mungkin juga karena mereka mengira kami orang lokal, hihi..

Di depan kami terhampar Sungai Chao Phraya berlatar gedung-gedung perkotaan yang menjulang. Airnya terlihat cukup jernih dan bersih, mengingatkan saya pada Sungai Musi di Palembang. Tapi tetap saja, anyir.

Ada peta dekat dermaga yang nggambarin line boat. Tapi tulisannya keriting, pakai huruf Thai. Hadeh. Apa maksudnya? Dermaga sepi. Ada Ibu-Ibu sama Mas-Mas yang lagi mau buka lapak, sepertinya tempat jual tiket atau apa. Kami bertanya: Gimana beli tiketnya? Boatnya yang mana? menjelaskan dalam Bahasa Inggris sambil nunjuk peta. Saya bingung dengan logatnya yang belibet. Untung teman saya yang katanya terbiasa dengan logat Inggris Asia, bisa menangkap kata-katanya: beli tiket di boat, no sekian. Ooh...

Kami menunggu beberapa waktu. Kapal penuh sesak. Orang-orang berebut naik. Kami agak ragu, nanya ke kondektur kapal. Wat Arun? Iya katanya. Kami naik. Berdesakan. Sepertinya kapal salah satu transport umum masyarakat sini. Salut sih, karena ini angkutan praktis yang bebas macet. Kota-kota besar di Indonesia hampir semuanya di belah Sungai Besar, sayangnya jarang yang manfaatin buat jalur transportasi. Pemerintah sibuk menggalakkan tranportasi darat yang rentan macet. Sedih.

Kondektur mulai beredar buat nagihin ongkos. Wat Arun. Ujar saya sambil menyerahkan lembaran bath. Lupa saya berapa harga karcisnya. Tapi seingat saya lebih mahal dari ongkos bis. Kapal melaju.

'Nyasar' ke Wat Pho
Pas sampai di dermaga yang dimaksud kami turun. Dermaga kayu sederhana saja, nyaris reyot. Di seberang sungai, terlihat stupa kuil menjulang. Wat Arun? Loh ternyata masih di seberang toh? Sepertinya kami harus naik boat lagi ke seberang, tapi kami memutuskan jalan keluar dermaga saja. Ada pasar kecil yang tampak sangat tradisional. Dan di ujung jalan, ada Wat Pho yang megah. Saya membaca memang Wat Pho, Wat Arun dan Grand Palace berdekatan, tapi saya tak menduga sedekat ini. Kami memutuskan untuk ke Wat Pho.
Gerbang Wat Pho


Di pelataran, ternyata ramai sekali. Banyak remaja berseragam sekolah. Mungkin mereka lagi study tur. Juga ada beberapa turis mandar-mandir. Di dekat pintu masuk, ada loket penjual tiket yang memasang tarif masuk 100 bath atau 200 bath gitu. Lebih mahal dari yang saya baca di info internet yang kalo nggak salah cuma 50 bath. Tadinya kalau 50 bath saya mau saja, tapi 100 bath agak terlalu mahal dan kurang worthed. Saya pikir kuil ya begitu-begitu saja, kecuali bahwa di sini ada patung Buddha tidur, katanya. Kami urung masuk.
Jus buah delima yang menggiurkan :P

Ada banyak pedagang kaki lima di trotoar depan wat. Ada penjual rebus-rebusan: kacang rebus, ubi rambat rebus, kedeleai rebus...itu mah banyak di Indonesia. Yang agak beda penjual jus delima yang terlihat menggiurkan. Kami beli satu botol. 40 bath. Agak mahal, karena botolnya kecil saja. Kami foto-foto sebentar kemudian ke Grand Palace yang cuma di seberang jalan.

'Menggemporkan' Kaki di Grand Palace
Well, memang seberang jalan, tapi dikitari tembok dan kami harus berputar cukup jauh untuk sampai ke pintu masuknya. Mana matahari panas menyengat. Mengira bahwa bulan Desember, cuaca di Bangkok akan seperti di Indonesia, musim hujan adalah salah besar. Di sini Desember adalah kemarau.

Di pintu masuk Grand Palace, ada penjaga yang siaga di depan. Lucu dan kasihan melihat mereka harus berdiri tegak setiap hari begitu. Bersamaan dengan kami, rombongan turis berjubel. Mulai dari serombongan turis berwajah oriental, hingga bule-bule. Belum lagi rombongan anak-anak sekolah. Benar-benar ramai luar biasa.

Teman saya, Vince, sempat di tahan petugas karena pakai celana pendek. Beberapa orang yang berpakaian minim juga ditahan. Ternyata itu hal yang dilarang ketika masuk Grand Palace. Nggak boleh pakai celana pendek, rok pendek, celana yang terlalu ketat, baju yang terlalu terbuka...tapi tenang saja, pihak pengelola Grand Palace akan meminjami sehelai kain panjang yang bisa dipakai untuk rok dengan memberi deposit 200 bath. Nanti uang itu bisa diambil ketika mengembalikan kain. Di satu sisi, ini kesannya konservatif dan terlalu mencampuri urusan orang berpakaian, tapi di sisi lain saya pikir itu bagus buat negasin sikap 'dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.' Belakangan, saya dengar cerita teman saya yang mengunjungi beberapa tempat di Thailand ada peraturan nggak boleh pakai bikini atau pakaian terlalu terbuka buat turis-turis. Kalau di Indonesia dibuat aturan seperti itu, tentu nggak akan ada orang yang reseh kalau ada bule-bule setengah telanjang.

Untuk masuk ke Grand Palace, kami harus beli tiket seharga 400 bath! Ini juga lebih mahal dari yang kubaca yang cuma 350 bath. Apa karena ini musim turis atau memang beneran sudah naik? Tapi kali ini, bagi saya cukup worthed. Grand Palace adalah ikonnya Bangkok. Rugi kalau sudah jauh-jauh ke sini nggak masuk ke dalam.

Pas di pintu masuk, ternyata ada pintu khusus buat orang Thai yang free. Saya iseng bilang ke teman saya, kalau kita cuek lewat pintu itu, mungkin orang akan percaya saja. Tapi teman saya bilang, nanti kita bisa kehilangan lebih besar hanya karena nggak mau bayar jumlah yang kecil. Saya juga percaya hukum karma semacam itu.
Hmm, megah ya?

Grand Palace benar-benar terkesan megah. Sepuhan warna keemasannya berkilauan di timpa cahaya matahari. Saya teringat Candi Borobudur. Dulu saya sering berpikir, Candi Borobudur adalah mahakarya. Tapi di Grand Palace, saya akhirnya sadar bahwa ada banyak mahakarya di dunia ini.

Museum Ratu Sirikit: Sederhana tapi Terjaga
Area Grand Palace luas betul. Selain kuil, ada museum senjata yang penuh beraneka macam senjata mulai dari tombak, kujur, pedang...lagi2 nggak boleh foto-foto di sini. Lalu di dekat pintu keluar ada Museum Tekstil Ratu Sirikit, istrinya Raja Bumibhol. Penasaran, kami iseng-iseng masuk. Sekalian manfaatin tiket karena sudah bayar mahal-mahal rugi rasanya kalau disia-siakan. Adem banget di dalam.

Di dalam museum, ada koleksi bajunya Ratu dan ruang diorama yang memperlihatkan perjalanan Sang Ratu waktu melakukan kunjungan-kunjungan penting dengan baju-bajunya. Lagi-lagi nggak boleh ambil foto di sini. Menurut saya sih sih nggak terlalu istimewa. Pakaian tradisional Indonesia jauh lebih kaya dan indah. Tapi saya pikir bukan di situ intinya. Ini adalah bagaimana negara ini begitu mencintai dan bangga dengan produk negerinya. 

Setelah ngadem dan melihat-lihat, kami turun. Pas di bawah, petugas mempersilakan kami masuk ke ruang eksibisi. Disana boleh foto-foto, katanya. Hmm, boleh juga. Kami kira ruang apa, ternyata ruang kecil dengan gambar-gambar proses pembuatan sutra. Meski boleh foto, tapi obyek fotonya terbatas. Pendeknya, segala sesuatu di sini sederhana saja, tapi dikemas dengan begitu rapi dan wah.
Lapangan di sekitar Grand Palace yang teduh dan asri

Kami keluar, disambut matahari tengah hari. Lapar mendera. Dimana kami bisa mencari makan? Kami menyeberang ke lapangan yang cukup teduh dengan rerimbunan pohon. Ada beberapa penjual kaki lima di pinggiran. Pilihannya ada nasi dengan ikan dan ada yang dengan daging babi. Satu porsi 40 bath. Saya ambil yang pakai ikan sambal. Rasanya standar. Sebenarnya masakan Thailand nggak terlalu berbeda dengan masakan Indonesia, tapi saya merasa ada bumbunya lebih kuat sehingga agak membuat eneg kalau terlalu banyak.

Menunggu Bus No. 70
Perjalanan selanjutnya, ke Vinanmek Mansion. Ke sana kami bisa masuk gratis dengan modal tiket terusan dari Grand Palace. Kami tanya ke tourist center yang ada di dekat situ. Mas penjaga menjawab dengan logat Thai yang belibet. Intinya, tunggu aja di halte dekat situ dan naik bus no 70. Oke. Thanks. Kami berjalan ke halte dan menunggu. Semenit, 5 menit, 15 menit, setengah jam...bus yang kami tunggu tak juga lewat. Kami mulai merasa jenuh. Jangan-jangan kami salah informasi. Mungkin kami nyobain tuk-tuk aja kali ya? Teman saya mberhentiin tuk-tuk: 100 bath. 50? tawar kami. Tidak mau. Kami garuk-garuk kepala. Tak tahu seberapa jauh Vinanmek.


Ibu-ibu di sebelah kami yang sepertinya juga nunggu bus dari tadi, bertanya dengan ramah:
    'Mau kemana?'
     'Vinanmek.'
    'Coba saya tanya, bus nomor berapa. Tolong jaga barang-barang saya, ya?' ujarnya, meninggalkan barang-barangnya. Sepertinya dia baru belanja.
    'Naik bus no 70,' ujarnya, beberapa waktu kemudian setelah kembali. Hmm, kalau itu sih kami juga tahu, Bu. 'Nanti naik bareng saya saja, saya juga naik no 70,' tambahnya. Ibu itu benar-benar ramah. Dia mengaku hanya bisa Bahasa Inggris sedikit-sedikit, tapi dia berusaha mengajak kami mengobrol. Wajahnya sederhana seperti kebanyakan ibu rumah tangga, dengan beberapa noda kehitaman terbakar matahari di wajahnya. Tapi dia terlihat cukup pintar.

Setelah beberapa waktu dan bus tak kunjung datang, si Ibu menyarankan kami naik taksi saja. Nggak terlalu mahal, katanya. Kami hampir saja menuruti saran si Ibu, tapi kemudian bus No 70 datang. Si Ibu mengajak kami bergegas naik. Dia juga yang memesankan pada kondektur dimana kami akan turun. Ongkosnya, 6 bath.
Busnya tua, tapi bersih


Busnya tua dan kusam tapi ternyata didalamnya cukup bersih dan segar. Jendelanya dibiarkan terbuka setengah semua dan nggak ada yang merokok. Jadi cukup nyaman. Sayang, jalanan macet dan hawa panas menguar. Setelah terkantuk-kantuk sekitar setengah jaman, kami sampai di Vinanmek. Say good bye dan berucap terimakasih sama si Ibu. Si Ibu tampak senang dan mengucapkan have anice time sama kami. Uuuh, baik banget ya si ibu.

Vianmek Mansion: Syarat Masuk yang Ribet
Masuk Vinanmek lebih ribet. Nggak boleh pakai celana pendek juga dan kali ini kainnya harus beli, nggak bisa sewa kayak di Grand Palace. Harganya 50-100 bath. Tergantung jenis kainnya. Teman saya memilih nggak masuk daripada beli karena corak kainnya tidak menarik. Tas, kamera hp, harus dititipkan di loker. Katanya sih free, tapi ternyata kuncinya bayar 20 bath. Kami jalan ke bangunan bercat kehijauan, Vinanmek Mansion. Eh, belum. Alas kaki juga harus dilepas. Pokoknya kami masuk dengan tangan kosong. Ada petugas yang siap siaga memeriksa di pintu masuk. Teman saya, Mbak Tyas, ternyata lupa mengeluarkan hp-nya dari saku celana. Nggak boleh dibawa. Padahal itu hp odong-odong, nggak ada kamera, nggak ada fasilitas recording...terpaksa dia balik lagi buat nitip di loker. Duh...

Rumah Vianmek adalah rumah panggung kayu dengan didominasi cat hijau muda. Foto-foto hitam putih tua terpajang di dinding. Keterangannya, semua dalam tulisan Thai yang keriting. Nggak ngerti. Mungkin itu foto si Vinanmek waktu kecil dan muda. Tampangnya khas Melayu. Mungkin dia anak bangsawan atau apa. Saya belum sempat membaca sejarahnya. Di ruangan sebelah, ada beberapa petugas berseragam sibuk membersihkan karpet. Ada banyak sekali petugas berseragam di rumah ini. Dan saya berpikir, mereka akan membersihkan setiap sudut rumah ini setiap waktu karena sepertinya tak ada sebutir debu pun dibiarkan menempel. Luar biasa. 

Segerombolan anak sekolahan berjilbab menyeruak masuk. Ada guide dengan Bahasa Thai. Lalu masuk rombongan lagi. Ruangan jadi penuh. Saya merasa tak nyaman. Teman saya tak muncul-muncul. Saya mutusin jalan sendiri, menyusuri bentangan karpet merah yang dihamparkan sepanjang koridor. Bersih dan lembut.  Mengitari ruang demi ruang. Ada berbagai perabot antik dan mewah. Ada piano tua. Semuanya hanya bisa dilihat dari balik kaca. Semuanya terlindung. Hawanya dingin oleh pendingin ruangan. Ternyata rumahnya cukup besar. Ada banyak ruangan. Saya terus bertanya-tanya dalam hati, seberapa berharganya rumah ini sehingga dijaga sedemikian rupa?

Keluar saya bertemu teman saya dan dia mengeluh karena harus bayar lagi 20 bath. Wah, pintar memang orang di sini. Masuknya gratis tapi bayar ini itu.
Ananta Throne Hall yang megah
Ananta Throne Hall: Sama Ribetnya
Dari Vinanmek, kami jalan. Kami berniat ke Ananta Throne Hall yang menjadi bagian komplek ini, sebuah bangunan serupa kastil di negeri-negeri dongeng. Tiket Grand Palace juga masih berlaku di sini. Tapi syarat masuknya lebih ribet: harus pakai kain panjang. Celana panjang tak bisa. Dan harus beli, 50 bath. Sebenarnya sih bukan jumlah yang besar, tapi kainnya kain polos biasa saja. Kalau kainnya bermotif sih saya mau saja beli. Di sisi lain, dompet kami titipkan di luar jadi harus jalan keluar lagi untuk ambil uang. Kaki sudah pegal bukan main. Akhirnya kami memutuskan untuk batal saja. Mbak-mbak berseragam bicara dalam Bahasa Thai, saya bingung. Saya bilang saya bukan orang Thai dan harus ngambil uang diluar. Dia baru ngeh. Kami keluar dan memutuskan pulang saja. Ribet.

Bapak Baik Hati
Kami berniat ke pasar malam, Suam Lum Night Bazaar di daerah Lumphini. Kami keluar, nanya ke orang-orang bagaimana cara kesana, tapi pada bingung. Lalu Bapak-Bapak berwajah Chinese menghampiri kami dan dengan ramaha bilang, kalau kami bisa naik bus 70 lalu turun di victory monument, terus naik 49 atau berapa gitu. Karena dilihatnya kami bingung, akhirnya dia bilang,
    'Bareng saya saja. Saya temenin.' Maksudnya dia nemenin kami? Aduh. Kok jadi merepotkan. Tapi mudah-mudahan maksudnya cuma bareng saja, sekalian.

Seperti halnya ketika kami hendak kesini tadi, menunggu bus 70 memang lama. Kami mikir untuk naik taksi. Tapi mungkin terlalu jauh dan mahal. Setelah mungkin sejaman menunggu, bus baru nongol, si bapak ngajak kami naik. Setetalh beberapa waktu,  si bapak ngajak kami turun. Lalu dia ngajak kami cari bus berikutnya. Istrinya ternyata bareng dia, terseok-seok di belakang dan akhirnya disuruh nunggu. Dia sepertinya memang khusus turun untuk mengantar kami. Dia bawa kami nyeberang dan kasih catatan dalam tulisan Thai beserta no bus yang harus kami naiki.
    'Ini nanti kasih aja ke kondektur,' ujar dia sebelum kami berpisah. Kami mengucap banyak terimakasih. Ya ampun...baik banget! Benar2 mengharukan kebaikan orang Thailand ini!

Ketika bus datang, seperti pesan si Bapak, kami kasih catatan ke kondektur dan dia ngangguk-ngangguk. Bus melaju menyusuri jalanan Bangkok yang cukup padat. Lalu lintas ramai dan macet.  Suara bus menderu-deru, tapi lajunya tak terlalu kencang. Saya terkantuk-kantuk, pengin banget tidur, tapi takut kalau tidur kelewatan. Lewat Siam Mall, lewat Chulalongkorn...kemarin hingga siang ini saya  berpikir kalau nggak ada gedung pencakar langit di Bangkok kayak di jakarta, ternyata dugaan saya salah. Semakin ke tengah kota, terlihat gedung-gedung menjulang dimana-mana. Udara juga mulai terasa pengap oleh polusi. 

Terdampar di Lumphini & Seafood yang Yummy
Matahari sore jingga bersinar. Perjalanan sepertinya cukup jauh. Saya khawatir jangan-jangan si kondektur lupa mengingatkan kami. Ternyata nggak. Dekat Lumphini dia mendekat dan bertanya:
    'Lumphini?'
    'Ya.' Dan turunlah kami di Lumphini. Daerah pertokoan dengan trotoar penuh pedagang aneka makanan dan souvenir. Dimana pasar malamnya? Nha lho, nggak ada tanda-tanda. Kami menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Masih tak ada tanda-tanda. Akhirnya nanya ke Ibu-Ibu berseragam (mungkin PNS) yang lagi ngobrol dengan penjual makanan pinggir jalan. Dia ramah, tapi jawabnya pakai bahasa Thailand. Yah, bagaimanapun sepertinya cukup sulit membedakan kami dari Orang Thailand kebanyakan karena memang berasal dari ras yang sama.  Ketika akhirnya saya tanya Suam Lum Night, dia bilang,
    'No-no,' Saya agak bingung. Maksudnya nggak ada lagi ya? Dan memang begitu kenyataannya: pasar malam di Lumphini sudah tidak ada lagi.
Nemu kedai seafood yang nyam-nyam


Oke, karena sudah terlanjur sampai di sini dan lapar, kami memutuskan untuk mencari makan. Kami mneyusuri emperan toko yang penuh pedagang kaki lima. Banyak makanan serupa jajanan pasar, tapi kami butuh sesuatu yang bisa mengganjal perut. Akhirnya masuk ke gang yang nampak semarak. Tapi kebanyakan makanan yang dijual bermenu babi. Ketika lewat penjual seafood yang nampak segar menggiurkan, kami memutuskan untuk mampir. Ada aneka sup ikan dan jamur. Hmmm...saya pesan sup jamur pakai ikan, si Vince pesan sup jamur dan Mbak Tyas seafood. Dimakan selagi panas, rasanya menyegarkan dan memuaskan perut. Penjualnya sepasang suami istri yang ramah. Harganya 50-60 bath. Sepertinya jualan itu cukup laris karena banyak pelanggan datang dan pergi.

Kembali ke Khaosan
Usai makan, kami jalan menuju stasiun MRT untuk ke Hualamphong. Tiketnya 20 bath. Stasiun sepi banget, sepertinya jarang orang yang naik MRT. Mungkin karena MRT cuma menjangkau beberapa spot dan juga ongkosnya lebih mahal.

Dari Hualamphong kami keluar stasiun dan mencari bus no 53 jurusan Khaosan Road. Setelah beberapa menit menunggu, bus datang. Bus membelah jalanan malam kota Bangkok yang gemerlap. Pas lewat China Town, saya melongokkan kepala. China Town tampak semarak dengan lampion-lampion merahnya. Orang-orang yang berjubel di pinggir jalan. Sepertinya ada banyak kuliner enak disini. Agak nyesel juga, coba tadi ke situ aja?
Chinatown


Lalu lewatin pasar bunga yang penuh bunga. Sepertinya bunga jadi komoditi utama di sini karena orang-orang butuh buat sesaji. Hampir di semua sudut ada sesajen bunga-bunga di sini. 

Lokasi itu sudah dekat Khaosan. Tapi pas mau turun kami agak disorientasi. Ini bus lewat sebelah mana ya? Sebaiknya turun dimana? Akhirnya, daripada kelewatan kami turun di halte yang agak jauh saja. Yah, lumayan untuk memperparah pegel di kaki :)

Sampai di penginapan, kami menyempatkan diri singgah sebentar di travel agent di dekat meja resepsionis untuk pesan tur buat ke floating market besok pagi. Berdasar info panduan, kalau mau wisata ke pasar terapung, mending lewat travel agent saja daripada jalan sendiri karena jatuhnya bisa lebih mahal. Lagipula lebih simple meski mungkin unsur petualangannya jadi kurang. Tokh kami juga nggak punya banyak waktu disini.

Si mbak menawarkan dua paket ke floating market Damnoen Saduak: setengah hari ke floating market saja, 300 bath. Seharian sampai ke Tiger Temple 500 bath. Saya usul ke teman-teman, kalau masih mau belanja-belanja, mending setengah hari saja. Semua setuju. Jadi kami ambil yang setengah hari. Besok mulai jam 7 pagi. Oke. Jam 7 kurang 10 sudah disini. Oke.

Sebenarnya, 300 bath mungkin agak mahal karena yang saya baca bisa 250 bath. Tapi kami sih mikir praktisnya saja.
(bersambung)

Rabu, 24 September 2014

Bangkok, Suatu Ketika (I)

25 Desember 2012: Welcome to Bangkok

Yeah, Bangkok, akhirnya. Setelah tertunda lebaran lalu akhirnya terlaksana juga.Dari jauh-jauh hari sudah melototin Airasia. Tiketnya mahal terus, nyaris di atas satu jutaan di akhir tahun. Jadi ketika ternyata ada yang di bawah satu juta, langsung booking meski waktunya nggak terlalu sip: tanggal 24-28 Desember. Sebenarnya ingin sampai tahun baru, tapi usai tahun baru tiket pulangnya sudah mahal.

Kami berangkat bertiga dari Medan tanggal 25 Desember. Saya, Vince dan Mbak Tyas. Sebuah insiden bodoh dan menjengkelkan menghanguskan tiket kami tanggal 24 dan kami terpaksa beli tiket keesokan harinya karena cuma ada satu penerbangan sekali dalam sehari Medan-Bangkok. Sebuah pelajaran berharga untuk selalu berhati-hati dan untuk sebisa mungkin ontime datang 2 jam sebelum keberangkatan untuk check-in.

Kami menukar rupiah di bandara. Kala itu nilai tukar rupiah sedang turun. 1 bath: Rp.330 dan USD 1: Rp.9670. Untuk dollar, sebenarnya cukup rendah, tapi sayangnya saya sudah nukar duluan di bank dengan harga cukup mahal: USD 1 hampir 10 ribu. Jadilah saya cuma nukar bath, 1000 bath saja. Dari hasil baca-baca, katanya biaya hidup di Bangkok itu cukup murah. Saya memperkirakan, 3000 bath saja cukup.

Perjalanan Medan-Bangkok memakan waktu 1 jam 45 menit. Sore cerah ceria ketika kami menginjakkan kaki di Don Mueang Airport. Bandaranya kecil saja, tampak sepi dan sederhana tapi terkesan bersih dan lengkap.Kami antri di imigrasi yang tak terlalu ramai. Seorang mbak-mbak berseragam mengingatkan kami untuk mengisi tempat tujuan selama di Bangkok di kartu imigrasi. Aku sudah mengisinya, asal-asalan saja karena memang belum booking penginapan. Dan itu cukup. Tak ada lagi pertanyaan di imigrasi. Stempel, selesai. Sawadikab...heih. Saya menandai orang Thailand memang mirip orang Indonesia, tapi kulitnya lebih terang dan mata lebih sipit.

Ke Khaosan: Kereta Api, Mas Eddiyanto & Ditolak Naik Bus
Tujuan pertama kami: Khaosan Road, karena konon di sana penginapannya murah-murah. Saya mendapat info soal transportasi dari Don Mueang-Khaosan bisa ditempuh dengan: 1. taksi. 2. kereta api sampai Hualamphong saja (semacam pusat kota) dan 3. Bus Kota tapi mungkin turunnya nggak pas di tempat yang kami tuju.

Pilihan pertama tentu paling efesien karena kami bisa langsung minta diantar ke tujuan. Tapi berdasar info, cukup mahal. Sekitar 350 bath, belum lagi kalau terjebak macet. Konon, Bangkok mirip-mirip Jakarta yang rawan macet. Pilihan kedua, mungkin kami akan sedikit bingung di Hualamphong tapi bisa lebih murah. Ketiga, juga hampir sama dengan yang kedua.

Karena hari masih siang, kami berniat naik kereta api. Stasiunnya ada di luar agak ke bawah. Ternyata kami harus menunggu sejaman lagi kalau mau ke Hualamphong. Kami berpikir itu akan terlalu sore, takutnya kemalaman di jalan. Padahal saya suka disorientasi kalau sudah malam. Jadilah kami memutuskan batal naik kereta api.
    'Mau kemana?' tanya mas-mas yang sepertinya juga batal mau naik kereta api.
    'Hualamphong.' sahut saya. Dia bilang juga mau ke Hualamphong dan ngajak bareng. Eh, setelah ngobrol ternyata dia orang Indonesia juga. Tadinya saya pikir orang Thailand yang bahasa Indonesia karena logatnya aneh. Tapi dia bilang, itu karena dia lama di Hongkong. Namanya juga Indonesia banget" Eddiyanto. Hihi.

Kami berpikir untuk naik taksi saja, tapi kemudian lihat sign ‘bus’ jadi kepikiran untuk mencoba. Dengan bertambahnya rombongan, saya merasa menjadi lebih percaya diri. Dan si Mas pun sepertinya begitu. Kami jalan keluar bandara untuk mencari bus. Melintasi pelataran, di bawah jalan layang ada petugas dan kami nanya. Karena logatnya asing, saya nggak terlalu mudeng apa yang dia omongin. Tapi kami kira-kira artinya begini: naik jembatan penyeberangan, ke kanan. Memang ada jembatan penyeberangan di depan kami dan kami menyeberang. Tapi pas sampai di seberang, nanya orang, ternyata yang arah Khaosan  atau Hualamphong yang di seberangnya. Hadeh...salah menerjemahkan petunjuk. Kami pun balik lagi. Cukup ngos-ngosan karena jembatannya lumayan tinggi.

Halte bus di sini sangat alakadarnya. Tak ada papan petunjuk seperti di Singapura, yang ada cuma nomer-nomer bus saja. Kami bisa naik bus No. 29 untuk menuju Hualamphong.

Ternyata ada tulisan tentang rute bus di halte. Kecil saja. Dari kertas biasa dengan tulisan tangan: dalam bahasa Inggris dan Perancis. Nomor bus lengkap dengan rutenya. Dugaan saya, ini dilakukan oleh turis baik hati yang mungkin merasakan kebingungan yang sama untuk turis asing seperti kami. Ternyata bisa kami bisa naik bus No 59 ke Sanam Luang, dekat Khaosan, jadilah kami urung naik 29 dan berpisah dengan si Mas.

Kami naik bus dengan sedikit ketar-ketir karena kami tak punya recehan. Hanya ada pecahan 1000 bath. Padahal kubaca ongkosnya cuma sekitar 6 bath per orang. Waduh...Kondektur, seorang perempuan paruh baya berseragam dan mengenakan masker wajah, menghampiri kami. Khaosan Road? Tanya saya. Sepenglihatan saya dia melihat lembar 1000 bath di tangan teman saya dan menggoyangkan tangannya tanda tidak. Eh? Kami bingung. Di halte berikutnya, kami disuruh turun. Kami benar-benar bingung. Setelah dipikir-pikir, mungkin dia nggak mau bawa kami karena kami nggak punya uang kecil. 1000 bath jumlah yang sangat besar untuk ongkos bus yang ternyata ternyata nggak sampai 20 bath untuk kami semua. Pelajaran pertama, siapkan recehan kalau mau naik angkutan umum!

Taksi yang Murah ke 'Khaosan Lod'
Akhirnya kami mutusin nyegat taksi saja. Bermeter? tanya saya pada taksi pink yang kami stop. Si sopir taksi, bapak tua dengan rambut putih yang tampangnya mirip Abah Kkurdi di Keluarga Cemara mengangguk.
    'Khaosan road'
    'Khaosan lod?' ulangnya. 'Yeah.' Kami pun naik. 'Khaosan lod?' Ulangnya sekali lagi. Sepertinya tak ada 'r' dalam logat orang Thai. 'Ya.'jawab saya.'Soi Rambuttri.' tambah saya, memastikan bahwa jurusan yang kami tuju benar. Dia mengangguk. Kemudian saya mencoba mengajaknya mengobrol pakai Bahasa Inggris.Tapi dia menggoyangkan tangannya. Nggak ngerti. Dia nggak bisa Bahasa Inggris. Wih, susah juga. Tapi percaya sajalah. Taksi melaju. Jalanannya lebar-lebar. Di kiri kanan, landscapenya mirip di Indonesia, dengan ceceran sampahnya, kelusuhan debunya...pemukiman kumuh di sepanjang pinggir selokan...sangat Indonesia. Tapi kemudian kami sadar, ada beberapa yang berbeda: trotoar teduh dan lebar yang terlihat nyaman untuk pejalan kaki...nggak terlalu bersih, tapi cukup bersih. Macet juga, tapi cukup tertib. Tulisan-tulisan keriting dari baliho dan papan nama yang bertebaran...

Saya memperhatikan argo taksi. Dimulai dari angka 35, lalu 100an...katanya sih sekitar 350an. Malah bisa sampai 400an kalau kejebak macet...jauh kah? Ternyata tanda2 Khaosan Road sudah nampak dan argo masih 100-an. Soi Rambuttri, kata saya mengingatkan. Sepertinya si Bapak cukup paham.

Soi Rambuttri, tak setenang kelihatannya, lho..
Soi Rambuttri: Tak Seperti yang Saya Bayangkan
Kami masuk area Khaosan. Sekilas mirip Jalan Malioboro-nya Jogja, dengan stan-stan pinggir jalannya. Lalu...Soi Rambuttri! Karena jalannya kecil dan padat, si Bapak mengatakan sebaiknya kami turun di situ saja karena sulit untuk masuk. Saya pikir juga begitu karena kami belum tahu mau menginap di mana. Argo 190 bath. Teman saya kasih 1000 bath. Pak sopir menolak. Kami pun ke minimarket Seven. Kami beli air mineral dan hand body. Uang pun pecah. Bayar taksi 200 bath. Cuma 200 kok, siapa bilang 350? Pelajaran kedua, kalau mau naik taksi dari bandara, cari taksi yang di pinggir jalan raya karena sepertinya mereka nggak perlu bayar fee bandara! Tapi yang berargo ya ;)
Khaosan Road yang semarak

Saya merasa sedikit pusing menjejakkan kaki di Soi Rambuttri. Alasan saya memilih Soi Rambuttri untuk cari penginapan karena saya baca tempat ini lebih lengang daripada Khaosan Road. Saya membayangkan tempatnya memang benar-benar sepi, ternyata masuk mulut jalan, kami langsung disambut keriuhan kafe-kafe terbuka yang dipenuhi bule...Whoa! Apanya yang sepi? Saya mulai membuka peta print-printan dari hasil browsing internet, lengkap dg nama-nama penginapan berikut harganya di sepanjang Soi Rambuttri. Sawasdee...ramai banget ternyata, Rambuttri Inn Village...ramai juga. Kami jalan saja. Suasananya benar-benar di luar bayangan dan membuat kami sedikit keder. Jalan terus...akhirnya nemu penginapan yang agak sepi ; Baan Sabai. Saya buka peta, harganya mulai dari 190 bath. Kami memutuskan untuk mampir.

Baan Sabai & Insiden Patah Kunci
Untuk kamar double dengan private bahtroom dan ac harganya 500 bath. Bed tambahan 100 bath. Totalnya 600 bath. Kalo dikurs-in sekitar Rp. 150.000. Kami bagi tiga. Murah kan? Ada yang 300 bath, tapi kamar mandinya sharing. Saya pikir itu harga yang masuk akal, lagipula kami sudah capek dan ingin istirahat. Kami memutuskan untuk melihat kamarnya. Di lantai dua. Kamarnya dilorong yang sempit, meski agak gelap tapi kesannya nggak sumpek. Tapi pas mau buka kamar, kuncinya mleyot-mleot dan...patah!

Kami turun ke bawah. Minta maaf. Si resepsionis, mas-mas berkacamata terdiam sejenak, kemudian ngasih kunci yang lain: 310. Waduh! Naik lagi. Tapi kami merasa nggak enak karena sudah matahin kunci, jadi berpikir untuk ambil kamar disini saja.
Kamar mandi luar yang bersih dan banyak

Posisi kamarnya sama kayak di lantai dua. Lorong-lorongnya panjang dan suram tapi bersih sekali. Kamarnya kecil saja, dengan dua bed, kamar mandi dan ac serta jendela yang menghadap keluar, ke jalanan Soi Rambuttri. Cukup nyaman dan bersih. Kami ambil semalam saja dulu, berpikir besok mungkin bisa cari tempat lebih baik.

Makan Malam yang Berempah
Usai mandi, kami keluar untuk cari makan. Di depan penginapan banyak penjual makanan. Warung-warung tenda yang kondisinya sama kumuhnya kayak di Indonesia. Tadinya agak khawatir harganya mahal ternyata antara 40-an bath. Sekitar 12 ribu. Ada tom yam, pad thai, nasi goreng...Saya pesan pad thai, teman saya pesan semacam tom yam dan nasi goreng. Pad thai ternyata mi goreng dengan campuran rasa asam. Tidak terlalu istimewa. Tomyamnya teman saya yang enak: pedas dan penuh aroma rempah. Kalau nasi gorengnya berasa jagung.
Rempahnya terasaaa
Hingar Bingar-nya Malam di Khaosan
Usai makan kami mutusin muter-muter mengenal sekitaran. Ternyata ada lorong-lorong kecil tempat penginapan-penginapan nyempil. Lalu kami sampai di Khaosan Road. Semarak oleh pasar malam. Kami mulai agak kalap dengan berbagai pernik. Niat mau beli ini beli itu. Akhirnya beli kaos lucu seharga 120 bath sama mas-mas alay yang sibuk pakai lipgloss. Harga barang-barangnya antara 100 sampai 250 bathan. Teman saya tertarik nyobain kalajengking goreng ada juga ulat kecil-kecil goreng. Kami beli 20 bath dicampur. Ternyata sedikit banget.
Kuliner legendaris, hihi

Muter dari ujung ke ujung. Jalanan sangat semarak. Khaosan memang sepertinya benar-benar surga backpacker. Turis-turis berkeliaran, kongkow di kafe, ketawa keras-keras, musik berdentum...entah dari belahan dunia mana saja orang-orang ini. Apa sebenarnya yang mereka cari? Apa juga yang kami cari?

(Bersambung)