Laman

Minggu, 31 Agustus 2014

Berjibaku dengan Debu dan Beku di Mahameru (2)

Ranu Kumbolo yang ramai oleh para pendaki
Hari beranjak terang, saya memutuskan untuk mencuci muka dan gosok gigi di Ranu Kumbolo. Danaunya membiru, tampak tenang dan permai tapi airnya dingin membekukan. Dan meski masih tergolong bersih, tapi juga tidak sangat bersih. Saya pikir, efek dari banyaknya pengunjung.

Ranu Kumbolo & Visualisasi yang Salah Kaprah
Sembari mencuci muka, saya mencuri dengar obrolan penjual nasi--yah, ternyata ada penjual nasi dan gorengan pagi-pagi--dan beberapa pendaki tentang film 5 Cm. Seperti diketahui, Ranu Kumbolo adalah danau yang dianggap suci oleh Suku Tengger. Jadi tidak boleh seenaknya dikotori, termasuk untuk mandi. Tapi dalam adegan film itu, digambarkan kalau tokoh-tokohnya mandi dan berenang di Ranu Kumbolo. Menurut si Bapak Penjual Nasi, mereka sudah ijin (saya pikir dengan kompensasi uang juga) dan mandinya juga hanya di pinggiran saja. Si Bapak yang tak paham teknik visual effect, merasa heran, bagaimana di film kemudian bisa diubah terlihat dalam.

Tapi menurut saya bukan itu masalahnya. Seharusnya kru film itu tak perlu memasang adegan itu kalau memang sebenarnya itu sesuatu yang tabu hanya karena alasan visualiasasi yang elok. Menurut saya, itu sama saja dengan memberi pemahaman yang keliru tentang Ranu Kumbolo. Apa salahnya misalnya mereka menyebutkan kalau Ranu Kumbolo itu disucikan dan tak boleh mandi-mandi di situ? Dengan begitu, masyarakat yang menonton justru akan mendapat pengetahuan sehingga ketika mengunjungi Ranu Kumbolo, jadi lebih berhati-hati. Film seharusnya tidak semata mementingkan komersialitas,tapi juga menjadi penyampai pesan ke masyarakat tentang menghargai budaya sebuah suku.
Tanjakan Cinta yang bikin ngos-ngosan
Terengah-engah di Tanjakan Cinta
Sekitar jam 9 kami berkemas. Tujuan berikutnya, Kalimati. Tantangan pertama adalah Tanjakan Cinta yang berada di seberang Ranu Kumbolo. Tanjakan setinggi sekitar 30 meter, yang cukup curam. Disebut tanjakan cinta konon karena dulu ada sepasang kekasih yang salah satunya meninggal di sana. Ada mitos konon bagi orang yang sedang jatuh cinta, ketika melewati tanjakan ini tanpa berhenti dan tanpa menoleh ke belakang kisah cintanya akan berakhir bahagia. Tapi dengan beban di punggung--bahkan tanpa beban sekalipun, perlu usaha ekstra untuk tidak berhenti setiap beberapa langkah karena dada seakan mau meledak. Ngos-ngosan.

"Mengarungi" Oro-Oro Ombo
Setelah Tanjakan Cinta adalah hamparan padang rumput dan lavender yang luas, Oro-Oro Ombo. Pemandangannya menakjubkan. Sayang, karena musim kemarau, lavendernya mengering. Meski begitu, tetap menyajikan pemandangan yang memukau. Kami agak berlama-lama di situ, puas berfoto-foto padahal matahari sudah mulai terasa terik. Di Pos 1 kami diberi pesan bahwa diusahakan melintasi tempat ini pada siang hari karena akan berbahaya jika malam hari. Tempat ini dianggap angker, selain itu, juga banyak terdapat satwa liar. Keberadaan orang pada malam hari akan mengganggu satwa-satwa tersebut.

Cemoro Kandang
Di penghujung Oro-oro ombo adalah Pos Cemoro Kandang berupa barisan hutan pinus yang cukup teduh, tapi sayangnya agak kotor. Pesan di pos pertama untuk tidak membuang sampah sembarangan agaknya tidak dihiraukan oleh beberapa pendaki. Belum lagi jika berjalan ke semak-semak di bawah pohon pinus, penuh ranjau kotoran manusia!
Oro Oro Ombo

Kami beristirahat agak lama di Cemoro Kandang. Beberapa pedagang makanan memajang dagangannya: nasi bungkus, aneka gorengan, air mineral dan semangka. Harganya agak mahal, tapi cukup terjangkau. Untuk gorengan dan semangka, Rp. 5000: 2 potong. Nasi: Rp. 15000 satu bungkus. Air mineral ukuran 1500 ml: Rp. 25.000. Menurut saya itu harga yang masuk akal, mengingat para penjual ini harus berjalan kaki dari bawah setiap hari dengan membawa aneka jualan itu. Jadi, jika malas membawa logistik, bisa dijamin tetap tak akan kelaparan mendaki Semeru.

Perjalanan dari Cemoro Kandang ke Jambangan sebenarnya pendek saja, tapi cukup melelahkan. Jalannya menanjak dan sangat berdebu. Selain ramai orang yang mendaki, ramai juga orang yang turun. Dan debu berhamburan di tengah udara yang panas. Belum lagi rasa lelah sisa perjalanan kemarin belum sepenuhnya tuntas. Kami benar-benar merasa kelelahan, berhenti setiap beberapa langkah untuk melepas lelah dan mengatur napas. Perjalanan terasa lambat.

Jambangan Yang Bak Lukisan
Sekitar jam 2 siang, kami sampai di Jambangan. Pos ke-6. Penderitaan untuk sementara berakhir di Jambangan karena medannya yang landai dan cenderung menurun hingga ke Kalimati. Jambangan menyajikan pemandangan yang juga menakjubkan, hamparan padang rumput, rerimbunan perdu dan juga lereng Semeru yang tampak garang dan kerontang. Sementara jalan ke Kalimati sendiri adalah hutan pinus yang teduh. Benar-benar teduh sehingga sejenak saya lupa kalau tengah berada di ketinggian gunung karena suasananya seperti perkebunan saja.
Puncak Mahameru dari Pos Jambangan

Pos Terakhir: Kalimati
Kalimati juga ramai. Kami mendengar bahwa udara di Kalimati justru lebih hangat daripada di Ranu Kumbolo. Mungkin karena vegetasinya yang masih rimbun. Kami melepas lelah, masak-masak dan beristirahat untuk menyiapkan energi karena malam nanti adalah 'perjalanan yang sesungguhnya': mendaki puncak Mahameru!

Kami memutuskan untuk tidur begitu petang menjelang. Udara memang tak terlalu dingin sehingga kami bisa tidur dengan cukup nyaman, kecuali bahwa beberapa penghuni tenda sebelah begitu riuh mengobrol keras-keras sehingga membuat saya beberapa kali terjaga.

Rencananya, pendakian akan dimulai sekitar jam 10 malam. Tapi karena persiapan ini itu akhirnya molor hingga jam setengah sebelas. Tenda-tenda sudah sepi karena pendaki lain sepertinya sudah banyak yang berangkat. Panitia hanya mengingatkan kami untuk membawa banyak persediaan air putih dan senter.

Menuju Puncak: Berjibaku dengan Debu
Debu, itulah yang pertama kali menyambut begitu kami menapaki langkah pendakian menuju puncak. Dan debu ini semakin ke atas, semakin tebal, bercampur dengan pasir dan kerikil. Apalagi kemudian kami salah jalur, yang seharusnya melewati Arcopodo yang lebih familiar.

Perjalanan berjalan lambat. Teman saya sudah menyerah di belakang bersama panitia dan Teman Jakarta saya sebentar-sebentar terengah dan harus beristirahat. Anggota tim yang lain juga mulai banyak mengeluh. Entah satu jam entah dua jam, saya tak ingat ketika kami sampai di batas vegetasi dan sekeliling sepenuhnya hanya gundukan bebatuan, pasir dan kerikil. Saya berpikir bahwa batas vegetasi adalah setengah perjalanan, tapi ternyata batas vegetasi sama saja dengan baru dimulainya 'perjuangan.' Medannya yang berupa pasir, kerikil dan bebatuan, merosot setiap kali diinjak. Untuk menjaga keseimbangan, tak jarang kita harus merangkak dan ini juga harus hati-hati, jangan sampai berpegangan pada batu yang mudah goyah karena akan membahayakan teman di belakang kita. Belum lagi hamburan debu yang membuat kita harus menutup wajah dengan masker, padahal oksigen semakin menipis.

Kami melangkah dan terus melangkah dengan langkah-langkah yang semakin memberat. Di atas, tampak kerlip lampu dari pendaki lain yang sudah duluan, memberi harapan bahwa puncak mungkin tak terlalu jauh lagi. Namun ketika langkah demi langkah terus ditempuh, lelah mulai mendera dan puncak belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera digapai, rasa putus asa mulai menggerogoti. Di hamparan langit yang jernih, bulan setengah lingkaran yang agak mencong, menyembul tampak gilang gemilang bersama bintang-bintang. Nun jauh di bawah sana, lampu-lampu dari pemukiman dan kota-kota. Sementara di sini, puluhan mungkin ratusan kerlip lampu terus bergerak, berpadu dengan derap kaki dan lenguhan napas. Saya mulai membayangkan tempat tidur yang hangat dan nyaman dan merasa absurd dengan semua ini. Apa yang sebenarnya dicari orang-orang ini? Apa yang sebenarnya saya cari?

Nun di ufuk, batas langit mulai kelihatan, menandakan fajar yang akan segera menjelang. Saya tak tahu, entah berapa lama hingga sampai ke puncak. Saya sudah membuang harapan untuk melihat sunrise dari puncak. Itu tak penting lagi. Bisa sampai di puncak saja saya pikir sudah luar biasa.
Warna langit yang memukau menjelang matahari terbit

Dan matahari benar-benar menyembul dari balik gunung. Merah merona, berbinar-binar. Menakjubkan. Udara perlahan menghangat. Saya hanya berharap saya bisa berjalan lebih cepat karena konon, jika hari sudah terlalu siang, arah angin akan berubah, menebarkan gas beracun yang sangat berbahaya. 

'Pencapaian'
Terang begitu cepat dan tahu-tahu panas matahari menyengat. Orang-orang masih merangkak-rangkak menyusuri tebing. Beberapa orang turun menghamburkan debu. Saya benar-benar mulai merasa loyo, tenaga seolah terkuras. Satu langkah, dua langkah, terengah. Dan agaknya saya tak sendirian, karena orang-orang di sekitar juga tampak loyo dan terengah. Wajah-wajah kuyu dan menghitam oleh debu. Saya pikir, kondisi saya masih agak mending. Beberapa orang terlihat mulai gemetaran, tertatih, terhuyung-huyung, terseok-seok, terjatuh, tapi tampak tetap berusaha. Dan hal itu, kembali membuat semangat saya yang sudah mulai timbul tenggelam muncul perlahan-lahan.

Saya teringat cerita Sisiphus yang merangak menaiki gunung dalam kesiasiaan. Saya teringat Mahabarata. Ketika para pandawa usai mengalahkan kurawa, mendaki Puncak Meru untuk mencapai moksa. Dalam keadaan seperti itu, saya mencoba mencari makna dari semua usaha keras ini. Menganggap bahwa mendaki gunung adalah sebentuk heroisme seperti yang dikisahkan film '5 cm', menurut saya terlalu berlebihan. Heroisme untuk apa? Mendaki gunung tidak akan merubah apapun. Saya juga tidak setuju dengan istilah 'menakhlukkan gunung.' Ungkapan itu terlalu angkuh. Tak ada yang mampu menakhlukkan alam. Pecinta alam? Hmm, menurut saya juga terasa kurang tepat karena kebanyakan pendaki justru memberi dampak buruk (sampah, pencemaran) daripada hal-hal yang baik. Penikmat atau pengagum alam, mungkin? 

Saya pikir, mendaki gunung, berjuang untuk mencapai puncak adalah sebuah pengalaman yang sangat individual. Ini adalah perjuangan antara kita mengalahkan diri kita sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kita terpacu untuk menguji, sejauh mana kekuatan kita, bukan hanya fisik tapi juga mental. Ini adalah tentang ketekadan diri, sejauh mana tekad kita mampu bertahan di tengah kondisi yang sulit. Sejauh mana kita bertahan untuk mewujudkan keinginan kita ketika godaan untuk berhenti dan menyerah terus berdengungan di kepala. 
Mahameru, akhirnya!!!

Bersama matahari yang semakin meninggi dan hamburan debu yang semakin pekat, dengan langkah berat dan napas yang kian memendek, saya menekadkan hati untuk tidak menyerah. Saya harus sampai puncak. Harus. Dan saya yakin saya mampu melakukannya. Lalu, akhirnya saya melihatanya: hamparan tanah kering pucat berdebu dan melandai, dilatari langit yang membiru dan matahari yang menyilaukan mata. Mahameru. 3676 meter dari permukaan laut. Puncak tertinggi di Pulau Jawa. Atap Pulau Jawa, tempat bersemayamnya dewa-dewa dalam cerita pewayangan yang menghiasi waktu-waktu tidur di masa kecil saya.  Wow! Saya telah berhasil menapaki puncaknya dan di atas semua itu, saya telah berhasil mengalahkan satu sudut kerdil dalam diri saya. Rasanya: menakjubkan!

(27 Agustus 2014)

Catatan:
- Jika ingin bepergian secara mandiri, ada angkutan dari Tumpang-Ranu Pani dengant tarif Rp. 25.000, per orang
Ojek juga tersedia, ongkosnya Rp. 50.000 satu orang (tapi perseorangan dilarang mendaki, lho)

- Usahakan membawa perlengkapan yang memadai: carrier, sleeping bag, matras, tenda, jaket, sarung tangan, kaos kaki, sepatu yang nyaman...

- Jika malas membawa logistik, banyak porter yang siap membawakan barang-barang kita selama pendakian. Tarif porter Rp. 150.000 per hari (kemungkinan bisa ditawar).

- Konon juga ada porter yang bertugas 'mendorong-ndorong' jika kita merasa kesulitan mendaki puncak Semeru. Tarifnya kalau nggak salah sekitar Rp. 300.000,-

- Banyak penjual makanan di sepanjang pendakian (Ranu Kumbolo, Cemoro Kandang & Kalimati) jadi sebenarnya meskipun kita tidak membawa bekal makanan yang cukup, kemungkinan tidak akan kelaparan, kecuali barang dagangan keburu habis :)

- Selain rute yang umum, untuk ke Ranu Kumbolo, yakni rute ayak-ayakan. Rute ini katanya lebih pendek, tapi membelah bukit karenanya separo turunan dan separo tanjakan. Enaknya separo rutenya bisa ditempuh dengan naik ojek dengan tarif Rp. 50.000 per orang. Tapi pada musim panas sangat berdebu sementara kalau musim penghujan bisa dipastikan berlumpur.

Berjibaku dengan Debu dan Beku di Mahameru

Mahameru, akhirnya. Yah. Salah satu gunung yang masuk daftar 'wajib daki.' Bukan karena saya ikut-ikutan demam film '5 cm' karena saya sudah membuat daftar itu jauh-jauh hari sebelum film itu dibuat. Meski tak bisa dipungkiri, ketika banyak diberitakan bahwa demam film itu kemudian menginspirasi banyak orang untuk mendaki Semeru, saya menjadi semakin percaya diri untuk mendaki Semeru. Bagaimanapun, Semeru dinobatkan sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa, dan hal itu membuat saya agak miris. Saya bukan pendaki profesional, tidak pernah ikut klub khusus pendakian, tidak memiliki perlengkapan mendaki yang memadai dan juga pengetahuan soal pendakian saya pas-pasan saja. Modal saya hanyalah bahwa saya pernah mendaki beberapa gunung (Merapi, Lawu, Sinabung, Sibayak). Belum lagi kenyataan bahwa beberapa orang pernah meninggal ketika mendaki Semeru, tak kurang dari Soe Hok Gie, yang sealin aktivis juga anak mapala.

Gugusan gunung di sekeliling Mahameru

Saya juga pernah mendengar bahwa medan Semeru cukup sulit. Maka ketika saya membaca banyak pemberitaan (setelah film '5 cm'), ratusan bahkan mungkin ribuan pendaki membanjiri Semeru, saya menjadi semakin bersemangat. Para pendaki yang demam film itu, saya yakin kebanyakan bukanlah pendaki profesional juga, mungkin lebih parah dari saya, anak mall dan mungkin tak punya pengalaman mendaki sama sekali. Jadi kalau mereka saja bisa, kenapa saya tidak?

Pada bulan Agustus (waktu yang tepat untuk mendaki karena biasanya musim kemarau), iseng saya browsing di internet. Tripnya berlangsung antara tanggal 16-19 Agustus, artinya, bertepatan dengan peringatan 17-an. Dan artinya, kemungkinan pengunjung akan banyak sekali. Di satu sisi, keramaian menyenangkan karena menghadirkan perasaan lebih aman, tapi di sisi lain juga tidak nyaman karena mungkin terlalu riuh. Setelah berhasil 'meracuni' seorang teman, saya pun mendaftar trip itu.

Tumpang-Ranu Pani
Perjalanan dimulai dari Terminal Tumpang, Malang. Pesertanya 38 orang, berasal dari berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Jogja, Medan, hingga Kalimantan. Perempuan 7 orang dan selebihnya laki-laki. Saya pikir ini kondisi yang agak menguntungkan. Bukan saya seksis, tapi dalam perjalanan seperti ini, seringkali laki-laki lebih bisa diandalkan.

Kami dibagi dalam tim-tim yang akan membawa tenda dan logistik. Satu tim terdiri dari 3-4 orang. Tim saya, 3 orang, perempuan semua: saya dan teman saya, ditambah seorang dari Jakarta yang ingin mendaki Semeru karena film '5 cm.'

Kami berangkat dari Terminal Tumpang sekitar jam 1 siang dengan menyewa angkot hingga pos masuk kawasan Taman Nasional Semeru Tengger. Angkot tidak boleh masuk hingga ke Ranu Pani, mungkin juga tidak akan kuat karena jalanan yang mendaki. Selanjutnya, kami harus melanjutkan perjalanan dengan jeep dan truk. Karena saya perempuan, saya mendapat 'hak istimewa' duduk di kursi depan jeep bersama dua teman tim saya.  

Jalanan menuju Ranu Pani adalah jalan berplester kasar yang menanjak dan menikung di sana sini. Sekelilingnya dikelilingi oleh jurang dan perbukitan yang tampak hijau oleh pepohonan yang lebat. Melihat hutan lebat, saya selalu merasa senang dan berharap, mereka terus bertahan, tak terusik ketamakan manusia. Tapi pemandangan yang agak miris juga terlihat di beberapa sudut. Bukit-bukit yang dirambah untuk lahan pertanian. Takjub melihat bagaimana orang-orang nekad memanfaatkan tanah di tempat yang demikian curam seperti itu.

Sambil menikmati perjalanan, kami mengobrol dengan sopir Jeep, seorang lelaki tegap berkulit gelap dan bertato yang usianya mungkin di pertengahan 30-an atau mungkin awal 40-an. Teman baru saya, antusias bertanya  tentang bagaimana pendakian ke Semeru. Si sopir mengaku bahkan dia belum pernah mendaki Semeru, paling banter hanya sampai Ranu Kumbolo. Teman saya tampak surprise. Bagaimana ada orang yang begitu dekat dengan Semeru tapi malah belum pernah mendaki? Saya diam saja. Tentu saja tak perlu heran. Si Bapak yang lahir dan seumur hidup tinggal di daerah itu, mungkin tak melihat ada sesuatu yang istimewa dengan gunung. Dia mungkin juga selalu disibukkan dengan hidup yang penuh kerja keras. Untuk apa menambah 'penderitaan' lagi dengan mendaki gunung?


Sekitar jam 3, kami sampai di Ranu Pani. Rumah-rumah beton mungil yang dikelilingi kebun-kebun sayuran yang tampak telanjang dan berdebu. Sekali lagi saya merasa takjub, bagaimana setelah melintasi hutan dan jurang-jurang curam, ada sebuah kehidupan yang semarak. Luar biasa membayangkan bagaimana orang-orang pertama dulu, menemukan tempat ini dan membangun peradaban di sini.

Di Ranu Pani, sang panitia sibuk mengurus surat ijin masuk untuk kami. Kami cukup beruntung karena tadi saya bertemu serombongan anak muda yang batal naik Semeru gara-gara kuota yang dibatasi, hanya 500 orang per hari. Sementara panitia mengurus simaksi, kami mengisi perut karena sedari siang tadi belum makan. Warung-warung makanan, mulai dari nasi rames, rawon hingga bakso yang berderet di Ranu Pani. Rasanya? Standar lah.

Menuju Ranu Kumbolo
Sekitar setengah empat, baru kami beranjak. Di pintu pos pendakian pertama, kami dihadang beberapa orang berkaos hitam yang menamakan diri volunteer Semeru. Mereka bertanya pada kami bahwa kami sudah seharusnya membawa perlengkapan yang memadai seperti sleeping bag, matras dan tenda. Bahkan ada kesan mereka akan membongkari tas kami, meski itu tak mungkin mereka lakukan. Mereka berpesan dengan nada agak emosi, agar kami jangan sampai meninggalkan sampah di Semeru, jangan buang air besar sembarangan. Lalu ia juga mengingatkan bahwa kemungkinan kami tidak akan diperbolehkan sampai di puncak karena kondisi Semeru yang belum stabil. Pernyataan ini membuat kebanyakan dari kami ciut.

Setelah sekitar 15 menit, kami boleh melanjutkan perjalanan. Saya dan tim saya merasa agak kecewa demi mendengar bahwa kemungkinan kami tak bisa sampai puncak. Meskipun ketika berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun, harapan kami kembali muncul karena mereka mengatakan sudah sampai puncak.
Matahari pagi yang membelah bukit di Ranu Kumbolo


Sedianya, kami akan bermalam di pos 4, Ranu Kumbolo. Perjalanan ke Ranu Kumbolo memakan waktu sekitar 4 jam. Jalanannya cukup landai. Dan meskpun jalan setapak, tapi cukup bersih dan lebar, pertanda begitu sering dilewati. Pengalaman dari mendaki beberapa gunung, saya pikir jalanan ini termasuk paling mudah. Saya membatin, wajar juga kalau tim 5 Cm 'mampu' syuting di Semeru. Meski begitu saya tak ingin takabur, masih panjang perjalanan yang harus ditempuh dan saya tak tahu seperti apa kondisi medan selanjutnya.

Meski cukup landai, tapi rute ke Ranu Kumbolo sepertinya cukup panjang karena hingga malam menjelang, belum ada tanda-tanda bahwa kami akan segera sampai. Penyesalan berikutnya saya alami karena perlengkapan yang tidak memadai. Saya tidak membawa head lamp, dan senter tangan ternyata cukup merepotkan karena seringkali tangan harus berpegangan pada tebing atau akar-akaran. Belum lagi udara dingin yang mulai menusuk tulang. Meski tubuh saya masih terasa hangat, tapi tangan dan wajah saya terasa kaku dan kebas. Satusatunya penghiburan adalah hamparan langit yang bertabur ribuan bintang. Indah sekali. Inilah salah satu hal yang saya rindukan dari gunung.

Sekitar jam 8, akhirnya kami melihat titik terang. Pendaran cahaya dari lampu-lampu tenda yang seperti suasana pasar malam. Pos 4,Ranu Kumbolo. Saya sudah tak sabar membayangkan berbaring dan mendekam di dalam tenda. Melepas penat dan menghangatkan badan.

Karena beberapa teman satu tim masih tertinggal di belakang, kami memutuskan untuk menununggu di pos yang agak hangat. Bergabung dengan rombongan mas-mas yang sedang memasak nasi, numpang menghangatkan diri. Si Mas dari Surabaya, mengaku sudah beberapakali ke Semeru, tapi seringnya ia hanya bermalam di Ranu Kumbolo. Alasannya, ia selalu tak pernah bosan melihat matahari terbit di antara celah bukit di Ranu Kumbolo. Saya pun jadi penasaran, memang seindah apa?

Mas-mas itu berbaik hati menawari kami untuk meminjamkan peralatan masaknya agar kami bisa memasak mi instan, karena kami memang sudah kelaparan. Dan itulah yang kami lakukan. Makan mi instan dalam keadaan perut kosong sama sekali bukan ide yang bagus dan tak akan saya lakukan dalam keadaan normal. Tapi kami tak punya pilihan. Saya menyesal karena tak sempat membeli beberapa roti yang lebih bermanfaat mengganjal perut.

Sembari memasak, kami mengobrol dengan si mas-mas. Saya tanya, apa selalu seramai ini orang yang ke Semeru? Tidak. Hanya bulan-bulan tertentu saja.Utamanya Agustus dan Tahun Baru. Dan si Mas mengeluhkan betapa tarif Semeru sekarang begitu mahal. Dulu hanya Rp. 10.000, cukup sekali membayar untuk sekali masuk. Sekarang, sudah naik, dihitung per hari pula (ongkos saat pendakian ini Rp. 17.500/hari).

Tak berapa lama, tim lain datang. Dalam keadaan menggigil kami membangun tenda, di tanah melandai di pinggiran danau. Cukup ramai di sana, Mungkin ada 50an tenda. Belum termasuk yang di seberang danau yang juga terlihat lebih ramai. Saya pun paham tentang pemberitaan bahwa berduyun-duyun orang ingin mendaki Semeru.

Malam yang Beku di Ranu Kumbolo
Begitu tenda selesai, kami langsung menutup pintu dan bersiap mendekam di dalam tenda. Penyesalan berikutnya, saya dan teman saya tak membawa matras dan sleeping bag. Beberapa kali mendaki saya memang tak pernah membawa alat-alat itu karena tak ingin keberatan beban. Selama ini, jaket tebal saja cukup. Tapi agaknya tidak dengan Semeru. Lantai tenda terasa dingin bukan main dan meski saya sudah mengenakan dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki dan sarung andalan, rasa dingin tetap menembus sendi dan tulang saya.  Saya memang sempat membaca bahwa suhu di Semeru pada musim kemarau seperti ini bisa sampai minus. Saya mulai cemas, bagaimana bisa tidur dalam kondisi sedingin ini? Saya merasa iri dengan teman dari Jakarta yang tampak nyaman dengan matras dan sleeping bag-nya. Saya iri membayangkan kehangatan. Dia memang masih pemula tapi justru lebih waspada. Dia mengaku menyewa semua perlengkapan mendakinya dalam paket lengkap.

Setelah bertarung melawan dingin, akhirnya saya bisa terlelap meski sebentar-sebenatar terjaga karena terpaan dingin yang tak tertahankan. Keramaian masih terdengar di sekeliling. Orang-orang yang tertawa dan bercanda, tapi anehnya, tak terdengar satu denting gitar pun, suara yang biasanya mewarnai suasana pendakian seperti ini. Mungkin karena udara yang terlalu dingin sehingga membuat orang enggan menyanyi. Atau mungkin juga ada aturan untuk tak bernyanyi-nyanyi karena bisa menganggu ketenangan satwa yang beristirahat?
Ranu Kumbolo yang permai

Agaknya, bukan saya seorang yang merasa kedinginan, karena beberapakali terbangun saya mendengar gigil dari tenda-tenda sekitar. Meski ada juga dengkur pulas yang lagi-lagi membuat saya iri.

Entah bagaimana akhirnya saya bisa terlelap menjelang dini hari dan terbangun oleh keriuhan pagi. Di luar, masih remang-remang. Saya teringat cerita mas-mas semalam, tentang matahari terbit yang membuatnya kecanduan. Tapi rasa dingin mengalahkan rasa penasaran saya untuk beranjak dari tenda. Saya tak sanggup membayangkan dingin seperti apa di luar sana.

(bersambung)

Jumat, 29 Agustus 2014

Melongok Jendela Dunia Bersama Air Asia

Jalan-jalan ke luar negeri? Angan-angan itu memang ada sejak lama, tapi saya sendiri tak terlalu yakin bisa mewujudkannya. Pertama, tentu saja biayanya yang pasti tak sedikit. Kedua, jujur saya tidak punya banyak rasa percaya diri untuk bepergian ke luar negeri. Berbagai kekhawatiran menghinggapi benak saya: bagaimana saya berkomunikasi? Bagaimana saya bersikap? Bagaimana saya menggunakan alat-alat di sana? Tidak semua memang, tapi setahu saya, kebanyakan negara-negara di luar negeri, sudah lebih maju dari negara ini. Teknologi transportasi, misalnya. Kalau saya tersesat atau kenapa-napa, minta tolong siapa? Belum apa-apa saya sudah paranoid. Maklumlah, saya lahir dan besar di kampung. Sekalinya ke kota, hanya kota-kota kecil saja. Jadilah impian saya untuk jalan-jalan ke luar negeri saya timbun saja.

Hingga suatu hari, pada musim liburan hari raya tahun 2011, seorang teman mengajak saya untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tidak jauh-jauh memang, hanya di negera tetangga, Malaysia dan Singapura. Kata teman saya, sedang ada promo dari AirAsia, tiketnya murah. Lebih murah daripada ke Bali atau apalagi ke Papua. Tinggal urus paspor, sekitar dua ratusan ribu. Tentu saja, saya mulai tergiur dengan ajakan teman saya ini. Apalagi waktu itu saya sudah mulai bekerja, sehingga punya sedikit uang lebih. Kekhawatiran saya soal biaya sedikit banyak terjawab. Tapi bagaimana dengan ketakutan saya yang lain? Benar kedua negara itu mirip-mirip dengan Indonesia. Baik dari segi iklim maupun budaya. Tapi juga lebih maju di beberapa hal dan tetap saja pasti berbeda. Namun, saya mencoba berpikir jernih: meski berbeda, tokh kita sama-sama manusia dan juga tinggal di semesta yang sama, kan?

Jadilah kami melakukan perjalanan itu selama 4 hari 3 malam. Benar memang ada beberapa hal yang berbeda (terutama sistem transportasi yang rapi) dan di awal-awal membuat saya canggung dan bingung. Tapi, ternyata juga bukan sesuatu yang rumit. Jika tak mengerti, selalu ada tempat dan orang-orang yang bisa ditanyai. Soal bahasa, meski tak selalu bisa dimengerti, tapi anehnya tetap bisa dipahami.

Perjalanan itu juga membuka mata saya tentang satu hal. Waktu itu, ada banyak pemberitaan yang kurang mengenakan terkait hubungan negara kita dengan kedua negara tetangga itu. Tak urung hal itu mempengaruhi cara saya memandang. Tapi setelah menjejakkan kaki di sana, bertemu orang-orang di sana, mata saya mulai sedikit terbuka. Selama saya di sana, saya bertemu dengan orang-orang yang baik dan ramah. Dalam posisi itu, saya tak bisa melihat hanya dalam posisi saya orang negara A dan mereka orang dari negara B, tapi bahwa kami adalah sama-sama manusia. Ada orang-orang jahat dan berpikiran picik, tapi di belahan manapun di dunia ini, selalu ada orang-orang seperti itu. Seperti halnya orang-orang baik dan ramah juga ada dimana-mana. Dan bertemu orang-orang seperti itu, sungguh menyenangkan.

Itu pengalaman pertama jalan-jalan saya ke luar negeri. Dan sejak itu, semakin banyak  tempat dan negara yang ingin saya kunjungi. Saya tak lagi terlalu cemas dengan berbagai perbedaan yang mungkin akan membingungkan. Karena saya kemudian sadar, bahwa perbedaan justru membuat saya belajar banyak hal. 

Kadang, ada pertanyaan bernada sumbang di sekitar saya: untuk apa jalan-jalan ke luar negeri? Tidakkah lebih baik menjelajah negeri sendiri? Saya setuju saja. Saya juga ingin menjelajah dan mengetahui lebih banyak tentang negeri ini. Tapi kedua-duanya bagi saya sama berharganya. Mengunjungi negara lain, melihat bagaimana kehidupan di sana, seperti melongokkan kepala keluar jendela. Melihat hamparan dunia yang begitu berwarna, berbeda tapi juga indah.  Dan Air Asia telah membuat saya mampu mewujudkannya. Belum seberapa memang, tapi saya berharap kelak akan lebih banyak lagi warna dunia yang saya lihat. Terimakasih Air Asia.