Laman

Selasa, 14 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (5-Habis)

Pagi yang cerah dan kami bangun dengan bersemangat. Rencananya, seharian ini kami akan keliling Belitong dengan sepeda motor. Ketika kami bersiap, Bapak berlogat Sunda mengetuk kamar, menyajikan beberapa potong kue basah dan teh manis untuk sarapan. Wah, kue lapisnya enak sekali!

Kami kemudian menyewa sepeda motor di resepsionis. Tarifnya: Rp. 60.000 untuk 24 jam! Tak seperti kemarin di Bangka, kali ini prosudernya sangat tak ribet. Pilih motor, kasih kunci, selesai. Tingkat kepercayaan orang di pulau sepertinya sangat bagus. Yah, kalau dipikir-pikir, kemana juga orang mau mencuri dan bisa lari tanpa ketahuan karena jalan satu-satunya keluar dari pulau ini ya laut. Hihi...
Laskar Pelangi' Monument
Pantai Tanjung Tinggi
Tujuan pertama kami: Pantai Tanjung Tinggi yang katanya recommended banget. Jalan ke Tanjung tinggi sama saja jalanan di Bangka, halus mulus. Perumahan di kanan kiri jalan juga mirip suasana di bangka. Tapi di sini lebih sepi dan lengang sehingga bisa mengatur kecepatan senyaman mungkin. Udaranya meski panas tapi terasa segar.

Sekitar satu jam, kami sampai, disambut terik matahari dan hamparan laut yang membiru. Pantainya sepi, ada beberapa orang dan warung-warung sederhana yang juga tampak lengang. Batu-batu granit seperti yang di gambar-gambar bertebaran di sepanjang pantai. Di dekat celah sempit batu granit, berdiri prasasti tempat syutingnya film Laskar Pelangi yang tersohor itu.
Pantai Tanjung Tinggi yang memang luar biasa

Nggak ada fasilitas apa-apa kecuali sebuah villa yang sepertinya sepi saja, mungkin karena letaknya kurang sip. Di pinggir jalan. Alih-alih langsung menghadap ke laut, villanya langsung menghadap ke jalan raya. Jalannya memang terlalu merapat ke laut sehingga mungkin agak susah melakukan pembangunan di pinggir pantai. Sayang banget padahal pantainya tenang dan menyenangkan.

Kami foto ke sana sini, melompati batu-batu granit, airnya jernih banget dan dangkal, enak buat mandi-mandi tapi kami nggak bawa baju ganti :( Meski begitu, menikmati pemandangan pantai ini serasa tak ada puasnya. Setiap berjalan,menemukan celah-celah di batu granit yang menakjubkan dan membuat kami gila berfoto. Semakin ditelusuri, pantai ini semakin terlihat indah. Ada sudut-sudut sepi dan teduh oleh perdu yang nyaman untuk menyepi. Keren lah pokoknya.
Pantai Tanjung Tinggi

Sayang langit tiba-tiba sangat mendung dan beraroma hujan, di sisi lain, kami juga sudah kelaparan, jadi kami memutuskan untuk meninggalkan pantai. Baru beberapa meter keluar pantai, hujan deras benar-benar turun. Karena tak membawa mantel, kami memutuskan berteduh di warung kosong pinggir jalan. Sambil terkantuk-kantuk menunggu hujan, menatapi rumah-rumah papan yang dilatari pepohonan kelapa berbalut kelabu warna hujan, entah bagaimana, hal itu membuat saya teringat salah satu adegan di Laskar Pelangi, ketika ayah Lintang pamit hendak melaut, salah satu adegan yang membuat saya berkaca-kaca.

Pantai Tanjung Kelayang
Hujan lama sekali reda. Benar-benar menyebalkan karena masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi dan kami juga ingin mengisi perut yang keroncongan. Setelah hampir satu jam dan hujan sudah menjadi rintik-rintik, kami nekad jalan lagi. Pertama, kami singgah di Pantai Tanjung Kelayang, pantai terdekat dari Tanjung Tinggi. Tanjung Kelayang pantainya lebih kecil dan sederhana. Banyak fasilitas dibangun tapi terbengkelai. Katanyas sih ini lokasi Indonesian Sail kemarin, tapi ternyata nggak ngaruh apa-apa terhadap fasilitas. Saya cari toilet, toiletnya hancur-hancuran nggak terurus meski sepertinya baru dibangun. Parah.
Pantai Tanjung Kelayang

Tanjung Kelayang adalah pantai nelayan dan karenanya banyak kapal-kapal nelayan bersandar. Kami keliling-keliling sebentar untuk cari spot menarik buat foto. Ada granit-granit juga, tapi tak semenakjubkan di Tanjung Tinggi.

Langit masih mendung ketika kami meninggalkan Tanjung Kelayang. Kami memtuskan mengambil jalan yang berbeda dari waktu berangkat, lewat Tanjung Binga. Saya yakin tak akan tersesat di pulau kecil begini. Desa Tanjung Binga berada di sepanjang pinggir pantai. Dari jalan, kelihatan pantai di belakang rumah-rumah penduduk.

Gangan yang Lezat
Ketika melintasi sebuah rumah makan yang tampak bersih kami memutuskan untuk singgah. Gayanya sih akayak kafe tapi sepertinya jarang dikunjungi orang, mungkin karena lokasinya yang tak terlalu strategis. Di sini juga menyewakan kapal ke pulau yang ada di seberang. Satu kapal 350 katanya. Cukup mahal. Saya tanya, ada apa di pulau? Cuma ada mercusuar saja. Wah, 350 ribu untuk sebuah mercusuar rasanya tak masuk akal. Mungkin kalau berombongan sih bisa murah.

Pemilik kafe ini cukup ramah. Ada bapak-bapak tua yang menyapa kami dan langsung menebak kalau saya dari Jogja. Hmm, saya sih lebih karena kebetulan saja. Bahkan kami kemudian disuguhi sisa kue hari raya sembari menunggu pesanan.

Kami pesan gangan, semacam woku kalau di daerah timur, berupa ikan dengan kuah berempah dan ikan goreng. Ikannya ikan bulat. Rasanya lumayan. Ikannya enak dan masih segar. Kami makan dengan rakus. Harganya juga nggak terlalu mahal. Sama minum 62 ribu saja. Perut kenyang, kami jalan lagi.

Bukit Berahu
Persinggahan berikutnya adalah ke Bukit Berahu. Sempat kelewatan karena plank-nya terlalu kecil. Untuk ke Bukit Berahu, kami harus melewati pemukiman penduduk yang cukup padat. Awalnya saya mengira kalau bukitnya akan mirip-mirip Gundaling di Berastagi tapi ternyata Bukit Berahu kecil saja, dan yang menyedihkan adalah bahwa bukit ini ditanami akasia! Masuknya pakai retribusi, kalau nggak salah 1000 perak. Di atas ada restoran dan cottage yang kayaknya dikelola sama keturunan Tionghoa. Sepi saja. Dari atas memang bisa lihat lautan biru di bawah, tapi nggak ada fasilitas apa-apa karena sepertinya sudah dikelola perorangan. Duduk-duduknya di kursi cottage jadinya merasa nggak nyaman.
Bukit Berahu

Ada tangga curam yang dibuat menuruni bukit menuju ke pantai. Di pinggir pantai, di bangun cottage dari kayu. Mungkin cocok untuk berbulan madu. Haha. Tapi sayangnya pengelolaanya masih jauh dari asri. Merasa agak kecewa, kami segera pulang.

Pantai Tanjung Pendam & Griya UMKM
Karena masih sekitar pukul empatan, kami singgah di Pantai Tanjung Pendam, pantai yang berada di pinggir kota Tanjung Pandan.Pantainya lebih semarak karena pinggir kota mungkin tapi nggak bisa dibilang asri juga meski ada usaha penataan taman. Langit mendung sehingga kami tak bisa melihat sunset.

Sebelum pulang ke penginapan, kami mampir dulu di Griya UMKM di sebelah penginapan. Berbagai souvenir khas Belitong ada di sini. Mulai dari makanan sampai souvenir ada, tapi relatif mahal-mahal karena sepertinya terbatas. Ada kaos Laskar Pelangi, gantungan kunci, gelang akar bahar, dan batu satam yang terkenal itu. Saya berpikir untuk membeli, tapi begitu melihat harganya langsung urung. Secuil batu satam sebesar kerikil dan belum dibentuk saja dihargai 30 ribuan. Yang sudah jadi cincin di atas seratus ribu sampai 300 ribu.

Akhirnya saya memutuskan beli kain yang diklaim khas Belitong bermotif binatang laut. Motifnya sederhana tapi terlihat cukup menarik. Harganya sebenarnya cukup mahal: 175 ribu untuk katun dan 350 ribu untuk semi sutra. Saya beli yang katun. Kami juga beli beberapa bungkus abon ikan untuk oleh-oleh.

Selesai beli oleh-oleh, kami memutuskan untuk cari tiket pesawat di travel agent, kalau-kalau ada tiket pesawat murah. Jujur, saya masih agak trauma dengan perjalanan kapal kemarin. Ternyata mahal banget. 1,3 juta sampai ke Jambi. Tiket Tanjung Pandan-Jakarta sedang naik karena sedang peak season terkait dengan upacara sembahyang arwah bagi warga keturunan Tionghoa yang memang cukup mayoritas di sini.
 
Karena harga tiketnya terasa tak 'masuk akal' kami urung pulang naik pesawat. Tanjung Pandan - Palembang juga mahal. Ya sudah lah, mau tak mau baik kapal lagi dan berharap cuaca cerah sehingga ombaknya tak sekeras kemarin.

Pujasera Tanjung Pendam
Malamnya, kami berniat mencari seafood. Ada beberapa daftar restoran seafood dari cacatan panduan yang saya bawa, tapi kami cari-cari tak ketemu. Entah dimana. Kami tanya-tanya juga tak ada yang tahu. Kami memutuskan makan chinese food di depan penginapan kemarin, tapi antriannya luar biasa. Kami muter-muter, tapi ban motor kempes. Cari tambal ban nggak ada. Kami baru sadar, ternyata kota ini kecil sekali. Akhirnya kami ke pantai saja.
Gangan, sayang tak menemukan yang mak nyus :(

Ada rumah makan yang ramai banget. Karena ditulis ada seafoodnya kami ke sana. Berdesak-desakkan. Karena banyak orang yang datang, kami kira enak. Ternyata...standar sekali rasanya. Jauh lebih enak makan siang kami di Tanjung Binga. Karena masih penasaran sama gangan, saya pesan lagi, Tapi rasanya parah, ikannya juga nggak segar. Harganya cukup mahal 25 ribu per porsi. Teman saya pesan sop seafood, rasanya juga alakadarnya.

Usai makan, kami langsung pulang karena takut bannya tambah kempes. Nggak lucu kan kami pulang mendorong sepeda motor? Aish, menyebalkan juga karena kami tak berhasil mendapat seafood yang mantap sejauh ini.

Pulang, kami beli tiket kapal di travel agent. Katanya nggak ada lagi tiket yang transit (maksudnya tiket langsung ke Palembang). Jadi kami cuma beli yang sampai Pangkal Pinang. Berangkat pukul 7 pagi esok. Ohya, tak lupa juga kami beli satu pack kantong kresek. Untuk jaga-jaga kalau mabuk lagi seperti kemarin.

Saya tak bisa tidur nyenyak. Meski sudah menyalakan alarm, tapi saya agak paranoid. Saya sampai pada pemikiran bagaimana kalau ternyata jamnya salah, alarmnya rusak dan bangun kesiangan? Karena kapal ke Pangkal Pinang cuma sekali sehari, saya benar-benar tak ingin sampai ketinggalan.

Goodbye Belitong :(
Pagi-pagi, Pak Penginapan mengetuk pintu, menyajikan sarapan. Kali ini dua piring mie goreng. Dia tahu bahwa kami akan pulang pagi ini dan sepertinya ingin memberi sarapan yang mengenyangkan. Sayangnya saya agak bermasalah dengan asam lambung, khawatir kalau makan mie justru membuat mual perut jadi saya makan sedikit saja.

Sekitar setengah tujuh kami keluar penginapan, naik ojek ke pelabuhan. Lima ribu rupiah saja.

Pelabuhan sudah cukup ramai dengan orang mengantri tiket. Belum ada tanda-tanda akan berangkat. Saya bayar pas dulu. Cukup mahal, tertera 6 ribu per orang.Tapi dimintai 8 ribu sama petugas. Sempat terpikir mau tanya untuk apa? Tapi malas berdebat jadi diam saja meski masih menyimpan gondok. Dua ribu dikali sekian orang. Berapa dia dapat sehari?  Menyebalkan memang pungutan-pungutan nggak jelas di negri ini.
Pelabuhan Belitong yang bersih dan lengang

Kami menunggu agak lama. Ruang tunggunya sih kecil saja, tapi lumayan bersih, karena sepertinya baru dibangun. Sekitar setengah 8-an baru jalan. Kami dapat tempat yang kemarin juga. mudah-mudahan sih kali ini nggak mabuk, karena cuaca terlihat begitu cerah. Dan benar saja, memang ombakanya kali ini nggak kenceng. Kami bisa tiduran di kapal dengan nyaman. kecuali bahwa ac-nya dingin minta ampun. Sudah pakai jaket dan syal masih menggigil juga. Dan perjalanan di kapal untuk waktu yang cukup lama selalu terasa membosankan karena nggak tahu mau ngapain selain tidur.

Sekitar 4 jam kemudian, kami sampai di Pangkal Pinang. Sempat was-was, terkejar kapal  ke Palembang nggak ya? Rute perjalanan darat ini benar-benar terasa tak efesien karena harus nyambung-nyambung.

Ketipu Sopir Angkot di Pangkal Pinang
Turun dari kapal di Pangkal Pinang, agak bingung juga turun dari kapal,kemana ya? Kirain ada travel kayak di Muntok, tapi yang ada angkot pada parkir di depan. Ada bus kapal juga, tapi katanya khusus penumpang transit. Rencananya pengin nanya ke petugas dulu biar dapat info yang pas, tapi seorang tukang angkot berhasil memperdaya kami untuk naik angkotnya. Dia meyakinkan kalau nggak ada travel di sini. Harus ke terminal nyarinya. Dia bakal nganterin. Dari awal sudah curiga sih dia pasti maunya dicarter. Dia minta 30 ribu. Aku sih mikirnya biar ngejar kapal di Muntok, jadi pengin cepat-cepat jadi nerima saja.

Ternyata eh ternyata, dia minta 60 ribu. 30 ribu itu untuk satu orang! Bahkan kutawar 50 ribu nggak mau dia. Kami dongkol bukan main, merasa sudah dibodohi. Saya pikir, seharusnya tadi saya nanya dulu pada bis kapal untuk penumpang transit. Katanya sih untuk yang sudah punya tiket transit saja,  tapi kalau dipikir-pikir kan sama saja ya? Kami juga calon penumpang? Aduh, menyesal.

Kami naik minibus. Dari awal sudah dibilang ongkosnya 25 ribu sampai Muntok. Waduh, murah banget, pikir saya. Apa juga dibilang ibu-ibu tempo hari naik bis 50 ribu dari Muntok-Pangkal Pinang?

Busnya mengingatkan saya sama bus Srandakan-Jokteng yang dulu sering saya naiki semasa kuliah. Penumpangnya nggak banyak. Melaju kencang. Ya, dengan jalan sebagus dan selengang ini di sini, nggak ada alasan berkendaraan nggak kencang di sini. Perjalanan cukup membosankan karena pemandangannya ya begitu-begitu saja. Badan juga sudah terasa pegel. Panas terik di luar sana, mengembuskan udara yang kering. Penumpang naik turun di perjalanan.

Kami singgah di rumah makan yang waktu berangkat tapi sebelahnya. Katanya sih menyajikan makanan khas Bangka, begitu masuk ya makanan standar lah dengan rasa standar. Harganya lumayan murah. Berdua hanya habis 30 ribu.

Jalan lagi. Tertidur dan terbangun. Perjalanan benar-benar tak kurang dari 3 jam. Tapi saya tak lagi terlalu risau dengan ketinggalan kapal. Kalau ketinggalan ya nginap di Muntok lah. Si abang angkot penipu itu sempat bilang kapal terakhir jam 4 atau jam 5, tapi saya tak yakin. Saya pikir dia nggak punya cukup pengetahuan soal itu.

Menjelang Muntok, si kernet minta tambahan 15 ribu untuk diantar pe pelabuhan. Waduh. Ini ternyata yang bikin jadi nggak murahnya. 40 ribu juga ujungnya. Jelas mending naik travel kan? Tapi ya sudahlah. Pengalaman. Apalagi kami sempat diajak muter2 kota Muntok sebentar dan dari terminal ke pelabuhan ternyata memang cukup jauh.

A Little Luck
Sepi banget waktu kami sampai di pelabuhan. Ada dua orang abang-abang barengan kami yang juga mau nyeberang.  Kata petugas pelabuhan tinggal ada fery jam 4. Tiketnya murah banget: 46 ribu, tapi perjalanannya 9 jam! Sampai Palembang besok pagi. Whatz!?

Nggak ada kapal cepat? tanya saja. Sudah jalan, katanya. Saya kepikiran antara ingin beli atau lihat ke dalam untuk memastikan. Untungnya si petugas cukup baik dan menyuruh kami lihat ke dalam dulu. Kami bergegas. Loket penjualan tiket sudah sepi. Ruang tungu sudah sepi. Tinggal ada beberapa orang yang saya kira di awal penumpang telat juga. Tapi dua bocah perempuan  yang sepertinya anak-anak dekat situ yang sedang bermain, menanyai kami. Sebenarnya iseng saja ketika saya tanya kalau kapalnya dah nggak ada ya?

Coba tanya abang baju merah, kata bocah perempuan itu. Kami lihat abang baju merah tiduran di kursi. Gayanya tak meyakinkan. Teman saya yang tanya. Kapal cepat? ujarnya. Itu mau berangkat! tunjuknya ke arah dermaga. Ada kapal Bahari Express masih bersandar dan siap segera melepas sauh.

Kami berlari cepat-cepat. Untunglah. Kenapa nggak naik bus transit dari pangkal pinang tadi? tanya petugas sambil memberi kami tiket. Penumpangnya sedikit kok. Nggak tahu sih, ujar saya agak malu. Agak menyesal juga. Tiket  ke Palembang 220 ribu. Karena si abang baju merah merayu2 kami untuk kasih uang rokok karena udah bantu ngejarin, padahal sih nggak dibantu kejar juga nggak apa2, akhirnya saya kasih 10 ribu, yah yang penting kami bisa nyeberang. Bisa mendapat kapal benar-benar melegakan.

Perjalanan muntok-palembang 3 jaman. Cuaca masih cerah dan pelayaran tenang. Di kapal, ada yang nawarin tiket travel Palembang-Jambi, tapi harganya 140 ribu. Bweuh, mahal banget. Saya sempat berpikir: apa nggak boleh travel masuk ke pelabuhan? Tapi ternyata ketika saya telepon travel yang sudah cukup saya kenal dan minta jemput di pelabuhan, mereka mau saja. Harganya juga normal: 110 ribu saja.

Tadinya saya berpikir untuk jalan-jalan sebentar di Palembang karena berpikir akan sampai di Palembang sebelum petang. Saya berpikir untuk ke Jembatan Ampera dan makan di restorannya Tantowi Yahya di atas Sungai Musi. Tapi ternyata sudah gelap waktu kapal memasuki pelabuhan Boom Baru. Saya juga tak terlalu familiar dengan kota ini, yang konon cukup rawan. Jadi kami memutuskan untuk menunggu jemputan travel saja dan langsung pulang ke Jambi.

Kembali ke "Habitat"
Kami berangkat sekitar jam 8 malam dari Palembang. Dapat kursi paling belakang, Belum apa-apa rasanya sudah dibanting-banting. Sopirnya agak error memang. Seruduk sana seruduk sini. Waduh, jantungan juga dibuatnya. Mana penumpang lain diam saja semuanya. Nyaris nggak ada obrolan kecuali penumpang di depan yang sibuk menelpon. Mau tidur juga nggak nyaman karena agak jantungan.

Jam duaan sudah memasuki jambi dan rasanya sudah tenang. Agak takjub juga melihat jalanan jambi jam segitu masih cukup ramai oleh orang yang melintas. Warung2 pinggir jalan juga masih pada buka. Mungkin karena malam minggu? Entahlah. Saya tak pernah berkeliaran di Jambi selarut ini. Sampai di kosan, senang rasanya. Ah, selalu menyenangkan pulang ke ‘rumah’ usai dari perjalanan yang panjang dan melelahkan. Alhamdulillah segalanya berjalan lancar. Bukan liburan yang terlalu berkesan, tapi not bad lah. Finally, i’ve been in Babel...:)
Itenerary
Jambi – Palembang                : Rp. 65.000 (IMI, 110.00: travel), ± 6 jam
Palembang (BoomBaru)-Bangka (Muntok)    : Rp. 220.000 (exe, jetfoil Express Bahari, ± 3 jam)
Muntok – Pangkal Pinang            : Rp. 60.000 (travel), Rp. 40.000 (bus) ± 3 jam
Pangkal Pinang –Belitong (Tj Pandan)        : Rp. 180.000 (± 4,5 jam)
Penginapan                     : ±  RP. 160/ malam utk 2 orang
Sewa motor                     : Rp. 60.000/hari

Note:

- Kalau mau efesien,saya sarankan kalau mau ke Babel, mending pakai pesawat saja. Dari Jakarta ada penerbangan langsung ke Pangkal Pinang (Bangka) atau ke Tanjung Pandan (Belitong). Dari Palembang juga ada. Tapi kalau ke Tanjung Pandan sepertinya baru pesawat perintis saja yang harganya lumayan mahal (sekitar sejutaan). Lewat jalur darat cukup ribet dan makan waktu, belum lagi kalau ketinggalan kapal dari Pangkal Pinang - Tanjung Pandan. Dari segi ongkos juga jatuhnya nggak terlalu jauh, malah bisa lebih murah karena lebih bisa menghemat waktu. Tapi kalau memang niat mau sedikit bertualang dan punya cukup waktu, jalur darat memang layak dicoba! :)


Kamis, 02 Oktober 2014

Menengok Negeri Laskar Pelangi (4)

Perjalanan yang Memabukkan!
Kapal mulai bergerak sekitar pukul 2-an. Langit tiba-tiba mendung. Dan baru beberapa menit meninggalkan dermaga, kapal sudah terasa guncangannya. Menit berikutnya, jangan ditanya. Kapal seperti mau jungkir balik. Jantungan rasanya.  Hentakan demi hentakan.Saya ingat cerita si Ibu di rumah makan, kalau perjalanan ini bisa sampai  7 jam. Waduh. Tujuh jam seperti ini? Pikiran-pikiran buruk menghinggapi benak. Bagaimana kalau tiba-tiba kapal terbalik diseret ombak? Dalam keadaan begini, saya baru ingat kalau bahkan saya nggak pamit sama kedua orangtua (karena saya nggak ingin berdebat ini itu jalan-jalan seperti ini). Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi apa-apa? Tapi cerita si Ibu juga menandakan bahwa keadaan seperti ini berarti sudah biasa terjadi. Kapal setiap hari pulang dan pergi. Saya menoleh ke kiri kanan, ke penumpang lain yang nampak tenang-tenang saja. Saya merasa agak lega.

Dua jam berlalu, kapal masih terus berguncang-guncang. Hampir dari seluruh penjuru kapal, suara huek-huek mulai terdengar. Mabok. Mbak dan ibu2 di belakang kami yang sepertinya sudah biasa dengan perjalnanan ini, tahu-tahu juga sudah huek-huek. Kepala saya sudah berputar-putar. Mana belum makan nasi sejak pagi lagi. Meski sudah coba melahap bekal makanan ringan yang dibawa, tapi rasanya belum nendang di perut. Teman saya sepertinya juga sudah merasa 'tak baik-baik saja.'

Rasa mual mulai merambati juga. Saya sudah nyiapan plastik kresek kalau sewaktu-waktu isi perut tak tertahankan lagi. Saya coba mejam-mejamin mata untuk mengalihkan pikiran.Tapi justru makin mual. Teman saya sudah menyerah dan huek-huek. Abang2 di kursi seberang yang sedari tadi nampak tangguh juga sudah muntah duluan. Satu-satunya yang  membuat saya merasa tenang di atas semua itu adalah suara seorang bocah lelaki yang terus mengoceh riang. Juga ketika kapal oleng dan terlihat daratan di sisi kanan. Artinya ini nggak terlalu di tengah lautan, jadi bukan laut dalam. Entah bagaimana tiba-tiba saya mulai merasa relaks. Saya mencoba memejamkan mata, mengalihkan pikiran dengan mendengarkan musik dari MP3: berhasil! Saya ketiduran. Entah berapa lama. Rasanya menyenangkan bisa membunuh waktu. Dan ketika terbangun, saya sudah merasa tak mual lagi.

Di luar terlihat sudah gelap di luar. Belum ada tanda2 mau sampai. Tapi guncangan mulai memelan.  Sejam, dua jam kemudian...

Tanjung Pandan, Akhirnya...
Tanjung Pandan. Pelabuhan kecil. Temaram. Meski ada beberapa orang menunggu di dermaga, tapi terasa lengang. Sebelum turun, si Abang Palembang menyarankan kami menginap di hotel langganannya, Hotel Citra. Jalan Sriwijaya, depan KFC. Katanya sih nggak terlalu jauh jalannya. Oke. Trims.
sumber peta: http://yuliacahang-student-esaunggul.ac.id

Sebenarnya sih kami ingin nginep di hotel dekat2 pantai, tapi menoleh ke kanan kiri nggak ada tanda-tanda suasana pantai dengan  hotel-hotelnya seperti yang saya bayangkan.

Jalan keluar pelabuhan gelap. Tukang ojek terus menawarkan jasa. Karena kami belum yakin mau kemana, kami memutuskan jalan. Nanya orang di warung. Ada hotel di seberang jalan, katanya. Mendanau hotel. Kami menyeberang jalan. Ada got menganga membelah jalan. Nampak kumuh dan bau. Dan hotel Mendanau ada di belakangnya. Jadi hotel ini menghadap got, pemandangan di seberangnya bangunan ruko. Kelihatannya sih cukup hotelnya cukup mewah, tapi saya pikir bukan tempat yang menyenangkan. Sudah kelihatan mahal, pemandangannya menyedihkan lagi.

Kami sudah terlalu letih dan lapar dan memutuskan untuk mengikuti saran si Abang di kapal mencari penginapan langganannya.

Kami jalan, sampai di pusat jalan sepertinya , sebuah bundaran yang semarak. Dikelilingi muara jalan, mungkin ada 7 atau 6 muara jalan yang bermuara di bundaran itu. Suasana yang membuat saya kagum. Lampu lampu masih menyala dari toko toko di kanan kiri jalan. Sepertinya ini pusat kotanya. Bayangan saya akan kota Tanjung Pandan yang klasik segera menguar. Kota ini lebih terlihat sebagai kota kecil yang baru menggeliat daripada sebuah kota kecil yang klasik.

Akhirnya kami menemukan Hotel Citra yang dimaksud. Awalnya agak ragu karena di depannya nggak tertulis hotel atau penginapan, cuma penjualan tiket dan warnet. Tapi ketika kami tanya, ternyata memang menyediakan penginapan. Kami diketemukan dengan pemiliknya, lelaki kecil  paruh baya yang berlogat kental Sunda. Harga penginapan 100 ribu berdua untuk kipas, 165 ribu berdua untuk yang ac. Nggak ada tivi. Tivinya di ruang tamu doang. Agak mahal sih untuk fasilitas segitu, tapi kami sudah lelah untuk cari penginapan lain jadilah kami memilih yang ber-ac karena kamar mandinya di dalam. Kami di antar ke kamar. Kamarnya kecil tapi bersih dan terasa nyaman. Lumayanlah.

Seafood yang Mengecewakan
Usai mandi, kami memutuskan cari makanan di sepanjang jalan. Penginnya sih seafood. Tapi nggak ada. Ada chinese food depan penginapan, ramai banget dan yang jualan berjilbab. Kayaknya enak. Kami niat kesana, tapi ternyata kata si mbak penjualnya sudah habis. Hmmm..kami jalan lagi.  Yang ada bakso2an, penyetan....bosan. Tapi karena terbaca ada ikan lain selain lele, kami memutuskan makan di sana. Warung sederhana saja. Demi menuntaskan hasrat akan seafood, saya pesan kerapu asam manis, teman saya pesan kepiting.

Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan datang. Rasanya: tak memuaskan karena sepertinya kualitas bumbunya rendah sekali. Dan yang lebih mengerikan adalah harganya, untuk menu alakadarnya begitu kami harus membayar 88 ribu! Kepitingnya ternyata dihargai 50 ribu! Waks...apa itu memang harga wajar atau harga untuk pendatang? Tapi tentu saja kami nggak bisa protes. Kami pulang, istirahat.
(Bersambung)

Menengok Negeri Laskar Pelangi (3)

Kami bangun pagi-pagi dan bersiap mencari sewaan sepeda motor. Ibu penginapan menyarankan kami untuk ke Penginapan Mutiara di dekat Mesjid Jami’.

Penginapan Mutiara adalah penginapan kecil yang terkesan klasik. Tempelan bermacam jasa layanan tertempel di kaca. Mulai dari penjualan tiket hingga jasa pengiriman. Di meja resepsionis yang sangat alakadarnya, seorang bapak tua yang berwajah ramah sedang sibuk dengan bukunya. Kami tanya tentang sewa motor. "Enam puluh ribu sehari." Katanya. "35 kalau setengah hari." Oke, kami ambil setengah hari. Ketika kami mengatakan bahwa kami mau ke Belitong, beliau cerita kalau penumpang kapal yang kemarin dari Palembang ke Belitong yang ketinggalan kapal kemarin diinapkan di tempatnya.

Kami dipersilahkan memilih motor. Pilihan kami motor Honda Helmin' yang masih baru. Sambil menunggu si Bapak menyelesaikan administrasi (yang cukup lamban), kami sekalian tanya-tanya tempat yang kira-kira bisa kami kunjungi. Ada pantai terdekat. Tapi sepertinya tak menarik. "Kalau Belinyu?" "2 jaman. Pas kalau pulang jam 12." Tapi saya pikir terlalu mepet. "Kalau ke Sungailiat?" "Sejaman. Banyak pantai bagus di sana."

Biking ke Sungali Liat
Oke, kami memutuskan ke Sungai Liat. Si bapak sempat menggambarkan peta untuk kami. Tapi petanya ruwet. Ketika kami mencoba mengikuti peta itu, kami malah kesasar,hihi.
Jalanan ke Sungai Liat yang mulus dan lebar

Jalan ke Sungailiat sama saja dengan jalanan kemarin dari Muntok, halus mulus. Cukup ramai sih kendaraan yang hilir mudik. Panas membakar. Bagusnya di Bangka ini papan petunjuk jalan nyaris selalu ada di persimpangan, meski sayangnya nggak pernah dikasih jarak tempuhnya. Kami ikuti saja petunjuk jalan.

Ternyata pemilihan motor baru nggak terlalu menguntungkan karena bensinnya boros banget. Baru kami isi dua liter menjelang berangkat, belum apa-apa sudah menunjukkan batas dasar. Akhirnya kami isi lagi di pom bensin dua liter lebih.

Kami sampai di Sungailiat. Agak kebingungan karena petunjuk tiba-tiba kabur. Kami ikuti feeling saja, muter-muter. Mana perut lapar lagi. Rumah makan yang ada di kanan kiri jalan terlihat tak menarik. Yang agak besar paling rumah Makan Padang. Aduh, jauh-jauh ke Bangka masa cuma makan di rumah Makan Padang? Enggak banget.
Suasana perkampungan warga keturunan Tionghoa

Kota Sungailiat terlihat cukup besar dan rapi. Jalannya lebar dan dua jalur. Kesannya rapi. Sayang trotoarnya tetap nggak nyaman untuk pejalan kaki karena sempit dan banyak yang rusak.

Ketika kami memutuskan untuk balik, ternyata kami dapat petunjuk jalan lagi lokasi ke arah pantai. Ke arah pantainya melewati perkampungan gitu. Kesannya sih sudah desa urban ya. Rumah-rumahnya terlihat layak. Jalannya sama saja bagusnya. Di pertigaan ada tulisan 3 pantai: Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai dan Pantai Matras.

Pantai Batu Berdaun, indah sih tapi tak terawat :(
Pantai Batu Bedaun, Pantai Parai  & Pantai Matras
Pantai pertama, Batu Bedaun. Ada plang kecil di belakang rumah warga. Jalannya juga jalan kecil meski sudah di aspal kasar. Sekitar 300 meter ke dalam sudah ketemu pantai. Pantainya: menyedihkan. Sepi tak terawat. Hamparan ilalang terlihat mengering kekuningan, mungkin habis disemprot racun gulma. Pohon -pohon kelapa berjejer di pinggiran. Tak ada jejak kalau sering dikunjungi orang ramai. Mungkin hanya penduduk sekitar.  Kami foto-foto sebentar, dan karena merasa takut meninggalkan motor lama-lama di pinggiran, lalu jalan lagi.

Berikutnya: Pantai Parai. Ternyata sudah jadi resort. Sempit saja, tapi terlihat terawat. Ada cottage-nya segala.
Pantai Matras

Kami lanjut ke Pantai Matras. Jalannya sepi. Di kanan kiri vegetasi khas pantai, perdu-perdu dengan warna hijau terang, terbakar di sana-sini. Bebatuan granit yang menjulang. Saya bertanya-tanya, tempat ini dulunya pegunungan atau laut?

Pantai Matras juga terbengkelai kesannya, tapi sepertinya cukup sering dikunjungi orang. Ada warung-warung makanan dan gazebo-gazebo  meski sangat alakadarnya. Warungnya juga nggak ada yang buka. Mungkin hanya di akhir pekan atau hari libur. Ada beberapa orang di seberang jalan, sepertinya anak kuliahan yang sedang ospek. Gundukan pasir  bertumpuk di sepanjang bibir pantai, mungkin mau dibangun apa gitu, tapi jadi memberi kesan tak indah. Karena takut kesiangan, setelah berfoto, kami memutuskan untuk pulang.

Pantai Rebo
Di perjalanan pulang, kami membaca plang Pantai Tanjung Pesona dan berpikir untuk singgah, eh, tiba-tiba di tikungan petunjuk arahnya sudah menghilang lagi. Ujung-ujungnya kami singgah  di Pantai Rebo. Jadi dalam perjalanan Sungai Liat - Pangkal Pinang ini ada banyak pantai-pantai yang bisa disinggahi sepanjang jalan.
Pantai Rebo

Ternyata ke Pantai Rebo, masuk ke dalamnya cukup jauh dari jalan utama. Melewati pemukiman pecinan. Bangunannya sih nggak khas.Cuma ada lampion dan kuburuan di kanan kiri. Kalau nggak salah waktu itu sedang menjelang upacara sembahyang arwah atau apa gitu. Di depan rumah mereka membuat sesajian, ada juga yang di bawah pohon. Kuil-kuil semarak oleh patung besar berwajah buruk.

Pantai Rebo terkesan terbengkelai. Padahal, kami baca, katanya pantai yang indah dengan bukit-bukit. Nyatanya: terlihat tak terurus, ada warung-warung kecil, sepertinya warung nelayan. Ada kuil kecil dan orang-orang sedang menyiapkan perayaan. Kapal-kapal nelayan sedang bersandar. Suasananya sih sejuk, mungkin karena ada dua baris tanaman pinus di sebagian pinggiran.

Mengejar Kapal ke Belitong
Karena lapar dan keletihan kami agak lama di sini sebelum akhirnya pulang karena tahu-tahu sudah pukul 11. Nyari makan sepertinya nggak sempat lagi. Jadi pulang langsung balikin motor. Si bapak  bilang kalau penumpang transit kapal yang nginap di tempatnya sudah jalan ke pelabuhan dan kami sebaiknya segera pergi agar tak ketinggalan kapal lagi.

Kami buru-buru ke penginapan buat check out. Mau beli tiket kapal di agen seberang penginapan, tapi mereka menyarankan untuk beli di pelabuhan saja karena sudah mau berangkat.

Kami ke pelabuhan naik angkot. Agak ketar-ketir juga karena angkotya sempat singgah nganterin penumpang. Tapi ternyata pelabuhannya nggak terlalu jauh jadi sebentar saja kami sudah sampai.

Kami tergesa beli tiket dan masuk. Pelabuhannya nggak terlalu ramai. Lusuh dan nggak ada pertanda apapun. Orang mondar mandir sesukanya. Mungkin karena cuma ada satu pelayaran sehingga orang sini nggak ada bingung-bingungnya. Kapalnya sudah sandar. Kami naik saja. ternyata dapat di dek bawah, kacanya terlalu tinggi  sehingga nggak bisa lihat laut.

Cukup ramai. Kami liat si Ibu di rumah makan kemarin. Kami juga ketemu Si Abang yang kemarin ketemu di Palembang.
(Bersambung)