Laman

Selasa, 24 November 2015

Berwisata ke Gunung Kaba

Musim penghujan, tentu saja bukan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas outdoor seperti mendaki gunung. Tapi berhubung waktu dan kesempatannya baru didapat, dengan rasa was-wasa beserta harapan agar cuaca cukup cerah dalam beberapa hari ini, kami pun nekad berangkat ke Gunung Kaba. Gunung Kaba merupakan salah satu obyek wisata yang cukup populer di Curup, Bengkulu. Jaraknya sekitar 25 km dari Kota Curup atau sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Gunung ini memiliki ketinggian 1.938 m dpl, sehingga masyarakat sering mengenalnya sebagai Bukit Kaba.

Pemberhentian terakhir adalah Desa Sumber Urip, sebuah desa pertanian yang sejuk dan uniknya mayoritas penduduknya adalah Suku Jawa. Jadi ketika memasuki desa ini, nuansa Jawa-nya lebih terasa daripada Sumatra. Di desa ini, para pendaki diwajibkan untuk melapor di kantor Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) yang dikelola oleh masyarakat setempat. Retribusi yang dikenakan adalah Rp. 3000/orang.

Perjalanan ke Gunung Kaba bisa melalui dua jalur. Jalur yang satu adalah jalur jalan setapak melewati hutan yang masih cukup lebat. Sedangkan jalur yang satunya lagi adalah melewati jalan besar yang sudah dikeraskan. Jalur hutan medannya lebih terjal tapi lebih pendek dan sejuk. Sedangkan jalur jalan besar lebih jauh dan terbuka. Bagi yang suka suasana alam sih jalur pertama lebih jadi pilihan. Dan itu pula yang kami pilih.

Kami meninggalkan pos Pokdarwis sekitar pukul 16.30. Meskipun langit agak mendung, tapi cuaca terbilang cerah. Jalanan yang kami lewati basah dan agak licin, tapi terbilang cukup mudah dan terang, karena sering dilewati. Perjalanan menuju shelter untuk berkemah sekitar 2 jaman, itu juga dengan ritme perjalanan yang terbilang santai dan sesekali berhenti melepas lelah. Menjelang petang, kami sampai di area perkemahan. Di seberangnya, tampak gundukan lereng-lereng pegunungan Kaba yang terhampar kokoh.

Karena sudah cukup sore, kami segera mendirikan tenda. Selain kami, hanya ada satu rombongan pendaki dari Bengkulu yang sudah datang lebih dulu. Gunung ini memang baru ramai dikunjungi pendaki pada akhir pekan. Dan juga, musim penghujan seperti ini pastilah memang bukan waktu yang ideal untuk berwisata gunung.

Petang menjelang dan udara dingin  mulai berhembus. Kabut juga mulai turun dan sekeliling kami mendadak berubah kelabu. Rintik-rintik hujan mulai turun. Meski begitu, sesekali langit masih tersingkap dan bulan setengah lingkarang bersinar cemerlang di atas kepala. Sayangnya, hanya sebentar saja. Karena beberapa jenak kemudian,  langit kembali diselimuti kabut dan hujan semakin rapat. Usai makan,kami segera masuk tenda. Setelah mengobrol ngalor ngidul akhirnya tertidur. Meski udara cukup dingin, tapi masih dalam batas wajar. Sehingga kami bisa tidur cukup lelap.

Rencananya, kami akan bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit. Tapi ketika alarm berbunyi pukul 5.15 dan melongokkan kepala keluar tenda, pemandangan di sekeliling sepenuhnya kelabu tertutup kabut. Gundukan lereng pegunungan yang tampak gagah kemarin petang juga tak tampak. Jarak pandang hanya beberapa meter saja dan angin kencang berderak-derak. Saya pun memutuskan untuk kembali membuntal diri dengan sleeping bag dan tidur lagi. Menjelang agak siang, baru keluar tenda. Tapi harapan bahwa cuaca akan segera berubah agaknya sulit terwujud. Kabut terus berputar-putar bersama angin dan tak ada tanda-tanda tersingkap. Meski begitu, kami berusaha untuk bersabar. Berharap, semakin siang udara akan semakin bersahabat.

Menjelang tengah hari, meskipun kabut masih cukup rapat, kami nekad untuk melihat kawah di puncak seberang. Udara dingin menggigit dan angin kencang masih bertiup. Tapi sesekali kabut mulai tersingkap dan kami bisa menikmati panorama di sekitar kawah berupa tebing-tebing batu yang terlihat gagah. Kawah pertama yang kami kunjungi adalah kawah mati. Pada kedalaman sekitar 10 meter, tampak air kawah yang berwarna kehijauan mengepul menguarkan aroma belerang yang menyengat.

Tempat berikutnya yang kami kunjungi adalah kawah hidup, yang berada di balik gundukan bukit satunya. Perjalanan kesini adalah menyusuri tebing yang agak terjal tapi cukup mudah dilewati. Kawah hidup terhampar pada lereng melandai dan dari jarak sekitar 10 meter gemuruh suara magma terdengar jelas, sembari mengepulkan asap pekat kekuningan. Yah, Gunung Kaba, meski pendek saja, adalah gunung api yang masih aktif. Letusan terakhir konon sudah beberapa ratus tahun lalu. Memandangi kawah gunung ini merasa takjub sekaligus miris. Gunung api selalu menyajikan keindahan yang agung tapi buas. Gelegak magma yang sedang berproses di dalam perut bumi hanyalah menunggu waktu untuk diledakkan dan yah, entah kerusakan dan bencana macam apa yang bisa terjadi. Wallahualam.

Setelah puas berfoto-foto, kami bersiap kembali. Keinginan untuk mendaki puncak tertinggi, kami urungkan karena cuaca yang kurang mendukung. Bagi kami, melihat pemandangan di sekitar kawah ini sudah cukup memuaskan.  Pemandangan kawah dan sekitar kedua kawah ini sudah cukup menakjubkan. 

Sekembali dari kawah, kami menikmati makan siang lalu bersiap pulang. Perjalanan pulang, kami memutuskan melewati jalur yang sama karena lebih teduh dan cepat. Hanya sekitar satu jaman kami sudah sampai di pos dan diajak singgah ke rumah seorang warga yang menyambut kami dengan ramah, disuguhi kopi dan teh hangat. Kami bahkan ditawari untuk memetik tomat di kebun segala. Hanya saja, karena kami khawatir repot membawanya, kami menolak tawaran itu.  Usai Maghrib, kami baru bertolak ke Curup. Badan cukup letih tapi perjalanan pendek ini terasa cukup memuaskan. Menurut saya, Gunung Kaba tak kalah indahnya dengan Gunung Bromo atau Tangkupan Perahu. Selain itu, pendakiannya juga relatif pendek dan mudah sehingga bagi yang kurang berpengalaman mendaki sekalipun, tempat ini masih recommended. Tapi yah, mungkin karena faktor akses, jarak dan promosi yang kurang membuat tempat ini kurang populer.

Perjalanan ini dilakukan pada tanggal 18-19 November 2015