Laman

Senin, 05 Desember 2022

Welcome back!

 Well, sudah lama nggak nengok blog ini. Yah, entah bagaimana, semangat nulis selalu up & down, padahal kalau lagi semangat menggebu, mikir bakal ini itu dengan tulisan. Padahal, setiap tahun pasti banyak bahan buat ditulis. Parah memang kadang melawan kemalasan ini!



Akhir tahun ini, tiba-tiba kepikiran untuk lebih produktif lagi. Kepikiran juga untuk lebih mendayagunakan blog, yang awalnya cuma pengin buat arsip pribadi, mana tahu bisa menambah cuan juga. Bego sih saya, karena baru kepikiran sekarang setelah era blog-blogan sebenarnya mulai meredup, dikalahkan medsos yang lebih praktis dan interaktif.

Whatever, let's try. Misi pertama tetap biar produktif dan mengosongkan memory biar nggak cuma berkerak di kepala. Kedua, anggap saja bonus kalau bisa jadi tambahan penghasilan, hehe. 

Sabtu, 19 Desember 2015

Persinggahan Sejenak di Lubuk Linggau

Lubuk Linggau. Ini bukan pertamakalinya saya menjejakkan kaki di kota kecil ini. Sekitar dua tahun lalu, saya sudah pernah menginjakkan kaki di sini. Waktu itu, hanya sekilas saja dan kesan pertama saya, Lubuk Linggau adalah kota kecil yang menyenangkan. Berada pada perlintasan jalan lintas Sumatra, sekaligus menjadi kota yang berada  di ujung Provinsi Sumatera Selatan dan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Bengkulu, Lubuk Linggau memang kota yang strategis. Pada kunjungan saya yang pertama, saya tak sempat mengunjungi banyak tempat. Dan kali ini, saya cukup takjub menyadari betapa ramai dan cukup besarnya kota ini.
Mesjid Agung Lubuk Linggau yang megah

Lubuk Linggau sendiri sudah menjadi kotamadya sekaligus ibu kota kabupaten Musi Rawas. Selain pusat-pusat perbelanjaan, mulai dari pasar tradisional (yang ternyata cukup besar untuk ukuran kotamadya/kabupaten) hingga pusat perbelanjaan modern seperti mall (JM Linggau) dan beberapa swalayan lokal hingga waralaba seperti Indomaret dan Alfamart. Selain itu pusat hiburan seperti karaoke juga ada. Hotel-hotel dengan standar biasa hingga menengah juga banyak tersebar di seluruh penjuru kota. Untuk urusan makan, juga tak sulit. Dari sekelas warung pinggir jalan hingga kafe-kafe yang menjayikan aneka makanan yang menggugah selera. Seperti kota-kota di Sumatera Selatan lainnya, mpek mpek merupakan makanan khas daerah ini. Selain itu, ada juga aneka olahan ikan seperti pindang ikan patin atau pindang tulang dan juga aneka kuliner mi-mian seperti mi celor, mi pangsit atau bakso. dan tersebar di sepanjang jalan utama yang sekaligus menjadi pusat keramaian.
Pindang Patin Meranjat, salah satu kuliner khas Sumatera Selatan

Untuk transportasi dalam kota, ada angkot atau ojek yang lalu lalang setiap waktu dari pagi hingga malam. Selain itu, karena lingkup kota yang relatif kecil, jalan kaki juga tidak terlalu melelahkan. Sementara untuk transportasi antar kota, Lubuk Linggau juga sangat mudah dijangkau. Karena letaknya yang berada di jalan perlintasan Sumatera. Dari Palembang, Lubuk Linggau bisa dijangkau dengan bus atau travel dengan waktu tempuh sekitar 7-8 jam. Jika bosan dengan bus atau travel, kereta api juga bisa menjadi alternatif yang menyenangkan. Jika ingin menghemat waktu, sejak beberapa tahun terakhir, sudah dibangun bandara Lubuk Linggau yang diterbangi maskapai Nam Air secara reguler setiap hari, dengan rute Lubuk Linggau-Jakarta/Lubuk Linggau -Palembang.

Menikmati pemandangan malam kota Lubuk Linggau dari Bukit Sulap

Lubuk Linggau bukanlah kota wisata. Meskipun begitu, tetap ada beberapa obyek wisata yang bisa dijadikan tempat untuk dikunjungi ketik ke Lubuk Linggau. Berjarak sekitar 3 km dari pusat kota adalah Bukit Sulap. Seperti namanya, tempat ini merupakan hutan perbukitan yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Dinamakan "Sulap" karena konon bukit ini kadang-kadang tidak kelihatan (mungkin tertutup kabut?). Bukit ini sudah dikelola sebagai tempat wisata, sehingga bisanya pengunjung yang datang dengan sepeda motor akan dikenakan biaya parkir. Di kaki bukit, dibangun undak-undakan dan taman kecil. Bukit ini ramai dikunjungi pada malam hari di akhir pekan. Dari bukit ini bisa melihat lanskap kota Lubuk Linggau. Selan itu juga dibuat jalan melingkari bukit yang nyaman untuk jongging atau bersepeda. Rimbunnya pepohonan membuat suasana terasa nyaman. Meski begitu, disarankan untuk tidak memasuki tempat yang sepi sendirian karena konon, daerah ini cukup rawan begal.
Air Terjun Temam

Tempat wisata lain adalah Air Terjun Temam, yang terletak  di Kelurahan Rahmah, sekitar 10 km dari kota Lubuk Linggau. Perjalanan ke air terjun ini adalah melintasi jalanan beraspal mulus, dengan pemukiman masyarakat dan deretan kebun karet di kanan kiri jalan. Air terjun sendiri berada di sekitar pemukiman masyarkat dan terawat dengan baik. Tiket masuk adalah Rp 2000 per orang, ditambah parkir kendaraan (sepeda motor) Rp. 3000 per motor.  Sayangnya, kami datang di musim kemarau sehingga debit air kecil ditambah lagi, karena air terjun ini bukan berada dihulu, agaknya banyak dikotori masyarakat sehingga airnya tidak bisa dibilang bersih.  Meski begitu, saya yakin ketika musim hujan, pemandangan air terjun ini cukup indah karena persebaran airnya terlihat sedemikian rupa.
Danau Aur Duri

Selain itu, hanya sekitar 1 km dari pusat kota, ada juga Watervang, yang merupakan bendungan tua yang konon dibangun sejak jaman sebelum Indonesia merdeka. Tidak banyak yang disajikan di tempat ini selain menikmati pemandanang air bendungan sembari duduk di warung kaki lima.

Agak jauh, yakni berjarak sekitar 30 km-an, adalah Danau Aur Duri. Sebenarnya, Aur Duri adalah danau buatan, tapi pemandangannya cukup bagus. Sejak beberapa tahun terakhir, danau ini dikelola sebagai area wisata keluarga. Di sekeiling danau dibangun warung-warung dan juga ada rumah makan terapung yang bisa disewa untuk mengeliling danau yang cukup luas. Lumayanlah untuk refreshing.

Prasangka
Seperti saya tulis di atas, Lubuk Linggau adalah kota kecil yang terasa menyenangkan. Meski begitu, setelah beberapa waktu tinggal di sana, ada hal-hal yang membuat saya merasa kurang nyaman: isu ketidakamanan. Bagi yang sudah akrab dengan daerah Sumatera Selatan, mungkin isu semacam ini bukan hal yang baru lagi. Saya tidak tahu kenapa, tapi ada semacam kesan kalau beberapa daerah di Sumatera Selatan itu kurang aman. Saya sama sekali tak ingin berprasangka, tapi orang-orang lokal lah yang selalu memperingatkan saya ketika bepergian.: hati-hati pergi ke sini atau pergi ke sana. hati-hati meletakkan sepeda motor, jangan pergi malam-malam, jangan lewat tempat-tempat sepi sendirian... parkir kendaraan harus selalu dikunci ganda...Lalu orang-orang akan mulai menceritakan kisah-kisah kriminalitas yang pernah terjadi di sekitar mereka. Kemarin orang pergi ke situ, motornya di begal orang. .. kemarin ada tetangga yang minjam motor tetangganya ternyata dibawa lari... wah-wah... siapa yang tidak was-was coba?Seorang teman bahkan bercerita, bahwa ada sebuah desa yang isinya adalah para buron dan hampir tak ada orang yang berani melewati tempat itu. Ditambah lagi cerita-cerita tentang adanya ilmu hitam seperti hati-hati kalau makan atau minum di sana, nanti diracun orang. Saya sendiri tak tahu apa itu adalah fakta atau sekadar prasangka.

Bagi saya pribadi, meski cukup membuat kurang nyaman, tapi berusaha mengambil positifnya saja. Berusaha untuk tidak terlalu paranoid tapi tetap waspada. Jangan sampai berperilaku mencolok seperti membawa barang-barang berharga secara terbuka. Selain itu, yah, selalu memohon perlindungan dari Yang Di Atas, tentunya. Selama sekitar dua bulan di kota ini dan kesana kemari, Alhamdulillah, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kok.

(Saya tinggal di Lubuk Linggau pada bulan September - Oktober 2015)




Senin, 07 Desember 2015

Sehari Menyinggahi Bumi Sriwijaya Dengan Kereta Api

Akhirnya, kesampaian juga saya mencobai kereta api Lubuk Linggau-Palembang. Ada dua jadwal keberangkatan, pagi pukul 09.30 kereta api ekonomi dengan tiket Rp. 35. 000 dan malam, pukul 20. 00., kereta api eksekutif dengan tiket Rp. 120.000. Perjalanan di mulai dari statiun Lubuk Linggau hingga ke Stasiun Kertapati Palembang memakan waktu antara 7- 9 jam dengan melewati beberapa stasiun besar seperti Tebing Tinggi, Muara Enim, Lahat dan Prabumulih. Saya berangkat bersama 3 orang teman saya dan karena niatannya mau menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, kami pun memilih kereta api pagi. Seperti umumnya kereta api saat ini, kereta api yang kami tumpangi, meskipun kelas ekonomi tapi sudah cukup nyaman. Gerbongnya ber-AC dan cukup bersih.

Tapi, sayangnya rasa antusais kami terusik, belum apa-apa petugas keamanan kereta mulai berkeliling ketika kereta api mulai beranjak, dan memperingatkan penumpang untuk menutup gorden jendela. Alasannya, sering terjadi pelemparan batu di sepanjang jalan. Selama sekitar sebulan tinggal di daerah Sumatera Selatan, peringatan semacam ini bukan hanya sekali kami dengar. Kemana-mana kami selalu mendapat peringatan untuk berhati-hati. Hal yang membuat saya bertanya-tanya: apa orang-orang di sini sejahat dan se-anarkis itu? (Untunglah sepanjang perjalanan, tidak terjadi pelemparan batu seperti yang diperingatkan atau juga kejadian yang kurang menyenangkan). 
Pemandangan di kiri kanan jalan yang menyedihkan :(

Bayangan saya tentang perlintasan kereta api di Sumatra adalah kanan-kiri jalan yang ditumbuhi hijau pepohonan. Hutan tropis yang masih asli.. dan yah, kenyataannya tidak seperti itu. Pemandangan yang kami lewati di sepanjang jalan adalah deretan kebun karet, kebun kopi, kebun sawit, kota-kota kecil di pinggiran stasiun yang menurut saya polanya kok hampir sama saja dimana-mana: cenderung kumuh dan kotor karena beberapa tempat dijadikan pembuangan sampah. Mungkin juga karena kami bepergian ketika musim kemarau sedang mencapai puncaknya. Dimana-mana rumput terlihat kering kecoklatan, sawah-sawah terlihat kerontang, semak-semak sisa kebakaran dimana-mana... meninggalkan pemandangan gersang yang menyedihkan. Dan pemandangan ini semakin menyedihkan ketika sampai antara Prabumulih-Palembang.
Di daerah ini, sedang dilakukan pembuatan rel kereta baru yang baru pada tahap pembukaan jalan. Ketika kereta api melintas, serpih-serpih debu --meskipun di ruang tertutup--terkadang masuk melalui celah-celah jendela. Dan hal ini diperparah ketika memasuki areal lahan gambut, pemandangan yang tersaji di kanan kiri kami adalah lahan yang sedang terbakar. Asap pekat menyelubung. Langit terlihat kelabu sepenuhnya. Pun ketika kereta akhirnya memasuki Stasiun Kertapati, suasana berasap itu masih menyelimuti.
Stasiun Kertapati yang bersih dan besar

Stasiun Kertapati sendiri cukup menakjubkan bagi saya, yang pertamakali menginjakkan kaki di sana. Saya selalu memabyangkan stasiun kereta api di Sumatera--karena memiliki rute yang terbatas--pastilah stasiun yang biasa saja. Tapi ternyata Stasiun Kertapati cukup megah, bersih dan terlihat sangat nyaman. Dari stasiun ini, selain kereta api ke Lubuk Linggau juga melayani rute Palembang (Kertapati) - Lampung (Tanjung Karang) dengan waktu tempuh sekitar 10-12 jaman. Saya berpikir, jika ada kesempatan lain waktu ingin mencobanya juga. Sementara kereta api lokal dari kertapati ke indralaya. Selain itu, stasiun ini terutama dihidupi oleh kereta api batu bara yang agaknya beroperasi sejak dulu kala.  

Palembang sedang diselubungi kabut asap, seperti juga beberapa kota di Sumatera lainnya seperti Jambi dan Pekan Baru. Karenanya, sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi Palembang saat seperti ini.  Tapi yah, apa boleh buat karena kesempatannya memang baru didapat saat seperti ini.
Jembatan Ampera yang berselubung kabut asap

Selama di Palembang, kami menginap di rumah temannya teman di daerah Jl Sultan Syahrir. Karena tidak paham transportasi umum di sini, kami memutuskan untuk naik taksi saja. Karena agak lama menunggu tak ada taksi melintas, teman saya menelepon Blue Bird dan kami menunggu di pinggir jalan depan stasiun. Tak berapa lama, beberapa orang lelaki yang sedari tadi berdiri di sekitar kami, memanggil kami dengan ramah, mengatakan bahwa tkasi kami sudah menunggu. Jujur, saya sudah agak curiga melihat keramahan mereka karena mereka terlihat bukan sebagai petugas ataupun sopir taksi. Dan benar saja, ketika kami sudah masuk ke taksi, dia langsung menodong kami dengan uang parkir: Rp. 10.000! Padahal taksi baru saja sampai, berhenti di pinggir jalan umum pula.  Meski merutuk kemudian, kami tak ingin ribut dan segera memberi uang yang diminta. Sopir taksi terlihat kurang enak dan mengatakan bahwa ia juga tak bisa berbuat apa-apa karena itu sistem di sini. Inilah hal yang saya benci dari negeri ini: premanisme. Hal yang juga membuat saya merasa malu sebagai sesama orang Indonesia. Kenapa sih harus mencari rejeki dari hal-hal kurang menyenangkan seperti itu?

Taksi melaju dan jalanan sangat ramai. Kami melntasi seputaran Jembatan Ampera dan saya mengais ingatan samar tentang kota ini. Sebenarnya saya sudah dua kali menginjakkan kaki di kota ini. Pertama tahun 2009 lalu dan terakhir tahun 2013.  Entah karena waktu itu tak banyak tempat yang saya kunjungi atau memang sudah berubah, saya merasa kota ini tak seperti ingatan saya. Jauh lebih ramai, jauh lebih riuh dan besar. Ketika taksi membawa kami menyusuri daerah pertokoan yang padat dan semarak, saya kembali merasa takjub. Saya selalu merasa bahwa palembang adalah kota besar tapi dalam bayangan saya,  kotanya tak sebesar ini. Di selang-seling pertokoan yang semarak dan menjulang, kota ini dipenuhi kanal-kanal dengan air kehitaman yang nyaris kering dan dipenuhi sampah diamna-mana. Mungkin karena musim kemarau semuanya terlihat kelabu, berdebu, usang dan kumuh. Setelah sekitar 30 menitan kami sampai di tujuan dan argo taksi menunjuk angka Rp. 60.000.

Kami tak memiliki banyak referensi soal Palembang.  Lagipula, Palembang sebenarnya memang bukan tempat yang kaya akan obyek wisata. Tujuan kami ke kota ini lebih karena ingin mencoba kereta api. Tapi karena sudah berada di kota ini, kami ingin jalan-jalan juga. Setelah browsing-brwosing di internet, kami mendapat beberapa referensi tempat wisata di sekitar kota. Salah satunya adalah Pulau Kemaro.

Kami pergi ke Pulau Kemaro pagi-pagi sekitar pukul 10-an. Kami naik angkot dan turun di bawah Jembatan Ampera yang memang menjadi salah satu meeting point angkutan umum di kota ini. Dari sini, kami mencari boat yang akan mengantarkan kami menyeberang ke Pulau Kemaro. Karena merupakan tujuan yang populer, para sopir boat di sana langsung riuh menawarkan boatnya pada kami. Suasana pinggir sungai sendiri sangat ramai. Saya baru ngeh kalau sungai Musi merupakan salah satu sungai tersibuk di Indonesia sepertinya. Syukurlah meski musim kemaru panjang, debit air sungai ini masih cukup besar sehingga perahu-perahu masih berlintasan.
Riuhnya kehidupan di pinggir Sungai Musi

Seorang abang-abang menawari kami menaiki boatnya. Harga yang ditawarkan adalah Rp. 300.000 pp dengan boat. Kami mencoba menawar Rp. 150.000, tapi dia tidak mau. Setelah agak lama, akhirnya kami sepakat pada harga Rp. 180.000. Menurut teman saya yang orang Palembang, tarif standarnya Rp. 200.000. Jadi harga itu cukup masuk akal.

Perjalanan ke Pulau Kemaro sebenarnya dekat saja. Setelah terguncang-guncang di atas boat selama sekitar 15 menit di atas Sungai Musi, kami akhirnya sampai. Pulau Kemaro sendiri adalah sebuah delta di tengah Sungai Musi dan yang menjadi menarik adalah karena di ataasnya dibangun wihara yang cukup megah. Tapi konon tempat ini baru ramai pada perayaan imlek atau cap gomeh. Sehingga ketika kami datang, tempat ini sepi saja. Hanya ada satu dua pengunjung selain kami. Dan kalau diamat-amati, sebenarnya tempat ini juga kurang terpelihara. Ditambah lagi karena musim kemarau, rumput dan pepohonan di sekitar wihara juga banyak yang kering dan meranggas. Tapi pada beberapa sudut, cukup menariklah sebagai spot untuk foto-foto.

Setelah puas menjepretkan kamera di Pulau Kamaro, kami singgah di Pasar 16--salah satu pasar terbesar di Kota Palembang. Pasar ini tepat berada di pinggir Sungai Musi. Terlihat sangat ramai dan besar. Tujuan kami? Mencari barang second hand. Hehe. Tapi ternyata tidak terlalu banyak. Setelah puas, kami singgah untuk sholat dzuhur di Mesjid Agung yang hanya berlokasi di seberang pasar.
Mesjid Agung Palembang

Mesji Agung Palembang berupa bangunan mesjid yang terlihat megah dan artistik. Gaya arsitekturnya sedikit bernuansa Tionghoa. Seperti diketahui, Palembang memang memiliki pengaruh Tionghoa yang kuat. Setelah sembahyang dan foto-foto di depan mesjid, kami melanjutkan perjalanan lagi ke obyek wisata lain yang letaknya juga tak terlalu jauh dari Mesjid Agung, yakni Benteng Kuto Besak. Seperti namanya, merupakan benteng tua yang kemudian digunakan sebagai markas ABRI. Yang menarik, benteng ini berada di pinggiran Sungai Musi. Jadi sambil melihat bangunan tua, bisa dilanjutkan dengan duduk-duduk di pinggiran sungai sambil menikmati jajajan pinggir jalan yang memang banyak terdapat di sana. Kami menyempatkan diri duduk-duduk di pinggir sungai, tapi tidak terlalu menikmati karena udara masih dipenuhi kabut asap sehingga lama-lama mata terasa perih. 
Benteng Kuto Besak

Sebenarnya saya ingin ke Bukit Siguntang yang konon merupakan situs sejarah.  Tapi karena hari sudah sore dan badan juga lelah (mungkin karena paparan kabut asap), kami memutuskan mencari udara yang lebih segar. Tebak di mana? Mall. Hehe. Ya itung-itung cuci mata, karena memang sudah lama tidak pergi ke mall. Tujuan kami hanya untuk refreshing saja dan karena pertimbangan akses, kami memilih mall Palembang Indah Mall.  Berhubung kami tak terlalu suka window shopping, kami memutuskan untuk nonton film saja di XXI. Sayangnya, sedang tidak banyak film bagus yang diputar. Dan setelah menimbang-nimbang, kami sepakat nonton film berjudul Crimson Peak, garapan sutradara Guillermo Del Torro dan dibintangi dua bintang yang cukup terkenal: Mia Wasiwoska dan Jessica Stain. Karena buakn sedang weekend, kami membayar tiket Rp. 35.000/orang. Filmnya sendiri tidak terlalu istimewa, tapi lumayan lah.

Usai dari bioskop kami llngsung pulang karena khawatir tidak ada lagi angkot. Meskipun kota yang cukup besar, tapi konon angkot di sini hanya beroperasi hingga sekitar pukul 9 malam. Pun pada pukul 7-8 sudah sepi.  Tarif angkot jauh dekat adalah Rp 4000/orang.

Keesokan harinya, kami bersiap untuk kembali ke Linggau. Jadwal keberangkatannya sama saja, yakni pukul 09.30 pagi. Tapi kali ini perjalanan lebih lambat. Mungkin karena menjelang akhir pekan , sehingga banyak orang bepergian. Kereta berhenti hampir di semua stasiun kecil, menaikturunkan penumpang. Perjalanan juga terasa kurang nyaman. Sepanjang jalan, lagi-lagi si petugas keamanan terus menerus mengingatkan kami untuk menutup jendela. Ruangan terasa panas meskipun ac dinyalakan. Kami mulai merasa bosan, penat dan lapar. Meski sudah membawa aneka cemilan, tapi rasanya masih belum puas. Harga makanan di dalam kereta sebenarnya cukup terjangkau. Untuk nasi goreng dengan telur dadar dan nasi ayam goreng dihargai Rp 18.000 per porsi sedangkan Popmie Rp. 7000/porsi (harga yang menurut saya cukup murah dibanding kereta api yang pernah saya naiki di Jawa). Tapi pilihan menunya terbatas sehingga kami tak cukup berselera untuk makan.

Sekitar pukul 6 petang, bersama adzan magrib yang berkumandang, kami sampai di Linggau. Meskipun agak melelahkan, namun perjalanan singkat ini cukup menyenangkan lah.

(Perjalanan ini dilakukan pada tanggal 13-14 Oktober 2015)

Selasa, 24 November 2015

Berwisata ke Gunung Kaba

Musim penghujan, tentu saja bukan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas outdoor seperti mendaki gunung. Tapi berhubung waktu dan kesempatannya baru didapat, dengan rasa was-wasa beserta harapan agar cuaca cukup cerah dalam beberapa hari ini, kami pun nekad berangkat ke Gunung Kaba. Gunung Kaba merupakan salah satu obyek wisata yang cukup populer di Curup, Bengkulu. Jaraknya sekitar 25 km dari Kota Curup atau sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Gunung ini memiliki ketinggian 1.938 m dpl, sehingga masyarakat sering mengenalnya sebagai Bukit Kaba.

Pemberhentian terakhir adalah Desa Sumber Urip, sebuah desa pertanian yang sejuk dan uniknya mayoritas penduduknya adalah Suku Jawa. Jadi ketika memasuki desa ini, nuansa Jawa-nya lebih terasa daripada Sumatra. Di desa ini, para pendaki diwajibkan untuk melapor di kantor Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) yang dikelola oleh masyarakat setempat. Retribusi yang dikenakan adalah Rp. 3000/orang.

Perjalanan ke Gunung Kaba bisa melalui dua jalur. Jalur yang satu adalah jalur jalan setapak melewati hutan yang masih cukup lebat. Sedangkan jalur yang satunya lagi adalah melewati jalan besar yang sudah dikeraskan. Jalur hutan medannya lebih terjal tapi lebih pendek dan sejuk. Sedangkan jalur jalan besar lebih jauh dan terbuka. Bagi yang suka suasana alam sih jalur pertama lebih jadi pilihan. Dan itu pula yang kami pilih.

Kami meninggalkan pos Pokdarwis sekitar pukul 16.30. Meskipun langit agak mendung, tapi cuaca terbilang cerah. Jalanan yang kami lewati basah dan agak licin, tapi terbilang cukup mudah dan terang, karena sering dilewati. Perjalanan menuju shelter untuk berkemah sekitar 2 jaman, itu juga dengan ritme perjalanan yang terbilang santai dan sesekali berhenti melepas lelah. Menjelang petang, kami sampai di area perkemahan. Di seberangnya, tampak gundukan lereng-lereng pegunungan Kaba yang terhampar kokoh.

Karena sudah cukup sore, kami segera mendirikan tenda. Selain kami, hanya ada satu rombongan pendaki dari Bengkulu yang sudah datang lebih dulu. Gunung ini memang baru ramai dikunjungi pendaki pada akhir pekan. Dan juga, musim penghujan seperti ini pastilah memang bukan waktu yang ideal untuk berwisata gunung.

Petang menjelang dan udara dingin  mulai berhembus. Kabut juga mulai turun dan sekeliling kami mendadak berubah kelabu. Rintik-rintik hujan mulai turun. Meski begitu, sesekali langit masih tersingkap dan bulan setengah lingkarang bersinar cemerlang di atas kepala. Sayangnya, hanya sebentar saja. Karena beberapa jenak kemudian,  langit kembali diselimuti kabut dan hujan semakin rapat. Usai makan,kami segera masuk tenda. Setelah mengobrol ngalor ngidul akhirnya tertidur. Meski udara cukup dingin, tapi masih dalam batas wajar. Sehingga kami bisa tidur cukup lelap.

Rencananya, kami akan bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit. Tapi ketika alarm berbunyi pukul 5.15 dan melongokkan kepala keluar tenda, pemandangan di sekeliling sepenuhnya kelabu tertutup kabut. Gundukan lereng pegunungan yang tampak gagah kemarin petang juga tak tampak. Jarak pandang hanya beberapa meter saja dan angin kencang berderak-derak. Saya pun memutuskan untuk kembali membuntal diri dengan sleeping bag dan tidur lagi. Menjelang agak siang, baru keluar tenda. Tapi harapan bahwa cuaca akan segera berubah agaknya sulit terwujud. Kabut terus berputar-putar bersama angin dan tak ada tanda-tanda tersingkap. Meski begitu, kami berusaha untuk bersabar. Berharap, semakin siang udara akan semakin bersahabat.

Menjelang tengah hari, meskipun kabut masih cukup rapat, kami nekad untuk melihat kawah di puncak seberang. Udara dingin menggigit dan angin kencang masih bertiup. Tapi sesekali kabut mulai tersingkap dan kami bisa menikmati panorama di sekitar kawah berupa tebing-tebing batu yang terlihat gagah. Kawah pertama yang kami kunjungi adalah kawah mati. Pada kedalaman sekitar 10 meter, tampak air kawah yang berwarna kehijauan mengepul menguarkan aroma belerang yang menyengat.

Tempat berikutnya yang kami kunjungi adalah kawah hidup, yang berada di balik gundukan bukit satunya. Perjalanan kesini adalah menyusuri tebing yang agak terjal tapi cukup mudah dilewati. Kawah hidup terhampar pada lereng melandai dan dari jarak sekitar 10 meter gemuruh suara magma terdengar jelas, sembari mengepulkan asap pekat kekuningan. Yah, Gunung Kaba, meski pendek saja, adalah gunung api yang masih aktif. Letusan terakhir konon sudah beberapa ratus tahun lalu. Memandangi kawah gunung ini merasa takjub sekaligus miris. Gunung api selalu menyajikan keindahan yang agung tapi buas. Gelegak magma yang sedang berproses di dalam perut bumi hanyalah menunggu waktu untuk diledakkan dan yah, entah kerusakan dan bencana macam apa yang bisa terjadi. Wallahualam.

Setelah puas berfoto-foto, kami bersiap kembali. Keinginan untuk mendaki puncak tertinggi, kami urungkan karena cuaca yang kurang mendukung. Bagi kami, melihat pemandangan di sekitar kawah ini sudah cukup memuaskan.  Pemandangan kawah dan sekitar kedua kawah ini sudah cukup menakjubkan. 

Sekembali dari kawah, kami menikmati makan siang lalu bersiap pulang. Perjalanan pulang, kami memutuskan melewati jalur yang sama karena lebih teduh dan cepat. Hanya sekitar satu jaman kami sudah sampai di pos dan diajak singgah ke rumah seorang warga yang menyambut kami dengan ramah, disuguhi kopi dan teh hangat. Kami bahkan ditawari untuk memetik tomat di kebun segala. Hanya saja, karena kami khawatir repot membawanya, kami menolak tawaran itu.  Usai Maghrib, kami baru bertolak ke Curup. Badan cukup letih tapi perjalanan pendek ini terasa cukup memuaskan. Menurut saya, Gunung Kaba tak kalah indahnya dengan Gunung Bromo atau Tangkupan Perahu. Selain itu, pendakiannya juga relatif pendek dan mudah sehingga bagi yang kurang berpengalaman mendaki sekalipun, tempat ini masih recommended. Tapi yah, mungkin karena faktor akses, jarak dan promosi yang kurang membuat tempat ini kurang populer.

Perjalanan ini dilakukan pada tanggal 18-19 November 2015

Selasa, 07 Juli 2015

Malang: Kuliner

Kalau disuruh membicarakan soal kuliner, sebenarnya saya agak kesulitan, karena selera lidah saya yang agak rumit ditambah lagi saya tak berselera dengan daging-dagingan. Namun dengan keterbatasan saya mencoba beberapa kuliner legendaris yang ada di Malang. Berikut beberapa kuliner yang dianggap legendaris, beberapa sudah saya coba, beberapa masih berupa referensi yang saya peroleh dari berbagai sumber:

1. Bakso Kota "Cak Man" terletak di Jl. WR Supratman, tak terlalu jauh dari stasiun KA/Tugu Balai Kota. Letaknya di ruko-ruko dekat bunderan jalan. Sekilas, terlihat tak terlalu mencolok, tapi begitu masuk, akan mendapati suasana yang semarak, bukti bahwa bakso ini diminati banyak orang. Sebagai umumnya bakso Malang, ada banyak pilihan bakso di sini, di samping juga berbagai varian seperti pangsit, rempelo ati, sosis dll. Satu item dihargai sekitar Rp. 3000 rupiah. Minuman yang tersedia juga bervariasi, mulai dari teh botol hingga jus-jusan. Untuk jus harganya sekitar Rp. 6000. Mungkin sedikit lebih mahal dibanding bakso-bakso umumnya, tapi rasanya tak mengecewakan di samping juga tempatnya bersih dan cukup nyaman.

3. Warung Lama H. Ridwan. Konon warung ini sudah ada sejak tahun 1925! Gila, kan? Warungnya berupa warung nasi pada umumnya, berada di Lantai Dasar, Pasar Besar (sebelah timur),  nggak terlalu jauh dari pintu masuk. Berdekatan dengan los-los penjual emas dan baju-baju. Menu yang disediakan mulai dari nasi campur, rawon, soto, sate... Khas warung makan biasa lah. Minumannya juga demikian. Meski terletak di tengah pasar, tapi relatif bersih dan lapang. Harga makanan standarlah, walaupun mungkin sedikit lebih mahal daripada warung-warung pada umumnya, tapi cukup terjangkau. Nasi campur dihargai sekitar 10-ribuan. Didalamnya berupa sayur, telur, krecek. Rasanya, khas Jawa sekali. Manis dan sedikit pedas dengan perpaduan yang pas (cocok untuk lidah saya :) ). Jika mau tambah lauk, ada banyak pilihan seperti ayam atau sate daging/usus dengan harga bervariasi. Sedangkan harga minuman seperti es teh atau es jeruk sekitar 3000-an. Makan di sini saya jadi membayangkan, generasi nenek buyut dulu juga pernah duduk di warung yang sama. Bahwa warung kecil ini sudah menjadi saksi  hidup dari beberapa generasi. Luar biasa ya?

5. Soto Daging Rahayu
Warung soto ini berdekatan dengan warungnya Haji Ridwan dan konon juga sudah puluhan tahun usianya (konon dari tahun 1928). Karena saya tak suka daging, saya belum pernah mencobanya. Tapi saya yakin, rasanya pasti enak karena bahkan mampu bertahan selama itu.


5. Bakso Presiden
Yah, bakso memang agaknya menjadi andalan kuliner di Malang. Dan rasanya belum lengkap kalau ke Malang tidak mampir ke warung bakso ini. Selain baksonya yang enak, tempatnya juga sangat mengesankan. Berupa warung bakso sederhana di pinggir rel kereta api. Menikmati semangkok bakso yang lezat dengan pemandangan rel kereta api benar-benar meninggalkan kesan yang menyenangkan. Untuk harga sendiri, standarlah. Untuk semangkok bakso campur dihargai sekitar Rp. 12.000.

Untuk sampai ke sini, juga sangat mudah. Bisa naik angkot yang lewat hotel Savanna (angkot bernomor ADL, AJG), turun depan hotel Savanna dan masuk ke jalan kecil di sebelah hotel. Nah, warung bakso tepat berada di belakang hotel ini. Atau bisa juga naik angkot yang lewat Jalan Tenaga (angkot bernomor AL), yang melintasi gang masuk Bakso Presiden. Nanti ada tulisan besar bernuansa oranye. Atau kalau masih bingung, bisa tanya ke sopir angkotnya.


5. Toko Oen
Toko Oen konon dibangun tahun 1930. Selain menu makanannya yang khas, bangunannya yang khas juga menambah unik tempat ini karena berarsitektur jadul. Menu yang terkenal dari toko ini adalah es krim-nya dengan berbagai varian. Selain itu ada juga berbagai makanan ala barat. Karena memang sudah menjadi semacam obyek wisata, harga makanan di sini relatif mahal meski masih terjangkau. Untuk satu porsi es krim biasa, dihargai sekitar Rp. 15000.

6. Tahu Lontong Lonceng
Depot tahu lontong ini terletak di Jalan Laksamana Martadinata no.66 dan konon sudah ada sejak tahun 1935. Sebagai umumnya tahu lonton, makanan ini terdiri dari lontong, tahu-telur dan bumbu petis. Bagi penggemar tahu lontong, wajib mencoba.

7. Rawon Brintik
Rawon merupakan makanan khas Jawa Timuran, tak terkecuali di Kota Malang tentunya. Warung ini terletak di Jl. K.H. Ahmad Dahlan, 39. Dan konon sudah ada sejak tahun 1942.

8. Angsle & Ronde  Titoni
Ingin melepas dahaga ketika berjalan-jalan di Pasar Besar? Singgahlah ke depot ini. Depot minuman ini terletak di Jl. Zainul Arifin, Pasar Besar konon sejak tahun 1948.

9. Soto Daging Pak Markeso
Soto daging ini merupakan soto khas Madura dengan bumbunya yang khas. Berada di Jl.Sindoro (sekitaran Ijen), konon soto ini juga sudah berumur puluhan tahun, tepatnya sejak tahun 1950. Biasanya berupa gerobak yang mangkal di pinggir jalan, buka dari pagi hingga siang/sampai habis.


10 Rumah Makan Cairo
Rumah makan ini berdiri sejak tahun 1952, berlokasi di Jl. Kapt. Tendean 1. Menu yang terkenal di sini adalah sate kambing dan aneka makanan bercitarasa Timur Tengah.


Tambahan:
- Sate dan Gule Kambing Haji Paino Bunul (konon sejak tahun 1973)
- Warung Rujak Cingur Bude Ruk (sejak tahun 1960). Terletak di Jl, Suruji Gg. 1 No, 17, terletak di antara Jl. Suruji dan Jl. Sultan Agung.
- Ketan Legenda Batu (sejak tahun 1967). Terletak di sebebelah barat alun-alun Kota Batu (jl. Kh. Agus Salim). Buka dari sore hingga malam hari.
- Gado-gado Warung Citra (sejak tahun 1956)
Terletak di Jl. Sutomo
- Depot Soto Lombok (1955)
-  Bakpao Boldi ( sejak tahun 1950)
Berlokasi di Jl. Mangun Sarkoro No. 25. Bagi penggemar bakpao, wajib mencobanya meski tidak recommended bagi mereka yang tidak bisa mengkonsumsi makanan non-halal karena  sebagian varian bakpao mengandung babi. 

- Bakso Geprak Mbah Djo (sejak tahun
Salah satu varian bakso Malang yang diolah dengan cara berbeda karena melibatkan proses 'geprak' atau menumbuk dagingnya hingga serat daging terpisah dengan sendirinya tanpa proses pemotongan. Hal ini yang agaknya menambah citarasa pada bakso.
- Putu Lanang Celaket (sejak tahun 1935)
Berlokasi di Jl. Jaksa Agung Suprapto. Bagi penggemar jajanan tradisiona kue putu, wajib mencoba. Selain putu juga da klepon, cenid san lopis. Yummy!
- Depot HTS (sejak tahun 1927)
Depot ini menjual aneka jajanan tradisional terutama onde-onde yang bertabur wijen berisi kelapa atau kacang merah. Berada di antara Kota Malang dan Singosari.

(dari berbagai sumber)
1935)

Sabtu, 21 Februari 2015

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (5-habis)

Menuju Bengkalis
Kami bangun pagi-pagi karena harus mengejar kapal pukul 7. Abang becak semalam sudah menunggu. Kami di antar ke loket di seberang jalan. Beli tiket. Ternyata ada shuttle busnya dari loket, tapi sudahlah, rejeki si Abang Becak.

Udara pagi tak terlalu segar di Dumai. Mungkin karena banyak pabrik di sini. Ada Wilmar di dekat pelabuhan, asapnya hitam dan menguarkan aroma busuk. Entah seperti apa kadar pencemaran udara dan air di tempat ini.

Kami sampai di pelabuhan, bergegas. Ternyata ada dua kapal, pukul 7 dan 7.15. Kami milih yang paling cepat. Kali ini ada nomor kursinya. Ferinya juga lebih besar dan bersih serta ac-nya bekerja dengan baik. Saya bahkan agak kedinginan sepanjang perjalanan.

Perjalanan Dumai-Bengkalis memakan waktu 2 jam saja. Sampai di Bengkalis, pelabuhannya cukup besar tapi sangat lengang. Kami keluar, cari becak motor. Tujuan pertama kami adalah kantor BPS. Ongkosnya Rp. 15.000.

Sampai di BPS, kami disambut dengan cukup hangat oleh pegawainya dan langsung di bawa ke pihak yang bersangkutan. Pegawai lelaki muda yang cukup welcome. Tanpa banyak tanya, dia langsung ngasih saja apa yang kami butuhkan. Dari obrolan basabasi, kami ketahui kalau ternyata kampung halamannya berdekatan dengan tempat tinggal saya di Bantul sono.

Usai dari BPS kami mencari makan di warung makan khas Melayu. Menunya masih segar dan rasanya juga lumayan sehingga kami makan dengan lahap.

Kami kemudian singgah ke Kantor Dinas Sosial, hendak menemui Kasi KAT-nya tapi ternyata sedang tak ada di tempat. Sama pegawainya kami suruh nelpon sendiri, tapi ternyata si Kasi tak akan kembali ke kantor padahal hari belum lagi tengah hari. Alasannya, karena waktu itu menjelang long weekend. Nah, lho apa hubungannya? Menyebalkan sekali. Padahal katanya semua data sama dia. Ini persoalan klise kalau mengunjungi kantor pemerintahan. Rasanya jengkel sekali karena orang-orang itu dibayar oleh pajak masyarakat dan seharusnya memberi pelayanan yang maksimal bukannya sok elit begitu.



Tujuan Berikut: Pulau Padang
Kami kemudian naik becak motor ke pelabuhan untuk mencari kapal ke Pulau Padang. Udara Bengkalis terasa begitu menyengat kulit. Tapi orang-orang di pulau itu, mungkin karena sudah terbiasa, tampak santai saja.

Kami sampai di dermaga. Dermaganya kecil saja dan terkesan apa adanya. Kami membayar 50 ribu untuk menyeberang. Kami naik ke atas boat. Satu per satu penumpang lain berdatangan. Orang-orang pulau yang mungkin berbelanja ke Bengkalis ini.

Agak lama baru boat berangkat. Melewati perairan selat yang agak bergelombang. Sebentar saja sudah menyusuri pingiran pulau. Dermaga-dermaga kecil yang lengang yang masih dilingkupi semak belukar. Sepertinya pulau ini jauh lebih ‘terbelakang’ di banding pulau-pulau yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Ironis juga karena pulau ini justru letaknya lebih dekat dengan pulau besar Sumatra. Pulau-pulau yang lebih dekat dengan negara tetangga sepertinya justru lebih ramai dan maju. Pantas saja kalau orang-orang pulau ini nasionalismenya kurang.

Pemberhentian kami di dermaga Bendol. Nama yang aneh. Dermaganya agak lebih ramai dari dermaga-dermaga sebelumnya yang kami lewati. Seorang bapak menwari kami ojek, tapi karena tujuan kami belum terlalu jelas, kami memutuskan istirahat dulu di warung sembari mencari-cari informasi.

Setelah kapal pergi, dermaga benar-benar sepi. Barisan ruko di depan dermaga terlihat tutup. Hanya ada satu dua warung-warung reot yang menjual makanan alakadarnya. Kami singgah di warung penjual miso dan es campur. Kami mulai ngobrol-ngobrol. Suku Asli konon banyak tinggal di Selat Akar, bagian belakang pulau ini. Lalu beberapa lelaki datang, ikut nimbrung cerita tentang Suku Asli. Ada juga seorang lelaki berkulit gelap yang mengaku keturunan Suku Asli. Dia berceloteh panjang pendek tentang Suku Asli yang tinggal di pulau seberang, Pulau Rangsang. Konon, di pulau itu adat istiadat mereka masih kuat. Tapi setelah dikorek-korek, sepertinya mereka sudah cukup maju juga.

Suku Asli di Selat Akar
Setelah beberapa saat, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Selat Akar. Cuaca mendung seolah mau hujan. Kami menelusuri jalan coran seperti di Penyalai meski kondisinya jauh lebih bagus. Kanan kiri jalan juga mirip di Penyalai, semak dan berawa. Agak lama juga baru sampai Selat Akar.

Kami berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan tulisan "balai gendong,". Belakangan, kami tahu bahwa itu semacam sanggar untuk belajar tari gendong, tari tradisional Suku Asli. Nuansa tradisionalnya cukup kental di sini. Tapi seperti di pulau lain, mereka sudah terasimilasi ke budaya Tionghoa yang tampak dari tempelan-tempelan di depan pintu rumah mereka.

Pak Batin sedang pergi, jadi kami diketemukan dengan adiknya, lelaki tua berkulit gelap dengan wajah yang cukup khas. Kami diajak ke rumahnya, rumah panggung sederhana dengan berbagai tempelan tionghoa tentunya. Anak-anak bermain di halaman rumah itu, sepertinya cukup heran dengan kehadiran kami. Saya memperhatikan mereka, wajah mereka tak terlalu khas. Sama halnya dengan anak-anak keturunan Melayu pada umumnya.

Kami mengobrol sekilas dan karena si Bapak sepertinya kurang memahami pertanyaan kami, kami kemudian ke rumah Pak D, perangkat kampung  yang berada di seberang jalan. Rumah Pak D ini kuat sekali kesan Tionghoa-nya dan anak-anak yang ada di depan rumah itu juga berwajah keturunan. Lalu Pak D muncul. Seorang lelaki kurus kecil dengan gigi ranggas, seperti banyak orang yang kami temui di pulau ini. Pastilah karena buruknya air bersih di pulau ini.

Mitos 3 Dunia ala Pak D
Pak D sangat cerewet meski isinya tak jelas. Saya bertanya tentang asal-usul orang asli, dia antusias menjawab. Tadinya saya pikir dia sungguh-sungguh dan bagi saya ini menarik karena sejauh ini belum ada yang bisa cerita soal itu dengan gamblang.
    "Jadi begini," Pak D mulai cerita. "Ada 3 dunia. Dunia pertama, ada kakak adik, sumbang. Kemudian dunia dileburkan. Lalu ada dua beruang, kakak adik, kalau siang mereka mencari rotan... Sumbang, dileburkan..." Lantas apa hubungannya? Pak D mengulang ceritanya tentang dunia pertama dileburkan. Lalu bagaimana dengan dunia kedua dan dunia ketiga? Tapi sepertinya dia tak bisa melanjutkan ceritanya seperti yang saya harapkan. Dan saya mulai pusing mendengarnya. Sepertinya dia hanya membual saja. Sialan, padahal saya  sudah serius mencatat.

Di tengah obrolan, datang lelaki muda bertubuh agak tambun dengan kulit gelap, cenderung legam. Dia cukup komunikatif dan bahasanya juga mudah dicerna. Namanya Pak A. Dia mengaku sebagai Suku Asli, meski ibunya keturuan Tionghoa. Hal yang membuat saya agak tak percaya. Apakah matahari pulau ini sudah membakar pigmennya? Dia juga cerita kalau ayahnya itu dari Rupat. Suku Akit. Tapi dia sendiri sepertinya enggan menyebut Suku Akit. Dia ngotot dengan sebutan Suku Asli. Menurutnya, Suku Asli lebih jelas asal-usulnya, sementara Suku Akit tidak.

Dia juga cerita kalau baru mengadakan pertemuan Suku Asli di Bengkalis dan akan mengadakan semacam festival Suku Asli. Ada bantuan pemerintah terkait pengembangan kesenian ini Suku Asli meski konon jumlahnya sangat sedikit.  Cuma 2.5 juta pertahun kalau tak salah.

Anehnya, pemerintah sendiri sepertinya lebih mementingkan tetek bengek kecil seperti itu daripada memperhatikan kesejahteraan hidup Suku Asli ini. Mereka mengaku bermasalah secara ekonomi. Pak D berapi-api bicara soal lahan mereka sedikit, ada yang tak punya lahan malah. Seperti seperti kebanyakan suku-suku kecil di Sumatera ini, di masa lalu mereka agaknya menjalankan pola hidup semi nomaden sebagai pengambil hasil hutan saja tanpa ada semacam hak ulayat. Ketika sekeliling mereka sudah terbuka seperti sekarang ini, banyak orang luar berdatangan dan memiliki kebebasan mengolah lahan kosong di mana saja, siap mengambil setiap jengkal tanah di pulau ini. Padahal para pendatang ini umumnya lebih ulet dan agresif. Bisa dipahami kemudian jika Suku Asli akhirnya justru tak memiliki apa-apa di tanah sendiri. Idealnya sih pemerintah lebih memperhatikan hal-hal yang lebih penting seperti ini, memberi perlindungan hak-hak hidup Suku Aslim misalnya, daripada sekadar mengurusi soal menghidupkan kesenian Suku Asli. Tapi yah... seperti biasa, selalu tak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah negeri ini.

Dari obrolan dengan Pak D dan Pak A sendiri, tak ada kesan bahwa karena mereka sebagai Suku Asli lantas mereka berhak mendapat lebih atau memperjuangkan hak mereka. Bagus juga sih karena mereka ‘cinta damai’, begitu terbuka terhadap pendatang, tapi kasihan juga karena pada akhirnya mereka menjadi minoritas marjinal yang tergusur di tanah sendiri.

Setelah ngobrol panjang lebar, kami pamit. Minta tukang ojek untuk membawa kami mengitari desa sebentar. Kami melintasi tempat yang ditunjuk sebagai tempat tinggal Suku Asli yang masih suka pindah-pindah, membangun pondok-pondok kayu sederhana. Kalau dipikir-pikir, agak unik juga karena pulau ini kecil saja sehingga pindahnya ya di situ-situ saja. Jalan-jalannya sendiri sudah cukup bagus dan suasana  perkampungan di sekitar tampak semarak. Ada panglong--tempat pembakaran arang yang umumnya dikelola para Keturunan Tionghoa, rumpun sagu, jajaran pohon bakau, pemukiman tepi pantai yang diisi orang-orang Melayu, tampak lengas dan kumuh... Saya tak terlalu bisa menikmati perjalanan karena tersiksa menahan buang air kecil.

Kami kembali ke warung semula. Saya buru-buru minta ijin numpang ke kamar mandi. Kamar mandinya adalah ruang kecil terpisah di bagian belakang rumah. WC-nya sangat praktis, lantai kayu yang dilobangi dan langsung bisa melihat air laut di bawah sana. Jika buang air, otomatis akan langsung nyemplung ke laut. Agak geli karena rumah panggung ini cukup tinggi sehingga ketika saya buang air kecil, suaranya cukup berisik ketika jatuh ke dasar. Tak terbayangkan jika buang air besar. Hihi.

Lanjut ke Sungai Dua
Setelah beristirahat sebentar, kami memutuskan untuk ke pulau seberang, Sungai Dua, yang konon selain dihuni Suku Asli, juga ada Suku Hutannya. Kami pergi ke dermaga di sisi lain pulau, untuk menyeberang ke Sungai Dua. Kami menyeberang dengan perahu mesin, sekitar 15 menit saja.

Dermaga Sungai Dua adahal hamparan kayu yang cukup luas dan bersih. Menyenangkan rasanya membayangkan berbaring-baring di sana menikmati udara laut sore hari. Tapi tentu saja, kami harus bergegas. Di kanan kiri dermaga adalah rumah-rumah kayu dengan tiang-tiang tinggi yang tampak agak kumuh. Kami sempat mendapat cerita tadi, kalau di Sungai Dua ini konon banyak kriminalnya. Dan mungkin karena cerita itu, saya jadi merasa agak was-was. Tapi suasana sekitar dermaga sendiri tampak biasa saja. Beberapa anak-anak dengan rambut kemerahan dan kulit gelap tampak asyik bermain. Kami bertanya pada kerumunan lelaki yang sedang membuat kapal di dekat dermaga tentang Pak N, orang yang konon tahu banyak tentang Suku Asli. Meski wajah mereka terkesan keras, tapi mereka cukup ramah. Salah satu bahkan mau mengantar. Yah, soal kriminalitas itu hanya stigma dari orang di seberang saja.

Kami melintasi jalan tanah yang lonyot di sana sini, di sisi kanan kiri adalah semak belukar pinggiran pantai dan genangan air gambut yang kecoklatan dan muram.

Kami sampai di rumah Pak N. Rumah beton sederhana dengan warung kecil di depan rumahnya. Ada anak-anak kecil berkumpul di sana. Mereka cukup ramah pada kami, selayaknya anak2 pada umumnya. Agak lama kami menunggu Pak N yang masih voli. Istrinya, yang ternyata orang Batak, kurang ramah pada kami. Mungkin sedikit curiga karena kedatangan kami yang tiba-tiba dan wajah kami yang pastinya sudah lusuh.

Menjelang petang baru Pak N pulang. Orangnya cukup komunikatif dan terkesan berwawasan, meski sepertinya masih menjaga jarak pada kami. Seolah dia masih tak yakin kami orang yang bisa dipercaya atau tidak. Tapi itu wajar mengingat kami baru bertemu, dari LSM pula yang mungkin di mata banyak orang sering dianggap sebagai pekerjaan tak jelas.

Pak N asli keturunan Suku Asli. Dia bercerita tentang kehidupan sukunya di masalalu. Ketika ia masih kecil dulu, bagiamana ‘terbelakangnya’ kehidupan mereka sebelum kemudian datang seorang pastor dari Italia, Pastor Vellaro. Si Pastor mengajari cara hidup bersih dan memperkenalkan pendidikan. Pak N menjadi semacam asistennya. Terlepas dari ajaran agama, saya semakin berpikir bahwa itu adalah hal yang baik. Misionaris adalah cara yang efektif untuk menjadikan hidup orang-orang yang kurang terakses menjadi ‘lebih baik’ kehidupannya. Apakah itu dibilang melanggar hak asasi segala macam, tapi saya yakin orang-orang itu, si pelaku, merasa beruntung dengan intervensi semacam itu.

Pak N mengatakan kalau Suku Asli itu konon nenek moyangnya berasal dari Siak, sebuah desa di muara Sungai Siak. Tapi ia tak bisa menjelaskan tentang mereka yang di Rupat. Sepertinya mereka memang tak punya hubungan lagi dengan sesama suku asli dari satu pulau dan pulau lainnya.

Setelah merasa cukup mendapat informasi, kami berpikir untuk kembali ke Bengkalis. Tadinya kami berpikir untuk menginap di Sungai Dua dan besok pagi baru ke Bengkalis, tapi dari obrolan kami mengetahui kalau kapal ke Pekan Baru dari Bengkalis berangkat pagi-pagi.

Pak N kemudian membantu kami mencarikan ojek. Seorang lelaki tua penjual sayur, orang Batak, tampak agak takjub mendengar kami mau ke Bengkalis malam-malam. Ia bahkan mengatakan bahwa perjalanan ke Bengkalis agak rawan karena lewat hutan-hutan. Gelap dan jalannya juga tak terlalu bagus. Jujur saya agak keder. Tapi mau bagaimana lagi?

Menuju Bengkalis dan Celotehan Bang Acin
Tukang ojek yang saya tumpangi adalah abang-abang keturunan Tionghoa, sebut saja Bang Acin. Seperti yang dibilang Pak Sayur, jalanan memang gelap dan beberapa bagian masih hutan, tapi pemukiman juga cukup banyak. Sebagian besar kondisi jalan buruk, aspal rusak yang cukup membuat tubuh terguncang-guncang. Menyiksa sekali, ditambah lagi, saya kebelet pipis dan lapar sekali. Ingin minta berhenti pipis di pinggir jalan, saya belum sepenuhnya percaya dengan Bang Acin.

Menghalau siksaan, saya mencoba mengobrol sama Bang Acin. Ternyata dia sangat senang bercerita. Logatnya adalah campuran antara logat Melayu dan Tionghoa yang terdengar berlagu. Dia cerita kalau ibunya keturunan Suku Asli dan ayahnya yang Tionghoa. Dia adalah salah seorang keturunan yang dianugerahi kemampuan untuk bisa mengobati orang, karena dia dirasuki semacam dewa yang ada di keluarganya. Pasiennya siapa saja dan bisa dari agama apa saja, termasuk orang Muslim.

Menurutnya, orang yang punya kemampuan seperti itu harus berhati bersih dan dia merasa senang karena 'dipilih' untuk emmilikinya. Dia berpikir, mungkin Dewa Cina lebih memilih dia daripada orang Cina asli karena hatinya yang lebih baik. Orang Cina asli terlalu materialistis, pelit, sementara dia sebagai keturunan, punya sifat lebih tanpa pamrih membantu orang lain yang diwarisi dari darah keturunan orang Asli. Saya tertawa saja mendengar ceritanya. Dan sepertinya dia sangat antusias cerita tentang kemampuannya ini, karena 2/3 perjalanan kami isinya adalah cerita dia hal itu.

Saya iya-iyain saja, meski rasanya sudah agak pusing dan mual menahan sakit di perut. Di perjalananan,kami melintasi rumah yang tengah mengadakan upacara kematian orang Tionghoa yang penuh lampion putih, kami berpapasan dengan orang-orang yang mengangkuti kayu malam-malam. Menurut Bang Acin, itu karena orang-orang itu mencuri kayu tersebut, yang sebenarnya di larang oleh Kehutanan. Kami melintasi hamparan ladang terbuka yang luas: sawit, semak belukar, kebun buah naga...

Itu milik para pejabat dari Bengkalis, kata Bang Acin. Lalu ada rumah dengan pesta pernikahan orang Tionghoa yang bernuansa merah, rumah-rumah keturunan Tionghoa yang tampak sederhana... kami sampai di jalan besar dengan kondisi jalan yang bagus. Saya menghela napas lega, sedikit siksaan berkurang dan bahkan sebentar lagi penderitaan ini akan segera berakhir.

Kami sampai di Bengkalis, langsung singgah di kedai makan. Tapi abang-abang ojek menolak makan dan hanya minum kopi saja. Kami membayar ojek, 200 ribu mengucap terimakasih dan berpisah. Mereka harus segera kembali ke Sungai Dua sebelum terlalu larut. Kami mencari penginapan untuk bermalam. Jatah uang kami sudah terbatas sehingga kami harus mencari penginapan yang benar-benar murah.

Penginapan Ala Pak Haji di Bengkalis
Kami tak memiliki referensi soal penginapan di kota ini, jadi kami jalan saja tanpa petunjuk yang jelas. Kami jalan ke arah pasar, yang ada hotel yang terkesan mahal. Jalan lagi dan akhirnya menemukan bangunan kayu sederhana bertuliskan 'penginapan'. Ada beberapa lelaki duduk-duduk sambil minum kopi. Seorang lelaki tua berpeci mendekati kami. Suami istri? Bukan. Dan belum apa-apa dia sudah menceramahi kami: dari masuk kamar sampai besok pagi, tak boleh saling menginjakkan kaki di kamar yang lain! Tentu saja tak masalah, tapi yang menjadi masalah kemudian adalah karena harus berbagi kamar mandi dengan penghuni lain. Yang benar saja. Itu lebih mengerikan daripada sekedar menginjakkan kaki di kamar lawan jenis karena saya menduga para penginap di sini adalah para pesinggah mungkin ABk yang jujur membuat saya berprasangka.

Kemudian dia menyarankan kami ke wisma di seberang, milik temannya, katanya, Pak Haji S. Dari luar, penginapannya agak lumayan bersih. Tarifnya ada yang 50 ribu, ada yang 100 ribu. Saya pilih yang 100 ribu karena kamar mandi dalam. Begitu masuk ke kamar, saya mendapati kamar yang lembab dan berbau apak, belum lagi kamar mandinya yang usang dan airnya bau karat. Tapi sudahlah. Saya berusaha mengabaikan semua itu dan tidur dengan nyenyak.

Menyusuri Sungai Siak, Menyusuri Jejak Kejayaan Masalalu
Pagi-pagi kami naik becak ke pelabuhan. Tukang becaknya menawarkan harga 15 ribu, kami tawar 10 ribu. Dia setuju, tapi merengut saja sepanjang jalan. Kami tanyai jawabya ogah-ogahan. Kami jadi merasa agak sebal. Kalau memang tak mau ya sudah, kok sewot tapi tetap ngantar.

Kami mencari tiket speed ke Pekan Baru. Ternyata satu kapal sudah penuh. Satu lagi tinggal satu bangku dan satu lagi di cap. Kami ambil saja. Harganya 145 ribu. Speednya kecil saja meski keadannya cukup bagus dan ac-nya dingin. Speed meluncur menyusuri Sungai Siak yang berair pekat. Di sebelah saya duduk seorang perempuan berdandan heboh, ketika saya ajak beramah tamah, dia tampak tak terlalu tertarik.

Karena bosan, saya berusaha tidur, tapi tak bisa tenang karena salah satu tujuan kami memilih perjalanan ini adalah karena ingin melihat Istana Siak, yang terletak di pinggir sungai. Saya lihat di peta, sedianya itu di pertengahan, tapi saya sendiri tak tahu dimana tepatnya jadi terus berjaga-jaga. Mengusir bosan saya memperhatikan 3 anak keturunan Tionghoa yang cantik-cantik, sibuk membaca majalah anak-anak sepanjang perjalanan. Mereka tampak sangat manis dan menikmati semua itu.

Perjalanan sekitar 3 jam. Pas di istana siak ternyata berhenti karena ada dermaga yang cukup besar. Tampak mesjid Siak yang megah dan beberapa bangunan sisa kerajaan yang bercorak khas Melayu. Sisa peradaban masa lalu. Tak urung saya pun membayangkan, betapa riuh rendahnya mungkin kehidupan sungai jaman kerajaan-kerajaan dulu.

Tak berapa lama, kami sampai di Pekan Baru. Mencari sarapan di warung makan depan pelabuhan sambil mendiskusikan tentang transportasi air. Jujur saya cukup terkesan dengan perjalanan barusan, dan juga perjalanan demi perjalanan yang telah kami tempuh beberapa hari ini. Perjalanan air, meski agak membosankan karena tak banyak yang bisa dilihat selama perjalanan, tapi kami sepakat bahwa transportasi air jauh lebih efektif. Tanpa macet, tak perlu biaya pemeliharaan jalan yang mahal. Bahwa negri ini dulunya dibangun oleh tranportasi air karena memang nyaris di setiap kota memiliki sungai-sungai besar. Lalu kenapa semua itu sekarang ditinggalkan? Pembangunan transportasi darat lah yang gencar dibangun, sementara transportasi air semakin ditinggalkan. Proyek para pembesar? Hmm, entahlah.

Usai makan, kami naik angkutan umum ke pusat kota untuk melanjutkan perjalanan ke tempat semula. Meski badan terasa penat karena terus bergerak kesana kemari selama beberapa hari ini, tapi ada rasa puas yang tak terperi. Menyinggahi pulau-pulau, melihat bagaimana kehidupan orang-orang di sana, bertemu dengan orang-orang baru, selalu memberi pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga. (***

* Perjalanan ini dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2012

Negeri Seribu Pulau: Menjenguk Suku Akit (4)

Paginya, kami bersiap untuk menemui Pak Batin, semacam tetua adat. Kami keluar penginapan sekitar pukul 7, lalu mencari sarapan di warung dekat dermaga, milik keturunan Tionghoa. Kami sarapan nasi goreng yang sangat berminyak. Tapi cukuplah untuk mengisi perut.

Udara pagi di pulau ini ternyata tidak tak ada sejuk-sejuknya. Belum apa-apa tubuh terasa lembab berkeringat. Saya tak tahu apa memang begitu udara di Rupat yang memang daerah dataran rendah di tepi pantai, atau hanya pada musim-musim tertentu saja kelembaban begitu tinggi seperti ini. Tapi orang-orang sepertinya santai saja dengan udara seperti itu.

Kami jalan kaki ke rumah Pak Kades untuk menemui anak Pak Kades yang sedianya akan jadi pemandu kami. Seorang pemuda berwajah sangat Chinese dan cukup ramah. Kami dipinjami sepeda motor RX King untuk ke tempat Pak Batin, yang ternyata tak terlalu jauh.

Menimba Ilmu dari Pak Batin
Pak Batin tinggal di rumah kayu sederhana. Beliau sudah cukup tua, berkulit gelap dengan tatapan mata tajam dan garis wajah kuat. Bisa dibilang dia masih punya wajah yang ‘khas’. Beliau agak canggung menyambut kami, tapi ketika mulai mengobrol dia mulai terlihat rileks. Kami bertanya ini itu. Tentang ada istiadat Suku Akit. Ia kemudian menunjukkan sebuah buku tua yang berisikan sekelumit sejarah dan adat istiadat Suku Akit.

Kemudian kami mulai mengobrolkan tentang hutan. Hutan Samak merupakan perkampungan yang ditinggali oleh mayoritas Suku Akit dan sekarang sedang ada konflik dengan sebuah HTI yang akan menggusur lahan penduduk. Selain itu ada dua PT lagi, sawit dan akasia. Tapi konon tak berkonflik dengan masyarakat. Meski begitu, agak mengerikan juga membayangkan di pulau kecil seperti ini dipenuhi kebun sawit dan akasia yang kurang ramah lingkungan itu..
Hutan Samak
Usai dari Pak Batin, kami ke Hutan Samak. Sedikit terburu-buru karena harus mengejar speed ke Dumai pukul 1 siang nanti. Kami menyeberang meggunakan perahu mesin ke Hutan Samak di temani Pak Wakil Batin yang pendiam. Perjalananannya cuma 5 menitan karena memang hanya dipisahkan oleh laut selat yang kecil saja.

Kami sampai di Hutan Samak. Jangan bayangkan ‘seseram’ namanya, karena melibatkan kata "hutan", karena Hutan Samak adalah perkampungan biasa yang cukup ramai. Kami disuguhi pemandangan rumah-rumah kayu  dengan tempelan-tempelan jimat bernuansa Tionghoa, beberapa ornag duduk2 di depan rumah, menatap kedatangan  kami dengan sedikit heran. Tapi tatapan mereka adalah keheranan yang ramah.

Pak Wakil mengajak kami singgah di sebuah rumah kayu sederhana beratap rumbia. Di sini tinggal seorang nenek tua yang konon generasi tertua Suku Akit yang masih hidup di sini. Umurnya sekitar 80 tahun meski dari wajahnya dia tak terlihat setua itu. Seringkali, orang-orang jaman dulu tak terlalu tahu persisnya kapan lahir dan mengira-ira saja.

Wajahnya wajah melayu pada umumnya. Dia cukup ramah meski Bahasa Indonesianya terbatas. Kami mengobrol alakadarnya. Sebenarnya kami berharap bisa ke hutannya yang terletak di belakang kampung, tapi katanya cukup jauh ditambah cuaca panas menyengat yang membuat enggan.

Lalu kami berjalan-jalan masuk ke kampung. Melintasi jalan desa yang terik. Di salah satu rumah tampak keramaian kecil; ada pesta pernikahan. Suasananya ya pesta hajatan seperti di desa-desa umumnya. Orang-orang berkumpul, memasak, anak2 ramai...

Kami sampai di sekolah. Sudah sepi. Hanya ada gemuruh suara genset yang dinyalakan. Tapi tak ada orang. Sekolahnya sendiri sudah sangat layak. Sudah siang dan kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Panas semakin menyengat.

Kami sebenarnya ingin ke tempat orang Akit yang lain, di Selat Morong, dekat Batu Panjang, tapi ternyata tak ada ojek yang bisa mengantar kami. Jadilah kami berpikir untuk ke Dumai saja dulu berhubung logistik sudah mau habis dan tak ada ATM di sini. Rencananya dari Dumai kami akan menyeberang lagi ke Batu Panjang yang memang lebih dekat.

Kembali ke Dumai
Kami sempat makan siang di sebuah warung. Menunya lontong, milik seorang mbah-mbah berwajah Jawa. Tapi ketika saya ajak bicara Jawa, ia tak tak menanggapi meski sepertinya mengerti. Mbah ini sering menggumam-gumam sendiri, khas perempuan tua, tapi dia cukup komunikatif.

Karena Kades dan perangkat desa lain sedang ada acara di Kecamatan karena ada acara dengan bupati, kami pun hanya pamit lewat telepon.

Lalu kami menunggu boat di warung nasi goreng. Boat datang. Tak terlalu penuh dan boatnya lebih buruk dari yang kemarin, terkesan lebih tua dan rapuh tanpa ac, tapi tak buruk juga. Boat melaju, berguncang-berguncang menghantam  ombak yang lumayan tinggi.

Ternyata boat singgah dulu ke Medang, kota kecamatan, untuk mengambil penumpang. Medang adalah pelabuhan kecil dengan beberapa boat yang bersandar. Boat bersandar sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan, kembali terguncang-guncang. Beberapa kali boat berhenti di dermaga kecil untuk mengambil penumpang. Sekitar 2 jaman, kami sudah sampai Dumai.

Kami turun di pelabuhan kecil yang sepertinya khusus untuk boat-boat. Kusam dan kumuh. Kami keluar dengan tanpa petunjuk apapun, mendapati jalan raya kota Dumai panas dan berdebu. Kami memutuskan singgah di rumah makan karena teman saya merasa belum puas belum makan nasi. Kami singgah di warung Padang yang tampak tak terlalu bersih. Sembari makan, kami mencari informasi bagaimana cara ke Batu Panjang atau ke Bengkalis. Di kapal tadi, kami menimbang-nimbang untuk ke Bengkalis saja daripada kembali ke Rupat karena terkait tenggat waktu dan juga logistik. Tapi si pemilik warung mengaku tak tahu dan kami disarankan untuk ke loket penjualan tiket kapal saja. Dan itulah yang kemudian kami lakukan.

Kami naik angkot ke kantor penjualan tiket kapal Dumailine.Ternyata kapal ke Bengkalis adanya hanya besok pagi, pukul 7, harganya Rp. 70.000/orang. Ke Batu Panjang juga katanya tinggal ada yang besok pagi. Padahal harapannya kami bisa ke Batu Panjang sore ini, dan besok lanjut ke Bengkalis. Tapi sepertinya tak memungkinkan seperti itu. Seorang Bapak di loket menyarankan kami naik travel saja ke Bengkalisnya. Setiap saat ada, katanya. Perjalanan cuma 3 jam. Saya pikir itu ide yang masuk akal, karena saya pikir bermalam di Dumai dan menunggu waktu hingga besok pagi hanya buang-buang waktu.

Kami kemudian diantar ojek ke loket travel. Karena tahu kami pendatang, dia seenaknya saja pasang tarif Rp.10.000, padahal jaraknya ternyata tak sampai lima menit. Ternyata juga si tukang ojek tak terlalu paham loket travel karena yang ada hanya mobil charteran dan kami tak mungkin mencharter mobil ke Bengkalis. Karena tak memiliki banyak informasi, akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja. Kebetulan di dekat-dekat situ lumayan banyak penginapan karena dekat pelabuhan. Dari luar sih kelihatan cukup layak, tapi ternyata setelah di lihat dalamnya banyak yang kumuh dan bernuansa 'mesum.'

Setelah melihat-lihat beberapa penginapan, akhirnya kami memutuskan menginap di sebuah penginapan sederhana tapi cukup bersih seharga Rp. 75.000 per kamar. Kamarnya sederhana sekali tapi cukup layaklah meski aku masih dibayangi ketidaknyamanan di kota ini.
Menikmati Malam yang Semarak di Dumai
Setelah mandi kami memutuskan keluar untuk mencari makan dan warung internet karena ada beberapa hal yang harus di cek di email.

Kami jalan kaki saja tanpa tujuan yang jelas. Dumai di malam hari terasa lebih ramah. Saya memutuskan singgah di warung mie Aceh pinggir jalan yang kami lintasi. Warungnya berada di sudut kecil yang terkesan cukup hangat tapi ketika disajikan, ternyata mi-nya biasa saja. Sangat berlemak dan rasanya dominan penyedap rasa. Kami juga sempat mencobai air akar yang dijual bapak tua dengan gerobak kayunya. Minuman yang dijualnya di kemas dalam botol-botol sehingga terlihat sangat khas. Namanya air akar. Saya penasaran. Setelah diminum ternyata: cincau! Bedanya hanya dicampur susu dan es.

Kami jalan lagi, mampir ke warnet sebentar. Warnetnya merangkap sebagai game online, yang isinya anak-anak muda yang main game, membunyikan sound sekeras-kerasnya, berbau rokok dan keringat cowok. Sama sekali bukan tempat yang nyaman. Kami cuma sebentar saja, lalu tanya-tanya pusat keramaian kota ini. Ada satu tempat namanya Ombak, kata pramuniaga toko. Karena sudah mulai lelah jalan kaki, kami pun memutuskan naik becak. Ongkosnya Rp. 10.000.

Tukang becaknya bapak-bapak yang belum terlalu tua dan enak diajak ngobrol. Dia mengaku dari Bangkinang, lama dia di Malaysia kerja bangunan. Konon dia terlibat dalam pembangunan KLCC dulu.
    "KLCC itu dibangun oleh orang-orang Indonesia," ujarnya. Saya sempat surprise tapi kemudian berpikir, apa itu patut dibanggakan? Jadi buruh di negri orang? Kita jadi arsiteknya itu hebat, tapi jadi buruh kasarnya? Hmm...

Dia lama di sana, lama di sini, pokoknya fasih dia cerita. Dia cerita kalau di Ombak ada swalayan yang menjual makanan-makanan Malaysia, sembari menyebut merek-mereknya, seolah aneka makanan itu memiliki gengsi tersendiri...

Ternyata Ombak lumayan jauh dan kami merasa ongkos 10 ribu yang Bapak itu pasang terlalu murah. Merasa kasihan, kami tambah 5 ribu dan dia tampak senang. Dia menyarankan agar nanti kalau kami hendak pulang untuk naik dia lagi dan dia memberi nomor ponselnya.

Ombak, tak seperti yang kami bayangkan berupa Pujasera atau semacamnya. Itu adalah sebuah jalan memanjang yang di kanan kiri adalah penjual makanan. Makanannya pun tak khas, jajanan PKL pada umumnya: martabak bangka, mie rebus, mie goreng, nasi goreng, sate... ada satu dua seafood itu pun penuh sesak. Jalanannya juga tak nyaman. Bercampur dengan toko-toko kelontong, tambal ban, dan tak ada trotoar sehingga tak nyaman untuk pejalan kaki. Tak ada yang terlalu menarik. Kami memutuskan untuk singgah ke swalayan mencari beberapa makanan ringan. Teman saya kemudian makan sate.
(bersambung)