Laman

Tampilkan postingan dengan label Kuala Lumpur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuala Lumpur. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Februari 2015

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (4)

KL, The Last Day: Lake Garden
Hari ini kami harus meninggalkan Kuala Lumpur. Ada beberapa tempat sebenarnya yang belum kami kunjungi: Menara KL, Masjid Jamek, dan Lake Garden. Penerbangan kami ke Singapura pukul 14.50. Saya memperkirakan, paling tidak sekitar pukul 11 sudah harus berangkat ke LCCT. Jadi kami masih punya beberapa jam pagi ini. Akhirnya pilihan jatuh ke Lake Garden. Kami tak punya informasi mengenai angkutan umum yang kesana, jadi pilihannya kemudian adalah taksi.

Karena tak ingin bolak-balik, kami sekalian check-out. Kali ini resepsionisnya, lelaki tua yang berbeda lagi!  Keluar dari Jalan Petaling, kami  menghampiri taksi yang kebetulan banyak parkir di pinggir jalan. Pertama dia menawarkan harga RM 15. Tapi akhirnyabisa ditawar hanya RM 7 saja.

Lake Garden memang tak terlalu jauh, tapi terkesan agak di pinggiran.
    "Mau turun dimana?" tanya si Bapak Sopir yang orang Melayu. Saya bilang di lake-nya.
    "Iya dimananya? Bird park-kah?" tanyanya lagi. Saya agak bingung dan akhirnya mengiyakan saja. Meski ada peta, tapi saya masih belum punya gambaran tempat ini. Dan kami pun dibawa masuk ke bird park. Ternyata bird park ini letaknya di ujung taman, sehingga kami harus berjalan keluar. Tapi tak buruk juga karena kami jadi punya kesempatan mampir ke beberapa wahana.

Bird park masih tutup. Saya sendiri tak tertarik untuk kesana karena masuknya harus bayar cukup mahal. Jadi kami jalan saja. Tujuan kami: ingin lihat danaunya. Meski katanya Cuma danau buatan, tapi menurut informasi ada wahana airnya. Sambil jalan, terlewat Taman Anggrek dan kami mampir karena masuknya gratis.
Singgah di Taman Anggrek

Tamannya tak terlalu luas dan jenis anggreknya juga sedikit, tapi terlihat terawat dengan baik. Kami foto-foto sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari danaunya. Dan tebak dimana jalan masuk ke arah danaunya? Di dekat pintu masuk! Lagi-lagi kaki kami dibuat gempor karena harus jalan dan jalan lagi. Apalagi dengan beban di punggung yang walaupun tak seberapa tapi cukup berat.

Setelah masuk sekitar 500 m, menelusuri jalan agak menurun, sampailah kami di sebuah bangunan dengan hamparan air kehijauan lengkap dengan perahu dayung yang tertambat. Itulah danau Lake Garden yang kami cari-cari. Tidak terlalu luas tapi cukup bersih. Tadinya saya membayangkan kalau danaunya ini akan mirip waduk-waduk di Jawa dengan debit air yang mirip danau beneran, ternyata cuma seperti kolam ikan saja. Tapi ya itu tadi, meski cuma seperti kolam ikan, tapi terlihat sekali benar-benar dirawat sehingga terlihat bersih dan asri.
Danau (atau kolam??) Lake Garden

Kami foto-foto sebentar dan karena hari sudah beranjak siang, kami memutuskan untuk segera pergi ke KL Sentral, takut terlambat ke LCCT.

Untunglah, waktu kami jalan keluar, ada taksi lewat  yang agaknya baru mengantar penumpang masuk. Kali ini taksinya bermeter. Sopirnya seorang bapak-bapak  Melayu yang cukup ramah. Sepanjang jalan dia terus mengajak ngobrol. Waktu saya bilang kalau setelah ini mau ke Singapura, dia tampak kagum. ‘Disana mahal,’ kata dia. ‘Kalian Cuma berdua, apa tidak takut dirampok orang?’ saya tertawa saja.
Waktu sampai di KL Sentral, argo taksi menunjuk angka RM 5. ‘Hati-hati ya,’ ujar si Bapak ramah.

Insiden Salah Kode Booking
Kami ke LCCT dengan naik bus. Awalnya kepikiran naik monorail saja, tapi tiketnya lebih mahal sementara ringgit kami tinggal sedikit. Karena capek, saya memutuskan tidur sepanjang perjalanan.

Kami sampai di LCCT sekitar pukul 12. Karena masih punya banyak waktu, kami memutuskan untuk mencari makan dulu. Agak sulit mencari makan yang ‘mengenyangkan’. Kebanyakan restoran cepat saji, tapi mereka tak menjual nasi. Satu-satunya yang menyediakan nasi adalah restoran Taste of Asia, tapi ketika saya mau antri saya baca daftar harganya, menu yang paling murah adalah nasi lemak yang dihargai RM 9. Tak mahal-mahal amat sebenarnya, tapi persediaan ringgit kami terbatas. Jadilah kami memutuskan untuk membeli seporsi untuk berdua. Menunya terdiri dari nasi uduk, sepotong ayam goreng dan gorengan teri kacang plus sambal, ditambah pajak jadi RM 10. Rasa nasi uduknya lumayan, tapi porsinya ternyata tidak cukup mengenyangkan untuk berdua.

Usai makan kami masuk ke kounter check-in. Teman saya ingin print tiketnya dulu. Tapi sesuatu yang mengerikan terjadi. Ketika dicek kode bookingnya, ternyata penerbangan teman saya adalah pukul 12.50 bukannya 14.50! Dan waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 13.00. Sebenarnya jika kami lebih teliti, keganjilan itu sudah muncul sejak kami di hotel. Teman saya cuma dikasih catatan kecil berisi jam penerbangan, kode booking dan no penerbangan oleh petugas di bandara. Dia merasa heran ketika dilihat no penerbangannya berbeda dengan no penerbangan saya. Saya pikir mungkin itu hanya salah tulis atau apa dan teman saya juga tak berinisiatif check di emailnya.

Menurut petugas, tiket itu hangus dan teman saya harus membeli tiket baru untuk penerbangan selanjutnya. Kami mulai panik. Tentu saja ini bikin emosi, karena yang bikin masalah adalah petugas yang kasih kode booking ke teman saya. Petugas kounter menyarankan teman saya telepon ke Medan, tempat dia booking. Tapi berulangkali coba dihubungi, tak ada yang angkat. Saya pun bingung dan merasa bersalah. Sebelum makan tadi sebenarnya teman saya mau print tiket duluan, tapi saya bilang nanti saja karena masih antri. Padahal kalau dia print waktu itu, pesawatnya masih belum berangkat. Ah, seharusnya kami cek jadwal di email dulu...seharusnya saya lebih cermat soal perbedaan kode penerbangan... yah, sebuah pelajaran memang seringkali mahal harganya :(

Akhirnya setelah mempertimbangkan ini itu, teman saya membeli tiket baru, KUL-SIN sebesar RM 100. Karena penerbangan yang sama dengan saya sudah penuh, dia ambil penerbangan pukul 15. 30. Saya pun terbang terlebih dulu ke Singapura dan kami janjian ketemu di bandara.
(bersambung)

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (3)

Tersesat di KLCC
Hari ini adalah full day tour. Rencananya, kami akan ke KLCC pagi-pagi. Menurut informasi yang saya baca, pengunjung diperbolehkan naik ke menara Petronas secara cuma-cuma tapi harus mengantri karena jumlah yang diperbolehkan terbatas. Saya sendiri tak terlalu berminat naik ke menara. Apa menariknya coba? Naiknya juga pakai lift, dan di atas cuma lihat pemandangan kota: atap-atap gedung. Tapi untuk melengkapi petualangan di Kuala Lumpur, ya tak apalah.

Kami berniat naik monorail ke KLCC, naiknya dari Pasar Seni tapi kami malah nyasar ke stasiun Mesjid Jamek yang agak lebih jauh.

Kami turun di KLCC dan melihat penumpang lain berjalan bergegas. Saya tebak mereka juga turis yang ingin ngantri tiket naik menara, jadi kami ikuti. Tapi memasuki Suria (pusat perbelanjaan), melewati stand roti boy, mengingat kami belum sarapan, kami memutuskan untuk beli makanan dulu.
Menemukan sudut menarik untuk melihat KLCC

Ketika kami berniat untuk mencari tempat antrian, kami kehilangan petunjuk. Kami ikuti saja petunjuk jalan yang kira-kira mengindikasikan kesana, tapi tahu-tahu kami malah nyasar ke tempat pameran yang masih belum buka. Karena memang setengah hati, kami memutuskan keluar saja, ke taman KLCC yang cukup luas dan sejuk karena banyak pepohonan. Dari situ, kami bisa foto-foto dengan latar belakang menara Petronas dengan angel yang cukup bagus. Yah, paling nggak sudah bisa jadi bukti pernah mengunjungi menara Petronas, haha.

Setelah puas foto-foto, kami masuk ke KLCC untuk mampir ke toko buku Kinokuniya. Nggak tahu kenapa, meskipun suasananya nyaris sama saja, tapi saya selalu penasaran untuk menyinggahi toko buku di mana pun.
Cuma bisa mupeng di Kinokuniya :(

Karena dana terbatas dan kursnya juga memang membuat harga lebih mahal, saya tak punya niatan untuk membeli.Tapi ketika menemukan buka klasik-nya J.D Salinger, The Cathcer in the Rye, saya tergoda untuk membeli. Saya sudah membaca versi terjemahan Indonesianya, dan saya selalu penasaran ingin membaca versi aslinya, jadi saya memutuskan membeli. Ada dua edisi terbitan Pinguin. Saya memilih edisi termurah seharga RM 32.

Kesiangan di FRIM
Usai makan siang di foodcourt KLCC, kami melanjutkan petualangan ke FRIM: Forest Research Institute of Malaysia. Saya baca kalau di sana kita bisa jalan-jalan di hutan dan naik canopy brigde. Sepertinya cukup menarik.

Kami naik monorail ke KL Sentral, untuk selanjutnya naik KTM ke Kepong. Saya menduga tempat itu cukup jauh karena harga tiketnya agak lebih mahal dari tiket-tiket sebelumnya. Lagipula karena yang akan kami kunjungi adalah hutan, saya yakin lokasinya agak di pinggiran.
Kepong yang lengang

Dan benar saja, Kepong memang daerah pinggiran. Stasiunnya tampak sepi sekali dan daerah sekilingnya terasa gersang. Mana hutannya? Saya melihat warna kelabu pepohonan di kejauhan. Kelihatannya cukup jauh. Kami memutuskan untuk bertanya pada penjaga kounter tiket, seorang perempuan muda yang tampak bosan. Dia bilang kalau sebaiknya kami naik taksi di luar stasiun di seberang sana.
    "Apa tak ada angkutan umum?" Tanya saya.
    "Tidak."
    Kami mengucap terimakasih, yang disambut wajah acuh perempuan itu. Hmm, tentu saja dia mungkin mati bosan harus bekerja di tempat selengang ini.

Stasiun ini agak mirip-mirip stasiun kecil di Indonesia. Nampak lengang, agak berantakan dan ada penjual kaki lima di pojokan yang menjual air mineral dan snack. Saya kebelet ingin buang air kecil. Untuk ke toilet, harus bayar 50 sen pada ibu penjual air. Sebelum saya, ada seorang perempuan masuk dan mungkin tanpa sengaja mengunci pintu. Padahal di dalam ada dua kamar mandi. Si Ibu langsung ngamuk-ngamuk sambil gedor-gedor pintu. Tapi mungkin si pengguna toilet tak dengar. Si Ibu dengan kasar menyuruh anaknya mengambilkan kunci. Sambil membuka pintu, si Ibu terus mengomel, memaki si perempuan pengguna toilet. Dan ketika si perempuan itu keluar, ia memaki dengan kasar.     ‘He, Dongok! Kenapa kau kunci pintu!’ ya, ampun, si Ibu ini benar-benar kasar. Dan dia bilang ‘dongok?’ apa itu makian yang umum di Malaysia? Atau jangan-jangan dia saudara setanah air...wah memalukan sekali kalau memang benar orang sekasar itu.

Kami keluar stasiun untuk mencari taksi. Setelah berjalan sekitar 100 meter, kami menemukan jalan besar yang dilalui banyak mobil. Begitu ada taksi melintas, kami langsung menyetop.
    "FRIM," ujar saya. Sopirnya seorang kakek-kakek keturunan Tionghoa.  Saya tanya apa taksinya bermeter? Maksudnya pakai argo. Dia bilang iya. Kami masuk. FRIM? Tanya dia sekali lagi. Ya, jawab saya. Dan saya baru sadar, pak sopir itu benar-benar terlihat sudah begitu renta. Tubuhnya kecil dengan rambutnya tipis dan sudah putih semua. Sudah setua itu kok masih nyopir taksi ya? Apa tidak membahayakan kesehatannya atau juga malah membahayakan keselamatan penumpang?

Mendekati FRIM, dia tanya: mau masuk atau di luar saja. Dia pakai Bahasa Melayu logat China yang membuat saya butuh beberapa waktu untuk mencernanya. Saya sendiri kurang paham soal masuk atau di luar ini. Karena kurang nyambung, si bapak terdengar mulai emosi. Weuh, sudah tua galak pula! Akhirnya saya bilang: di luar saja. Dan kami berhenti di depan gerbang masuk. Di argo tertera angka RM 6,5. Kami memberi RM 7  dengan agak kesal.
Sudah terlalu siang di FRIM :(

Kami turun dan membeli karcis masuk FRIM seharga RM 2 per orang. Kami diberi peta dan kami pun memulai perjalanan. Sekitar jam 2 siang. Cuaca terasa terik. Meski pohon besar di sana-sini, tapi tetap terasa terik. Baru beberapa langkah kami merasa lemas. Kami ingin ke canopy bridge, tapi sampai di tempat penjualan tiket canopy bridge sudah tutup. Di situ tertera kalau cuma sampai jam 2 siang. Setelah jalan agak jauh, kami memutuskan pulang saja. Sebenarnya saya masih ngganjel karena belum sampai ke ujung, tapi energi benar-benar terasa terkuras dan kaki serasa mau patah. Pelajaran hari ini: seharusnya kalau mau jalan-jalan di FRIM, pagi-pagi!

Kami kembali naik taksi sampai di stasiun KTM Kepong. Karena terjebak macet kecil, tiketnya jadi RM 8. Kami menunggu KTM cukup lama karena kereta mengalami keterlambatan.
Kereta juga sangat penuh sesak.

Ketika akhirnya saya dapat tempat duduk dan karena kursi agak longgar, saya tawarin ke teman saya untuk berbagi. Tapi ibu-ibu keturunan India di sebelah saya langsung nyolot karena teman saya sedikit menduduki pahanya. Saya lupa apa yang dia bilang, tapi maksudhnya kira-kira dia suruh teman saya itu duduk di pangkuan saya. Nadanya galak banget dan teman saya pun memilih berdiri. Ibu ini memang sepertinya super galak karena ketika hendak turun pun dia dengan kasar teriak-teriak untuk memberinya jalan keluar.

Sampai di KL Sentral, stasiun benar-benar ramai. Tampak orang-orang menunggu dengan koper-koper besar. Agaknya ini berkaitan dengan selesainya libur lebaran. Sepertinya orang Malaysia juga punya budaya mudik Lebaran juga.

Pasar Seni

Persinggahan kami berikutnya adalah Pasar Seni, yang letaknya memang berdekatan dengan Petaling. Kami naik monorail ke Pasar Seni. Tak seperti KTM yang penuh sesak, monorail masih normal-normal saja. Mungkin karena rutenya lebih pendek dan tarifnya juga agak lebih mahal.

Suasana Pasar Seni terlihat semarak. Trotoar dengan stan-stan jualan bermacam cinderamata berderet rapi. Tapi lokasi utamanya ada di dalam gedungnya. Suasananya mirip-mirip pasar Beringharjo di Jogja, tapi di sini lebih teratur serta bersih dan yang jelas adem karena ber-AC. Souvenir yang dijual adalah souvenir yang umum di tempat-tempat wisata: gantungan kunci, pulpen dengan tulisan Malaysia, aneka kerajinan tangan...tak terlalu istimewa. Satu pak berisi 4 pulpen berlabel Malaysia dilekati harga RM 18. Mahal,pikir saya. Tapi kemudian iseng saya nyeletuk: 8 Ringgit. Si Mbak yang berwajah Melayu langsung bilang iya. Waduh, jangan-jangan saya terlalu ketinggian nawarnya. Seharusnya saya bilang RM 5 atau RM 7 kali. Apalagi setelah saya perhatikan, pulpennya biasa aja. Tapi karena sudah terlanjur, ya saya terpaksa beli.

Kami muter-muter lagi meski kaki sudah mulai gempor. Di lantai atas adalah stand pakaian, klaimnya batik. Karena punya cerita kurang mengenakan berkaitan dengan batik, kami tak terlalu antusias. Terlihat beberapa batik motif Indonesia yang dijual, tapi ada juga batik yang saya pikir motif lokal. Saya sih nggak terlalu antipati. Tapi saya tak tertarik untuk beli karena saya pikir batik motif Indonesia lebih variatif dan bagus-bagus dan harganya juga pasti lebih terjangkau.

Saya agak mengerutkan kening ketika melintasi toilet umum yang tampak artistik, di dekat pintu masuk dipajang wayang kayu motif batik khas Indoensia. Bukannya itu tokoh wayang Indonesia? Kenapa? Entahlah. Mungkin mereka ngefans sama budaya Indonesia :)

Warteg ala KL
Karena makan siang yang kurang memuaskan, meski masih sore, saya sudah merasa kelaparan. Akhirnya kami mampir ke warung makan Melayu di ujung Jalan Petaling. Suasananya mirip-mirip warung pinggir jalan di Indonesia lah. Agak jorok dan berantakan. Seorang perempuan berjilbab menanyakan menu pada kami. Saya melihat daftar menu, hanya ada nama tanpa harga. Ada bakso, mi goreng... Saya makan nasi campur lauk tempe goreng saja yang disajikan prasmanan. Minumnya, segelas teh tarik.

Saya makan dengan lahap. Rasanya menurut saya cocok sekali di lidah. Benar-benar serasa makan di warung makan dekat kosan jaman kuliah dulu. Harganya juga sangat murah: 4 RM saja!

Dataran Merdeka
Setelah mandi dan istirahat sebentar di penginapan, malamnya kami jalan-jalan ke Dataran Merdeka, yang juga tak terlalu jauh dari Petaling. Dalam perjalanan, kami singgah sebentar di Pasar Seni untuk melihat pementasan wushu. Memang di Pasar Seni ini, konon setiap akhir pekan diadakan pertunjukan kecil di panggung terbuka depan gedung. Karena pertunjukannya tak terlalu menarik, kami segera melanjutkan perjalanan.
Gedung-gedung berarsitektur kolonial di Dataran Merdeka

Dataran Merdeka merupakan kompleks perkantoran pemerintah yang arsitekturnya bergaya jadul karena memang konon dibangun pada masa kolonialisasi. Pada bangunan-bangunan ini dipasang lampu warna-warni sehingga memberi pemandangan malam yang cukup menarik. Di tengah kompleks ada lapangan luas tempat anak-anak bermain. Kami duduk-duduk di sana, foto-foto. Tak ada yang terlalu istimewa. Selain anak-anak bermain, beberapa pedagang asongan mondar-mandir menjual air mineral, juga gelandangan...yah, sejak kemarin, di beberapa sudut jalan saya menjumpai orang-orang yang tertidur di trotoar. Dari penampilannya sih mereka sepertinya bukan gelandangan yang benar-benar gelandangan. Sepertinya mereka ini adalah pekerja-pekerja kasar yang mungkin didatangkan secara ilegal. Saya berpikir: apa mereka orang Indonesia? Akh...

Menikmati Keramahan di Kedai Makan India
Setelah bosan, kami pulang dengan kaki setengah diseret saking sudah capeknya. Ketika melintasi kedai India Muslim dekat Pasar Seni, teman saya menunjukkan tungku pembakaran kue Naan. Saya iseng memotret. Para pegawai di kedai itu, para lelaki dengan ramah mempersilakan kami ambil foto. Lalu teman saya mengusulkan kalau kami ingin mencicipi kue Naan itu. Karena saya pikir pembuatannya cukup unik, saya setuju. Kami memesan dua roti naan dan ayam bakar berbumbu mereka (saya lupa istilahnya apa).

Dua orang pegawai yang bertugas membuat roti dengan cekatan menguleni adonan tepung, membuatnya menjadi bulat pipih lalu ‘plok’ melemparkannya ke dinding tungku. Setelah beberapa saat diambil dengan menggunakan besi panjang.

Kami mulai menikmati roti Naan yang masih hangat. Dicocol dengan bumbu kari, ditambah irisan ayam. Selain bumbu karinya yang khas, rasa roti Naan sendiri tak terlalu istimewa. Menurut saya sih berasa gandum, apalagi tak ada tambahan rasa apa-apa. Kami makan dengan lahap, lebih karena lapar. Pegawai kedai bersiap hendak tutup karena sudah hampir pukul 12 malam. Tapi tak ada kesan mereka terganggu dengan kehadiran kami. Di sudut lain, tampak beberapa lelaki masih asyik mengobrol, seolah tak peduli kalau kedai hendak tutup.

Ini kali kedua saya singgah di rumah makan India dan saya punya kesan yang menyenangkan. Rumah-rumah makan India selalu terasa hangat dan semarak. Dekorasinya umumnya cerah dan meriah (umumnya didominasi warna kuning), cukup bersih dan selalu hangat. Hangat oleh kepulan asap dari tungku masakan, juga hangat oleh para pegawainya yang terlihat selalu murah senyum dan komunikatif.

Para pegawai ini sepertinya sudah selesai berberes.Sembari menunggu para pelanggan pergi, mereka berdiri menunggu sambil mengobrol. Salah seorang dari mereka masih memegang besi roti Naan dan tebak apa yang dilakukannya? Ia menggunakan besi itu untuk iseng mencongkel-congkel tanah! Nah, lho... meski kami merasa geli dan sebal melihatnya, tapi tetap menghabiskan roti Naan dengan lahap. 

Keluar dari kedai, trotoar Pasar Seni juga sudah sepi. Stan-stan sudah tutup. Tinggal dua petugas kebersihan yang sedang tekun bekerja. Mereka menyirami trotoar dan sesekali mencongkeli celah-celah trotoar yan mungkin diselipi sampah. Wah, salut lah untuk tingkat kebersihan kota ini!

Ketika sampai di Petaling lagi-lagi keramaian sudah berakhir. Kami segera masuk ke penginapan, disapa ramah oleh bagian resepsionis. Kali ini lelaki yang berbeda, tapi sama tuanya. Saya jadi berpikir:apakah penginapan ini dikelola oleh para kakek-kakek ?

Sesampainya di kamar, lagi-lagi kami langsung terkapar. 

(bersambung)

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (2)

Batu Caves
Sebenarnya, nggak ada alasan khusus milih tempat ini sebagai tujuan pertama. Saya baca berbagai referensi di internet, memang tak terlalu banyak obyek wisata di Kuala Lumpur ini. Yah, seperti kebanyakan kota besar lah. Paling Cuma pusat-pusat perbelanjaan. Dan nama Batu Caves yang konon adalah gua dengan kuil Hindu, terdengar menarik bagi saya.

Kami naik KTM menuju ke Batu Caves. Pertama, kami harus beli tiket dulu di kounter. Dari KL-Sentral- Batu Caves tiketnya seharga RM 1,3. Kami diberi tiket yang berfungsi sebagai semacam pass untuk bisa masuk ke platform KTM. Platformnya terletak di lower ground, agak suram memang, tapi  terkesan tidak pengap dan yang jelas, bersih. Kami menunggu beberapa menit dan muncullah KTM yang akan membawa kami ke Batu Caves. Keretanya bersih dan adem.
Batu Caves

Di Batu Caves ini terdapat gua dan kuil Hindu. Untuk sampai ke gua, diperlukan untuk menaiki anak tangga batu yang konon jumlahnya sekitar 200-an. Monyet-monyet jinak berkeliaran di sepanjang tangga, siap merebut kantong makanan yang di bawa pengunjung. Jadi, harap berhati-hati degan barang bawaan!


Saat kami sampai di sana, hari sudah beranjak sore dan suasana ramai sekali oleh turis dengan berbagai warna kulit. Benar-benar terasa semarak, selain para pengunjung juga orang-orang yang sedang melakukan sembahyang. Gua ini memang unik, dengan stalagtit yang bergelantungan dan juga tempat persembahyangan. Namun menurut saya sih nggak istimewa-istimewa amat, jadi menurut saya ramainya pengunjung itu cukup membuat saya takjub.

Multikulturalisme
Melepas lelah, saya duduk di tangga, sembari mengamati pengunjung yang terus datang dan pergi.  Warna kulit dan wajah mereka beraneka ragam: Melayu, India, Arab, Barat, Asia...saya bertanya dalam hati, apa sebagian besar mereka turis domestik atau mancanegara? Seperti diketahui, di Malaysia ada 3 suku bangsa besar : Melayu, China dan India. Dan saya baca berita kalau komposisi ini sering menimbulkan permasalahan yang bersifat rasial. Dan saya pun berpikir itu hal yang bisa dipahami.

Mungkin orang akan mengatakan wajar kalau di Indonesia, seringkali terjadi konflik etnis karena ada begitu banyak suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Tapi saya bisa pikir, hal yang bisa dipahami juga jika di Malaysia, meski hanya ada 3 suku besar, tapi tak terhindar dari konflik semacam itu. Ketiga suku ini, benar-benar memperlihatkan perbedaan yang nyata: warna kulit, bahasa,latar belakang budaya. Dan mereka adalah berasal dari 3 suku bangsa besar: India, China, Melayu! Oke, di Indonesia ada Orang Jawa, Orang Batak, Orang Sunda, Orang Melayu...tapi rasanya perbedaan di antara suku-suku ini tak terlalu mencolok, at least, secara fisik dan kebudayaan mirip-miriplah.

Di KTM, dalam perjalanan kembali ke KL Sentral, saya  meneruskan lamunan saya di tangga Batu Caves, saya mengamati di dalam KTM juga di peron-peron. Sepertinya memang ada garis batas yang jelas tentang perbedaan etnis ini.

Orang-orang keturunan India bergerombol dengan orang-orang keturunan India, orang-orang Melayu bergerombol dengan orang-orang Melayu, demikian juga dengan orang-orang keturunan Cina. Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Jarang terlihat misalnya orang berwajah Melayu jalan bersama orang berwajah Cina, atau orang India dan sebaliknya. Tak urung saya membandingkan dengan di Indonesia: adalah hal biasa orang-orang dari suku tertentu jalan dengan suku tertentu, ngobrol dengan sangat cair...

Lamunan saya buyar  ketika sampai di sebuah pemberhentian dan ada penumpang masuk. Seorang Ibu keturunan India ngamuk-ngamuk karena ada serombongan lelaki berwajah India yang masuk ke gerbong kami, yang kebetulan adalah gerbong khusus perempuan. Para lelaki itu pun langsung kabur ke gerbong lain. Satu hal lagi yang saya amati di KTM atau di angkutan umum lainnya seperti monorail: orang-orang Melayu atau India senang mengobrol, sementara Orang Cina lebih sering saling berdiam diri, membaca komik atau main game di hp. Well, ini cuma pengalaman subyektif saya yang cuma baru beberapa saat menginjakkan kaki di sana, lho ;)

Petaling Street
Kembali ke KL Sentral, saya janjian bertemu dengan teman SMA saya yang kerja di KL, Tina. Sedianya dia akan menjadi guide kami selama di KL. Tina juga yang membantu kami mencarikan penginapan di daerah Petaling Street, yang konon cukup strategis.

Karena hari sudah beranjak petang, kami pun langsung ke penginapan. Dari KL Sentral, kami naik bus ke Jalan Petaling dan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit.

Kami turun di dekat Central Market, untuk kemudian jalan kaki beberapa meter hingga sampai ke Jalan Petaling. Memasuki Petaling, nuansa China langsung terasa. Ya, daerah ini memang merupakan kawasan Pecinan. Tulisan China, warna merah dan lampion bergelantungan di sepanjang jalan. Tidak hanya itu, karena suasana malam di tempat ini juga sangat semarak oleh orang-orang yang berjualan bermacam barang di sepanjang jalan. Mulai dari tas, kaos, kacamata, parfum, sepatu, makanan...para pembeli, yang kebanyakan kelihatannya adalah turis, berdesakan di antara lorong-lorong sempit. Suasana benar-benar terasa riuh rendah, belum lagi hawa gerah yang membuat badan lengket oleh keringat. Konon barang-barang yang dijual di sini adalah barang-barang bermerk dengan kualitas KW. Saya sendiri merasa nggak tertarik untuk membelinya barang-barang semacam itu.

Excel Inn
Penginapan kami bernama Excel Inn. Lokasinya nyempil di barisan pertokoan sepanjang jalan Petaling. Sebenarnya sih nggak susah menemukan penginapan ini  ketika jalanan sepi, tapi ketika jalanan tertutup oleh pasar malam, perlu usaha keras untuk menemukannya.

Di meja resepsionis, kami disambut seorang bapak tua keturunan Tionghoa dengan rambut sudah penuh uban. Mereka menawarkan kamar dengan harga RM 55 untuk single room, dan RM  66 untuk double room. Dia bilang sih nggak masalah kalau kami ambil yang single untuk berdua, tapi sempit. Jadilah kami ambil yang double room.Karena rencana kami stay dua malam, kami minta discount, tapi si Bapak ngotot nggak mau ngasih.
    ‘No discount for weekend,’ katanya. Karena berpikir harga segitu sudah lumayan murah dan setelah kami periksa kamarnya lumayan nyaman, ditambah lagi kami sudah ingin cepat-cepat mandi dan melepas lelah, kami setuju dengan harga itu.

Menikmati Suasana Malam di Bukit Bintang
Usai mandi, badan sudah terasa lebih segar, kami memutuskan untuk jalan-jalan sambil mencari makan malam di Bukit Bintang. Lokasinya tak terlalu jauh dari Petaling sehingga kami cukup jalan kaki kesana.

Sama seperti Jalan Petaling, Bukit Bintang juga merupakan pusat keramaian malam. Bedanya di sini, keramaian dipenuhi dengan berbagai kedai makanan yang berjajar di kanan kiri jalan, menawarkan berbagai menu. Kebanyakan adalah Chinese Food atau Thailand Food, tapi banyak yang halal kok.
Suasana semarak di Bukit Bintang


Asap mengepul dan aroma berbagai rempah menguar. Kami ditraktir tomyam sama Tina dan pacarnya. Untuk seporsi tom yam yang cukup besar (bisa untuk makan 4 orang), dihargai RM 20. Namun tomyamnya sendiri menurut saya kurang yahud, karena rasanya terlalu asam.

Usai makan, kami jalan-jalan di sekitar Bukit Bintang untuk melihat suasana malam, yang katanya berlangsung selama 24 jam. Saya nggak tahu apa karena waktu itu akhir pekan, tapi jalanan benar-benar ramai. Orang-orang, terutama anak-anak muda, berkerumun di sudut-sudut jalan.  Banyak dari orang yang lalu lalang itu berwajah Arab. Teman saya cerita, kalau pada bulan-bulan tertentu, akan banyak rombongan turis dari Arab.
   
Awalnya saya menikmati keramaian yang terasa semarak itu, tapi lama-lama saya mulai pusing. Dimana-mana orang berkerumun, lalu lalang...ya ampun, apa sih yang mereka cari? Apa sebenarnya istimewanya negara ini sehingga orang-orang asing senang berkunjung? Suasana yang terasa ‘welcome’! Imej yang bagus! Ya, saya pikir itu. Bagaimanapun indahnya negri kita, tapi kita punya imej yang tak terlalu bagus dan suasana yang kadang tak nyaman. Di sini, trotoar yang luas untuk pejalan kaki, lalu lintas yang tertib, kesemarakan yang hangat...

Setelah kelelahan dan kaki pegal berjalan, kami memutuskan kembali ke penginapan. Di tengah jalan, kami singgah ke restoran India sembari menunggu jemputan temannya Tina yang punya mobil. Kami memesan minuman. Saya memesan segelas teh tarik yang dihargai RM 1,6.

Beberapa saat kemudian temannya Tina datang. Seorang pemuda keturunan India berbadan tinggi besar. Ia memperkenalkan diri dengan ramah: Kris. Kris masih kuliah di kepolisian dan seperti kesan di awal, dia orang yang ramah. Kami mengobrol dalam bahasa Melayu yang cukup bisa saling dipahami.

Setelah sekitar setengah jam, kami pulang. Waktu memasuki Jalan Petaling, suasana sudah lengang. Stand-stand jualan sudah dibongkar. Hanya tinggal sampah-sampah yang berserakan (yang paginya sudah kembali bersih) dan lampion-lampion yang memberi cahaya temaram. Lelah bukan main, begitu masuk kamar kami langsung terkapar.

(bersambung)

Bertandang ke Negeri Jiran: Kuala Lumpur, Singapura (1)

Setelah sekian lama cuma mengendap dalam rencana-rencana, akhirnya saya berhasil mewujudkan impian saya untuk jalan-jalan ke luar negeri, bersama teman saya, Vince, yang berhasil saya 'racuni.' Sebagai pemula, kami memilih negara terdekat: Malaysia dan Singapura, karena selain dekat juga memiliki kultur yang tak terlalu berbeda.

Rute kami adalah Kuala Lumpur dulu, baru ke Singapura. Dan karena berangkat dari kota yang berbeda (saya, Jambi dan Vince, Medan), kami janjian untuk bertemu di Kuala Lumpur.

Sedikit kesulitan bagi saya yang tinggal di kota kecil tak populer seperti Jambi adalah tak adanya layanan penerbangan langsung. Sehingga menjadi agak sulit untuk benar-benar mengetatkan budget, karena harus nyambung-nyambung. Dari beberapa kota  besar terdekat yang ada rute penerbangan ke KL-nya:  Palembang, Pekan Baru, Padang... setelah menimbang-nimbang, pilihan  jatuh ke Pekan Baru. Harga tiketnya sih hampir sama, 500 ribuan, tapi pilihan saya lebih karena jadwal penerbangannya yang rasional bagi saya, sekitar pukul 10 pagi.

Untuk perjalanan selanjutnya (ke Singapura dan pulang ke Indonesia), rencananya mau pakai jalan darat.  Berpikir akan bisa lebih murah dan seru, tapi berhubung teman saya passportnya baru, pihak airasia mengharuskan dia punya tiket meninggalkan Malaysia. Jadi deh ke Singapuranya naik pesawat juga. Nggak apa-apa juga sih karena harganya juga nggak terlalu mahal (500 ribuan) dan juga jadi memperpendek perjalanan.

Jambi-Pekan Baru: Perjalanan yang Menyiksa
Demi alasan ekonomis, saya naik travel ke Pekan Baru. Tapi rencana superhemat lagi-lagi tak bisa sepenuhnya dilakukan karena tarif angkutan darat pun mengalami kenaikan terkait dengan musim libur Lebaran. Harga tiket travel PKU-Jambi yang tadinya Cuma Rp. 180.000,- melonjak menjadi Rp.225.000.

Saya naik travel TOP ke Pekan Baru. Berangkat pukul 8 malam.  Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar 8-10 jam. Dan ini adalah perjalanan yang cukup menyiksa bagi saya karena sialnya saya dapat mobil yang AC-nya rusak, ditambah cuaca sedang panas, jadilah saya mandi keringat selama di perjalanan. Belum lagi jalanan Jambi-Pekan Baru sekitar 80 % rusak parah, berlobang di sana-sini, membuat saya terbanting-banting selama perjalanan dan tak bisa istirahat dengan nyaman. 

Untunglah, meski penuh penderitaan, perjalanan cukup lancar. Sekitar pukul 04.00 pagi sudah sampai Pekan Baru. Karena masih terlalu pagi, saya minta diturunkan di loket saja. Dari obrolan dengan sopir, dia mengatakan bahwa loket melayani jasa antar ke bandara. Sampai di loket, saya membersihkan diri alakadarnya sambil beristirahat.

Sekitar pukul 6, saya di antar ke bandara. Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke Pekan Baru tapi tidak terlalu familier juga dengan kota ini, jadi ketika mereka meminta tarif Rp. 50.000 dari loket ke bandara, saya setuju saja. Ternyata: ke bandara nggak sampai 15 menit! Kesana juga bisa naik bus trans pekanbaru (buswaynya Pekan Baru). Saya sempat mengeluh ke abang sopir yang mengantar saya karena saya merasa ditipu, tapi mungkin salah saya juga yang mudah ditipu.

Pekan Baru - Kuala Lumpur
Karena masih terlalu pagi dan check in belum dibuka, saya menunggu di luar sambil membaca-baca buku. Pelajaran penting ketika travelling: bawa buku (saran saya bacaan ringan) untuk membunuh waktu ketika menunggu!

Ini pertamakalinya saya menginjakkan kaki di bandara Pekan Baru, Bandara Sultan Syarim Kasim 2. Meskipun labelnya adalah bandara internasional, tapi tak terlalu besar. Penerbangan internasionalnya setahu saja juga hanya ke Kuala Lumpur dan Singapura. Ruang tunggunya juga sempit dan riuh. Mirip ruang tunggu di terminal hanya lebih bersih.

Saya agak ketar-ketir juga karena terdengar kabar beberapa penundaan penerbangan terkait dengan kabut asap. Untunglah, ternyata kekhawatiran saya tak terjadi. Tepat pada waktunya, saya bersama penumpang lain, bersiap untuk boarding. 

Perjalanan PKU-KUL hanya memakan waktu sekitar 50 menit.
Saya turun dari pesawat, lalu mengikuti langkah bergegas para penumpang lain menuju Terminal Kedatangan dalam cuaca tengah hari yang panas. Terminal Kedatangan lumayan jauh. Tempat pertama yang harus dilewati, tentu saja imigrasi. Ruang imigrasi yang cukup luas terasa lengang, ditambah lagi nuansa gelap ruangan itu yang memberi kesan dingin. Saya mengisi form imigrasi lalu ikut mengantri. Petugas imigrasi yang melayani saya seorang perempuan Melayu berjilbab dengan lipstik merah menyala. Wajahnya terkesan tak terlalu ramah. Tapi ketika ia mulai bertanya dan nada suaranya tak galak, saya merasa lega.
    ‘Kerja?’ tanya dia dengan logat Melayu yang kental.
    ‘Holiday.’ Sahut saya. Dan dia mengajukan pertanyaan standar: dengan siapa, untuk berapa hari di Malaysia...scan jari tangan...selesai.

Usai dari imigrasi, saya bertemu Vince yang sudah tiba duluan karena penerbangannya dari Medan memang lebih awal. Hal pertama yang kami lakukan adalah membeli kartu telepon, karena ternyata roaming bikin bangkrut (sekali sms Rp.4700!). Kami memutuskan untuk beli kartu telepon lokal seharga RM 50. Hal yang kemudian agak kami sesali karena itu ternyata jumlah yang terlalu besar untuk tinggal selama 2 hari. saja.

Menuju KL Sentral
Kami jalan keluar bandara. Rencananya kami mau naik bus ke KL Sentral. Karena masih blank, saya tanya ke bagian informasi dan dia menyarankan saya untuk beli tiket bus di kounter yang ada. Saya pun membeli tiket bus LCCT-KL Sentral seharga @ RM 8 (sekitar Rp.24.000).

Kami berjalan keluar, suasana terasa riuh dan panas. Benar-benar tak ada bedanya dengan di Indonesia. Kami berjalan beberapa meter menuju tempat pemberhentian bus. Eh, ternyata di sana ada beberapa orang yang jual tiket bus juga. Tadinya saya pikir di sini segala sesuatunya lebih terpusat, eh, ternyata  (lagi-lagi) nggak jauh beda kayak di Indonesia. Layanan dan busnya nyaris sama saja dengan Damri-nya Bandara Seotta.

Kami naik ke dalam bus dan merasa benar-benar seperti di negeri sendiri karena mendengar suara obrolan dari penumpang di belakang kami dalam Bahasa Jawa ngapak. Tidak hanya itu karena kemudian di sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan yang sangat sehari-hari di Sumatera: tanah tandus yang pucat atau agak kemerahan, barisan pohon sawit...

KL Sentral & Nasi Campur
Sekitar satu jam, kami sampai di KL Sentral. Tadinya saya pikir KL Sentral ini semacam terminal terpadu atau apa, ya memang bisa disebut begitu sih, karena di sini pusatnya transportasi darat di Kuala Lumpur, mulai dari KTM (Kereta Komuter) hingga kereta api ekspress. Tapi jangan bayangkan suasananya lantas kayak terminal atau stasiun, karena begitu masuk yang didapati adalah suasana pusat perbelanjaan. Kanan kiri dipenuhi stand-stand yang menjual baju, sepatu, makanan, money changer,  swalayan dan loket penjualan tiket transportasi tentunya.
Peron di KL Sentral yang bersih

Karena lapar tak tertahankan, kami muter-muter nyari tempat mengisi perut. Ada beberapa restoran cepat saji kayak McD dan KFC, tapi kami berusaha cari tempat makan yang lebih variatif. Akhrinya kami mencari foodcourt di lantai atas yang menjual menu-menu yang terasa pas di selera: nasi lemak, nasi campur, bakso...

Kami menghampiri stand- makanan ibu-ibu Melayu yang menjual nasi campur. Ia menggelar makananannya dengan lauk bervariasi dan sangat familiar: sayuran tumis, ikan dicabein, ikan gulai, ikan goreng, ayam goreng...Karena kami nggak tahu standar makan di sini, kami tanya berapa harganya: ‘Nggak sampai 10 ringgit,’ sahut si Ibu (saya curiga, jangan-jangan Ibu ini Orang Indonesia, deh :) ). Otak saya langsung mengkalkulasi. RM 10 sama dengan Rp.30.000.

Saya makan dengan ikan sambal plus tumis pare. Rasanya lumayan, serasa makan di warung depan rumah. Mungkin saya bodoh karena jauh-jauh ke Malaysia makannya tetap nasi campur juga. Masalahnya lidah saya ini sulit menyesuaikan dengan makanan yang aneh-aneh sehingga sulit diajak wisata kuliner. Ditambah lagi saya nggak mau ambil resiko perut lapar (maag kambuh) karena nggak cocok makanan.

Usai makan, perut sudah tenang, kami turun untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan pertama kami: Batu Caves!

(bersambung)